Menimbang Ulang Hukuman Mati
Oleh : Andri Saputra
Humas Hizbut Tahrir Indonesia Kotawaringin Barat
Putusan tersebut jelas memicu pro kontra di masyarakat. Bagi
segelintir LSM pegiat HAM seperti Imparsial dan Kontras, menyambut
gembira putusan tersebut. Menurut LSM ini, hukuman pidana tidak boleh
mengurangi hak hidup seseorang dalam bentuk apapun. Kontras mendorong
pemerintah supaya hukuman mati dihapuskan dalam hukum positif Indonesia(www.detiknews.com)
.
Namun, bagi sebagian yang lain putusan tersebut dinilai tidak tepat karena dinilai melanggar UUD 1945, melawan perintah Ketua MA, dan juga menabrak yurisprudensi MA. Selain itu, pembebasan germbong narkoba dari hukuman mati jelas melukai keadilan bagi publik. Bahkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj turut kecewa atas vonis pembatalan hukuman mati untuk produsen narkotika Hengky Gunawan yang diputuskan oleh Mahkamah Agung. Atas dasar rasa keadilan, NU memberikan dorongan Peninjauan Kembali (PK) kedua atas vonis tersebut. (www.hidayatullah.com)
Namun, bagi sebagian yang lain putusan tersebut dinilai tidak tepat karena dinilai melanggar UUD 1945, melawan perintah Ketua MA, dan juga menabrak yurisprudensi MA. Selain itu, pembebasan germbong narkoba dari hukuman mati jelas melukai keadilan bagi publik. Bahkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj turut kecewa atas vonis pembatalan hukuman mati untuk produsen narkotika Hengky Gunawan yang diputuskan oleh Mahkamah Agung. Atas dasar rasa keadilan, NU memberikan dorongan Peninjauan Kembali (PK) kedua atas vonis tersebut. (www.hidayatullah.com)
Hukum Positif : Penuh Kerancuan
Siapa sangka, Hakim Imron Anwari yang sejak 2009 mulai membebaskan
sejumlah gembong narkotika dari hukuman mati ternyata pada 2007 lalu
justru menyetujui hukuman mati dikenakan kepada gembong narkoba.
Tercatat, pada 29 Mei 2007, Imron dan 2 hakim agung lainnya
mengubah hukuman penjara seumur hidup pelaku Narkoba WN Belanda Nicolaas
Garnick Josephus Gerardus alias Dick (61) dan warga Perancis, Serge
Areski Atlaoui (43) menjadi vonis mati. Imron tidak mengajukan
dissenting opinion (pendapat berbeda) terkait vonis mati tersebut.
Terlepas dari pro kontra yang ada, keputusan hukum yang dipilih
Hakim Imron dalam waktu berbeda- meski saling bertolak belakang- adalah
konstitusional karena memiliki landasan hukum yang kuat. Namun, pada
titik ini justru menunjukkan secara nyata kepada kita bahwa sistem hukum
positif di negeri ini sangat lemah dan penuh kerancuan. Bayangkan saja,
dengan kasus serupa, hakim yang sama dan lembaga hukum yang sama, namun
mengeluarkan dua keputusan hukum yang saling bertolak belakang.
Bagaimana mungkin, vonis hukum mati dianggap tepat pada 2007, namun
menjadi keliru pada 2009. Sesungguhnya, pro kontra seputar penghapusan
hukuman mati bukanlah pada hukuman mati itu sendiri. Namun, terletak
pada asas hukum yang mendasari lahirnya peraturan hukum yakni
sekulerisme (paham yang memisahkan agama dari kehidupan). Paham
sekulerisme yang dianut negeri ini menempatkan persoalan baik buruk dan
benar salah segala sesuatu dalam kehidupan duniawi termasuk sistem
(sanksi) hukum yang berlaku di masyarakat kepada akal manusia yang
steril dari nilai nilai ketuhanan. Sehingga, lahirnya beragam produk
hukum dalam bentuk undang undang, KUHP dan sejenisnya yang merupakan
kesepakatan dan produk akal manusia. Pada sisi lain, sekulerisme
menjadikan agama hanya sebatas mengatur persoalan ritual dan tidak
memiliki otoritas dalam mengatur kehidupan duniawi.
Persoalannya, manusia merupakan mahluk terbatas yang tidak memahami
hakikat kebenaran segala sesuatu. Sehingga, tidak ada standar kebenaran
yang bersifat tetap, baku dan disepakati semua pihak. Inilah kelemahan
mendasar dari sistem hukum saat ini. Alhasil, wajar apabila peraturan
hukum atau undang undang yang dihasilkan senantiasa berubah ubah karena
sudah tidak mampu menjawab problematika yang berkembang di masyarakat.
Tidak aneh jika kemudian muncul berbagai keputusan hukum yang
kontroversial dan inkonsisten terhadap produk hukum itu sendiri (undang
undang). Hal ini terjadi karena pertama, setiap orang berhak untuk
menafsirkan hukum sesuai kecenderungan hawa nafsunya. Hasilnya, banyak
putusan pengadilan dan kebijakan hukum yang melukai keadilan bagi publik
seperti vonis bebas koruptor dan grasi pembatalan hukum mati dari
Presiden SBY terhadap gembong narkoba
Kedua, produk hukum yang berlaku memang memberi ruang bagi
munculnya multi tafsir atau perbedaan dalam menentukan benar salah dan
berat tidaknya sanksi hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan
seperti dalam kasus putusan PK Hakim Imron
Ketiga, sistem hukum yang penuh kerancuan karena putusan pengadilan
dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan yang lebih tinggi. Mulai dari
putusan banding hingga peninjauan kembali. Hal ini merupakan kesalahan
fatal karena tidak memberi kepastian hukum bagi publik.
Sistem Islam : Adil dan Efektif
Menuntaskan persoalan narkoba tidak sekedar membutuhkan komitmen,
namun juga harus didukung oleh sistem hukum yang adil dan efektif.
Sistem hukum Islam dapat menjadi alternatif dalam menuntaskan kerancuan
penegakan hukum di negeri ini. Ada sejumlah alasan, pertama, dari sisi
keimanan, setiap muslim wajib meyakini dan terikat dengan Syariah Islam
dalam seluruh aspek kehidupan (Al Hasyr ayat 7, Al Maidah ayat 44, 45,
47, 49, 50, dan An Nisa 60, 65). Kedua, secara filosofis, hukum Islam
pasti benar dan pasti adil karena berasal dari Allah SWT, pencipta jagad
raya yang Maha Tahu dan tidak memiliki kepentingan secuil pun terhadap
manusia. Ketiga, secara normatif, peradilan bersifat tetap dan final
serta tidak mengakui sistem peradilan banding.
Keempat, sistem hukum dalam Islam bebas dari hawa nafsu manusia dan
memiliki nilai kebenaran yang tetap sepanjang masa karena mengacu
kepada Al Quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Sebagai contoh, status dan
sanksi bagi pelaku zina sejak masa Rasul SAW hingga hari kiamat bersifat
tetap dan tidak akan berubah yakni haram. Bagi pelakunya akan mendapat
sanksi jilid (cambuk) 100 kali bagi yang belum menikah atau rajam sampai
mati bagi pelaku zina yang sudah menikah. Dalam kasus narkoba, hukuman
yang dijatuhkan beragam tergantung tingkat kejahatan yang dilakukan.
Sanksinya bisa dalam bentuk diekspos, penjara, denda, jilid bahkan
sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi
masyarakat.
Pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan itu harus dilakukan secepatnya,
tanpa jeda waktu lama dari waktu kejahatan dan dijatuhkannya vonis.
Pelaksanaannya hendaknya diketahui atau bahkan disaksikan oleh
masyarakat seperti dalam had zina (lihat QS an-Nur[24]: 2). Sehingga
masyarakat paham bahwa itu adalah sanksi atas kejatahan tersebut dan
merasa ngeri. Dengan begitu setiap orang akan berpikir ribuan kali untuk
melakukan kejahatan serupa. (Buletin Al-Islam 609)
Borneonews (15/10/2012)
www.bringislam.web.id
Posting Komentar untuk "Menimbang Ulang Hukuman Mati"