Apa Pengertian Mubah?
Wilayah itu merupakan wilayah yang dibiarkan
seperti semula ketika syariat belum datang, tidak ada perintah untuk
mengerjakannya, juga tidak ada aturan untuk meninggalkannya, itulah yang
mereka anggap sebagai hal yang mubah, yaitu wilayah yang tidak dijamah
oleh syariat. Pada masa lalu, pendapat semacam ini diutarakan oleh para
tokoh Mu’tazilah, sehingga mereka menyatakan bahwa mubah bukanlah hukum
syara’.
Sebagai ulama yang tidak berpaham mu’tazilah, An Nabhani
membantah pandangan di atas secara singkat dalam kitab beliau, Asy
Syakhshiyyah Al Islamiyyah jilid III halaman 44 s/d 46. Berikut ini
adalah uraian beliau:
“Mubah adalah apa yang ditunjukkan
oleh dalil sam’i mengenai seruan Asy Syaari’ (Pembuat hukum, yakni Allah
-pent) berupa pilihan untuk melaksanakan atau meninggalkan perbuatan
dengan tanpa implikasi (pahala maupun siksa –pent). Ibahah/kebolehan
merupakan bagian dari hukum syara’, sebab dia merupakan seruan Asy
Syari’, oleh karena itu, untuk menetapkan hukum ibahah, tidak bisa tidak
harus ada seruan Syari’ yang menunjukkannya. Ibahah (boleh) bukanlah
sekedar ditiadakannya kesempitan untuk mengerjakan sesuatu atau
meninggalkannya, sebab jika demikian niscaya pensyariatannya telah ada
sebelum datangnya syara’.
Padahal, tidak ada hukum sebelum datangnya
syara’ (kaidah: laa hukma qobla wuruudisy syar’i), sedangkan
ibahah/boleh tidak lain merupakan hukum yang disebutkan oleh seruan Asy
Syari’ berupa pilihan untuk melaksanakan ataupun meninggalkannya, dia
telah disyariatkan oleh hukum syara’ itu sendiri, dan hanya terwujud
pasca datangnya syariat. Oleh karena itu, ibahah/boleh tergolong hukum
syara’.
Lebih dari itu,, sesungguhnya pada tiap-tiap perkara yang
dihukumi ibahah, tidak boleh tidak harus ada ketetapan syara’ yang
menyatakan ke-ibahah-annya, Sebab Ibahah/kebolehan bukanlah hal yang
tidak dibahas oleh syara’, artinya bukan sekedar yang tidak diharamkan
dan tidak pula dihalalkan. Adapun hadits yang dikeluarkan oleh Tirmidzi
dari Sulaiman Al Farisi yang berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa
sallam ditanya mengenai minyak samin, keju, dan kulit binatang, maka
beliau bersabda: “yang halal itu adalah apa yang dihalalkan oleh Allah
di dalam kitabNya, dan yang haram itu adalah apa yang diharamkan oleh
Allah di dalam KitabNya, dan apa-apa yang didiamkan maka ia tergolong
hal-hal yang dimaafkan”. Hadits ini tidak menunjukkan bahwa hal-hal yang
didiamkan oleh Al Qur’an otomatis mubah, sebab, ada hal-hal yang
diharamkan dan ada pula hal-hal yang dihalalkan di dalam hadits. Telah
shohih dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau
bersabda: “ingatlah sesunggunya aku diberi Al Qur’an dan hal yang
semisal dengannya bersamanya” (dikeluarkan oleh Ahmad).
Maka yang
dimaksud oleh hadits itu adalah “apa yang didiamkan oleh wahyu”
(didiamkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah, bukan Al Qur’an semata –pent).
Demikian juga, hadits tersebut tidak menyatakan bahwa mubah adalah
apa-apa yang didiamkan oleh wahyu, sebab perkataan beliau di dalam
hadits “yang halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allah” itu meliputi
segala sesuatu yang tidak diharamkanNya, maka ia mencakup hal yang
wajib, sunah, mubah dan makruh, sebab telah dibenarkan dari Beliau bahwa
yang halal maknanya adalah yang tidak haram.
Atas dasar itu, tidak
benar jika dikatakan bahwa makna “apa yang didiamkan” adalah mubah.
Sedangkan sabda beliau “apa yang didiamkan maka dia tergolong hal yang
dimaafkan”, dan sabda beliau di dalam hadits “apa yang didiamkan maka
dia adalah kemaafan” (dikeluarkan oleh Al Baihaqi), demikian juga sabda
beliau shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang lain: “dan
(Allah) diam terhadap sesuatu sebagai suatu rukhshoh bagi kalian, bukan
kelalaian, maka janganlah kalian mengutak-atiknya” (dikeluarkan oleh
Baihaqi), maka sesungguhnya makna dari “diamnya terhadap sesuatu” adalah
“penghalalannya terhadap sesuatu tersebut”, dan penghalalan terhadapnya
itu dihitung sebagai pemaafan dari Allah, sekaligus rahmat bagi
manusia, sebab Dia tidak mengharamkannya, tapi justru menghalalkannya.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang
diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Waqosh: “sesungguhnya kejahatan terbesar
seorang muslim kepada muslim yang lain adalah menanyakan sesuatu yang
tidak diharamkan kepada umat islam, kemudian menjadi diharamkan karena
pertanyaannya” (dikeluarkan oleh Muslim) artinya, orang yang menanyakan
sesuatu yang keharamannya tidak dibicarakan oleh wahyu. Maka dari itu,
diam di dalam hadits-hadits tersebut maknanya adalah diam dari
pengharaman, bukan diam dari penjelasan hukum syara’, sebab Allah tidak
diam terhadap penjelasan hukum syara’, bahkan Allah menjelaskannya dalam
segala sesuatu. Allah Ta’aalaa berfirman (terjemahannya): “dan kami
turunkan kepadamu Al Kitab sebatai penjelas bagi segala sesuatu” (TQS An
Nahl: 89).
Oleh karena itu, mubah itu bukanlah apa-apa yang didiamkan
oleh syara’, namun, mubah adalah apa yang dijelaskan hukum kemubahannya
oleh Syara’. Dan arti dari “apa yang didiamkan oleh syara’” adalah “apa
yang tidak diharamkanNya”, alias “apa yang dihalalkan olehNya”.
Maka
dari itu, kebolehan berburu dijelaskan dalam Firman Allah [Artinya]
“apabila kalian telah bertahalul maka berburulah”, dan kebolehan untuk
bertebaran di muka bumi setelah sholat jum’at dijelaskan dalam Firman
Allah [artinya]: “dan apabila telah ditunakan sholat, maka bertebaranlah
kalian”, sedangkan kebolehan jual-beli dijelaskan di dalam FirmanNya
Ta’aalaa [artinya] “dan Allah menghalalkan jual-beli”, sedangkan
kebolehan ijaroh, wakalah, gadai, dan yang lain telah jelas dalam
dalil-dalil masing-masing. Atas dasar itu, ibahah merupakan hukum
syara’, dan penentuannya harus berdasarkan dalil syara’ yang
menunjukkannya”. (selesai)
Sangat jelas...harap dipelajari dg teliti....Trims Boss.
BalasHapus