Bagaimana Islam Mengatasi Persoalan Buruh ?
Oleh: Abdullah Fanani al Banjary
Pendahuluan
Aksi buruh besar-besaran di 35 kabupaten/kota, di 12 provinsi
baru-baru ini membuahkan banyak ekses dan pengaruh negatif. Kerugian
materiil berupa kerusakan berbagai fasilitas, gedung dan tidak
beroperasinya mesin-mesin serta tidak berjalannya produksi tentu bukan
nilai nominal yang sedikit. Belum lagi dampak berupa kelesuan produksi
dan iklim investasi. 10 perusahan, diantaranya PT Sepatu Bata Tbk
(pabrik sepatu asal Chekoslovakia), PT S (pabrik kabel asal Indonesia),
PT BHI (pabrik injeksi plastic asal Korea), PT DGW (pabrik agro chemical
asal China), dan PT P (pabrik alat berat untuk pertambangan asal
Jepang), telah memutuskan akan menutup pabriknya. APINDO memperkirakan
adanya kerugian 900 miliar akibat penutupan tersebut (Kompas.com, 9/11).
Ironis, fenomena gejolak aksi-aksi buruh ini terjadi di tengah
puja-puji dunia terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan
sekitar 6,5 persen di tengah situasi krisis ekonomi global ini
disebut-sebut paling pesat di dunia setelah China. Di AS, presiden SBY
disebut membawa Indonesia menuju kekuatan ekonomi baru Asia (New
Emerging Economic in Asia). Bahkan Ratu Inggris pun menganugerahinya
gelar Ksatria Salib Yang Dibaptis (Grand Cross Knight in Bath) dengan
kedok pertumbuhan ekonomi yang fantastis ini. Ini menujukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi tersebut tak disertai pemerataan kesejahteraan.
Komentar kritis Eric Stark Maskin, Born, AS –peraih Nobel Ekonomi
2007– patut kita perhatikan. Ada banyak ekonom dunia yang percaya bahwa
kerja kontrak alih daya dan politik upah murah adalah prasyarat
keunggulan dan pertumbuhan ekonomi sebuah negara di era globalisasi.
Padahal, hasil observasi Maskin –juga oleh Kaushik Basu, guru besar
ekonomi asal Cornell University, New York, AS– justru menegaskan,
globalisasi adalah salah satu penyebab ketimpangan kesejahteraan.
Terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena
menaikkan pendapatan rata-rata, tetapi menimbulkan masalah distribusi
pendapatan. (Kompas, 15 September 2012).
Namun demikian, memang tak mudah untuk memenuhi 3 tuntutan buruh di
atas, bila pemenuhannya ditanggungkan pada pengusaha semata. Akan ada
problem baru. Pengusaha akan memasukkan komponen kenaikan upah ke dalam
kenaikan biaya produksi, akan diikuti dengan keputusan menaikkan harga
jual barang, terjadi inflasi, daya beli masyarakat semakin rendah dan
pada gilirannya buruh tetap kesulitan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Belum lagi posisi tawar pengusaha masih cukup tinggi karena ada
jutaan orang yang membutuhkan pekerjaan. Pengangguran terbuka masih
menunjuk ke angka 7,24 juta orang, sementara orang yang bekerja kurang
dari 15 jam per minggu jumlahnya mencapai 6,6 juta. Saat ini saja sudah
ada ‘ancaman’ aksi balasan dari pengusaha. Pengusaha yang tergabung
dalam Forum Lintas Asosiasi Industri Nasional sepakat melakukan mogok
produksi. Asosiasi Pertekstilan Indonesia misalnya, Senin, (5/11)
mendesak bertemu pimpinan Polri untuk membahas keamanan di pabrik. “Jika
Polri tidak bisa memberikan keamanan (di pabrik), pengusaha akan mogok
produksi.” Mogok ini dilakukan oleh para pengusaha, sebagai balasan
mereka terhadap aksi demontrasi buruh yang menurut para pengusaha sudah
mengarah ke tindakan kriminal. (Republika, 6 Nov. 2012).
Lalu bagaimana menyelesaikan problem-problem perburuhan? Bagaimana
mewujudkan sistem yang membuat Buruh Sejahtera dan Pengusaha tetap
Untung?
Gagasan Kapitalisme – Sosialisme
Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi karena kebebasan
kepemilikan dan kebebasan bekerja yang menjadi pilar sistem kapitalisme.
Dengan kebebasan ini, seorang pengusaha yang senantiasa berorientasi
keuntungan dianggap sah mengeksploitasi tenaga buruh. Dengan kebebasan
ini pula, kaum buruh diberi ruang kebebasan mengekspresikan tuntutannya
akan peningkatan kesejahteraan dengan memanfaatkan serikat pekerja,
melakukan sejumlah intimidasi bahkan tindakan anarkis sekalipun.
Sedangkan dasar yang memicu konflik buruh dan pengusaha sendiri,
disebabkan oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan
gaji buruh, yaitu living cost (biaya hidup) terendah. Living cost inilah
yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Maka tidak heran
namanya Upah Minimum. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan
gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu
yang minimum sekedar untuk mempertahankan hidup mereka. Konsekuensinya
kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik
perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang
kemudian memicu lahirnya gagasan Sosialisme tentang perlunya pembatasan
waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.
Kaum Kapitalis pun terpaksa melakukan sejumlah revisi terhadap ide
kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja, dan tidak lagi menjadikan
living cost terendah sebagai standar dalam penentuan gaji buruh. Maka,
kontrak kerja pun akhirnya diikuti dengan sejumlah prinsip dan ketentuan
yang bertujuan untuk melindungi buruh, memberikan hak kepada mereka
yang sebelumnya tidak mereka dapatkan. Seperti kebebasan berserikat, hak
membentuk serikat pekerja, hak mogok, pemberian dana pensiun,
penghargaan dan sejumlah kompensasi lainnya. Mereka juga diberi hak upah
tambahan, libur mingguan, jamin berobat, dan sebagainya.
Jadi, masalah perburuhan akan selalu ada selama relasi antara buruh
dan pengusaha dibangun berdasarkan sistem ini. Meski mereka telah
melakukan sejumlah tambal sulam untuk menyumbat kemarahan kaum buruh dan
menghadapi provokasi kaum Sosialis, namun tambal sulam ini secara
natural hanya sekedar untuk mempertahankan sistem Kapitalisme. Tetapi,
jika diklaim bahwa tambal sulam ini telah berhasil memecahkan masalah
perburuhan, jelas hanya klaim bohong dan kosong.
Pandangan Islam terhadap Masalah Perburuhan
Problematika perburuhan yang saat ini menjadi pemandangan sehari-hari
kita, tidak pernah ada dalam penataan sistem Islam. Dalam Daulah
Khilafah Islamiyah semua bibit sengketa buruh dan pengusaha ditiadakan.
Karenanya bisa dikatakan dengan menerapkan sistem Islam, problem
perburuhan sudah diaborsi sejak jauh hari sebelum lahir dan berkembang!
Terkait ini, Islam menata dua aspek dengan tatanan regulasi
sedemikian sehingga tidak muncul problem perburuhan. Pertama, aspek
mikro terkait kontrak kerja antara buruh dan pengusaha. Dengannya akan
terjawab bukan hanya besaran upah, namun juga masalah kepastian kerja
(PHK) dan besarnya pesangon. Kedua, aspek makro menyangkut hak setiap
orang, termasuk buruh untuk memperoleh kesejahteraan. Penyelesaian aspek
ini, akan menempatkan buruh dan pengusaha pada posisi tawar yang
semestinya. Keterbatasan lapangan kerja, rendahnya SDM dan rendahnya
kesejahteraan hidup pekerja, serta tidak terpenuhi jaminan hidup dan
tunjangan sosial akan mendapatkan solusinya sendiri tanpa merugikan
salah satu pihak, buruh maupun pengusaha.
Tatanan Islam untuk Persoalan Mikro Perburuhan
Solusi Persoalan Mikro Perburuhan, bisa diatasi dengan memperbaiki
hubungan kontrak kerja antara pekerja dan pengusaha. Dalam syariat Islam
hubungan antara pekerja dan pengusaha termasuk dalam transaski ijaarah.
Ijaarah didefinisikan sebagai aqdu ‘ala al manfaah bi iwadin,
aqad/transaksi atas manfaat/jasa (yang dikeluarkan ajir/pekerja) dengan
memperoleh imbalan (berupa upah/ujrah dari musta’jir/pengusaha).
Transaksi (akad) ijaarah tersebut sah menururt syara’ jika memenuhi
persyaratan dan ketentuan yang jelas mengenai : (a) Bentuk dan jenis
pekerjaan, (b) Masa Kerja, (c) Upah Kerja dan (d) Tenaga yang dicurahkan
saat bekerja.
Jika keempat masalah tersebut jelas dan disepakati maka kedua belah
pihak terikat dan harus memenuhi apa yang tercantum dalam kesepakatan
tersebut. Hadits Rasulullah saw;
اذا استأجر احدكم اجيرا فليعلمه أجره
“Apabila salah seorang diantara kalian mengontrak tenaga seorang pekerja maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya.” (HR. Ad Daruquthni)
Sedangkan upah sebenarnya merupakan nilai jasa (manfaat) yang
diberikan oleh buruh (ajir) kepada majikan (pengusaha, musta’jir). Upah
dalam pandangan Islam merupakan kesepakatan antara ajir (pekerja) dan
mustajir (pengusaha). Standar yang digunakan untuk menetapkannya adalah
manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar,
bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi
buruh oleh para pengusaha. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh
mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di
tengah masyarakat.
Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah,
maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl).
Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan
kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk
mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk
mengikuti keputusan pakar tersebut.
قال الله ثلاثة انا خصمهم يوم القيامة ….ورجل إستأجر عجيرا فاستوفى منه ولم يعط اجره
“Allah swt berfirman ada tiga golongan yang aku musuhi pada hari
kiamat…. seseorang yang mengontrak pekerja, lalu pekerja tersebut
menunaikan transaksinya, namun dia tidak memberikan upahnya.” (Hadits Qudsi riwayat Imam Al-Bukhari)
Intinya penentuan upah buruh adalah kesepakatan antara buruh dengan
pengusaha dengan menjadikan manfaat tenaga sebagai patokan penentuannya.
Beban kebutuhan hidup, biaya kesehatan dan tanggungan lain buruh tidak
menjadi faktor penentu upah. Tidak ada unsur eksploitasi terhadap buruh
karena semua hal sudah saling diketahui. Juga tidak akan membebani
penguasa karena menanggung beban biaya yang tidak memberikan pengaruh ke
produksi semisal asuransi kesehatan, tunjangan pendidikan dan dana
pensiun. Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (upah
minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan,
dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun
upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang.
Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan
kompensasi jasa.
Mengenai mogok kerja, pada dasarnya hak ini tidak ada dalam Islam.
Karena kontrak kerja buruh ini merupakan akad ijarah, dan akad ijarah
ini merupakan akad yang mengikat, bukan akad suka rela yang bisa
dibatalkan sepihak dengan seenaknya.
Tentang dana pensiun, penghargaan dan kompensasi yang diberikan
kepada para buruh, pada dasarnya ini merupakan bentuk tambal sulam
sistem Kapitalis untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang dianggap tidak
mampu. Hanya saja, upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk
memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya.
Karena kewajiban ini merupakan kewajiban negara. Bukan kewajiban majikan
atau perusahaan.
Solusi Islam untuk Persoalan Makro Perburuhan
Setiap orang berhak mendapatkan kesejahteraan. Islam menetapkan dua
jalan untuk memenuhi semua kebutuhan. Yakni pemenuhan kebutuhan sandang,
pangan dan papan, ditanggungkan kepada setiap individu masyarakat. Baik
dipenuhi langsung atau melalui ayah, wali dan ahli waris. Sedangkan
kebutuhan biaya pendidikan, layanan kesehatan dan keamanan menjadi
tanggung jawab negara untuk menyediakannya bagi setiap warga negara.
Negara tidak membebani rakyat untuk menanggung sendiri biaya pendidikan,
kesehatan dan kemanannya, apalagi dengan biaya yang melambung tinggi.
Selain itu negara juga memiliki tanggung jawab menyediakan berbagai
fasilitas yang memudahkan setiap orang untuk berusaha (bekerja). Mulai
dari kemudahan permodalan, keahlian dan regulasi yang mendukung.
Pemberian negara (i’tha ad dawlah) dari harta Baitul Mal adalah hak
rakyat. Sebagaimana Umar RA mengambil harta Baitul Mal untuk menyediakan
benih dan pupuk bagi para petani di Irak. Demikian pula Rasul SAW
membayar hutang-hutang seorang warga yang tidak mampu. Abu Bakar dan
Umar RA juga memberikan lahan siap tanam kepada warga untuk menjadi
modal usahanya.
Dengan diberlakukan sistem ekonomi Islam, negara akan mampu
memerankan dirinya sebagai penanggung jawab terpenuhinya kesejahteraan
rakyat. Lapangan kerja tersedia memadai, kualitas SDM unggul disiapkan
dengan tanggungan biaya negara, kebutuhan energi (listrik, BBM,
transportasi) bisa dijangkau karena harga yang sangat murah atau bahkan
gratis. Ditambah biaya pendidikan dan kesehatan yang diperoleh rakyat
secara gratis.
Dengan semua mekanisme itu, kebutuhan hidup masing-masing warga
negara begitu mudah didapat. Maka bekerja akan menjadi salah satu cara
seorang muslim menaikkan derajatnya di mata Allah SWT., karena
mencurahkan tenaga dan keringatnya untuk beribadah memenuhi kewajibannya
dan tidak saja untuk mendapat manfaat lebih besar, tetapi juga untuk
memberi manfaat lebih besar. Bekerja bukan menjadi satu-satunya cara
memperoleh kesejahteraan. Apalagi menjadi buruh (ajir) juga hanya salah
satu diantara pilihan pekerjaan, karena lapangan kerja tersedia memadai.
Posisi tawar buruh dengan pengusaha adalah setara. Bagi mereka yang
memilih membuka usahanya sendiri maka ada banyak kemudahan disediakan
oleh negara.
Hak Berserikat dan Serikat Pekerja
Tinggal satu masalah. Apakah dalam Islam mengenal Hak Berserikat dan
Serikat Pekerja? Mengenai hak berserikat bagi buruh, maka hak ini tidak
dinafikan oleh Islam. Buruh boleh berkumpul, baik dengan sesama buruh,
maupun buruh dengan para majikan. Hanya saja, diperbolehkannya hak
berserikat ini tidak berarti perlu membentuk serikat pekerja. Karena ini
merupakan dua hal yang berbeda.
Berkumpul adalah hak yang dijamin oleh syariah. Namun membentuk
serikat pekerja yang dimaksudkan untuk mengurusi kesejahteraan buruh.
Maka ini merupakan aktivitas ri’ayatu as-syu’un yang hanya boleh
dilakukan oleh negara. Karena itu, hak membentuk serikat pekerja yang
melakukan ri’ayatu as-syu’un tidak diberikan kepada yang lain, selain
kepada negara. Karena negaralah yang bertanggung-jawab terhadap
kewajiban ri’ayatu as-syu’un ini, baik dalam perkara parsial maupun
menyeluruh.
Penutup
Dengan demikian, berbagai solusi yang dilakukan saat ini, jika tetap
menggunakan model solusi ala sistem Kapitalis, pada dasarnya bukanlah
solusi. Tetapi, sekedar “obat penghilang rasa sakit”. Penyakitnya
sendiri tidak hilang, apalagi sembuh. Karena sumber penyakitnya tidak
pernah diselesaikan. Karena itu, masalah perburuhan ini akan selalu
muncul dan muncul, seperti lingkaran “setan”, karena tidak pernah
diselesaikan.
Jika memang benar-benar problem perburuan ini ingin selesai dan
kesejahteraan buruh secara khusus, serta kesejahteraan setiap warga
negara secara umum ingin diwujutkan, maka tidak ada jalan lain kecuali
harus kembali kepada penyelesaian mulia, yakni, penyelesaian dengan
syariat Islam yang diterapkan oleh Daulah Khilafah ala Minhaji
an-Nubuwwah. Karena, konsep dan solusi Islam sebagaimana di atas
benar-benar telah teruji, ketika diterapkan oleh Negara Khilafah. Hal
yang sama pasti akan terulang kembali, jika dalam waktu dekat Khilafah
berdiri, dan Islam diterapkan. Karena itu, bisa dikatakan, bahwa Islam
tidak mengenal problem perburuhan. Wallahu a’lam
hizbut-tahrir
Posting Komentar untuk "Bagaimana Islam Mengatasi Persoalan Buruh ?"