Masalah Sosial Kita Bukan Hanya Soal Duduk Mengangkang
Oleh: Iwan Januar
“Ayo
dik, naik aja, ikut saya sekalian,” kata seorang bapak dalam Karimun
kepada seorang wanita muda berkerudung yang sedang menunggu angkutan
umum. “Bisa ikut, Pak?” tanyanya ragu. “Iya naik aja,” jawab si
pengemudi. Tak lama kemudian perempuan muda berkerudung itu pun naik dan
duduk di samping pengemudi.
Pemandangan itu saya terjadi di
depan mata saya. Kedua orang tadi keluar dari kantor sebuah lembaga
Islam. Saya terkejut tapi juga menjadi tidak heran. Terkejut karena
keduanya saya duga paham syariat Islam, tapi juga tidak heran karena hal
seperti itu sudah dianggap biasa.
Saat ini, persoalan ijtima’iy,
relasi pria-wanita banyak yang sudah tidak lazim tapi menjadi
kebiasaan. Sering pria dan wanita yang bukan mahram berjalan berdua;
baik berjalan kaki beriringan, naik motor berboncengan atau naik mobil
berdua dalam mobil pribadi.
Pernah saya mengomentari seorang
rekan kerja yang acap makan siang bersama wanita rekan kerjanya yang
bukan mahram, tapi dia berkilah, “Ah kita kan gak ada perasaan apa-apa!”
Yup, itu jadi salah satu alasan ampuh buat sebagian orang untuk tetap
jalan berdua dengan perempuan non-mahram.
Bila pelakunya orang
awam barangkali masih ada ‘pemakluman’ meski juga tetap salah, tapi ini
pelakunya sebagian adalah orang-orang yang aktif dalam lembaga
keislaman. Malah sebagian orang yang terlibat dalam aktifitas dakwah.
Alasannya ya kelaziman di masyarakat juga seperti kata kawan saya tadi
‘tidak ada perasaan apa-apa’.
Kita semua sepakat bahwa tolak ukur
perbuatan mestilah hukum syara’, bukan kelaziman. Mengikuti kebiasaan
malah berbahaya. Allah SWT. sudah lama mengingatkan hal ini dalam
firmanNya:
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti
apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. mereka menjawab:
“Cukuplah untuk Kami apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami
mengerjakannya”. dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang
mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan
tidak (pula) mendapat petunjuk?”(QS. al-Maidah: 104).
Maka
seorang kenalan saya pun dicap ‘udik’, aneh dan tidak berjiwa sosial
karena ogah membonceng pegawai wanita di kantornya, sedangkan
rekan-rekan pria yang lainnya dengan sukarela mau saja membonceng
teman-teman kerja wanitanya. “Kalau ibu mau naik motor, silakan pakai
saja motor saya tapi saya nggak mau membonceng ibu,” kata kawan saya
saat dikomplain oleh teman-teman kerjanya yang wanita.
Soal
bonceng membonceng inilah yang sekarang menjadi trending topic di
masyarakat kita, tepatnya soal duduk mengangkang bagi kaum Hawa. Saya
pribadi melihat duduk mengangkang bukan topik utama dalam relasi pria
dan wanita. Tapi yang harus dibenahi memang sistem sekuler yang sudah
jadi panglima di segala lini, termasuk dalam sistem sosial. Banyak
persoalan timbul dari larangan tersebut, misalnya bila si perempuan
duduk menyamping tapi yang memboncengnya lelaki bukan mahrom apakah
menjadi boleh? Atau bila perempuan yang duduk menyamping tapi memakai
pakaian ketat juga tidak dilarang? Bagaimana pula aturan bagi pria dan
wanita yang berduaan dalam kendaraan pribadi padahal bukan mahram
seperti cerita saya di awal tulisan ini?
Spirit memuliakan dan
menjaga kaum wanita di negeri ini memang mulai tumbuh dalam koridor
syariat Islam. Akan tetapi bila itu sekedar tambal sulam justru
menimbulkan persoalan-persoalan baru. Seperti larangan perempuan keluar
malam di beberapa daerah menjadi masalah bila masyarakat tidak mendapat
jaminan sosial yang layak untuk hidup. Apalagi bila wanita masih menjadi
tulang punggung keluarga di jaman kapitalisme seperti sekarang. Karena
kenyataannya banyak wanita menjadi buruh di pabrik, spg di mall yang
mengharuskan mereka kerja malam hari. Maka larangan yang memang
bertujuan baik itu menjadi blunder bagi masyarakat dan pembuat keputusan
itu sendiri.
Kita hidup dalam lingkaran setan, vicious circle,
yang harus dipatahkan dari akarnya. Urusan memuliakan wanita tidak bisa
sekedar mencangkokkan sejumput aturan Islam ke dalam sistem
sekuler-kapitalis. Tapi harus dilakukan revolusi pemikiran dan tatanan
sosial yang paripurna. Tanpa itu, spirit menjaga relasi pria dan wanita
menjadi kontroversi yang berkepanjangan. Apalagi sekarang banyak
perbuatan tidak lazim yang menjadi kebiasaan. Dan banyak orang mencari
pembenaran dengan dalih kebiasaan karena itu lebih aman bagi mereka.
Masya Allah!
Sudah saatnya kita memeluk dan mengaplikasikan Islam secara kaffah, barulah terbebas dari dalih kebiasaan.
“Wahai orang-orang beriman masuklah Islam secara kaffah!”(QS. al-Baqarah: 208)
Posting Komentar untuk "Masalah Sosial Kita Bukan Hanya Soal Duduk Mengangkang"