Meneladani Rasul saw Tidak Setengah-Setengah
[Al Islam 640] Suasana peringatan maulid Nabi saw
tahun ini kembali menyapa kita. Tentu sangat layak kita merenungkan
kembali keteladanan Nabi saw yang paripurna baik sebagai pribadi,
pemimpin keluarga maupun pemimpin negara. Juga penting kita renungkan
sudah sejauh mana kita meneladani Rasul saw dan benarkah kita sudah
memuliakan Beliau atau sebaliknya, tanpa kita sadari atau karena
terselewengkan, yang terjadi justru pengkerdilan terhadap teladan Rasul
saw, bukannya memuliakan dan mengagungkan (takrîman wa ta’zhîman) Beliau saw.
Meneladani Tidak Setengah-Setengah
Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya kepada kita semua:
]لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا[
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (TQS al-Ahzab [33]: 21)
Ayat ini memerintahkan kita semua untuk meneladani Rasul saw. Yakni
meneladani seluruh teladan yang ada pada diri Rasul saw dalam semua
aspek. Kita tidak boleh membatasi peneladanan kita hanya pada
aspek-aspek pribadi Beliau saw saja. Kita tidak boleh meneladani Nabi
saw itu terbatas pada aspek-aspek tertentu, misalkan aspek akhlak, aspek
pribadi, dll, seraya mengabaikan teladan yang beliau berikan dalam
aspek-aspek lainnya, khususnya aspek syariah atau hukum dan sistem.
Sebab jika pembatasan itu dilakukan, maka yang demikian itu adalah
bentuk pengkerdilan terhadap teladan Rasulullah saw., dan bukan
memuliakan dan mengagungkan (takrîman wa ta’zhîman) Beliau saw.
Kita tidak boleh terjebak, baik disadari atau tidak, pada peneladanan
Rasul saw menurut cara pandang sekulerisme. Sekulerisme memisahkan
agama dari negara, kehidupan, urusan publik dan pengaturan urusan
masyarakat. Sekulerisme membatasi agama hanya berperan dalam aspek
ibadah ritual, moral dan individual dan keluarga (nikah, talak, rujuk
dan warisan).
Kita tidak boleh terjebak meneladani Nabi saw dengan kerangka
sekulerisme itu. Karena itu, kita tidak boleh hanya meneladani Nabi saw
pada aspek-aspek personal, moral dan ibadah mahdhah, dan
sejenisnya, sembari mengabaikan teladan beliau dalam menerapkan
hukum-hukum syariah, menyelesaikan berbagai perkara dan perselisihan
yang terjadi di masyarakat dengan hukum Islam dan menegakkan kekuasaan
dan sistem yang menerapkan syariah itu.
Allah SWT memerintahkan agar kita mengambil apa saja Nabi saw bawa
dan meninggalkan apa saja yang beliau larang. Allah SWT berfirman:
] … وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (TQS al-Hasyr [59]: 7)
Maknanya adalah apapun yang beliau perintahkan maka lakukanlah dan
apapun yang beliau larang maka jauhilah. Sesungguhnya tidak lain beliau
memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan (Imam Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm).
Kata mâ (apa saja) dalam ayat ini merupakan lafazh umum,
jadi mencakup apa saja yang beliau perintahkan dan apa saja yang beliau
larang. Jadi ayat ini memerintahkan kita untuk mengambil semua perintah
dan larangan yang beliau bawa dan menjadikannya sebagai pedoman.
Perintah-perintah dan larangan-larangan yang beliau bawa itu tidak lain
adalah syariah islamiyah dalam segala aspeknya, bukan hanya aspek
pribadi, akhlak, ibadah, saja, akan tetapi juga mencakup syariah Islam
tentang pemeritahan, politik dalam dan luar negeri, pendidikan, sanksi
dan pidana, perekonomian, sosial dan aspek-aspek pengaturan berbagai
urusan dan penyelesaian berbagai perkara dan perselisihan di masyarakat.
Karena itu, ayat ini sesungguhnya memerintahkan kita untuk mengambil
syariah islamiyah secara keseluruhan, menjadikannya sebagai pedoman dan
menerapkannya dalam kehidupan kita.
Peringatan maulid Nabi saw sendiri bukanlah memperingati kelahiran
Muhammad saw sebagai manusia. Sebab sebagai manusia, beliau sama saja
dengan semua manusia lainnya. Peringatan kelahiran beliau dilakukan
tentu karena posisi beliau yang sangat istimewa yakni sebagai rasul
pembawa risalah/syariah Allah SWT. Allah menegaskan:
] قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ [
Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu…” (TQS Fushshilat [41]: 6).
Nabi Muhammad saw diutus sebagai rasul untuk seluruh umat manusia
hingga akhir zaman termasuk kita semua. Allah menegaskan bahwa rasul
diutus tidak lain adalah untuk ditaati. Allah SWT berfirman:
] وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ …[
Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah… (TQS an-Nisa’ [4]: 64)
Jadi menaati rasul itu telah diwajibkan (difardhukan) atas
orang-orang yang kepada mereka rasul diutus. Rasul saw diutus kepada
kita semua, maka ayat ini mewajibkan kita semua untuk menaati Rasul saw.
Menaati Rasul saw tiada lain adalah dengan menaati risalah beliau saw,
menaati syariah islamiyah yang beliau bawa secara keseluruhan tanpa
membeda-bedakannya.
Meneladani Rasul saw: Tinggalkan Demokrasi
Allah SWT berfirman:
]فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ
حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا[
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS an-Nisa’ [4]: 65)
Makna “Falâ tidak seperti yang mereka klaim bahwa mereka
beriman kepadamu tetapi berhukum kepada thaghut dan berpaling darimu
ketika diseru kepadamu. “Demi Rabbmu” ya Muhammad “mereka tidak beriman”
yakni tidak membenarkan Aku, engkau dan apa yang Aku turunkan kepadamu
“sampai mereka menjadikan kamu hakim dalam semua perkara yang mereka
perselisihkan” (Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabarî).
Jadi ayat ini menegaskan bahwa seseorang tidak beriman sampai
menjadikan Rasul saw sebagai hakim dalam semua perkara. Itu artinya
pengakuan keimanan seseorang harus dibuktikan kebenarannya dengan
menjadikan Rasul saw sebagai hakim dalam semua perkara yang terjadi.
Menjadikan Rasul saw sebagai hakim dalam semua perkara pada saat ini
tidak lain adalah dengan menjadikan hukum-hukum yang beliau bawa, yaitu
syariah islamiyah, sebagai hukum untuk memutuskan dan mengatur semua
perkara yang terjadi di tengah masyarakat.
Dengan demikian ayat ini memerintahkan kita untuk menjadikan
kedaulatan di tangan syara’ saja. Itu artinya kedaulatan tidak boleh
dijadikan sebagai milik selain syara’. Kedaulatan tidak boleh diberikan
kepada manusia, rakyat atau pun wakil rakyat. Menjadikan kedaulatan di
tangan rakyat adalah substansi demokrasi. Tidak ada demorkasi tanpa
kedaulatan di tangan rakyat. Dan ini jelas-jelas bertentangan dengan
perintah ayat di atas. Karena itu, jika kita mengaku beriman, maka kita
harus membuktikan kebenaran pengakuan keimanan kita itu dengan jalan
meninggalkan dan mencampakkan demokrasi. Selama demokrasi dengan
kedaulatan rakyatnya masih terus diambil, maka sesuai ayat di atas,
selama itu pula keimanan seseorang itu terus diragukan. Tentu saja kita
tidak ingin syahadat kita dan keimanan kita diragukan oleh Allah SWT dan
Rasul saw kelak di akhirat.
Selain itu, realita berbagai problem dan masalah yang terus mendera
kita, tidak lain sebab pangkalnya adalah sistem demokrasi itu sendiri.
Para penguasa dan politisi yang korup, tidak amanah, bersekongkol dengan
para cukong pemilik modal dengan mengabaikan kepentingan dan
kemaslahatan rakyat, sebab utamanya adalah sistem politik demokrasi
dengan biaya tingginya. Kebingungan dan lemahnya pemberantasan korupsi,
hukuman koruptor yang begitu ringan tidak memberi efek jera seperti
vonis untuk Angie dan koruptor lainnya, juga disebabkan karena hukum
yang dibuat manusia melalui kedaulatan rakyat.
Wahai Kaum Muslimin
Tentu kita semua memiliki kecintaan yang tinggi kepada Rasul saw.
Tentu kita semua ingin mengikuti dan meneladani Rasul saw sebagai bukti
kecintaan kita itu. Selama ini pun kita telah berusaha keras untuk
meneladani Rasul saw dalam aspek ibadah, akhlak, aspek pribadi juga
dalam masalah keluarga dan sebagai muamalah yang kita lakukan. Maka
saatnya segera kita sempurnakan peneladanan kita itu dengan meneladani
Rasul saw khususnya dalam aspek politik dalam dan luar negeri,
pemerintahan, pidana dan sanksi, sosial, perekonomian, pendidikan dan
berbagai urusan publik lainnya. Hal itu adalah dengan jalan segera
menerapkan syariah islamiyah untuk mengatur semua urusan di masyarakat.
Tentu saja hal itu hanya bisa kita realisasikan dalam bingkai sistem
Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Itulah bukti hakiki
kecintaan, penghormatan dan pengagungan kita kepada Rasul saw, sekaligus
merupakan bukti kebenaran keimanan kita.
] فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ[
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (TQS an-Nur [24]:63)
Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]
Komentar:
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi
mengatakan, pengusaha jujur sangat sulit untuk berkembang. Berbeda
halnya dengan pengusaha yang tidak jujur. (Kompas.com, 15/1/13)
- Sekali lagi bukti bahwa sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik demokrasi memang sistem yang buruk pantas saja jika yang bisa berkembang adalah pengusaha yang tidak jujur.
- Hanya dalam sistem yang menjunjung tinggi kejujuran dan ketakwaan saja, yaitu sistem Islam, penguasa jujur dan baik menemukan habitat yang tepat, dan masyarakat pun akan merasakan rahmat.
Posting Komentar untuk "Meneladani Rasul saw Tidak Setengah-Setengah"