Antara Miss Universe dan Sapi Perah
- Menjelang
bulan suci Ramadhan 1430 Hijriah, media massa Indonesia banyak
menyiarkan berita tentang prestasi yang diraih oleh Zivanna Letisha
Siregar, anak Indonesia yang ikut dalam Kontes Ratu Kecantikan Sejagad
(Miss Universe) 2009.
Hasil
jajak pendapat di missuniverse.com pada Kamis (20/8/2009) menunjukkan,
Zizi – panggilan Zivanna – menduduki peringkat ketiga, satu prestasi
yang belum pernah diraih oleh putri Indonesia sebelumnya. Prestasi itu
diraih karena banyaknya orang Indonesia yang mendukungnya lewat polling.
Media massa pun gegap gempita mendukungnya. Banyak yang secara terbuka
bangga dan berharap, Zizi akan menang dalam kontes Miss Universe
tersebut.
Menariknya, hampir tidak tampak lagi
suara yang mempersoalkan keikutsertaan wakil Indonesia tersebut di
pentas pemilihan Ratu Sejagad. Nyaris tak terdengar suara MUI,
Departemen Agama, NU, Muhammadiyah, dan sebagainya. Seolah-olah
kehadiran Zizi di pentas kecantikan internasional itu memang sudah
direstui oleh bangsa Indonesia. Padahal, dalam kontes tersebut, Zizi
menampilkan pakaian bikini yang pada tahun-tahun sebelumnya selalu
mengundang kontroversi.
Begitu kuatnya arus global informasi
tersebut, sehingga mampu menyekat suara-suara yang berbeda. Semua
seperti digiring untuk bungkam. Seolah-olah banyak yang sudah tahu akan
resiko yang dihadapi jika berani mempersoalkan hal-hal seperti ini, maka
akan dengan mudah dikecam sebagai manusia yang sok moralis, menghambat
kebebasan berekspresi, kaum radikal, dan sebagainya.
Mungkin, sadar akan kekuatan besar
seperti itulah, maka banyak yang memilih diam, atau enggan berkomentar.
Semua seperti sadar bahwa sekarang adalah zaman kebebasan. Ini zaman
liberal. Semua serba boleh. Maksiat atau tidak maksiat tidak peduli
lagi. Yang penting seru! Yang penting enak ditonton! Yang penting
menghibur! Yang penting menghasilkan uang! Persetan dengan semua nilai
moral atau agama!
Padahal, diukur dari sudut pandang
Islam, jelas keikutsertaan dalam kontes kecantikan seperti kontes Miss
Universe adalah perbuatan haram. Itu jelas dosa! Itulah kemungkaran yang
sangat nyata; mengumbar aurat di muka umum. Mungkin Zizi dan para
pendukungnya berpikir bahwa tubuh yang dimilikinya adalah miliknya
sendiri, dan dia merasa seratus persen berhak menggunakannya untuk
tujuan apa saja sesuai kehendaknya. Tidak ada urusan dengan aturan Allah
SWT. Mungkin, mereka juga berpikir, bahwa toh, tindakan itu tidak
merugikan orang lain! Tidak mengganggu lain. Apa salahnya!
Salah satu media internet yang
mengkritik keras keikutsertaan putri Indonesia dalam ajang Miss Universe
2009 itu adalah www.voa-islam.com. Situs ini secara tegas mengkritik
kontes tersebut: ”Beginikah kiblat kemajuan sebuah peradaban di mana
wanitanya harus berani meludahi ajaran para Nabi, terutama Nabi Muhammad
Saw? Beginikah simbol sebuah kemajuan peradaban, di mana wanitanya akan
dihormati manakala berani membuka dada dan paha? Ataukah beginikah
standar kecantikan wanita manakala layak tubuhnya dijadikan simbol
penglaris dagangan saja?”
Dalam suasana gegap gempitanya paham
kebebasan dan – meminjam istilah Taufik Ismail -- ”Gerakan Syahwat
Merdeka” di Indonesia, memang suara-suara yang menyerukan agar manusia
Indonesia menjadi manusia-manusia yang lebih adil dan beradab menjadi
tenggelam. Padahal, ada al-Quran sudah mengajak perempuan untuk menutup
auratnya: "Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah
mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kerudungnya ke dadanya" (QS An-Nur:31).
Nabi Muhammad saw juga pernah bersabda:
"Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya:
Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi
untuk memukuli orang lain, dan wanita-wanita yang berpakaian namun
telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk
onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya.
Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan
sekian." (HR. Muslim)
Betapa pun, Zizi adalah Muslimah.
Bahkan, konon, ia adalah lulusan sebuah SMU Islam di Jakarta. Yang harus
dilakukan jika seorang Muslim/Muslimah ketika melakukan tindakan dosa
adalah bertobat. Bukan malah bangga dengan tindakannya dan mengajak
orang lain untuk mengikuti tindakan dosanya. Apakah Zizi, kedua orang
tua, dan pendukungnya yang Muslim tidak tahu bahwa tindakan mengumbar
aurat seperti itu adalah tindakan dosa? Sebagai sesama Muslim, kita
WAJIB mengimbau dan menasehatinya. Kita tidak bertanggung jawab atas
tindakannya. Masing-masing kita akan bertanggung jawab atas tindakan
kita sendiri di hadapan Allah.
Sapi perah
Jika Zizi dan para pendukungnya enggan
mendengar pendapat yang masih berbau agama, ada baiknya juga disimak
pendapat Dr. Daoed Joesoef, seorang cendekiawan yang dalam sejarah
Indonesia dikenal sebagai tokoh sekular. Daoed Joesoef pernah menjabat
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) selama satu periode
(1977-1982). Semasa hidupnya, Daoed Joesoef dikenal dengan pemikirannya
yang sekular.
Pemikirannya yang sekular telah banyak
mengundang kritik dari para tokoh Islam. Tetapi, ada satu sisi
pemikirannya sejalan dengan tokoh-tokoh Islam di Indonesia, yaitu
kritik-kritiknya yang keras dan tajam terhadap keberadaan kontes
ratu-ratuan. Daoed Joesoef adalah doktor lulusan Sorbonne Perancis
(1972) dan Ketua Dewan Direktur CSIS (1972-1998). Ia juga pernah menjadi
anggota pengurus organisasi ”Angkatan Seni Rupa Indonesia” di Medan
(1946), dan Ketua cabang Yogyakarta untuk organisasi ”Seniman Indonesia
Muda” (1946-1947).
Betapa sekularnya pemikiran Daoed
Joesoef bisa disimak dari sikapnya yang tidak mau mengucapkan salam
Islam saat menjabat Menteri P&K. Dalam memoarnya yang terbit tahun
2006 berjudul ”Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran”, Daoed Joesoef
memberikan alasan: ”Aku katakan, bahwa aku berpidato sebagai Menteri
dari Negara Republik Indonesia yang adalah Negara Kebangsaan yang serba
majemuk, multikultural, multiagama dan kepercayaan, multi suku dan
asal-usul, dan lain-lain, bukan negara agama dan pasti bukan negara
Islam.”
Tentu saja, jika diukur pada tataran
sekarang, pandangan dan sikap Daoed Joesoef semacam itu tampak ganjil.
Tetapi, tidak semua pendapat Daoed Joesoef perlu ditolak. Ada
pendapatnya yang sangat menarik untuk disimak dan direnungkan. Sebagai
cendekiawan, pandangannya terhadap berbagai jenis kontes ratu
kecantikan, bisa dikatakan sangat tajam dan mendasar.
Saat menjadi Menteri P&K pula, Daoed
Joesoef menyatakan secara terbuka penolakannya terhadap segala jenis
pemilihan miss dan ratu kecantikan. Ketika itu memang sedang
marak-maraknya promosi aneka ragam miss, ada Miss Kacamata Rayban, Miss
Jengki, Miss Fiat, Miss Pantai, di samping pemilihan ratu ayu daerah,
ratu ayu Indonesia, yang langsung dikaitkan dengan berbagai jenis
keratuan internasional. Dan semuanya, tulis Daoed Joesoef, ”menyatakan
demi manfaat dan kegunaan (pariwisata) serta keharuman nama dan martabat
Indonesia.”
Apa kata Daoed Joesoef tentang semua
jenis ratu-ratuan tersebut? ”Pemilihan ratu-ratuan seperti yang
dilakukan sampai sekarang adalah suatu penipuan, di samping pelecehan
terhadap hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan
kegiatan ini adalah tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis
tertentu; perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon
kecantikan, dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus merupakan
kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan
kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah. Sebagai ekonom aku tidak a
priori anti kegiatan bisnis. Adalah normal mencari keuntungan dalam
berbisnis, namun bisnis tidak boleh mengenyampingkan begitu saja etika.
Janganlah menutup-nutupi target keuntungan bisnis itu dengan dalih
muluk-muluk, sampai-sampai mengatasnamakan bangsa dan negara,” tulis
Daoed Joesoef.
Menurut mantan dosen FE-UI ini, wanita
yang terjebak ke dalam kontes ratu-ratuan, tidak menyadari dirinya telah
terlena, terbius, tidak menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Itu
ibarat perokok atau pemadat yang melupakan begitu saja nikotin atau
candu yang jelas merusak kesehatannya. Lebih jauh, Daoed Joesoef
menyampaikan kritik pedasnya: ”Pendek kata kalau di zaman dahulu para
penguasa (raja) saling mengirim hadiah berupa perempuan, zaman sekarang
pebisnis yang berkedok lembaga kecantikan, dengan dukungan pemerintah
dan restu publik, mengirim perempuan pilihan untuk turut ”meramaikan”
pesta kecantikan perempuan di forum internasional.”
Dari 900 halaman lebih memoarnya
tersebut, Daoed Joesoef memberikan porsi cukup panjang (hal. 649-657)
untuk menguraikan buruknya praktik-praktik ratu-ratuan bagi perempuan
itu sendiri. Perempuan tentu boleh tampil cantik. Tapi, Daoed Joesoef
mengingatkan tiga hal. Pertama, jangan ia diumbar, dibiarkan untuk
dieksploitasi seenaknya oleh orang/pihak lain hingga membahayakan
dirinya sendiri. Kedua, jangan memupuknya secara berlebihan, karena
bagaimana pun kecantikan itu hanya setebal kulit. Ketiga, kecantikan
yang dipupuk dan lalu dijadikan standar personalitas perempuan
berpotensi menjadi liang kubur perempuan yang bersangkutan. Bila
kecantikan itu redup, karena hanya setebal kulit, berarti perempuan itu
tidak dapat lagi memenuhi standar yang telah dipatoknya sendiri. Orang
lain, termasuk suaminya, akan membelakanginya, lalu berpaling ke
perempuan cantik lain.
Semasa belajar di Paris, Daoed Joesoef
mengaku pernah membaca sebuah kasus seorang guru matematika dipecat oleh
Menteri Pendidikan Nasional Perancis, gara-gara guru tersebut mengikuti
kontes ratu kecantikan daerah yang merupakan awal dari pemilihan ratu
kecantikan nasional. Ketika itu tidak ada media yang membelanya, karena
publik menganggap kegiatan seperti itu tidak pantas dilakukan seorang
guru. Karena itu, menurutnya, jika ada pendidik yang membela kegiatan
pemilihan ratu ayu, pantas sekali dipertanyakan bagaimana keadaan
nuraninya.
”Apa kata inteleknya tidak perlu
dipersoalkan, karena sekarang ini keintelektualan bisa disewa per hari,
per minggu, per bulan, per tahun, bahkan permanen, dengan honor yang
lumayan. Artinya, even seorang intelek bisa saja melacurkan kemurnian
inteleknya karena nurani sudah diredam oleh uang,” tulis Daoed Joesoef.
Daoed Joesoef menolak argumentasi bahwa
kontes kecantikan juga menonjolkan sisi-sisi intelektual perempuan dan
banyak pesertanya yang mahasiswi. Juga ia menolak alasan bahwa
penggunaan pakaian renang dalam kontes semacam itu adalah hal yang
biasa. ”Namun tampil berbaju renang melenggang di catwalk, ini soal yang
berbeda. Gadis itu bukan untuk mandi, tapi disiapkan, didandani, dengan
sengaja, supaya enak ditonton, bisa dinikmati penonjolan bagian tubuh
keperempuanannya, yang biasanya tidak diobral untuk setiap orang,” tulis
Daoed Joesoef lebih jauh.
Bahkan, Daoed Joesoef menyamakan peserta
kontes kecantikan itu sama dengan sapi perah: ”setelah dibersihkan lalu
diukur badan termasuk buah dada (badan)nya dan kemudian diperas susunya
untuk dijual, tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan,
dijadikan sapi perah. Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?”
Terhadap orang yang menyatakan bahwa
yang dinilai dalam kontes kecantikan bukan hanya kecantikannya, tetapi
juga otaknya, sikapnya, dan keberaniannya, Daoed Joesoef menyatakan,
bahwa semua itu hanya embel-embel guna menutupi kriterium kecantikan
yang tetap diunggulkan. ”Percayalah, tidak akan ada gadis sumbing yang
akan terpilih menjadi ratu betapa pun tinggi IQ-nya, terpuji sikapnya
atau keberaniannya yang mengagumkan,” tulisnya.
Terhadap alasan kegunaan kontes ratu
kecantikan untuk promosi wisata dan penarikan devisa, Daoed Joesoef
menyebutnya sebagai wishful thinking belaka, untuk menarik simpati
masyarakat dan dukungan pemerintah. Kalau keamanan terjamin, jaringan
transpor bisa diandalkan, sistem komunikasi lancar, bisa on time,
pelayanan hotel prima, maka keindahan alam Indonesia saja cukup bisa
menarik wisatawan.
Lalu, apa jalan keluarnya? ”Stop all
those nonsense! Hentikan semua kegiatan pemilihan ratu kecantikan yang
jelas mengeksploitasi perempuan dan pasti merendahkan martabatnya!” seru
Daoed Joesoef. “Namun,” lanjutnya, “kalau perempuan sendiri bergairah
melakukan perbuatan yang tercela itu karena kepentingan materi sesaat
tanpa mempedulikan masa depan anak-anak, ya mau bilang apa lagi!”.
Meskipun kita tidak sependapat dengan
banyak pemikiran sekular Daoed Joesoef, tetapi pandangannya tentang
ratu-ratuan ini patut kita acungi jempol. Kini, di tengah-tengah semakin
menguatnya hegemoni liberalisme nilai-nilai moral dan menghunjamnya
paham materialisme, pendapat jernih Daoed Joesoef dalam soal peran dan
kedudukan perempuan perlu diperhatikan, khususnya bagi pejabat dan
pemuka masyarakat. Secara terbuka Daoed Joesoef mengimbau:
“Kalaupun gadis-gadis kita yang cantik
jelita lagi terpelajar, cerdas dan terampil serta berbudi pekerti
terpuji dan berani, masih berhasrat menyalurkan energinya yang
menggebu-gebu ke kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, siapkanlah diri mereka agar
menjadi IBU yang ideal, memenuhi perempuan yang sebenarnya dalam
keluarga, perannya yang paling alami. Jadi bukan peran sembarangan,
karena mendidik makhluk ciptaan Tuhan yang dipercayakan oleh Tuhan
kepadanya. Jangan anggap bahwa mengasuh, membesarkan dan mendidik anak
secara benar bukan suatu pekerjaan yang terhormat. Pekerjaan ini memang
tidak menghasilkan uang, pasti tidak membuahkan popularitas, tentu tidak
akan ditampilkan oleh media massa dengan penuh kemegahan, tetapi ia
pasti mengandung suatu misi yang suci…”
Demikianlah, sebuah contoh pemikiran
yang jernih tentang kedudukan dan martabat perempuan. Mudah-mudahan
masih ada petinggi negara dan elite masyarakat yang mendukung pemikiran
semacam ini, dan kemudian berani melakukan tindakan untuk menegakkan
kebenaran, meskipun resikonya, dia bisa jadi tidak akan populer. [Ahmed
Widad/miumi/www.bringislam.web.id]
Posting Komentar untuk "Antara Miss Universe dan Sapi Perah"