Syari'ah Merendahkan Wanita? benarkah?
Syariah Islam telah menetapkan hak dan kewajiban wanita dan pria secara berbeda. Kepemimpinan yang mengandung kekuasaan dan kepemimpinan keluarga, misalnya,diserahkan kepada pria; tidak kepada wanita. Kewajiban mencari nafkah dibebankan kepada pria, tidak kepada wanita. Jihad yang diwajibkan kepada pria. Batas aurat dan waris juga berbeda antara pria dan wanita. Inilah yang ssering menyebabkan syariah Islam dituduh mendiskriminasikan wanita.
Dalam pandangan kelompok liberal, diskriminasi terhadap wanita bisa
dihilangkan dengan menetapkan hak dan kewajiban yang sama antara pria
dan wanita.
Agar ide ini bisa diterima kaum Muslim, mereka melakukan pendekatan
dengan dalil al-Quran dan al-Hadis, seraya mensosialisasikannya dengan
tuduhan bahwa syariah Islam mensubordinatkan wanita, menghina dan
memarginalkan wanita. Menurut mereka hal ini karena para ulama salah dalam menafsirkan al-Quran dan memaknai al-Hadis. Karenanya, harus ada reinterpretasi terhadap nash-nash tersebut.
Padahal penetapan hak dan kewajiban wanita dan pria dalam Islam,
yang semata-mata untuk kemaslahatan keduanya, adalah karena syariah
Islam merupakan pemecahan bagi permasalahan manusia.1
Dilihat dari sisi insaniah, syariah Islam menetapkan hak dan
kewajiban wanita dan pria sama; misalnya shalat, shaum, haji dan zakat. Adapun dilihat dari sisi kodrati, hak dan kewajiban keduanya berbeda.
Misalnya dalam hal kepemimpinan yang mengandung kekuasaan pemerintahan,
kepemimpinan keluarga, kewajiban nafkah, jihad, batas aurat dan hukum
waris. Adanya perbedaan ini tidak menyebabkan perempuan lebih rendah daripada Pria. Kedudukan keduanya tetap sederajat, tidak ada yang lebih mulia, kecuali karena ketakwaanya (Lihat: QS al-Hujurat [49]: 13).
Tuduhan Miring
a. Tidak Memperbolehkan Wanita Menjadi Pemimpin Negara.
Kelompok liberal menuduh syariah Islam memarginalkan wanita karena tidak memperbolehkannya menjabat sebagai pemimpin negara.
Menurut mereka wanita boleh menjabat sebagai kepala negara atau jabatan
yang mengandung kekuasaan yang lain dalam pemerintahan, berdasarkan
kisah Ratu Balqis, penguasa negeri Saba’ (QS an-Naml []: 23-44). Sang Ratu berhasil menjadi penguasa dan memiliki sifat-sifatnya baik—adil, bijaksana, penuh dedikasi, bertanggung jawab dll. Karena al-Quran memujinya, berarti tidak ada larangan perempuan sebagai pemimpin.2
Padahal Allah menetapkan tanggung jawab kepemimpinan ada pada pria
hanyalah taklif hukum yang dilebihkan/lebih banyak kepada pria daripada
wanita,3 seperti menjadi khalifah, mu’awin, imam shalat, dll (bimâ
fadhdhala Allâhu ba’dhuhum ’ala ba’dhi’; QS an-Nisa’ [4]: 34).Ketentuan
ini tidak berarti menjadikan derajat pria lebih mulia dari wanita,
pahala pria lebih banyak daripada wanita atau peluang pria lebih besar
masuk surga daripada wanita.
Kisah Ratu Balqis memimpin negeri Saba’ tidak bisa dipakai sebagai dalil. Sebab,
kaidah Asy-Syar’u man qablanâ syar’un lanâ (Syariah umat terdahulu
adalah syariah bagi kita) tidak bisa dipakai sebagai dalil dalam
penetapan hukum syariah. Sebab, syariah mereka, sebagaimana syariah nabi yang lain, sudah tidak berlaku bagi umat Muhammad saw. Misal: lemak sapi dan kambing haram bagi umat Nabi Musa as., tetapi tidak bagi umat Muhammad saw.4 (QS al-An’am [6]: 145-146).
Dengan demikian, kaidah yang tepat adalah Asy-Syar’u man qablanâ
laysa syar’an lanâ(Syariah umat terdahulu [umat sebelum Nabi Muhammad
saw.] bukan termasuk syariah bagi kita).5 Pasalnya, syariah sebelum kita itu telah terhapus. Inilah makna muhaymin[an] ’alayhsebagaimana terdapat dalam firman Allah (QS al-Maidah [5]: 4).
Posisi kepemimpinan yang tidak boleh dijabat wanita adalah hukkâm, jumlahnya sangat sedikit.
Sebenarnya masih banyak posisi yang bisa diduduki wanita dalam urusan
yang terkait pemerintahan, baik sebagai pegawai maupun kepala pada
lembaga-lembaga negara yang tidak termasuk hukkâm.6 Sebab, posisi hukkâm memang tidak boleh dipegang wanita sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang dituturlan Abu Bakrah ra.:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada seorang wanita (HR al-Bukhari).7
Adanya dzamm (celaan) berupa lan yufliha (tidak beruntung)
merupakan qarînah (indikator)bahwa thalab at-tarki jâzim[an] (tuntutan
untuk meninggalkan dalam hadis tersebut bersifat pasti).
Karena itu, haram bagi wanita menjabat sebagai hukkâm: Khalifah (Kepala
Negara Khilafah), Muawin (Pembantu Khalifah), Wali (gubernur), Qadhi
Qudhat (Pemimpim para qodhi) dan Qadhi Mazhalim (Qadhi yang mempunyai
kewajiban menghilangkan kezaliman termasuk memecat Khalifah jika
melakukan kezaliman terhadap rakyat atau menyalahi al-Quran dan
al-Hadis).
Adapun jabatan-jabatan yang tidak
termasuk wilâyatul-amri/wilâyatul-hukm maka boleh bagi wanita untuk
menjabatnya, antara lain menjadi anggota Majelis Wilayah, anggota Majlis
Ummah, qadhi khushumat (hakim yang menyelesaikan perselisihan
antarrakyat), qâdhi hisbah(hakim yang langsung menyelesaikan pengurangan
atas hak-hak rakyat).8 Boleh
juga bagi wanita menjadi kepala Departemen Kesehatan, Departemen
Pendidikan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Rektor
Perguruan Tinggi Negeri dll.
Sebenarnya, hukum kepemimpinan bagi pria merupakan bentuk penghormatan Islam kepada wanita. Wanita
tidak diberi beban tanggung jawab yang berat agar peran utama wanita
sebagai ibu dan pengatur rumah tangga—yang notabene adalah peran yang
agung dan mulia karena akan melahirkan generasi yang berkualitas—tetap
terpelihara. Manakala
wanita dibebani peran kekuasaan yang berat dan luas maka peran utama
akan terganggu dan nasib generasi akan dipertaruhkan.
b. Hak Waris Wanita Setengah dari Pria.
Kelompok liberal menuduh syariah Islam merendahkan wanita karenamemberi waris kepadanya setengah dari pria.
Mereka mengatakan, “Sebenarnya perbedaan pemba-gian harta warisan satu
berbanding dua (1:2), sebagaimana disyariatkan oleh Islam, seperti
ditegaskan di dalam QS an-Nisa’ [4]: 176, tidak didasarkan pada status
seseorang, melainkan atas tugas dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini pria mendapat beban jauh lebih berat daripada yang dipikulkan di atas pundak wanita.
Hukum waris dinilai tidak responsif jender.
Supaya responsif jender, mereka menawarkan suatu metode penafsiran
al-Quran secara kontekstual, bukan tekstual, kemudian memahaminya dengan
mempergunakan teori hermeneutika. Ijtihad dan penafsiran model hermeunetik ini akan menghasilan keadilan, yaitu perbandingan 1:1.
Secara tekstual al-Quran memang menyatakan bahwa bagian perempuan
adalah separuh bagian laki-laki, karena waktu itu, yaitu sebelum
turunnya ayat-ayat tentang waris, perempuan Arab tidak pernah
diperhitungkan sebagai pewaris.9
Sebenarnya penetapan hukum tentang waris tidak bisa diubah
karena: Pertama, ayat tentang waris merupakan ayat yang
bersifat qath’i (pasti), baik dari sisi sumbernya (yaitu al-Quran)
maupun dari sisi dalâlah (redaksi)-nya; tidak mungkin ada penafsiran
yang berbeda pada ayat:lidzdzakari mitslu hadhdhi untsayayn(bagian
seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan). Nash
yang qath’i (tegas) bukan wilayah ijtihad sehingga hukum yangdipaparkan
Allah dalam nash tersebut telah jelas; tidak sah ijtihad yang dilakukan
padanya.
Kedua: frasa farîdhat[an] min Allâh (QS an-Nisa’ [4]: 11)
merupakan ath-thalabu al-fi’li jâziman(tuntutan untuk mengerjakan secara
tegas). Hal ini menunjukkan pembagian waris memang ditetapkan dengan ketentuan seperti itu.
Karenanya, seluruh ulama mazhab (Imam Syafii, Imam Hanbali, Hanafi dan
Maliki) berpendapat sama: pada prinsipnya wanita mendapatkan harta
warisan seperdua bagian pria (QS an-Nisa’ [4]: 11).
Bagian wanita ini merupakan bagian yang sebenarnya lebih banyak dari
bagian pria, karena sekalipun seperdua, tetapi penuh milik wanita,
sementara wanita selamanya tidak pernah wajib nafkah.
Bahkan bagi wanita yang bekerja, maka gaji sebanyak apapun milik dia
sendiri dan seandainya dia memberikan sebagiannya untuk keluarga itu
merupakan sedekah yang sunnah hukumnya. Di sinilah letak keadilan yang sesungguhnya bagi wanita.
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Dra. Rahma Qomariyah, MPd.I; Penulis adalah Ketua Lajnah Tsaqafiyah Muslimah HTI Pusat.
Catatan kaki:
1 Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Islâmiyah Juz III, Beirut, Libanon, Darul Ummah, 2005, hlm. 365.
2 Wiwi Siti Sajaroh, “Gender dalam Islam” dalam buku Pengantar Kajian
Gender, Tim Penulis PSW UIN, Jakarta, PSW UIN Syarif Hidayatullah,
2003, hlm. 221-222
3 Abdurrahman Al Bagdadi, Emansipasi Adakah dalam Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 1997.
4 Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih – Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’i, Bogor, Al Azhar Press, 2003, hlm. 119-120.
5 A’tha’ bin Khalil, Kajian Ushul Fikih Mudah dan Praktis-(edisi Indonesia), Bogor, Pustaka Thariqu Izzah, 2003, hlm.148-149.
6 Taqiyuddin an-Nabhani, Ajhizah ad-Dawlah al-Islamiyah, Beirut, Libanon, Darul Ummah, 2005, hlm. 23.
7 Hadis sahih riwayat al-Bukhari, hadis no. 6570
8 Taqiyuddin an-Nabhani, Ajhizah ad-Dawlah al-Islamiyah, Beirut, Libanon, Darul Ummah, 2005, hlm. 134, 119 dan 153.
9 Wiwi Siti Sajaroh, Op. Cit., hlm. 218-222.
Posting Komentar untuk "Syari'ah Merendahkan Wanita? benarkah?"