Kisah Mengharukan di Nursery...


Oleh : Nurisma FiraTautan


Sudah 2 minggu ini Damarsajjad Fahdiy (3,5 tahun) sekolah. Di nursery, atau pre-school. Kalau di Indonesia, semacam tempat pendidikan anak usia dini (PAUD).

Dia sendiri terlambat mengawali sekolahnya karena 4 bulan terakhir berada di Indonesia. Teman-teman seumurnya yang berusia 3 tahun sudah mulai masuk sejak September tahun lalu. Tak masalah. Karena pendidikan anak usia dini sifatnya tidak wajib.

Saya dan suami sengaja memilih nursery yang berada di dekat universitas tempat suami mengajar. Dulu, kalau tidak hamil anak ketiga, rencananya memilih nursery berada di dekat rumah saja. Supaya bisa mengantarjemput Si Sulung. Tapi saya pikir, bulan-bulan ke depan akan kesulitan menjemputnya. Karena ada Dinara (1,5 tahun) dan adiknya yang insya Allah lahir bulan depan. Maka pilihan kedua sebenarnya adalah memilih nursery yang berada di lingkungan dan dikelola oleh universitas.

Karena sudah tidak kebagian tempat di kampus dan harus masuk waiting list, kami sekolahkan Damar di Papermoon Nursery. PAUD ini, meski di luar kampus, masih mudah dijangkau dengan cepat dari tempat suami bekerja. Hari-hari berikutnya, berangkat dan pulangnya Si Sulung, saya amanahkan kepada suami.

"Di nursery, ada yang mengharukan," cerita suami, saat malam hari kami berkumpul bersama.

"Kenapa?"

"Kalau mengantar Fahdiy masuk jam 8 pagi, aku sering bareng ibu-ibu yang membawa bayi-bayinya untuk dititipkan di nursery," kata suami. "Bayi-bayi itu sebagian masih tidur. Ketika diserahkan ke carer (petugas/guru-guru di nursery)-nya pun tidak bangun. Kalau bangun pun, tidak menangis. Kelihatannya para bayi itu sudah biasa dititipkan."

"Terus apanya yang mengharukan?" tanya saya nggak mengerti.

"Ya kasihan, Bunda," sambung suami. "Kalau berlangsung tiap hari, artinya ketika anak-anak itu membuka mata, orang pertama yang dilihat justru bukan orangtuanya. Aku sempat mengobrol dengan staf di nursery, biasanya bayi-bayi itu dijemput saat nursery sudah mau tutup, jam 6 malam."

Saya jadi teringat kepada dua ibu muda berkebangsaan Malaysia. Sebut saja namanya Kak Noor dan Kak Fai. Keduanya sedang menempuh pendidikan doktoral di universitas yang sama di tempat suami bekerja.

Keduanya juga sama-sama baru memiliki satu anak. Suri, putri Kak Noor, umurnya hampir sama dengan Fahdiy. Sementara Iskandar, putra Kak Fai, lebih tua setahun dari Suri dan Fahdiy.

Satu ketika, saat sedang berkumpul bersama dalam rangka silaturahmi Idul Fitri, Kak Noor dan Kak Fai bercerita bahwa mereka menitipkan Suri dan Iskandar ke nursery di yang dikelola universitas.

"Biasanya diantar jam berapa, Kak?" tanya saya kepada keduanya.

"Jam tujuh pagi sudah saya antar ke nursery," jawab mereka.

"Lantas dijemput jam berapa?"

"Biasanya saya jemput jam 6 karena saya keluar dari lab pukul 5..."

"Sejak usia berapa Suri dan Iskandar masuk nursery?"

"Sejak umur 6 bulan ketika saya sudah tak menyusui..."

Private nursery seperti tempat sekolah Suri, Iskandar, dan Fahdiy, memang sekaligus berfungsi sebagai tempat penitipan anak. Umumnya dibuka jam 7 pagi dan tutup jam 7 malam. Lima hari seminggu, Senin s/d Jumat. Dan buka 51 minggu setahun, alias hanya tutup seminggu pada saat liburan Natal-Tahun Baru.

Private nursery menerima bayi berusia 6 minggu hingga 5 tahun, saat anak mulai masuk primary school alias sekolah dasar. Tahun pertama atau kelas 1 di Inggris dimulai ketika anak berumur 5 tahun.

Saat itu saya iseng menghitung, kalau Suri dan Iskandar, dititipkan jam 7 pagi dan dijemput jam 6 sore, berapa banyak waktu yang mereka habiskan di nursery? Ya, 11 jam/hari. Artinya 55 jam/minggu. Dan 750 jam/tahun.

Kalau lancar, pendidikan doktoral di Inggris memerlukan 3 tahun. Jadi kira-kira Suri dan Iskandar harus berada di nursery 11 jam/hari selama 3 tahun.

Saya tahu bahwa nursery-nursery yang bagus, termasuk yang dikelola universitas, mempekerjakan tenaga pengasuh dan pendidik yang berkualitas. Bersertifikasi. Profesional. Dan berpengalaman. Bisa jadi bahkan jauh lebih terampil dan berpengalaman dibandingkan para ibu kandung yang melahirkan anak-anak di nursery itu. Lebih-lebih kalau si buah hati adalah anak pertama.

Hanya saja, bagi saya pribadi, fenomena itu tetap memiriskan hati.

Rasanya ada ironi di sini. Ketika bayi dilahirkan, semua tenaga kesehatan di Inggris, memberikan persuasi dan dukungan penuh bagi ibu untuk menyusui bayinya. Mulai dari kebijakan rooming in (menempatkan ibu dan bayi di dalam satu ruangan), hingga konsultasi laktasi yang gratis di sentra-sentra kesehatan di seantero Inggris.

Di sisi lain, pemerintah Inggris seolah juga memberikan dukungan bagi para ibu untuk sesegera mungkin melepaskan ikatan (bonding) antara ibu dan bayi. Bahkan sejak bayi berumur 6 minggu.

Fahdiy sendiri hanya 15 jam/minggu bersekolah di nursery. Karena subsidi yang disediakan pemerintah Inggris untuk pendidikan usia dini memang hanya sejumlah itu. Artinya, semua anak usia 3-5 tahun di Inggris, berhak mendapatkan pendidikan dini sebanyak 15 jam/minggu, tanpa biaya sama sekali. Kalau mau menitipkan anak lebih dari 15 jam/minggu, orangtua/wali harus membayar sendiri biaya yang dikenakan oleh nursery.

Ada banyak alasan mengapa ibu menitipkan bayi dan balitanya di nursery lebih dari 15 jam/minggu. Biasanya yang terbanyak adalah karena faktor pekerjaan. Tak semua orangtua (terutama ibu) bisa cuti berlama-lama. Pun tak semua perusahaan atau kantor mau mengeluarkan biaya untuk menggaji para orang tua yang mengambil parental/maternity leave. Yakni cuti dari pekerjaan demi mengasuh batitanya. Pemerintah Inggris pun, lebih memilih memperbanyak nursery, daripada mensubsidi para orangtua dengan sistem paid parental leave supaya bisa tinggal lebih lama di rumah ketika memiliki bayi baru. Kebijakan teranyar Inggris ke depan bahkan menggratiskan biaya pendidikan dini bagi anak sejak usia 2 tahun bagi keluarga-keluarga yang secara ekonomi kurang mampu. Salah satu tujuannya adalah supaya orangtua dari keluarga ini, bisa secepatnya kembali bekerja.

Kebijakan ini seolah mengabaikan sejumlah penelitian terkait nursery dan perilaku anak bermasalah. Misalnya perilaku agresif anak dan ketidakmampuannya mengikuti perintah yang diberikan guru. Tiga faktor risiko yang bila dikombinasikan secara bersamaan memperbesar kemungkinan ini:

1. Starting nursery care very young (< 3 tahun)

2. Attending for long hours each week (20 hours/more)

3. Being in this form of care over many years of their childhood.

Ringkasnya, pendidikan dini usia atau menitipkan anak di tempat-tempat penitipan anak (TPA), kalau dilakukan too early, too much, and for too long, memiliki dampak negatif terhadap perkembangan anak. Inilah salah satu dampak penerapan sistem kapitalisme. Bahkan bayi, batita, balita, orangtua, ikut menjadi korbannya...

Ibunya Suri dan Iskandar, saya yakin, mudah-mudahan, semoga, sebenarnya juga tak ingin menitipkan putra-putrinya sepanjang hari di nursery. Mungkin itu pilihan terbaik yang bisa diambil Kak Noor dan Kak Fai. Barangkali itu juga adalah hal terbaik yang bisa dipilih ibu-ibu lain, termasuk ibu dari para babies yang dilihat suami di nursery-nya Fahdiy.

Satu saja yang sering menggelitik benak saya. Andai bayi dan batita bisa berbicara untuk mengungkapkan perasaannya, bagaimana yang terbaik menurut sudut pandang mereka? Relakah mereka menghabiskan 10-12 jam/hari berada di nursery? Yang kebanyakan memiliki daya tampung hingga 40 anak? Di mana ratio staf nursery dan bayi/batita adalah 1:3 bahkan bisa 1:8?

"It is like having quantiplets," cerita salah seorang staf nursery yang saya temui di children centre. "One wakes and needs to be fed. Another is crying, needing comfort but has to wait. They all have to wait their turn to comfort, affection, cuddles--- all the things that under 3s need..."

Sebuah penelitian mengungkapkan, perhatian penuh dari carer (one to one attention) yang diterima setiap anak di nursery di Inggris, hanya 8 menit/hari...

Saya sendiri mengakui, punya bayi itu capek. Kadang suami pun masih mengeluh, harus pulang tepat waktu. Tak bisa lagi pulang jam 12 malam seperti dulu ketika sebelum menikah. Setiba di rumah, jangankan melanjutkan riset. Sekedar membaca paper saja nyaris tak mungkin. Karena anak-anak yang kangen kepada ayahnya, berebut perhatian dan mengajaknya bermain. Kalau ada konferensi di negara lain, tak bisa begitu saja langsung register dan memesan tiket.

Saya bukan psikolog. Juga bukan ahli di bidang pendidikan maupun tumbuh kembang anak. Jadi tulisan ini sekedar mengingatkan diri sendiri, bahwa I have a right to parent, and my children have a right to receive full-time love.

Khususon ilaa Si Ayah, " No one has an absolute right to a career--- men or women. If you choose to have children, your major responsibility is to care for them properly. And if that affects your career, it affects your career..."

Nottingham, 17 Januari 2012

Posting Komentar untuk "Kisah Mengharukan di Nursery..."