Mengenal Kembali Perspektif Keilmuan Islam Abad Klasik dan Abad Pertengahan


Oleh: Ardi Muluk


Abad klasik dan abad pertengahan Islam adalah abad dimana bermunculan para ulama dan ilmuwan Islam yang terkenal seluruh dunia dan memberikan kontribusi penting bagi ilmu pengetahuan. Imuwan seperti Al Khawarizmi sebagai peletak dasar ilmu Aljabar yang menemukan angka 0 (nol) yang juga ahli astronomi dan geografi, Ibnu Sina sebagai peletak dasar kedokteran modern dengan ratusan karya lainnya, Al Farabi dalam bidang sains dan pemerintahan, Ibnu Rushd sebagai pakar pengobatan, matematika, sains dan teknologi, dan ratusan ilmuwan dan ulama-ulama besar yang lahir dari peradaban Islam. Banyaknya para ulama dan ilmuwan yang lahir pada abad pertengahan tersebut sangatlah berbeda dengan keadaan umat Islam pada saat sekarang.

Realita Pendidikan Akhir Zaman

Apabila dilihat fakta prestasi umat pada satu abad terakhir ini ketika umat hidup di dalam sistem sekulerisme demokrasi bisa dikatakan umat Islam hampir tidak mempunyai satupun prestasi yang membanggakan di dalam pencapaian ilmu pengetahuan. Dan hal ini tidaklah lepas dari sistem pendidikan yang diselenggarakan, yang mana merupakan bagian dari sistem politik dan pemerintahan. Walaupun negara telah menetapkan tujuan pendidikan nasional di Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang tertera di pembukaan UUD 45, dan diperbaharui dengan undang-undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa pendidikan nasional Indonesia bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, tetapi tidak satupun kondisi pendidikan dan keilmuan di negeri terbesar jumlah muslimnya di dunia ini yang memperlihatkan tercapainya tujuan tersebut, dan bisa dikatakan keadaan ini tidak berbeda dengan negeri-negeri Islam lainnya

Pada hakekatnya apapun tingginya tujuan pendidikan yang ditetapkan oleh negara tidak banyak berpengaruh di dalam menentukan kualitas keilmuan dan pendidikan yang ada di Indonesia. Kualitas keilmuan dan pendidikan di semua negara sesungguhnya lebih banyak dipengaruhi oleh sistem ekonomi dan sistem kehidupan yang dianut oleh negara, dalam hal ini di Indonesia yaitu demokrasi liberal aka kapitalisme. Sehingga walaupun tujuan pendidikan ditetapkan untuk menciptakan karakter dan watak yang bermartabat, pada kenyataannya pendidikan di negara ini dapat dikatakan hanyalah bertujuan mencetak orang-orang yang mendapatkan selembar kertas yang bernama ijazah bahwa mereka pernah berkuliah di salah satu perguruan tinggi yang ada. Karena pada prakteknya proses belajar mengajar yang ada memang lebih banyak mementingkan aspek untuk mendapatkan gelar daripada menguasai keahlian atau pengetahuan yang diberikan dari proses belajar. Hal ini terjadi memang dikarenakan tuntutan dari sistem kapitalisme yang menginginkan keluaran dari perguruan tinggi adalah orang-orang yang siap bekerja bagi mereka, dan standar bagi mereka mau menerima lulusan perguruan tinggi adalah ijazah yang mereka dapatkan.

Dalam sistem kapitalisme liberal komersialisasi pendidikan merupakan suatu komoditi ekonomi, sebagaimana yang tengah dilakukan sistem pendidikan di Indonesia yang dahulunya merupakan beban negara, tetapi dengan terjadinya liberalisasi hal tersebut beralih menjadi tanggung jawab masyarakat. Sistem pendidikan yang dihasilkan sistem ini bukanlah sistem yang berorientasi kepada keilmuan atau untuk meningkatkan kapasitas keilmuan masyarakat, tetapi hanyalah semata-mata sebagai salah satu bagian dari sebuah proses bisnis yang akan memberikan keuntungan secara finansial. Proses mendapatkan pengetahuan merupakan proses yang berbiaya mahal, sehingga tidak memungkinkan pendidikan berfilosofikan kepada ketinggian keilmuan tetapi semata-mata berfilosofikan kepada ekonomi, bahwa transfer pengetahuan atau pendidikan merupakan komoditi ekonomi yang mana institusi pendidikan adalah institusi untuk mencari untung. Para pelajar akan mendapatkan transfer pengetahuan sebesar uang yang dibayarkannya

Walaupun begitu pada prakteknya para pelajar juga hanya mendapatkan jasa pendidikan dengan segala keterbatasan, dimana mereka menghadiri perkuliahan sebatas jumlah waktu pertemuan yang diberikan, kemudian mengikuti ujian sebatas apa yang diujikan sebagai bukti kelulusan. Dan hal demikian menjadi suatu hal yang biasa dan menjadi suatu standar di dalam sistem pendidikan kapitalis, karena asumsi berhasilnya seseorang di dalam pendidikan adalah berdasarkan gelar yang didapatnya, bukan berdasarkan seberapa besar keahlian atau ilmu yang dikuasainya. Bukti buruknya sistem pendidikan di sistem kapitalis ini adalah hasil survey yang memperlihatkan bahwa hanya 14% tamatan perguruan tinggi yang merasa terbantu di dalam pekerjaan mereka melalui pendidikan tinggi yang mereka tempuh [1]. Survey juga memperlihatkan bahwa sebahagian besar tamatan perguruan tinggi di Indonesia bekerja bukan di bidang yang mereka tempuh di perguruan tinggi [2].

Itulah sekelumit realita proses pendidikan yang dialami oleh umat pada saat sekarang, yang menjadikan pendidikan sebagai sebuah komoditi bisnis, sehingga tidak terdapat perspektif keilmuan yang mulia di dalam proses belajar mengajar.

Perspektif Keilmuan Islam

Kalau kita lihat pembelajaran di dalam sistem Islam, maka tradisi pengetahuan keislaman sangatlah jauh berbeda dengan tradisi keilmuan sistem pendidikan sekuler sekarang ini. Islam mempunyai tradisi pendidikan yang menekankan peletakkan aqidah, karakter dan kepribadian yang mana akan berujung kepada tradisi mencari, menguasai dan mengimplementasikan keilmuan yang didapatkan. Islam meletakkan Ilmu di tempat yang tinggi derajatnya, mempunyai perspektif yang mulia, apakah sebagai suatu entiti yang harus dicari, ataukah didalam proses belajar, ataupun di dalam sikap terhadapnya (ilmu). Dengan mengetahui bagaimana perspektif keilmuan Islam abad awal dan pertengahan, maka akan dimengerti bagaimana tradisi keilmuan di dalam Islam, selanjutnya akan dapat dimengerti bagaimana para ulama terdahulu mampu menguasai begitu banyak bidang keilmuan yang berbeda atau yang disebut dengan polymath. Tradisi keilmuan di dalam Islam tidak berfokus kepada mendapatkan gelar, tetapi tradisi didalam Islam berfokus mencari Ilmu dan pengetahuan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam : “Tidaklah seseorang berjalan dengan tujuan untuk menuntut ilmu, kecuali Allah permudah baginya jalan menuju surga. Siapa yang tidak segera mengamalkan ilmunya, ia tak bakalan bisa memperoleh kemuliaannya.” (HR Darimi). Tujuan dari pendidikan adalah semata-mata untuk mendapatkan ilmu, kemudian menghantarkan para pencari ilmu untuk menyebarkan ilmunya ke tengah tengah masyarakat.

Permasalahan utama adalah permasalahan persepsi tentang ilmu di dalam Islam. Para ulama menetapkan bahwa ilmu adalah suatu yang sangat tinggi dan istimewa di dalam Islam. Hal ini karena Islam sangat menuntut dan mewajibkan pencarian ilmu, karena Islam sendiri tegak di atas landasan ilmu. Perintah pertama yang diturunkan oleh Allah SWT adalah iqra’, perintah untuk mencari informasi terdahulu atas perintah perintah yang diturunkan oleh Allah Ta’ala. Tingginya tingkat ketaqwaan seseorang di dalam Islam tergantung dari tingkat pemahamannya terhadap keilmuan Islam. Di dalam khazanah pengetahuan Islam, ilmu adalah untuk tegaknya amal, para ulama terdahulu tidak membedakan keilmuan Islam dengan pelaksanaan amal, sebagaimana yang terjadi pada saat sekarang. Imam Abu Hanifah mengatakan tujuan dari mencari ilmu adalah untuk mengamalkannya, sementara Imam Al Ghazali mengatakan bahwa ilmu adalah akar dari akar untuk amal bisa dilaksanakan, hanya melalui ilmu bagaimana sebuah amal bisa dilakukan. Maka pemahaman tentang hakekat ilmu dan kedudukan ilmu merupakan syarat pertama untuk dipahami bagi seorang pelajar di dalam tradisi mencari ilmu Islam.

Untuk mengerti bagaimana perspektif keilmuan abad klasik dan pertengahan Islam, Al Burhan Ad Al Zarnuji dalam bukunya Ta’lim Al Muta’allim Tariq Al-Allum memberikan perspektif yang harus dikuasai seorang Muslim untuk sukses didalam menguasai ilmu pengetahuan [3]. Di dalam mencari ilmu para ulama membagi perspektif keilmuan menjadi dua bahagian, yaitu perspektif akhklak dan yang kedua adalah perspektif strategi di dalam belajar. Dua hal perspektif ini ditanamkan kepada para pencari ilmu sebelum mereka menerjunkan diri mencari ilmu. Hal ini tentu berbeda dengan keadaan sekarang dimana para pelajar tidak pernah diajarkan bagaimana akhlak dan strategi di dalam mencari ilmu.

Para ulama memandang bahwa keilmuan tidak akan didapatkan oleh para pelajar kalau dia tidak melaksanakan elemen elemen dari kedua perspektif tersebut. Terdapat empat elemen dari perspektif akhlak yaitu yang pertama adalah niat, yang kedua adalah kerja keras dan keseriusan, yang ketiga adalah tawakal kepada Allah, yang keempat adalah penghargaan terhadap ilmu dan proses belajar. Didalam proses belajar mengajar para ulama membagi empat bahagian yang harus dilakukan oleh seorang pelajar yaitu bagaimana memilih mata pelajaran, bagaimana memilih guru, bagaimana memilih teman di dalam belajar dan yang terakhir proses belajar.

A. Perspektif Akhlak

Akhlak diperlukan di dalam aspek belajar dikarenakan akhlak merupakan sesuatu yang harus ada di dalam pribadi seseorang sehingga tercapainya kebaikan. Dapat dikatakan akhlak adalah karakter yang melekat di pribadi dalam seorang muslim di dalam bersikap dan bertingkah laku. Dalam perspektif yang lain akhlak adalah syari’at yang harus dilakukan oleh seorang muslim sehingga tercapainya tujuan perbuatan yang dia lakukan. Apabila tidak terdapat akhlak maka tujuan untuk mencapai ilmu tidak akan mungkin dicapai.

Aspek pertama dari perspektif akhlak adalah niat. Niat adalah amal batin atau amal dari dalam yang dilakukan dengan benar di dalam hati manusia segera sebelum melakukan amal fisik. Niat merupakan suatu amal yang penting, selain merupakan bagian dari ibadah, niat adalah faktor yang menentukan validitas seluruh amal di dalam Islam. Salah benarnya niat bisa membuat sebuah amal tidak bernilai sama sekali. Para ulama memandang keberhasilan suatu pekerjaan tergantung dari kualitas niat seseorang. Seseorang yang gagal di dalam mencapai suatu pekerjaan, sesungguhnya disebabkan kualitas niatnya yang rendahlah yang menyebabkan dia gagal dari mencapai tujuan tersebut. Seorang pencari ilmu haruslah mengadakan niat di dalam hatinya terhadap segala sesuatu yang dipelajarinya, kemudian niat tersebut haruslah dipatri dengan kokoh dan kuat. Makin kuat sebuah niat maka akan menjadi lebih kuat sebuah kesuksesan dari amal dan pekerjaan untuk dicapai.

Al Burhan Ad Diin Al Zarnuji menyatakan didalam mencari ilmu seseorang pelajar haruslah mempunyai 4 karakteristik niat yang akan membawanya kepada keberhasilan di dalam mencari ilmu. Yang pertama niat seorang pelajar di dalam mencari ilmu haruslah untuk mencari kesenangan / redho Allah Subhanahu wa ta’ala. Yang kedua mencari ilmu haruslah merupakan ikhtiar untuk mendapatkan kehidupan di akherat nanti. Yang ketiga mencari ilmu haruslah diniatkan untuk meninggikan kalimat Allah, meninggikan Islam, dan yang terakhir mencari ilmu haruslah diniatkan sebagai bentuk puji syukur kepada Allah karena nikmat akal, nikmat badan sehat, yang merupakan nikmat kehidupan yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala.

Aspek kedua yaitu aspek kerja keras dan keseriusan. Seorang pelajar dalam mencari ilmu haruslah berkeja keras, tekun dan bersungguh-sungguh. Secara fitrahnya para ulama menyatakan bahwa terdapatnya kesungguhan dan keseriusan di dalam belajar maka kesuksesan di dalam mencari ilmu akan lebih besar. Para pelajar haruslah membiasakan tekun dan mengulang pelajaran di awal dan akhir malam, dan mereka juga harus membiasakan untuk memperbaharui cita-cita, karena terdapatnya cita-cita merupakan kewajiban yang harus ada sehingga selalu bersemangat di dalam menuntut ilmu kalau tidak maka dia akan mendapati kemalasan di dalam dirinya. Salah satu sumber kemalasan adalah dikarenakan para pelajar tidak memahami keuntungan dari proses belajar. Apabila pelajar kembali mengacu kepada pemahamannya tentang pentingnya ilmu dan bagaimana bermanfaatnya ilmu untuk kebahagiaan dirinya di dunia dan akherat, maka dia akan berhasil menghilangkan kemalasan yang ada pada dirinya.

Aspek ketiga dalam perspektif akhlak para pencari ilmu adalah tawwakal. Tawwakal adalah menyandarkan diri kepada Allah bahwa Allah akan mensukseskan para pengemban dakwah didalam mencari ilmu. Al Burhan Ad Diin Al Zarnuji menyatakan bahwa didalam bertawakal seorang pencari ilmu haruslah bekerja keras di dalam mencapai tujuannya dan percaya sepenuh hati bahwa Allahlah yang akan menurunkan ilmu tersebut kepadanya. Tawwakal juga dipandang sebagai salah satu faktor yang akan membuat para pelajar fokus di dalam belajar, sehingga mereka tidak akan gampang untuk teralihkan kepada yang lain. Dikarenakan salah satu faktor yang membuat para pelajar teralihkan dari apa yang dihapinya adalah perasaan ketidakmampuannya di dalam belajar dikarenakan kesulitan dan banyaknya materi yang harus dipelajari. Dengan bertawakal maka para pelajar akan tetap istiqomah dalam belajar, tidak gampang teralihkan, karena seorang pencari ilmu bergantung kepada kekuatan yang Maha Besar.

Aspek keempat dalam perspektif akhlak pencari ilmu adalah penghargaan terhadap ilmu dan proses belajar mencari ilmu itu sendiri. Menghargai ilmu dan proses belajar adalah aspek penting untuk kesuksesan dalam belajar. Sudah sepantasnya para pencari ilmu memuliakan ilmu dan proses belajar, karena ilmu akan menyampaikan dirinya kepada kedudukan yang tinggi di dunia maupun di akherat. Seseorang tidak akan mencapai derajat yang tinggi di dalam pemahaman keilmuan kalau dia tidak memperlakukan ilmu dan proses belajar dengan perasaan hormat dan penghargaan.

B. Pespektif Strategi Belajar

Terdapat empat aspek dalam perspektif strategi belajar, yaitu pertama strategi di dalam memilih topik keilmuan, yang kedua strategi memilih guru, dan yang ketiga strategi di dalam memilih teman belajar, dan yang keempat adalah strategi dalam proses belajar. Di dalam basis keilmuan Islam menurut para ulama terdahulu, ilmu yang wajib dipelajari menjadi dua jenis kewajiba, yaitu wajib ‘ain dan wajib khifayah. Ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu agama, yaitu Islam itu sendiri merupakan wajib ‘ain, setiap individu wajib mempelajarinya. Sedangkan keilmuan yang selain dari ilmu agama, seperti teknologi, kedokteran dan sains merupakan wajib khifayah. Para ulama memberikan tingkat kepentingan mempelajari ilmu berdasarkan prioritas ilmu yang paling dibutuhkan di masyarakat, kemudian para pelajar baru memilih mempelajari ilmu berdasarkan apa yang diminatinya.

Dalam aspek pemilihan guru sebagai tempat belajar, guru yang dipilih haruslah berdasarkan kesolehan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Para pencari ilmu harus bersabar dan hati-hati didalam memilih seseorang yang akan mereka jadikan tempat berguru, dikarenakan proses keilmuan adalah proses pemindahan ilmu sang guru kepada para pelajar. Imam Ibnu Jama’ah menyatakan bahwa seorang guru yang ideal adalah seorang yang mempunyai tiga jenis komitment. Yang pertama adalah yang berkomitmen kepada dirinya sebagai seorang Muslim, yang mana ketika dia memberikan pelajaran selalu mengingatkan muridnya kepada Allah, mengikuti metode kenabian dan menjauhkan dirinya dari keduniaan, dimana setiap perkataannya mengikuti dengan perbuatannya sebagai contoh nyata bagi murid-muridnya. Komitment kedua adalah kepada proses mengajar yang dia lakukan. Bahwa dia harus memberikan perhatian terhadap pengetahuannya, terutama mengenai hukum-hukum Islam yang diambil dari AlQur’an dan Sunnah. Kemudian yang terakhir dia harus berkomitmen kepada murid-muridnya bahwa dia harus selalu mengingatkan murid-muridnya untuk selalu mencari keredhoan Allah SWT.

Lingkungan di dalam pembelajaran sangat mempengaruhi prestasi belajar para pencari ilmu, karena proses belajar merupakan proses komunikasi antara dirinya dengan teman dan lingkungannya. Oleh karena itu pemilihan teman belajar merupakan salah satu aspek strategi belajar yang menentukan kesuksesan dalam mencari ilmu. Yang pertama yang harus dilakukan para pencari ilmu adalah mencari teman yang rajin, kemudian teman yang sholeh dan tawadhu’, karena permasalahan ketaqwaan merupakan aspek paling penting dari seluruh aspek mencari ilmu. Siapa saja yang selalu konsisten dengan kewajiban agamanya, maka dia akan menciptakan kondisi yang bagus untuk meningkatkan aktivitas belajar. Karakter terakhir dari teman yang diplih haruslah teman yang pintar dan mempunyai pemahaman yang banyak tentang apa yang dipelajari. Inilah karakteristik dari aspek pemilihan teman di dalam tradisi keilmuan Islam abad klasik dan pertengahan.

Aspek terakhir di dalam strategi belajar adalah proses pembelajaran. Terdapat empat proses yang harus dilewati bagi seorang pelajar di dalam mencari ilmu. Pertama untuk mendapatkan ilmu dia harus menghafal atau mengingat apa yang dipelajarinya, mengerti atau tidak mengerti. Pada tahap ini perlu dilakukan pengulangan untuk memasukan informasi di dalam ingatan setiap hari. Pada tahap kedua baru masuk kepada proses memahami apa yang telah dihafal. Pada tahap kedua ini pencari ilmu bisa menuliskan materi yang telah diingat tanpa melihatnya dan berusaha memahami apa yang telah diberikan oleh gurunya. Tahap ketiga dari proses belajar adalah membawanya kepada level yang lebih tinggi dengan mendiskusikan apa yang telah dipelajari dengan mempertanyakannya dan menghubungkannya dengan ilmu yang lain. Mempertanyakan apa yang telah dipahami dalam waktu satu jam itu lebih baik daripada mengulang-ngulangnya selama sebulan. Tahap terakhir adalah merefleksikan apa yang telah dipahami untuk mengembangkan keilmuan tersebut ke tingkatan yang lebih tinggi, sehingga dapat direncanakan apa selanjutnya yang harus dipelajari sebagai kelanjutan ilmu yang sudah dikuasai.

Mengembalikan Perspektif Keilmuan Islam dengan Khilafah Islamiyah

Kalau kita melihat perspektif keilmuan yang diberikan oleh sistem yang dikeluarkan peradaban Islam dibandingkan dengan sistem pendidikan yang ada pada zaman sekarang, yang menganggap pendidikan hanyalah salah satu institusi bisnis yang menghasilkan keuntungan, dan tidak mempunyai perspektif dasar keilmuan sama sekali, maka kita akan paham bahwa sistem sekarang tidak akan menghasilkan banyak ilmuwan dan ulama sekaliber peradaban Islam di masa klasik dan abad pertangahan. Walaupun begitu tradisi keilmuan dan aspek pembelajaran yang dipunyai para ilmuwan Islam terdahulu sebenarnya dapat dikembalikan kepada umat pada saat sekarang ini. Tetapi aspek pembelajaran ini tidaklah akan dapat direalisasikan tanpa ada sistem yang mendukung untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di dalam sistem sekuler kapitalistik yang ada pada saat ini, seluruh perspektif pencarian ilmu para ulama Islam terdahulu tidak akan dapat direalisasikan dengan sempurna. Karena landasan pendidikan di sistem kapitalistik sekuler ini pada dasarnya tidak bertujuan untuk mencari ilmu, dan telah melepaskan keterikatan dengan Allah Ta’ala dalam proses belajar mengajarnya.

Untuk mengembalikan tradisi keilmuan Islam ini, agar mengakar kembali ke tengah umat, yang dibutuhkan adalah Khilafah Islam, yang mana sistem pemerintahannya menjadikan keilmuan sebagai suatu kewajiban, dan negara selalu mengikatkan pemikirannya dengan Allah Ta’ala sehingga redhoNya menjadi tujuan di dalam setiap aktivitas negara dan masyarakatnya, terutama dalam bidang pendidikan Islam.

Wallahualam bishawwab

Referensi

1. WIDYASTUTI, I. Tak perlu pendidikan tinggi untuk? 2011 Tuesday, 18 January 2011 18:03 [cited 2011 28 Desember]; Available from: http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=169217:tak-perlu-pendidikan-tinggi-untuk&catid=14&Itemid=27.

2. Edunimasi. Kondisi Pendidikan Nasional dan Dunia Kerja. 2010; Available from: http://www.edunimasi.com/kondisi-pendidikan-nasional-dan-dunia-kerja.html.

3. Mochtar, A., The Method of Muslim Learning As illustrated in Al_Zarnuji’s Ta’lim Al Muta’allim Tariq Al-Allum. 2010, New York: Global Scholarly Publications.

Posting Komentar untuk "Mengenal Kembali Perspektif Keilmuan Islam Abad Klasik dan Abad Pertengahan"