METODE TADARRUJ/BERTAHAP YANG KELIRU DARI IJTIHAD YANG TIDAK BENAR



Oleh : Alya Abdullah

MUKADIMAH

Meninjau dari sejumlah metode yang keliru dalam menempuh metode penerapan Syariah Islam secara kaffah oleh sebagian kaum muslimin di dunia telah mengakibatkan kesalahan sangat fatal. Metode-metode ini lahir dari hasil ijtihad yang tidak benar

Berikut ini yang hanya akan dipaparkan adalah tadarruj, untuk mengetahui sejauh mana metode keliru dan fatal ini sangat menyimpang dari metode penerapan Syariah Islam yang benar. Tanpa disadari metode ini justru telah menjauhkan sebagian kaum muslimin dari pemahaman yang benar tentang penerapan Syariah Islam secara kaffah yang tidak mengenal kompromi dan bertahap. Adalah suatu keharaman dalam mengambil hukum kufur sebagai jalan untuk mempermudah dalam meraih kekuasaan. Allah SWT. Berfirman : “Maka demi Tuhanmu, mereka itu (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim atas perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan suatu keberatan di hati mereka atas keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hati. (TQS. an-Nisa’ [4]:65)

TADARRUJ (GRADUALISME ATAU BERTAHAP)

Yang dimaksudkan dengan tadarruj ialah cara yang ditempuh untuk sampai kepada pelaksanaan hukum syara' yang dikehendaki dengan cara bertahap atau tidak dengan sekaligus. Hal ini bermakna bahwa dalam langkah bertahap ini, seorang muslim melaksanakan hukum syara' di satu sisi, dan dalam saat yang sama dia jaga melaksanakan hukum kufur pada sisi yang lain, dengan alasan bahwa langkah ini akhirnya akan sampai kepada pelaksanaan yang sebenarnya. Ada yang berkaitan dengan masalah aqidah, seperti ungkapan: "Sosialis itu dari Islam" atau "Demokrasi bagian dari Islam". Ada pula yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum syara' seperti membiarkan seorang muslimah berpakaian setengah menutup aurat (mewajibkan memakai khimer/kerudung tapi pada waktu yang bersamaan tidak mewajibkan memakai jilbab/baju panjang) dengan alasan bahwa suatu masa nanti dia akan menutup aurat secara sempurna. Juga yang berkaitan dengan sistem seperti ikut sertanya sekelompok kaum muslimin dalam pemerintahan yang ada dimana tidak berlandaskan Islam, semata-mata hanya ushlub sebagai sarana atau taktik meraih kekuasaan agar proses diterapkannya hukum Islam dapat lebih mudah terlaksana. Mereka berdalih dengan mengatakan “sedikit lebih baik daripada tidak samasekali. Maa la yudriku julluhu la yutraku kulluhu. Tentu saja proses yang dilakukan adalah dengan masuk ke dalam lingkaran sistem, yang berdasarkan hukum buatan manusia, untuk mengarah secara bertahap—menurut pemahaman mereka—kepada penerapan Syariah Islam yang akhirnya kelak bisa diterapkan secara kaffah. Fikrah tadarruj kini di adopsi oleh hampir seluruh negeri-negeri muslim di dunia dan diaplikasikan ke dalam thariqah, untuk mencapai titik tolak dari tujuannya. Karena bersikukuh dengan hasil ijtihad yang keliru membuat sebagian kaum muslimin menempuh metode yang justru mengakibatkan ketidakberhasilan dalam membangkitkan umat Islam. Bentuk ‘perjuangan’ dengan cara terlibat di dalam sistem kufur ini telah menghantarkan sebagian kaum muslimin ini terseret dan terjebak dalam lingkaran sistem yang ada dan berujung pada kesia-siaan tanpa solusi yang mampu menuntaskan setiap akar masalah yang muncul.

ALASAN/ARGUMENTASI “MEMBOLEHKAN” TADARRUJ

Sebagian kalangan berpendapat bahwa Syariah Islam tidak mungkin diterapkan kecuali secara bertahap (tadarruj), hal ini berimplikasi pada langkah perjuangan yang mereka tempuh untuk merubah masyarakat dengan memperjuangkan penerapan Islam secara evolutif dengan melibatkan diri dalam sistem kufur yang ada. Untuk menjustifikasi pandangan tadarruj sejumlah argumentasi dikemukakan untuk menguatkan perspektif ini. Bahwa al-Qur’an diturunkan secara bertahap dan al-Qur’an turun sesuai dengan masalah yang saat itu muncul. Al Quran diturunkan oleh Allah SWT. dengan berangsur-angsur, tidak dengan sekaligus dan ini menunjukkan bahwa penerapan Islam berlaku secara bertahap. Argumentasi lain adalah sebuah kaidah syara’ yang berbunyi ‘Sesuatu yang tidak dapat diraih seluruhnya jangan ditinggalkan seluruhnya’. Berdasarkan kaidah ini muncul anggapan bahwa Islam yang sebagian itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

               Lalu argumentasi tentang pengharaman riba yang menurut mereka pada awalnya riba dibolehkan sebagaimana firman Allah Swt. : "Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah" (QS. Ar-Rum:39). Lalu turun larangan memakan riba yang berlipat-ganda: "Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda.." (QS. Al-Imran:130). Lalu turun larangan memakan riba yang sedikit: "..dan tinggalkan sisa riba_" (QS. Al-Baqarah:278). Kemudian turun pengharamannya secara samar melalui celaan: "Dan disebabkan mereka memakan riba padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya_" (QS. An-Nisa:161). Setelah itu baru turun pengharamannya secara jelas dalam firmanNya: "_Allah menghalalkan jualbeli dan mengharamkan riba_" (QS. Al-Baqarah:275) 
               Pengharaman alkohol dalam 3 tahap juga menjadi argumentasi penganut pandangan tadarruj. Pada mulanya hukum khamar adalah mubah (boleh): "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: pada keduanya terdapat kemudharatan yang besar dan beberapa manafaat bagi manusia_" (QS al-Baqarah:219). Kemudian kebolehan khamar ini dipersempitkan untuk waktu tertentu: "_Janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk_" (QS. An-Nisa':43). Akhirnya baru turun pengharaman khamar: "Hai orang-orang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung" (QS. Al-Maaidah:90) Argumen-argumen ini dibangun tidak berdasarkan argumen yang syar’i karena bertentangan dengan dalil-dalil yang qath’i..
 

MENGAPA ARGUMENTASI TADARRUJ BERTENTANGAN DENGAN DALIL QATH’I?

Awalnya al-Qur’an memang diturunkan secara bertahap, sesuai dengan permasalahan, pertanyaan, perdebatan dan situasi politik yang terjadi pada saat itu. Setiap kali muncul masalah yang membutuhkan hukum, turun ayat al-Qur’an sebagai jawabannya dan setelah hukumnya jelas seketika itu juga hukum itu diterapkan tanpa ditunda sesaatpun! Tidak ada kecenderungan sedikitpun untuk menerapkan setiap hukum syara’ secara bertahap. Rasulullah Saw. tidak pernah mengabaikan hukum Allah SWT. dan menunda pelaksanaannya, karena hal itu berarti sama saja dengan menuduh Beliau Saw. berhukum selain dengan yang diturunkan Allah SWT.

               Bahwasanya Allah SWT. menurunkan hukum sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Maka yang mula-mula turun ialah tentang iman, syurga, neraka. halal dan haram. Argumen ini tidak boleh dijadikan alasan untuk mengambil Islam sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain karena kaum muslimin hanya dituntut terhadap sesuatu yang sudah turun. Jadi setiap kali turun ayat, kaum muslimin harus memenuhi tuntutan ayat tersebut sebagaimana di detailkan dalam ayat tadi atau yang di Sunnahkan Rasulullah Saw. Tidak dibenarkan kaum muslimin, untuk tetap beramal sebagaimana sebelumnya dengan alasan bahwa mereka dalam rangka memenuhi tuntutan ayat yang baru turun. Sahabat-sahabat radhiallahu 'anhum tidak pernah berbuat demikian, apabila turun satu ayat atau perintah, posisi mereka ialah "sami'na wa atha'na" (kami mendengar dan kami taat).
               Dalam masalah riba, ayat pertama tidak ada kaitannya dengan riba yang diharamkan. Ibnu Katsir menafsirkan "wa maa aataitum min riba_" sebagai "man a'tha 'athiyyah" (barangsiapa yang memberikan suatu pemberian/hadiah). Jadi topiknya ayat ini adalah tentang hibah dan hadiah, bukan tentang riba. Adapun ayat kedua yang berkenaan dengan riba berlipat-ganda, ia menjelaskan tentang riba yang ada pada masa jahiliyah, tidak ada sesuatu yang menunjukkan taqyid pengharaman riba. Para mufassirin mengatakan, surat Al-Baqarah:275 yang di dalamnya terdapat ayat tentang keharaman riba ialah surat pertama yang turun di Madinah. Sedangkan ayat Surat Al Imran:130 yang terdapat di dalamnya larangan memakan riba yang berlipat-ganda, turun sesudahnya. Dari sini jelas ketidakbenaran argumen yang mengatakan Allah mula-mula membolehkan riba dan hanya melarang riba yang berlipat-ganda, kemudian baru mengharamkannya. Ayat yang ketiga Surat Al Baqarah:278, tidak menunjukkan bahwa mula-mula Allah membolehkan riba yang sedikit kemudian melarangnya. Ayat ini turun kepada segolongan orang yang masuk Islam, mereka mempunyai harta riba pada orang lain, yang mana sebahagian telah mereka terima sedangkan sebahagian masih ada pada orang tersebut. Allah SWT. mengampuni apa yang telah mereka terima dan mengharamkan mereka mengambil apa yang masih tersisa. Ini juga dikuatkan dengan FirmanNya: "_jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu.." Adapun ayat yang keempat, riba yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah harta haram yang diperolehi dari risywah (rasuah/suap), sebagaimana yang dimakan oleh orang Yahudi (QS An Nisa':161). Dengan demikian jelaslah bahwa riba adalah haram sejak turun hukumnya, dan tidak terdapat indikasi yang menunjukkan pengharaman riba berlaku secara berperingkat. Nash-nash yang ada adalah untuk peristiwa khusus dan tersendiri.
               Sedangkan khamar adalah sesuatu yang tidak ada hukumnya (maskutun 'anhu) sebelum turunnya pengharamannya. Artinya, khamar ialah sesuatu yang didiamkan oleh syara', meskipun kaum muslimin ketika itu masih mengerjakannya (meminum, menjual dsbnya.) sehinggalah turun ayat yang ketiga berkenaannya. Ini dikuatkan oleh hadis Umar r.a yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tarmidzi, Nasa'ie, dan Abu Daud. Beliau Saw. Bersabda: "Yaa Allah jelaskanlah untuk kami dengan penjelasan yang pasti tentang khamar karena ia menghilangkan harta dan akal". Ayat pertama, Allah mencela khamar karena banyak mudharatnya, sedangkan ayat kedua melarang salat dalam keadaan mabuk, dan pengharamannya hanya berlaku pada ayat ketiga. Yang demikian ini tidak dapat dianggap tadarruj. Kita juga tidak pernah mendengar seseorang menghalalkan khamar dalam peringkat untuk mengharamkannya setelah turun ayat Al-Maaidah:90, baik pada zaman Rasulullah Saw., sahabat, tabi'in maupun seterusnya.
 
FIKRAH TADARRUJ BUKAN DARI ISLAM

Pendapat taddaruj jelas keliru, penyimpangan dari fikrah ini semakin mengaburkan tujuan dalam meraih kembali kemuliaan kaum muslimin yaitu menerapkan Syariah secara kaffah dibawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Fikrah ini jelas bertentangan dengan fikrah murni yang dicontohkan Rasulullah Saw.

               Jikalau tadarruj adalah jalan yang ditunjukkan Islam, pasti Rasulullah menerima tawaran mereka supaya setelah mendapat kekuasaan, Beliau Saw. dapat mengubah pemahaman mereka dan membatalkan permintaan mereka. Namun sebaliknya Allah SWT. memberi peringatan keras kepada RasulNya: "Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang Kami wahyukan kepadamu (Islam), agar kamu mengada-adakan sesuatu yang lain terhadap Kami; dan jika (kamu berbuat) demikian, tentulah mereka mengambilmu menjadi teman setia. Dan kalau kami tidak menetapkan (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami" (QS Al Israa':73-75) 
               Begitu pula dalam menyampaikan da'wah, Rasulullah tidak pernah membatasi da'wah hanya pada golongan tertentu sampai sempurna kemudian baru beralih ketahapan yang berikutnya. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Beliau Saw. menyampaikan da'wah baik kepada keluarga Beliau Saw. maupun masyarakat; orang awam maupun penguasa dan orang-orang berpengaruh di Makkah ketika itu. Apabila da'wah Beliau Saw. tidak diterima oleh kafir Quraish, Rasulullah Saw. justru menawarkan Islam kepada qabilah-qabilah Arab lainnya yang mendatangi Ka’bah setiap tahun, dan Beliau Saw. mencari nusrah hingga ke Taif. Maka tidak benar pula argumen yang mengatakan 'kita harus memulai dengan keluarga kita dulu, kemudian kampung kita, kemudian negeri kita'. Karena jika demikian, pastilah Rasulullah hanya menfokuskan da'wahnya di Makkah serta mengambil apa-apa kesempatan yang ditawarkan kepadanya dan Beliau Saw. tidak pernah akan berhijrah ke Madinah! Sedangkan kita mengetahui bahwa apa yang dikerjakan Rasulullah itu tidak lain hanyalah wahyu.

Penerapan sebuah sistem sudah pasti membutuhkan adanya institusi pelaksana, apapun bentuk sistem tersebut. Jadi, adanya Daulah Islam sebagai institusi pelaksana dari penerapan Syariah Islam merupakan suatu keharusan, disamping wujud Daulah itu sendiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Syariah Islam. Oleh karena itu, merupakan impian kosong bagi mereka yang ingin menegakkan Syariah Islam, tetapi tidak berjuang untuk menegakkan Daulah Islam atau mereka yang beranggapan Syariah Islam dapat tegak melalui bentuk pemerintah kufur yang ada.

 

Metode Yang Benar Dalam Menerapkan Syariah Islam Secara Kaffah

METODE TAGHYIR/PERUBAHAN

Aspek yang menentukan terjadinya taghyir pada masyarakat adalah berubahnya pemikiran dan perasaan umat, yang disertai dengan berubahnya aturan (sistem). Masyarakat dengan keempat unsurnya, Individu-individunya bagaikan gelas kaca, sedangkan pemikiran, perasaan, dan aturan bagaikan cairan yang ada didalamnya. Warna gelas kaca tersebut akan ditentukan oleh warna cairan yang ada di dalamnya. Jadi corak sebuah masyarakat ditentukan oleh pemikiran, perasaan dan aturan (sistem) yang diterapkan didalamnya. Dan corak ini nampak pada individu-individu pada saat melakukan berbagai interaksi di dalam masyarakat. Merubah masyarakat bukan dilakukan dengan merubah warna cairan dengan menuangkan zat pewarna tertentu. Merubah masyarakat juga bukan dilakukan dengan cara membuang sebagian cairan lalu memasukan cairan jenis lainnya. Apabila perubahan masyarakat dilakukan dengan dengan cara demikian, maka akan dihasilkan masyarakat yang tidak khas. Yaitu masyarakat yang didalamnya ditemukan berbagai corak pemikiran, perasaan dan aturan. Masyarakat semacam ini tidak akan bisa mencapai kemajuan dan kebangkitan, sebab didalamnya dijumpai berbagai aspek yang kontradiktif satu dengan yang lain, sehingga tidak terdapat keserasian irama dan langkah untuk meraih kebangkitan. Kebangkitan hanyalah dapat diwujudkan oleh masyarakat yang khas, yaitu masyarakat yang disusun oleh individu-individu, yang memiliki pemikiran, perasaan dan aturan yang sama. Hal ini dapat terwujud jika individu-individu masyarakat tersebut meyakini sebuah ideologi (mabda’) tertentu dan menerapkannya secara praktis dalam kehidupan. Merubah masyarakat adalah dengan membuang seluruh cairan yang ada dalam gelas kaca tersebut, kemudian menuangkan cairan yang baru ke dalam gelas itu. Dengan demikian, merubah masyarakat adalah merubahnya dengan perubahan radikal (mendasar) dan merubah warna masyarakat itu. Caranya dengan melakukan penyadaran kepada individu masyarakat tentang kesalahan dan kerendahan pemikiran, perasaan, dan aturan (sistem) yang ada pada mereka kemudian digantikan dengan pemikiran, perasaan dan aturan yang hanya bersumber dari Islam saja. Setiap ideologi (mabda’) memiliki thariqah (metoda) yang berbeda untuk melakukan perubahan masyarakat. Kapitalisme metodanya adalah penjajahan terhadap bangsa-bangsa yang hendak digiring untuk mengikuti ideologi mereka. Sosialisme dengan menciptakan pertentangan dalam masyarakat yang hendak mereka rubah. Sedangkan ISLAM dengan Da’wah dan Jihad. Mengenai metoda untuk merubah masyarakat dalam Islam, dalilnya adalah perbuatan Rasulullah saw. Pertama adalah tahap pembentukan kepribadian yang khas dengan pembinaan dan pengajaran. Kedua, adalah tahap interaksi dan perjuangan politik dan ketiga, adalah tahap menegakkan Daulah dan penerapan hukum. Tiga tahapan ini berlaku untuk da’wah Islam dalam menciptakan masyarakat Islam yang maju. Ini adalah metode syar’iyyah (thariqah syar’iyyah) dalam memulai kehidupan Islam, dan tidak boleh ditinggalkan. Maka seorang pengemban da’wah yang ingin merubah masyarakat berdasarkan asas Islam wajib memahami hal ini dengan baik. Untuk melaksanakan metode tersebut harus dibentuk sebuah partai (kutlah), sebagaimana firman Allah dalam surat ‘Ali Imran: 104. Partai inilah yang akan melakukan berbagai langkah perjuangan untuk mewujudkan perubahan masyarakat.

PILAR Pertama

· Adalah ketakwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu di masyarakat. Seorang mukmin mengetahui secara pasti bahwa Allah SWT selalu mengawasinya. Dia juga menyadari bahwa pada hari kiamat nanti ia kan dihidupkan kembali oleh-Nya, kemudian akan dihisab terhadap amal perbuatan yang telah dilakukannya. Ia menyakini semua ini secara pasti tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikit pun. Dan keyakinan ini membekas dalam sikap hidupnya sehari-hari di masyarakat.

· Contoh kebenaran pernyataan ini banyak sekali dapat kita temukan dalam rentetan sejarah Islam yang agung, malah masih bisa ditemukan saat ini walaupun kaum muslimin dalam keadaan terpecah belah dan tidak berjalannya sistem Islam. Kisah Ma’iz Al Aslami dan al Ghomidiyah, radliyallahu ‘anhuma merupakan teladan yang tepat sekali untuk menggambarkan betapa tingginya rasa ketakwaaan pada diri para sahabat. Tentang al Ghomidiyah Beliau saw bersabda : “Dia (wanita itu) telah bertaubat dengan sesungguhnya, bila ditimbang (taubatnya itu) dengan seluruh penduduk bumi, pasti dikalahkannya”. (THR Abu Daud no 4446; Tirmidzi no 1459). Kemudian tentang Ma’iz beliau berkomentar: “Dia sekarang telah berenang di sungai surga.” (THR Ibnu Hibban no 4384 4385)

PILAR kedua

· Adalah adanya sikap saling mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta mengoreksi tingkah laku penguasa, pada masyarakat. Masyarakat Islam terbentuk dari individu-individu yang dipengaruhi oleh perasaan, pemikiran, dan peraturan yang mengikat mereka sehingga menjadi masyarakat yang solid (persatuannya).

· Allah SWT berfirman: “(Dan) Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyeru berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS Ali Imran: 104). “Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk ummat manusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah” (TQS Ali Imran:110)

· Oleh karena itu ketaqwaan individu itu dapat dipengaruhi dan dibina oleh pandangan masyarakat dan individu. Sedangkan individu tidak lain adalah salah satu unsur dari masyarakat yang tegak atas dasar ketaqwaaan yang kuat. Dalam naungan masyarakat inilah, individu yang berbuat maksiat tidak berani terang-terangan, atau bahkan tidak berani melaksanakannya. Bahkan kalau pun ia tergoda juga untuk melakukannya ia akan berusaha menyembunyikannya. Namun begitu ia sadar dan kembali kepada kebenaran dan bertaubat atas kekhilafannya.

PILAR Ketiga

· Adalah keberadaan negara/pemerintahan sebagai pelaksana hukum syara’. Kedudukan negara dalam Islam, tidak lain selalu memelihara masyarakat dan anggota-anggotanya serta bertindak selaku pemimpin yang mengatur dan mementingkan urusan rakyatnya. Keberadaan terpenting sebuah negara/pemerintahan dalam masyarakat Islam adalah untuk menerapkan hukum-hukum syara’ dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Maka dalam negara Islam, kedaulatan (penentu nilai benar salah) itu adalah milik syara’ saja, sedangkan kekuasaan (penentu siapa yang akan melaksanakan nilai benar salah) adalah milik umat. Artinya umat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melaksanakan pemerintahan, dengan tetap berdasar kepada hukum syara’ karena kedaulatan hanyalah berdasar syara’ semata. Sedangkan kekuasaan melaksanakan hukum diserahkan kepada manusia untuk memilih pemimpinnya dalam melaksanakan hukum tersebut.

· Dalam sistem Islam, negara mempunyai bangunan yang kokoh dan menyatu dengan tingkah laku individu dan sikap masyarakat. Hal ini terjadi karena umat secara keseluruhan merupakan penyangga bagi negara; dimana negara diberi wewenang penuh untuk menerapkan hukum-hukum syara’ tanpa melihat tinggi-rendahnya kedudukan seseorang. Dan tanpa merasa khawatir, apalagi takut, menindak siapa saja yang melakukan penyelewengan dan kejahatan walaupun kejahatannya meluas dan jumlahnya besar.

 
KHATIMAH
               Perkara yang telah diketahui secara pasti di dalam Islam bahwa kewajiban untuk berhukum dengan Islam dan keharaman untuk berhukum dengan hukum kufur, tidak memungkinkan adanya interprestasi lain meskipun menurut pemikiran gradualisme dengan mengikuti sistem kufur adalah jalan untuk memudahkan menuju kebangkitan kaum muslimin untuk dapat menerapkan sistem Islam. Oleh karena itu secara tegas telah ditetapkan, penerapan secara bertahap dalam kekuasaan atau dalam berbagi kekuasaan, dalam segala bentuknya, adalah dilarang. Allah SWT. Berfirman : “Siapa saja yang tidak memutuskan berdasarkan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (TQS. al-Maidah[5]:44).  
               Jelaslah bahwa fikrah tadarruj ini bukan fikrah Islam. tetapi merupakan virus yang sengaja disuntikkan ke dalam Islam, sebagai efek dari kelemahan yang diderita oleh kaum muslimin sendiri. Fikrah ini dimunculkan dari fikrah Barat yang selalu mencari jalan tengah (moderate) supaya tidak dianggap radikal, ekstrimis atau fanatik. Kemudian baru dicari-cari dalil untuk menguatkannya dengan sedikit penakwilan dan mengaburkan tafsir dari dalil. Menyeru kepada fikrah ini berarti menyeru kepada selain Islam, dan barangsiapa yang menjadikan fikrah ini sebagai thariqahnya dalam menerapkan hukum Islam, mereka sebenarnya telah keluar dari fikrah yang ditunjukkan oleh al-Quran dan as-Sunnah. Pelegalisasian fikrah tadarruj yang merebak di sebagian benak kaum muslimin ini telah menghambat pergerakan da’wah yang sungguh-sungguh mengajak umat Islam untuk benar-benar menegakan Diinul Islam dengan fikrah dan thariqah yang murni seperti dicontohkan Rasulullah Saw. Tugas dan kewajiban kaum muslimin yang telah memahami fikrah dan thariqah yang benar untuk mengembalikan dan mengajak kaum muslimin dengan terus berjuang menda’wahkan agar Syariah Islam wajib diterapkan secara kaffah hingga cahaya Islam akan menerangi seluruh umat dan kaum muslimin meraih kembali kemuliaannya. Aamiin Ya Robbal ‘alaamiin. Wallahua’lam bishshawab.
 Wallahua'lam



SUMBER :
1.MILIS KELUARGA MUSLIM HANNOVER (KMH)/Malaysia
2.BAGAIMANA Membangun Kembali NEGARA KHILAFAH (SYABAB HT Inggris)

3. PERUBAHAN MASYARAKAT DAN PROSES PENERAPAN SYARIAT ISLAM (Ust. Ir. M Anwar Iman)

1 komentar untuk "METODE TADARRUJ/BERTAHAP YANG KELIRU DARI IJTIHAD YANG TIDAK BENAR"

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus