MENOLAK RAPERDA MINUMAN BERALKOHOL
Oleh : Luthfi Afandi
Tidak banyak yang tahu, saat ini DPRD Kota Bandung sedang akan membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol dan Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol yang diusulkan Pemerintah Kota Bandung. Karena mayoritas warga Kota Bandung beragama Islam, maka tentu kita harus melakukan peninjauan secara kritis dari perspektif Islam dan kepentingan ummat Islam.
Ringkasnya, Raperda tersebut bertujuan membatasi perdagangan minuman beralkohol dan memudahkan koordinasi antara instansi terkait dalam rangka pembinaan, pengawasan, pengendalian, dan penanganan terhadap pelanggaran perdagangan dan/atau pengedaran minuman beralkohol, serta menjamin kepastian hukum atas tarif retribusi. Dalam pasal 5 ayat 2, misalnya, ditentukan beberapa tempat diperbolehkannya dijual minuman keras tersebut untuk golongan A (kadar ethanol 1%-5%), B (kadar ethanol 5%-20%), dan C (kadar ethanol 20%-55%), yaitu hotel berbintang tiga, empat dan lima, restoran-restoran tertentu, bar, pub, kelab malam, diskotek dan karaoke, dan duty free shop. Bahkan, untuk golongan A, boleh dijual secara eceran di supermarket, minimarket, dan hypermarket (pasal 9 ayat 3). Adapun kriteria konsumen yang diperbolehkan untuk membeli adalah setiap orang yang telah berusia di atas 21 tahun (pasal 5 ayat 4).
Ketentuan yang banyak dibahas dalan Raperda ini adalah tentang retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (IPTMB). Pasal 29 misalnya, menyebutkan wajib retribusi berikut dengan tarifnya, yakni Hotel Berbintang 5 (Rp 2.250.000,-), Hotel Bintang 4 (Rp 1.800.000,-), Hotel Berbintang 3 (Rp 1.350.000,-), Kelab Malam, Diskotik (2.250.000,-), Bar termasuk Pub/Karaoke (Rp 1.800.000,-), Restoran dengan tanda Talam Kencana (1.350.000,-), Restoran dengan tanda Talam Kencana (900.000,-) dan Duty Free Shop (Rp 900.000,-).
Dalam pengertian syara’, khamr didefinisikan sebagai setiap minuman yang memabukkan. Menurut hadits Rasulullah disebutkan bahwa “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan adalah haram” (HR. Muslim dan Ashhabus Sunan). Jadi khamr tidak terbatas dari bahan anggur saja, tetapi semua minuman yang memabukkan, baik dari bahan anggur maupun lainnya dan hukumnya jelas, haram.
Berdasarkan atas hal tersebut, jelas bisa dikatakan bahwa Raperda ini tidak disusun dengan asas aqidah Islam. Hal ini bertentangan dengan ketentuan mendasar dalam Islam yang mengharuskan aqidah Islam menjadi asas dalam melakukan semua perbuatan dan dalam membuat semua peraturan. Perda tersebut hanya mengatur benda-benda yang jelas haram, bukan melarang sesuatu yang sudah jelas keharaman dan bahayanya. Padahal, salah satu tugas pokok pemerintah adalah melindungi dari berbagai hal yang membahayakan masyarakat.
Dari pasal-pasal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pemerintah nampaknya melupakan standar halal-haram yang dianut oleh umat Islam dalam menilai segala sesuatu. Rupanya, pemerintah lebih tertarik pada pendapatan yang akan diperoleh lewat retribusi yang dikenakan pada setiap penjual minuman beralkohol. Padahal, pendapatan yang diperoleh yang jual-beli barang haram statusnya juga menjadi haram. Tentu menjadi ironis sekaligus mengerikan, jika pembangunan Kota Bandung bersumber dari dana yang tidak halal. Lalu, bagaimana mungkin kota ini menjadi berkah? Dan keinginan Kota Bandung sebagai kota agamis, tentu menjadi tidak bernilai.
Tidak dihormatinya etika dan standar yang dianut oleh umat Islam tentang keharaman minuman beralkohol membuktikan bahwa paham sekularisme masih dijadikan pijakan dalam merancang setiap kebijakan. Padahal, sekularisme, yang memisahkan agama dari ruang publik, amat bertentangan dengan pandangan hidup yang dianut oleh umat Islam, yang menjadikan ruang publik juga sebagai arena diterapkannya syariat Islam.
Memang, tempat penjualannya dibatasi pada tempat-tempat sebagaimana disebut di atas. Di samping itu, Raperda ini juga hanya membolehkan meminumnya di tempat, tidak diperbolehkan membawa keluar dari lokasi tersebut. Walaupun demikian, hal itu tidak menutup akses orang Islam untuk mendapatkan minuman beralkohol, karena ruang-ruang yang dimaksud tidak menetapkan kriteria identitas agama pengunjungnya. Baik hotel, diskotek, maupun pub dapat dimasuki baik oleh muslim maupun non-muslim.
Hal berikutnya yang patut dikaji secara kritis adalah aturan tentang penghentian penjualan minuman beralkohol. Dalam Raperda tersebut, disebutkan bahwa untuk menghormati bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, penjual minuman beralkohol harus tutup satu hari sebelum bulan Ramadhan, 2 hari sesudah Idul Fitri, 2 hari sebelum dan sesudah Idul adha (pasal 5 ayat 5), kecuali di hotel berbintang 3, 4 dan 5 (pasal 5 ayat 6). Pemkot juga dapat menghentikan penjualan minuman beralkohol saat adanya kegiatan politik seperti kampanye, pilkada dan pemilu (pasal 12 ayat 1). Lagi-lagi, bagi umat Islam, kebijakan ini akan aneh. Sebab, ketaatan pada syariat Islam untuk menjauhi barang-barang haram berlaku sepanjang waktu, bukan hanya pada bulan Ramadhan, hari raya, dan momen-momen politik saja. Jelas, umat Islam yang sadar akan hal ini pastilah menginginkan agar penjualan minuman beralkohol dihentikan sepanjang tahun.
Dalam syariat Islam, minuman beralkohol dilarang diedarkan, karena diharamkan adanya perdagangan barang-barang haram. Oleh karenanya, negara wajib menghentikan semua aktivitas produksi dan distribusi minuman beralkohol, baik di hotel berbintang lima maupun warung pinggir jalan.
Olehkarena itu, menjadi sangat penting bahkan wajib hukumnya bagi anggota dewan, pimpinan ormas Islam, pimpinan lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk menolak keberadaan Raperda yang cenderung melegalisasi bahkan berpotensi membuka lebar celah bagi terjadinya perbuatan yang dilarang oleh agama, membahayakan akal, kesehatan, kehidupan sosial, bahkan dapat mencederai kehidupan beragama umat Islam.
BANTAHAN TERHADAP UPAYA LEGALISASI MIRAS
Nampaknya, banyaknya korban berjatuhan karena menenggak minuman keras (miras) tidak juga menyurutkan langkah anggota DPRD Kota Bandung untuk melegalisasi minuman haram tersebut melalui Peraturan Daerah. Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang diusulkan oleh Pemerintah Kota Bandung tersebut kini masih dalam tahap pembahasan oleh dewan dan direncanakan diselesaikan pada medio atau akhir bulan Mei. Walaupun draft Raperda awal telah mengalami perubahan setelah dibahas dewan, akan tetapi substansi pelegalan miras masih tetap ada. Misalnya, Raperda tersebut diberi judul “Pelarangan, Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol” akan tetapi pada pasal 5 minuman beralkohol masih boleh diperjualbelikan di hotel berbintang 3, 4 dan 5, restoran dengan tanda talam kencana dan talam selaka, kemudian lounge, pub karaoke, kelab malam, diskotik dan duty free shop. Itu artinya, adanya bahasa pelarangan dalam judul raperda tersebut hanya sekedar hiasan/aksesoris belaka.
Dari diskusi terakhir (13/05) penulis dengan Ketua Pansus IV Tomtom Dabbul Qomar di salah satu televisi swasta lokal di Bandung, nampaknya anggota dewan masih belum memiliki keberanian untuk melarang total miras. Ada beberapa dalih atau justifikasi yang seringkali dikemukakan oleh pihak yang menginginkan pelegalan miras, diantaranya:
Pertama karena Bandung itu kota pariwisata yang banyak didatangi oleh wisatawan asing. Menurut mereka, sebagai tuan rumah sudah seharusnya kita menyediakan minuman yang biasa dikonsumsi oleh para tamu. Mereka beralasan pelarangan miras akan berdampak terhadap menurunnya angka kunjungan wisatawan ke Bandung. Pendapat tersebut samasekali tidak berdasar, mengingat tujuan utama wisatawan asing ke Bandung bisa dipastikan bukan karena miras. Kalau tujuan utamanya karena miras, buat apa jauh-jauh harus ke Bandung? Dan biasanya, jika seseorang melancong ke suatu negeri, yang dicari bukanlah sesuatu yang sudah banyak atau lumrah di negeri asalnya, akan tetapi sesuatu yang berbeda. Kenapa pemerintah tidak tergerak untuk memajukan minuman alternatif yang halal sebagai pengganti minuman keras? Terkait dengan logika tamu dan tuan rumah, maka hendaknya prinsip “di mana bumi dipijak disitu langit dijunjung” harus dijadikan pegangan. Artinya, yang menyesuaikan seharusnya tamu bukanlah tuan rumah. Terkait hal tersebut, belum lama penulis menerima dan menemani tamu asing dari London yang bukan beragama Islam, ketika disuguhi bandrek dicampur kelapa, ternyata bukan main senangnya. Maka, kekhawatiran menurunnya pariwisata akibat pelarangan miras sama sekali tidak berdasar.
Kedua, mereka beralasan Bandung adalah kota yang plural, tidak hanya dihuni oleh orang yang beragama Islam yang mengharamkan miras. Masih ada umat beragama lain yang tinggal di Kota Bandung. Sehingga melarang miras berarti tidak memperhatikan agama yang ada. Pendapat tersebut seolah seperti benar padahal sangat menyesatkan, mengingat masalah miras bukan sekedar masalah umat Islam karena dampaknya sudah sangat mengancam semua generasi dan tidak memandang agama. Masalah miras mirip seperti halnya narkotika dan psikotropika yang sudah banyak menelan korban. Narkotika dan psikotropika yang sudah dilarang total saja masih banyak pihak yang menggunakan, apa jadinya jika miras masih mudah untuk didapatkan? Tentu sangat membahayakan.
Menarik untuk direnungkan, Provinsi Papua yang prosentase umat Islam-nya lebih sedikit dari warga Kota Bandung atau Jawa Barat, akan tetapi tengah menyusun Raperda yang berisi pelarangan pemasukan, penyimpanan, pengedaran dan penjualan serta memproduksi minuman beralkohol. Cermati juga isi pesan pendek yang masuk ke telepon genggam penulis; "Saya umat Kristiani, tapi sangat2 setuju Miras dilarang di tempat manapun, sekalipun hotel berbintang. Membiarkan dosa adalah dosa. Maju terus, berjuang terus. Wujudkan Bandung kota Agamis! Selamat berjuang, Tuhan menyertai Luthfi”. Artinya, alasan pluralitas warga Kota Bandung tidak bisa dijadikan alasan untuk melegalisasi miras.
Ketiga, sering diungkapkan bahwa pelarangan total miras bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, diantaranya Keppres No. 3 tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol. Alasan ini pun terkesan dibuat-dibuat dan jauh dari kebenaran. Menurut pakar Hukum Tatanegara Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, makna pengendalian dalam Keppres 3/1997 itu bisa berarti dibolehkan dengan aturan tertentu, dibatasi dengan sangat ketat dan bisa juga bermakna dilarang total, menurutnya itu semua bergantung kepada daerah masing-masing. Artinya opsi melarang total masih sangat mungkin dilakukan jika ada kemauan dari para anggota dewan. Apalagi di masa otonomi daerah, kewenangan itu diserahkan kepada para pemangku kebijakan daerah disesuaikan dengan kebutuhan daerahnya. Artinya alasan hukum pun terbantahkan dengan sendirinya.
Keempat, menurut mereka jika miras dilarang total maka akan banyak terjadi penganguran dari para pekerja yang bergerak di dunia hiburan dan yang sejenis dengan itu. Alasan ini sama sekali bertolak belakang dengan fakta, mengingat banyaknya pengangguran dan ketidakproduktifan masyarakat justru akibat minuman keras. Saat ini, mana ada perusahaan yang mau menerima karyawan yang kerjanya hanya mabuk-mabukan atau sering mengonsumsi minuman keras? Bahkan walaupun di perusahaan miras sekalipun. Orang yang sering mengonsumsi miras tentu akan berakibat rusaknya akal dan buruknya perilakunya. Apa yang diharapkan dari generasi yang kerjanya merusak akalnya sendiri dengan miras? Disinilah justru awal terciptanya masyarakat yang tidak produktif yang akan memicu tingginya angka pengangguran.
Walhasil, tidak ada satu pun alasan yang dapat membenarkan legalisasi miras. Satu-satunya alasan yang dapat dipahami adalah karena untuk menghancurkan generasi dan kepentingan bisnis kapitalis. Maka penulis mengingatkan khususnya kepada para anggota dewan yang terhormat yang mayoritas beragama Islam. Kini kebijakan itu ada di tangan Anda, sejarah akan mencatat, jika Anda melakukan kebaikan dengan melarang total perkara yang Allah haramkan, maka niscaya penduduk langit dan bumi akan mendoakan kebaikan kepada Anda. Sebaliknya, jika Anda menjadi washilah (perantara) bagi terbukanya keran keharaman dengan melegalisasi perkara yang Allah haramkan, maka selain Anda akan menanggung dosa para pedagang dan peminum yang mereka bebas menjual dan mengonsumi miras karena kebijakan yang Anda terapkan, maka penduduk langit dan bumi pun akan mendoakan keburukan kepada Anda. Maka, jangan sampai pilihan yang terakhir itu yang terjadi. Wallahu A’lam.
QUO VADIS, BANDUNG AGAMIS?
Akhirnya, di penghujung tahun 2010 (30/12), DPRD Kota Bandung melalui pemungutan suara (voting) menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol (Pikiran Rakyat, 02/01). Sejak diusulkan Pemkot Bandung hingga pembahasan di DPRD, draft tersebut sudah banyak menuai penolakan berbagai pihak, baik ormas Islam, ulama, mahasiswa, guru, siswa hingga ibu rumah tangga.
Tercatat, beberapa kali ummat Islam Kota Bandung melakukan aksi penolakan raperda yang isinya cenderung melegalisasi minuman keras (miras). Pada tanggal 11 Februari 2010 misalnya, dilakukan aksi perdana penolakan miras. Selain itu pada 16 April 2010 juga dilakukan aksi simpatik menolak miras dengan membagikan leaflet di beberapa perempatan jalan raya di kota Bandung. Puncaknya, pada 1 Juni 2010 hampir 1000 ummat Islam mendatangi Gedung DPRD Kota Bandung untuk menyampaikan aspirasi penolakan raperda yang berisi pelegalan miras. Bahkan sebelumnya, sekitar 5000 ulama/ustadz juga menolak raperda tersebut dalam bentuk pernyataan tertulis yang diumumkan ke media pada 10 Mei 2010.
Penolakan masyarakat bukannya tanpa alasan, karena raperda tersebut dianggap lebih merupakan upaya legalisasi miras, ketimbang pelarangan. Indikasi legalisasi bisa dilihat dari pasal yang menyebutkan, bahwa minuman beralkohol boleh diperdagangkan di hotel bintang 3, 4, dan 5, restoran bertanda talam selaka dan talam kencana, pub, diskotek, dan karaoke.
Berbagai alasan yang dilontarkan beberapa pihak yang menginginkan pelegalan miras pun telah terbantahkan. Alasan banyaknya turis asing ke Bandung sehingga miras diperlukan untuk ‘menjamu’ mereka, terbantahkan dengan fakta bahwa tujuan utama mereka ke Bandung bukan karena miras. Justru orang bandung harus bangga dan percaya diri menawarkan minuman khas-nya yang sehat dan halal semacam bandrek kepada para turis asing. Begitupun alasan bahwa Bandung adalah kota plural yang tidak hanya dihuni oleh orang Islam, terbantahkan oleh realitas yang menunjukkan bahwa masalah miras bukan sekedar masalah umat Islam, karena dampaknya sudah sangat mengancam semua generasi dan tidak memandang agama.
Alasan bahwa pelarangan miras bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi pun tidak berdasar sama sekali. Bahkan menurut Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, makna pengendalian dalam Keppres 3/1997 itu bisa juga bermakna dilarang total tergantung kepada daerah masing-masing. Alasan akan terjadinya pengangguran akibat dilarangnya miras pun hanya alasan yang dibuat-buat, karena justru miras lah yang membuat masyarakat tidak produktif dan memicu kriminalitas, bahkan pabrik miras sekalipun tentu tidak akan mau menerima karyawan yang suka mabuk-mabukan.
Bantahan terhadap alasan tersebut pun telah dilayangkan. Namun, sebagaimana pepatah, ‘anjing menggonggong, kafilah berlalu’, anggota DPRD Kota Bandung nampaknya sudah ‘tuli’ dari kritik masyarakat, ‘bebal’ dari nasihat ‘ulama, sehingga perkara yang sudah jelas keharamannya menurut agama dan jelas dampak negatifnya dari aspek kesehatan, moral dan sosial-kemasyarakatan tidak lagi menjadi pertimbangan. Nampaknya, mereka lebih berpihak kepada kepentingan pengusaha miras ketimbang keselamatan akhlak generasi muda.
Dengan dilegalkannya miras, bagaimana dengan ‘nasib’ Bandung Kota Agamis? Jika mengutip pendapat Ajip Rosidi dalam artikelnya Agamis Apa Artinya? Kata agamis sebagaimana yang banyak digunakan dalam surat kabar dan majalah Islam saat ini berasal dari kata dasar agama, mendapat akhiran -is yang berasal dari bahasa Belanda yang menunjukkan sifat. Singkatnya, menurut Ajip, agamis mempunyai maksud untuk menunjukkan bahwa dia itu orang yang taat menjalankan agama yang dipeluknya dengan penuh keimanan.
Sebagai konsekuensi dari konsep Kota Bandung sebagai kota agamis yang sering didengungkan Walikota Dada Rosada, sudah seharusnya pemerintah dan DPRD Kota Bandung memerhatikan aspirasi umat Islam yang menginginkan peraturan daerah didasarkan pada nilai-nilai Islam. Hal tersebut sah-sah saja, mengingat sebagai warga mayoritas mau tidak mau merekalah objek utama penerapan peraturan tersebut. Memang, menurut Dada Agamis itu bukan Islami, dengan alasan semua agama diakui eksistensinya. Namun pernyataan ini menyisakan masalah. Bila maknanya bukan Islami, lalu bagaimana dengan umat Islam sebagai penduduk mayoritas yang ingin menjalankan kehidupan berdasarkan ajaran Islam? Standar apa yang digunakan untuk menilai sesuatu itu agamis atau tidak?
Maka, lupakanlah Bandung Kota Agamis. Disahkannya raperda yang melegalkan minuman keras, adalah langkah kontraproduktif pemkot dan dewan terhadap keinginan masyarakat agar Bandung menjadi kota relijius yang layak dan aman dihuni oleh siapapun yang menginginkan hidup jauh dari kerusakan moral dan kemaksiatan.
Dakwah, amar ma’ruf dan nahyi munkar telah dilakukan oleh segenap elemen ummat Islam agar miras dilarang total. Namun nampaknya, kekuasaan dan uang telah membuat pejabat Kota Bandung dan sebagian anggota dewan tertutup mata hatinya dalam menerima kebenaran. Pengesahan raperda miras ini pun semakin menunjukkan, sistem kapitalis-sekular yang diterapkan di negeri ini akan sedemikian rupa berupaya menghalangi pembumian syariat Islam. Jika demikian, Quo Vadis Bandung Agamis?
TOLAK LEGALISASI DAN PEREDARAN MIRAS
Rencana Kemendagri untuk membatalkan perda minuman keras dengan alasan bertentangan dengan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol digugat banyak pihak, diantaranya oleh Pemda/Pemkot yang memiliki Perda Miras, MUI Pusat dan daerah, Ormas Islam hingga Persekutuan Gereja Indonesia (PGI). Mereka beralasan, pencabutan Perda Miras akan semakin membiarkan miras merajalela dan memicu tingginya angka kriminalitas. Sampai dengan saat ini, Kabupaten/Kota yang mengeluarkan perda minuman keras yang dianggap bertentangan dengan Keppres 3/1997 adalah Kota Bandung, Kabupaten Indramayu, Kota Banjarmasin, Kota Balikpapan, Kota Tangerang, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Maros, Kota Sorong, dan Kabupaten Pamekasan.
Keppres Bermasalah
Permasalahan minuman keras di Indonesia, sesungguhnya berpangkal dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini akan membuka ruang bermunculannya bisnis haram termasuk minuman keras. Prinsipnya, selama ada permintaan pasar, menguntungkan bagi pengusaha dan ada pemasukan buat negara, maka bisnis apapun termasuk yang merusak masyarakat akan difasilitasi. Alasan inilah sesungguhnya yang menjadi latar belakang terbitnya Keppres No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Keppres inilah yang membuka ruang bagi para pengusaha untuk memproduksi minuman beralkohol dengan izin dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Pasal 2). Selain itu, Keppres ini pun membedakan minuman beralkohol yang termasuk dalam kategori barang dalam pengawasan dan yang tidak diawasi. Minuman beralkohol yang diawasi adalah yang kadar alkoholnya antara 5% hingga 55% (golongan B dan C), adapun yang kadar alkoholnya 1%-5% (golongan A) tidak termasuk dalam pengawasan (pasal 3). Itu artinya, minuman yang kadar alkoholnya 5% atau di bawah itu, bebas dijual tanpa ada pembatasan tempat.
Perda Minuman Beralkohol
Perlu diketahui, bahwa kemunculan dan isi Perda minuman beralkohol di berbagai daerah sesungguhnya mengacu kepada Keppres 3/1997. Hanya saja, di beberapa daerah ada yang lebih mengetatkan lagi pengawasan dan peredarannya, yakni bukan hanya untuk minuman beralkohol golongan B dan C tetapi termasuk golongan A, atau yang kadar alkoholnya antara 1%-5%. Seperti halnya Perda Kota Bandung No. 11 tahun 2010 tentang Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Dalam Perda tersebut dinyatakan bahwa semua golongan minuman beralkohol peredarannya termasuk dalam pengawasan (pasal 4). Inilah boleh jadi yang dianggap oleh Kemendagri bertentangan dengan Keppres 3/1997.
Alhasil, karena acuan utama pembuatan Perda minuman beralkohol adalah Keppres 3/1997, maka jika diperhatikan, isi Perda Miras sejatinya tidak jauh berbeda dengan Keppres. Isi Perda masih membolehkan peredaran minuman keras di tempat tertentu. Di Bandung misalnya, minuman keras masih diperbolehkan dijual di Hotel Berbintang 3 hingga Berbintang 5, Restoran dengan Tanda Talam Kencana dan Talam Selaka, Pub karaoke, Kelab Malam, Diskotik; dan Duty Free Shop (pasal 5). Ini artinya, isi Perda pun sejatinya belum melarang total peredaran minuman beralkohol bahkan cenderung melegalisasi minuman beralkohol.
Pencabutan Perda Miras
Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa isi Perda Miras sejatinya tidak dalam rangka melarang total minuman keras. Isinya hanya mengatur, mengendalikan dan mengawasi peredaran minuman beralkohol. Pada sisi yang lain, rencana kemendagri membatalkan perda minuman keras dengan alasan bertentangan dengan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 dipastikan akan lebih memperparah keadaan. Bisa dipastikan, peredaran minuman keras akan semakin merajalela dan tentu akan sangat berbahaya bagi moralitas rakyat karena akan memicu aneka ragam bentuk kejahatan, karena kita tahu bahwa minuman keras adalah pangkal kejahatan (al khamru ummul khabaits). Dalam hal ini, adanya Keppres 3/1997 dan rencana pembatalan perda miras menunjukkan bahwa pemerintah lebih mengacu kepada kepentingan bisnis (kapitalis) daripada kepentingan penjagaan moralitas rakyatnya. Inilah cermin dari penguasa sekuler-kapitalistik.
Solusi Islam
Syariat Islam jelas mengharamkan minuman keras (khamr) (Al-Maidah [5]: 90) dan memandang meminum khamr sebagai kemaksiatan besar dan pelakunya harus dijatuhi sanksi had. Adapun had peminum khamr adalah dijilid 40 kali dan bisa lebih dari itu. Islam juga mengharamkan dan menghilangkan semua hal yang terkait dengan khamr, mulai dari perizinan, produksi (pabrik), distribusi (toko yang menjual minuman keras), hingga yang meminumnya. Semuanya dilaknat Allah swt. Dalam hal ini, pemerintah wajib mengambil kebijakan mencabut Keppres 3/1997 dan menggantinya dengan kebijakan yang melarang total miras mulai dari hulu hingga hilir. Bahaya khamr dan semua keburukan akibatnya hanya akan bisa dihilangkan dari masyarakat dengan penerapan syariah Islam secara utuh. Karena itu, impian kita akan masyarakat yang tentram, bersih, bermartabat dan bermoral tinggi, hendaknya mendorong kita melipatgandakan perjuangan untuk menerapkan syariah Islam dalam bingkai sistem politik yang telah ditetapkan Islam, yakni sistem Khilafah. Wallahu A’lam.
Posting Komentar untuk "MENOLAK RAPERDA MINUMAN BERALKOHOL"