Tashawuf : Apa dan Bagaimana Sikap Kita?
Oleh : Ustadz Syamsuddin Ramadhan
Falsafah Tentang Eksistensi dan Hakekat Hidup
Abu al-Wafaa’ al-Taftazaniy berkata:
التصوّف بوجه عامّ فلسفة حياة، وطريقة معيّنة في السلوك، يتّخذهما الإنسان لتحقيق كماله الأخلاقي، والاتصال بمبدأ أسمى، وعرفانه بالحقيقة، وتحقيق سعادته الروحيّة. والتصوّف مشترك بين ديانات وفلسفات وحضارات متباينة في عصور مختلفة
“Tashawwuf secara umum adalah falsafah hidup dan jalan tertentu dalam perilaku yang keduanya diambil manusia untuk merealisasikan kesempurnaan pekerti (al-kamaal al-akhlaqiy), meraih idealism, pencapaian hakekat, dan untuk mewujudkan kebahagiaan ruuhiyyah. Tashawwuf tersebar luas di berbagai macam agama, filsafat, dan peradaban di berbagai kurun sejarah”.[Abu al-Wafaa al-Taftazaniy, al-Mausu’ah al-Falsafiyyah al-‘Arabiyyah, Ma’had al-Imaa’ al-‘Arabiy, Beirut, Cetakan Pertama (1986), juz 1, hal. 73; bab “at-tashawwuf”]
Sebelum Islam datang, hampir setiap bangsa dan agama memiliki pandangan dan falsafah hidup tentang kehidupan dan eksistensi. Bahkan, sebelum kedatangan Isa al-Masih (sebelum masehi), bangsa-bangsa besar, seperti Mesir, China, Persia, dan Yunani, telah mendiskusikan dan memformulasikan hakekat tentang wujud (eksistensi), hakekat wujud (eksistensi), dan kehidupan. Pandangan tentang kehidupan dan eksistensi (al-hayah wa al-wujud) yang paling menonjol pada saat itu adalah pandangan yang menyatakan bahwasanya eksistensi (al-wujud) di alam semesta ini tersusun oleh dua unsur penting, yakni materi (al-maadah/wadag kasar) dan spirit (al-ruuh/wadaq halus). Dua unsur ini saling bertentangan dan tidak mungkin disatukan. Spirit (ruh) dianggap sebagai sumber kesempurnaan, kebaikan, dan keluhuran jiwa. Sedangkan materi dianggap sebagai perkara yang rendah, penyebab kehancuran, ketidaktenangan, dan keburukan bagi manusia.
Menurut penganut falsafah ini, hakekat hidup atau kesempurnaan hidup adalah ketika spirit (ruh) mampu mendominasi dan mengalahkan materi (wadag kasar). Pasalnya, alam materi dianggap lebih rendah daripada ruh. Atas dasar itu, jika seseorang ingin meraih kesempurnaan dan hakekat hidup, ia harus meninggalkan, menjauhi, dan memusuhi semua hal yang berbau materi. Jika seseorang masih terpenjara oleh materi, dan belum bisa meninggalkan kehidupan materi, maka ia dianggap berbudi rendah, dan belum mencapai hakekat hidup. Sebaliknya, jika seseorang mampu meninggalkan alam materi, seperti berpakaian kasar, sedikit makan, meninggalkan hiruk pikuk kehidupan dunia (‘uzlah), membujang selamanya, meninggalkan atribut kekuasaan dan intrik-intrik politik, selalu berjalan kaki, dan lain sebagainya, maka, ia telah mencapai kesempurnaan hidup, dan martabatnya sebagai manusia telah mencapai titik yang tertinggi.
Masih menurut pandangan di atas, seseorang yang berhasil melepaskan diri dari dunia materi, dengan mudah akan berpindah ke alam yang lebih tinggi, dan meraih puncak hakekat, atau bertemu dengan “Realitas Mutlak” (Tuhan). Dengan kata lain, seseorang yang telah mencapai tingkatan tinggi, maka, ia akan memiliki kemampuan untuk mengungkap “Realitas Muthlak” atau “Pengetahuan Tertinggi” bukan dengan inderanya atau akal pikirannya, akan tetapi, dengan “perasaan dan bisikan kalbunya”. Inilah yang dimaksud dengan tingkatan makrifat; yang mana, dalam tingkatan ini, seseorang telah dianggap mengenal Realitas Mutlak, dengan bisikan dan perasaannya yang halus. Ketika seseorang telah meraih hakekat, atau makrifat dengan Realitas Mutlak, maka, semua hal-hal yang bersifat artificial tidaklah menjadi penting. Di Yunani, paham seperti ini disebut dengan Gnosisme. Gnosis, adalah kata yang diserap dari bahasa Yunani, yang berarti “makrifat”. Selanjutnya, kata ini digunakan untuk mengungkapkan pengertian, “pencapaian kepada “Pengetahuan Tertinggi” dengan menggunakan al-kasyf, bukan dengan menggunakan bukti-bukti inderawi atau bukti-bukti ‘aqliy”. [Nasy`at al-Fikr al-Falsafiy, juz 1/186]
Falsafah hidup seperti ini, banyak dianut oleh sufi-sufi di Timur, seperti India, Persia, Mesir, dan sebagainya, baik yang beragama Hindu, Budha, maupun aliran kepercayaan lainnya. Tidak hanya itu saja, falsafah ini juga dianut oleh sebagian besar penduduk Yunani. Di Yunani, pencetus aliran filsafat ini adalah Plato. Plato menyatakan bahwasanya “Realitas Tunggal” adalah sumber bathin untuk seluruh eksistensi. Realitas Tunggal ini memancar pertama kali sebagai “akal yang utuh” (‘aqliy kulliy), lalu memancar sebagai Jiwa Tuhan, selanjutnya memancar menjadi jiwa parsial, seperti halnya particular-partikular parsial yang mencakup dunia materi. Dunia materi dianggap Plato sebagai sesuatu yang “tidak ada”.[1] Masih menurut Plato, intisari kehidupan manusia adalah menggapai “Dzat Yang Tunggal”. Bahkan diyakini juga bahwasanya eksistensi hakiki (wujud al-haqiqiy) hanyalah satu, yang bagi Plato, hal itu hanya bisa diwujudkan dengan cara membatasi kecenderungan jasad terhadap materi dan meningkatkan kekuataan spiritualitas. Jika seseorang mampu mengekang kecenderungannya terhadap materi, dan semua hal yang berbau materi, maka jiwanya akan terbang dan bersatu dengan “Dzat Yang Maha Tunggal”. Pandangan ini dikenal juga dengan istilah “wihdat al-wujud” (kesatuan antara hamba dengan Tuhan). Dari pandangan ini munculnya pandangan tentang emanansi, filsafat perennial, dan lain sebagainya.
Pandangan seperti di atas (gnosisme) juga berkembang di kalangan Yahudi dan Nashrani. Di kalangan Yahudi, filsafat gnosisme ini dianut dan disebarluaskan oleh kalangan Yahudi puritan yang disebut dengan Qubala atau Kubala. Sedangkan di kalangan Nashraniy, gnosisme sudah muncul mulai dari kurun pertama Masehi dan tetap bertahan hingga sekarang. Sebagian ahli sejarah filsafat menyatakan bahwasanya para penganut gnosisme adalah pengikut-pengikut pada sekolah filfasat agama di abad pertama Masehi. Mereka menggabungkan ajaran-ajaran Isa dengan agama-agama Timur Kuno dan pandangan Neo Platonisme dan Phytagoras. Mereka percaya bahwasanya hubungan dengan Spirit Tertinggi tidak akan mungkin didapat kecuali dalam amal kebajikan dan memusuhi alam materi yang mereka anggap sebagai sumber keburukan.[al-Mausu’ah al-Falsafiyyah, bab Gnosisme]
Kemunculan Tashawwuf di Dunia Islam
Ada dua latar belakang penting yang mendorong munculnya gerakan tashawwuf di dunia Islam; yakni:
Pertama, munculnya kaum zuhud yang berusaha mengingatkan kaum Muslim dari fitnah dan tipu daya dunia akibat semakin meluasnya kekuasaan Islam di seluruh penjuru dunia, serta melimpah ruahnya kekayaan kaum Muslim. Keadaan yang serba berlimpahan kekuasaan dan materi ini, sedikit banyak telah mempengaruhi kehidupan kaum Muslim, khususnya kualitas ibadah dan kedekatan mereka kepada Allah swt. Sebagian besar kaum Muslim mulai terlena dengan keindahan dunia, dan mulai abai terhadap tujuan hidup mereka di dunia untuk selalu beribadah kepada Allah swt. Muncullah kemudian kelompok zuhud yang menyerukan zuhud terhadap dunia. Gerakan tashawwuf seperti ini muncul pada akhir abad ke 2 Hijriyyah. Ulama yang menjadi pelopor tashawwuf model ini adalah al-Harits dan al-Junaid al-Baghdadiy. Tashawwuf yang mereka kembangkan tetap beranjak dari al-Quran dan Sunnah, dan sama sekali tidak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafat Yunani maupun ajaran-ajaran agama selain Islam. Hanya saja, sebagian ulama fikih, seperti Imam Asy Syafi’iy dan Imam Ahmad bin Hanbal menentang gerakan tashawwuf yang dikembangkan oleh al-Harits maupun al-Junaid al-Baghdadiy.
Kedua, adanya sekelompok orang yang terpengaruh filsafat Yunani dan ajaran-ajaran agama selain Islam yang mengembangkan model tashawwuf baru yang belum pernah dikenal sebelumnya oleh kaum Muslim. Tashawwuf model ini sama sekali tidak dibangun di atas ‘aqidah dan syariat Islam; akan tetapi, didirikan di atas pemikiran filsafat Yunani dan ajaran-ajaran selain Islam, semacam gnosisme, al-fana’, wihdat al-wujud, al-ittihaad wa al-hulul, dan sebagainya. Di antara tokoh-tokoh yang mengajarkan tashawwuf model ini adalah al-Kindiy, Al-Farabiy, dan Ibnu Sina. Tashawwuf seperti ini disebut dengan tashawwuf falsafiyyah. Pada dasarnya, tashawwuf model inilah yang menyebabkan munculnya ajaran-ajaran baru tentang hidup dan ibadah yang dianggap menyimpang dari Islam, seperti wihdat al-wujud, ketidakharusan menjalankan syariat bagi yang telah mencapai kedudukan makrifat, alam semesta adalah serpihan dari Cahaya Tuhan, dan lain sebagainya. Adapun model tashawwuf yang dikembangkan oleh Al-Harits dan al-Junaid, tidak dianggap menyimpang dari agama Islam, oleh sebagian besar ulama Islam, walaupun sebagian ulama menganggapnya sebagai ajaran sesat.
Benar, kemunculan tashawwuf falsafiyyah di dunia Islam dilatarbelakangi oleh adanya keterpengaruhan sebagian kaum Muslim terhadap pandangan dan falsafah hidup yang dianut oleh pemeluk agama-agama di Timur dan filosof Yunani, terutama pandangan Plato mengenai eksistensi dan hidup. Pada paparan sebelumnya telah diuraikan bahwasanya gnosisme adalah paham yang paling banyak dianut oleh para filosof Yunani dan pemeluk agama-agama di Timur. Pandangan inilah yang di kemudian hari memberikan pengaruh yang amat besar terhadap kelahiran tashawwuf falsafiyyah[2] di dunia Islam. Bahkan, kelompok-kelompok sufi dan tarekat yang telah terpengaruh oleh pandangan Plato tentang eksistensi dan hakekat hidup tersebut, mengklaim bahwasanya gnosisme memiliki akar di dalam Islam. Mereka mulai menakwilkan ayat-ayat al-Quran dan Sunnah yang berbicara tentang zuhud, wara’, ‘uzlah, kejujuran, kesederhanaan, dan lain sebagainya untuk melegitimasi adanya tashawwuf falsafiyyah di dalam Islam.
Padahal, Al-Quran dan Sunnah tidak pernah berbicara tentang gnosisme. Islam tidak pernah menyatakan bahwasanya eksistensi itu terdiri dari materi dan ruh. Islam juga tidak pernah menganggap ruh (spirit) itu lebih mulia atau lebih tinggi dibandingkan materi. Islam juga tidak pernah mempertentangkan materi dengan ruh, atau sebaliknya. Islam juga tidak pernah menganggap materi sebagai sumber keburukan, atau sebagai sesuatu yang harus dijauhi dan ditinggalkan demi meraih kesempurnaan hidup. Islam juga tidak pernah mengajarkan bahwasanya “tidak ada wujud selain Allah swt”. Islam juga tidak pernah mengajarkan “wihdat al-wujud” (bersatunya hamba dengan Tuhan dalam satu wujud). Bahkan, Islam telah menganggap siapa saja yang menyakini ajaran “wihdat al-wujud” telah murtad dari agama Islam.
‘Aqidah Islamiyyah hanya mengajarkan bahwasanya alam semesta, kehidupan, dan manusia diciptakan (makhluq) Allah swt. Dialah Allah swt, satu-satunya Dzat Pencipta dan Pengatur alam semesta, kehidupan, dan manusia. Allah swt sematalah yang menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Atas dasar itu, yang dimaksud dengan “ruhaniyyah” (spirit) yang dibahas oleh para filosof sejatinya adalah kesadaran seorang hamba akan hubungannya dengan Sang Pencipta (Allah swt). Adapun yang dimaksud dengan “aspek ruhiyyah” pada materi adalah kesadaran bahwasanya segala sesuatu yang ada di kehidupan dunia ini diciptakan oleh Allah swt. [Dr Ahmad Qashshash, Nusyuu` al-Hadlarah al-Islaamiyyah, bab al-Falsafah wa al-Tashawwuf]
Ketika Islam tegak di atas keimanan kepada Allah swt, maka Islam telah menetapkan bahwasanya aspek ruhiyyah pada diri manusia, alam semesta, dan kehidupan adalah sebuah kesadaran bahwasanya manusia, alam semesta, dan kehidupan diciptakan oleh Allah swt. Kesadaran inilah yang menjadi asas bagi kehidupan seorang Muslim, sekaligus sebagai landasan asasi bagi perbuatan seorang Muslim. Oleh karena itu, Islam tidak pernah mempertentangkan atau memisahkan materi dengan ruh, tetapi, justru menyatukan keduanya dalam penyatuan yang utuh dan menyeluruh. Ketika memandang kehidupan dunia –termasuk dirinya–, seorang Muslim menyadari sepenuhnya bahwa semua yang ada di muka bumi diciptakan Allah swt. Kesadaran inilah yang menumbuhkan perasaan akan Keagungan Allah swt Sang Pencipta dan Pengatur. Selanjutnya, kesadaran ini akan mendorong dirinya untuk senantiasa tunduk dan patuh kepada perintah dan larangan Allah swt. Ketundukan dan kepatuhannya kepada Sang Khaliq diwujudkan dalam bentuk menjalankan syariat Islam secara menyeluruh. Tatkala seorang Muslim mengikatkan seluruh amal perbuatannya (materi) dengan perintah dan larangan Allah swt, karena dorongan keimanannya, atau kesadaran dirinya akan hubungannya dengan Allah swt, maka, ia telah menyatukan materi dengan ruh (mazj al-maadah bi al-ruuh); dan seluruh kehidupannya telah tegak di atas asas ruuh, yakni ‘aqidah Islamiyyah.
Dari penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwasanya masalah sesungguhnya –dalam pandangan Islam— adalah adanya sebuah kesadaran bahwasanya seluruh eksistensi yang ada di dunia ini adalah diciptakan Allah swt; dan dengan kesadaran ini, manusia diperintahkan untuk hidup sejalan dengan ketetapan Allah swt dan Rasulullah saw; bukan bagaimana manusia menjauhi kehidupan dunia atau mengalahkan jasadnya. Dalam pandangan Islam, hakekat kehidupan bukanlah dominasi ruh atas materi, atau menyatu dengan Realitas Mutlak, tetapi; menyatukan ruh dengan materi. Adapun yang dimaksud dengan “menyatukan ruh dengan meteri” di sini adalah; seluruh perbuatan manusia harus senantiasa sejalan dengan syariat Islam, dan perbuatan tersebut tegak di atas ‘aqidah Islamiyyah.
Oleh karena itu, perintah di dalam al-Quran dan Sunnah tentang zuhud, tidak tamak terhadap dunia, mendekatkan diri kepada Allah, tidak cinta terhadap kehidupan dan dunia, dan lain sebagainya, sama sekali tidak bermakna bahwa Islam telah memisahkan materi dengan ruh, atau menjadikan materi sebagai sesuatu yang lebih rendah dibandingkan dengan ruh. Dengan kata lain, taqwa bukanlah diukur dari sejauh mana seseorang mampu menjauhkan dirinya dari kehidupan dunia, akan tetapi, ketaqwaan dinilai dari sejauh mana seseorang tersebut terikat dengan ‘aqidah dan syariat Islam. Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Anas bin Malik ra berkata:
جاء ثلاثة رهط إلى بيوت أزواج النبيّ – صلى الله عليه وسلم – يسألون عن عبادة النبيّ – صلى الله عليه وسلم -، فلمّا أُخبروا كأنّهم تقالّوها،فقالوا: وأين نحن من النبيّ – صلى الله عليه وسلم – ؟ قد غُفر له ما تقدّم من ذنبه وما تأخّر. قال أحدهم: أمّا أنا فأنا أصلّي الليل أبداً. وقال آخر: أنا أصوم الدهر ولا أفطر. وقال آخر: أنا أعتزل النساء فلا أتزوّج أبداً. فجاء رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فقال: أنتم الّذين قلتم كذا وكذا؟ أما والله إنّي لأخشاكم لله وأتقاكم له، لكنّي أصوم وأفطر، وأصلّي وأرقد، وأتزوّج النساء، فمن رغب عن سنّتي فليس منّي
“Ada tiga kelompok orang mendatangi rumah-rumah isteri-isteri Nabi saw untuk menanyakan ibadah Nabi saw. Ketika dikabarkan kepada mereka ibadah Nabi saw, seakan-akan mereka saling membincangkan ibadah Nabi saw. Lalu mereka berkata, “Di mana kedudukan kami di sisi Nabi saw? Sedangkan beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang telah lalu dan yang akan datang?. Maka, seorang di antara mereka berkata, “Adapun saya, maka saya akan sholat malam selama-lamanya”. Sedangkan yang lain berkata, “Saya akan berpuasa sepanjang hari tanpa berbuka”. Dan kelompok yang lain berkata, “Saya akan menjauhi wanita, dan tidak akan pernah menikah selama-lamanya”. Rasulullah saw pun datang, dan berkata, “Apakah kalian yang berkata demikian-demikian?! Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling taqwa kepada Allah dibandingkan kalian semua. Akan tetapi, aku berpuasa, tetapi aku juga berbuka. Aku mengerjakan sholat, tetapi aku juga tidur. Aku juga menikahi wanita. Oleh karena itu, barangsiapa mengabaikan sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku”.[HR. Imam Bukhari]
Hadits ini dengan sharih menunjukkan bahwasanya Islam tidak memusuhi kehidupan dunia (materi) atau menempatkannya sebagai sesuatu yang rendah yang harus dijauhi dan dibenci. Selain itu, di banyak ayat, Al-Quran telah menjelaskan bahwasanya alam semesta ini diciptakan untuk manusia. Allah swt berfirman:
وَلَقَدْ كَرَّمْنا بني آدَمَ وَحَمَلْناهُمْ في البَرِّ وَالبَحْرِ وَرَزَقْناهُمْ مِنَ الطَّيِّباتِ وَفَضَّلْناهُمْ على كَثيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.[TQS Al Israa` (17):70]
وَسَخّرَ لَكُمْ ما في السَّماواتِ وَما في الأَرْضِ جَميعاً مِنْهُ إنَّ في ذلكَ لآَياتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُون
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir”.[TQS Al-Jaatsiyah (45):13]
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللهِ الّتي أَخْرَجَ لِعِبادِهِ وَالطَّيِّباتِ مِنَ الرِزْقِ قُلْ هِيَ لِلذَّينِ آمَنُوا في الحَياةِ الدُنْيا خالِصَةً يَوْمَ القِيامة كَذلِكَ نُفَصِّلُ الآياتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُون
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui”.[TQS Al-A’raaf (7):32]
Ayat-ayat di atas, dan masih banyak lagi ayat yang lain, menunjukkan bahwasanya semua yang ada di dunia ini diperuntukkan bagi manusia, agar manusia memanfaatkan dan menggunakannya sesuai dengan ketentuan Allah swt. Berdasarkan ayat-ayat di atas dapatlah dipahami bahwasanya Islam tidak pernah mempertentangan antara kehidupan materi (dunia) dengan ruh atau ruhaniyyah. Untuk itu, orang yang memakan makanan yang dihalalkan Allah swt karena keimanan dan ketundukannya kepada Allah swt, pasti merasakan Keagungan dan Kebesaran Allah swt, disamping ia juga merasakan kelezatan makanan. Dalam keadaan seperti ini, ruhaniyyah telah ada di dalam diri orang tersebut, walaupun pada saat yang sama ia menikmati kelezatan materi. Allah swt berfirman:
يَا أَيُّها الّذينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيّاهُ تَعْبُدُون
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah”.[TQS Al Baqarah (2):172]
يَا أَيُّهَا الّذِينَ آمَنُوا لا تُحَرِّمُوا طَيِّبات مَا أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ المُعْتَدِين
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.[TQS Al Maidah (5):87]
Pedagang yang mencari keuntungan dari perdagangannya juga memiliki “ruuhaniyyah” ketika aktivitas perdagangannya selalu terikat dengan hukum-hukum Allah swt. Disebutkan di dalam hadits:
التاجر الصدوق الأمين مع النبيّين والصدّيقين والشهداء
“Pedagang yang jujur dan amanah, kelak akan bersama dengan para Nabi, orang-orang yang benar, dan orang-orang yang mati syahid”.[HR. Imam Al-Daramiy, Sunan al-Daramiy, Hadits No:2539]
Orang yang menjalin hubungan seksual dengan isterinya yang sah, juga dianggap memiliki “ruhaniyyah”, walaupun pada saat yang sama ia juga menikmati kelezatan dunia. Nabi saw bersabda:
وفي بُضع أحدكم صدقة»، قالوا: يا رسول الله أيأتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر؟ قال: «أرأيتم لو وضعها في حرام أكان عليه فيها وزر؟ فكذلك إذا وضعها في الحلال كان له أجراً.
“Di dalam jima’ (yang dilakukan oleh) seseorang di antara kalian ada sedekah. Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, seorang di antara kita melepaskan syahwatnya, dan di dalamnya ia akan mendapatkan pahala? Rasulullah saw menjawab, “Tidakkah kalian tahu, seandainya ia berjima’ dengan wanita yang diharamkan, bukankah ia akan mendapatkan dosa karenanya? Demikian pula, jika ia berjima’ dengan wanita yang dihalalkan, maka ia akan mendapatkan pahala”.[HR. Imam Muslim]
Nash-nash di atas menunjukkan bahwasanya ketinggian ruh, atau ruhaniyyah sama sekali tidak berhubungan dengan kemampuan seseorang menjauhi materi atau kelezatan duniawi. Bahkan, nash-nash di atas menunjukkan bahwa seorang Muslim diperkenankan untuk menikmati kehidupan dunia beserta kenikmatannya. Hanya saja, dalam menikmati kehidupan dunia itu, seorang Muslim harus selalu memperhatikan halal dan haram. Selain itu, ia tidak boleh menjadikan dunia sebagai tujuan hidup, atau segala-galanya bagi hidup. Atas dasar itu, ruhiyyah hanya bisa dicapai ketika seseorang selalu mengikatkan seluruh perbuatannya dengan ‘aqidah dan hukum syariat. Ketika seseorang berbuat sesuai dengan tuntunan Allah swt dan RasulNya (syariat Islam); maka, dia telah memiliki ruhiyyah. Sebaliknya, jika seseorang berbuat menyimpang dari tuntunan Allah swt dan RasulNya, dia tidak dikatakan memiliki ruhiyyah.
Menepis Anggapan Salah
Benar, di dalam al-Quran dan Sunnah, banyak ayat dan riwayat yang mendorong kaum Muslim untuk memiliki sifat zuhud, wara’, tidak tamak dan rakus terhadap dunia, condong kepada ketaatan, sibuk dengan dzikir ibadah, dan lain sebagainya. Hanya saja, sejak masa Nabi saw, kaum Muslim memahami bahwasanya dorongan-dorongan untuk memiliki sifat-sifat tersebut tidak bertentangan atau menafikan kebolehan menikmati dunia. Para shahabat memahami bahwasanya, zuhud di dunia tidak berarti mengabaikan atau memusuhi dunia. Perintah zuhud juga tidak pernah dipahami keharusan menyiksa jasad, atau melemahkan jasad selemah-lemahnya. Perintah untuk zuhud di dunia hanyalah sebatas untuk tidak menjadikan dunia sebagai tujuan hidup atau segala-galanya bagi hidup. Sebab, tujuan hidup seorang Muslim adalah kehidupan akherat, bukan dunia. Untuk itu, seorang Muslim diperintah untuk berbuat sejalan dengan ‘aqidah dan syariat Islam agar selamat di kehidupan akherat kelak. Perintah untuk zuhud di dunia adalah instruksi agar manusia tidak tamak dan rakus dengan dunia, atau menjadikan dunia sebagai perkara yang paling urgen di dalam hidupnya, hingga seseorang melupakan kehidupan akherat.
Al-Quran dan Sunnah ketika menyebut dunia dan kenikmatan yang ada di dalamnya, keduanya tidak pernah memusuhi dunia, atau memerintahkan kaum Muslim untuk meninggalkan atau menganggap rendah dunia. Akan tetapi, Al-Quran dan Sunnah memerintahkan kaum Muslim untuk tidak berpaling kepada dunia, hingga melupakan kehidupan akherat. Misalnya, al-Quran telah menyatakan:
المالُ وَالبَنُونَ زِيْنَةُ الحياةِ الدُنْيا والبَاقِياتُ الصَالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَواباً وَخَيْرٌ أَمَلاً
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.[TQS Al-Kahfiy (18):46)
اعلَمُوا أَنَّمَا الحَيَاةُ الدُنْيا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِيْنَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتكَاثُرٌ في الأَمْوالِ وَالأَوْلادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرّاً ثُمّ يَكُونُ حُطاماً وَفي الآخِرَةِ عَذَابٌ شَديدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ وَرِضْوانٌ وَمَا الحَياةُ الدُنْيا إلاّ مَتاعُ الغُرور
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.[TQS Al-Hadiid (56):20]
Di dalam hadits riwayat Imam Bukhari di atas juga dinyatakan bahwasanya Nabi saw mencela orang-orang yang berusaha menyiksa anggota badannya untuk menggapai kedekatan kepada Allah swt. Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Anas bin Malik ra berkata:
جاء ثلاثة رهط إلى بيوت أزواج النبيّ – صلى الله عليه وسلم – يسألون عن عبادة النبيّ – صلى الله عليه وسلم -، فلمّا أُخبروا كأنّهم تقالّوها،فقالوا: وأين نحن من النبيّ – صلى الله عليه وسلم – ؟ قد غُفر له ما تقدّم من ذنبه وما تأخّر. قال أحدهم: أمّا أنا فأنا أصلّي الليل أبداً. وقال آخر: أنا أصوم الدهر ولا أفطر. وقال آخر: أنا أعتزل النساء فلا أتزوّج أبداً. فجاء رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فقال: أنتم الّذين قلتم كذا وكذا؟ أما والله إنّي لأخشاكم لله وأتقاكم له، لكنّي أصوم وأفطر، وأصلّي وأرقد، وأتزوّج النساء، فمن رغب عن سنّتي فليس منّي
“Ada tiga kelompok orang mendatangi rumah-rumah isteri-isteri Nabi saw untuk menanyakan ibadah Nabi saw. Ketika dikabarkan kepada mereka ibadah Nabi saw, seakan-akan mereka saling membincangkan ibadah Nabi saw. Lalu mereka berkata, “Di mana kedudukan kami di sisi Nabi saw? Sedangkan beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang telah lalu dan yang akan datang?. Maka, seorang di antara mereka berkata, “Adapun saya, maka saya akan sholat malam selama-lamanya”. Sedangkan yang lain berkata, “Saya akan berpuasa sepanjang hari tanpa berbuka”. Dan kelompok yang lain berkata, “Saya akan menjauhi wanita, dan tidak akan pernah menikah selama-lamanya”. Rasulullah saw pun datang, dan berkata, “Apakah kalian yang berkata demikian-demikian?! Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling taqwa kepada Allah dibandingkan kalian semua. Akan tetapi, aku berpuasa, tetapi aku juga berbuka. Aku mengerjakan sholat, tetapi aku juga tidur. Aku juga menikahi wanita. Oleh karena itu, barangsiapa mengabaikan sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku”.[HR. Imam Bukhari]
Hadits ini dengan sharih (jelas) menyatakan bahwasanya menyiksa anggota badan, atau memusuhi kelezatan dunia bukanlah jalan menuju ketaqwaan hakiki. Ketaqwaan hakiki hanya akan didapatkan ketika seseorang berbuat sejalan dengan sunnah Nabi saw. Atas dasar itu, orang yang meninggalkan kehidupan dunia, atau menyiksa anggota tubuhnya, tidak dikatakan memiliki ketinggian ruuhiyyah. Pasalnya, perbuatan yang ia lakukan bertentangan dengan sunnah Nabi saw.
Pada akhirnya, ketika kaum Muslim mulai bersentuhan dengan agama dan pemikiran-pemikiran asing, mereka mulai berinteraksi dan mengenal pandangan-pandangan keaagamaan dan falsafah kehidupan di luar Islam. Sebagian kaum Muslim mulai terpengaruh dengan pandangan dan falsafah hidup non Islam. Keadaan ini mendorong mereka –orang-orang yang terpengaruh dengan agama dan falsafah hidup non Muslim– untuk menakwilkan nash-nash al-Quran dan Sunnah untuk mendukung “kecenderungan mereka”.
Perkembangan Tashawwuf di Dunia Islam
Menurut Dr. Ahmad al-Qashshash, pada saat kekuasaan Daulah Khilafah Islaamiyyah semakin meluas, pengaruh Islam semakin melebar, dan kaum Muslim berlimpahan dengan kemakmuran dan kesejahteraan, mayoritas kaum Muslim mulai hidup dengan bergelimang harta dan kekuasaan. Keadaan ini sedikit banyak telah menjadikan mereka lalai dan abai terhadap urusan ibadah dan akhlaq Islamiyyah yang mulia. Keadaan ini mendorong lahirnya sekelompok kaum Muslim yang mengasyikkan diri dalam ibadah, tahannuts, dan meninggalkan gemerlapnya dunia. Berkaitan dengan kelahiran ilmu tashawwuf, di dalam Kitab al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyatakan:
هذا العلم من العلوم الشرعيّة الحادثة في الملّة. وأصله أنّ طريق هؤلاء القوم لم تزل عند سلف الأمّة وكبارها من الصحابة والتابعين ومن بعدهم طريقة الحقّ والهدايّة، وأصلها العكوف على العبادة والانقطاع إلى الله تعالى والإعراض عن زخرف الدنيا وزينتها والزهد فيما يقبل عليه الجمهور من لذّة ومال وجاه والانفراد عن الخلق في الخلوة للعبادة،وكان ذلك عامّاً في الصحابة والسلف. فلمّا فشا الإقبال على الدنيا في القرن الثاني وما بعده وجنح الناس إلى مخالطة الدنيا اختصّ المقبلون على العبادة باسم الصوفيّة والمتصوّفة»
“Ilmu ini termasuk ke dalam bagian ilmu-ilmu syariat yang baru di dalam agama. Asalnya, jalan mereka itu selalu ada di sisi generasi salaf umat Islam, dan kalangan pemuka shahabat dan tabi’in, dan orang-orang sesudahnya, sebagai jalan yang benar dan jalan petunjuk. Asal usul tashawwuf adalah mengasingkan diri dalam ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt, menjauhi keindahan dunia dan perhiasannya, serta zuhud dari kelezatan, harta, dan kedudukan yang sering dicari oleh mayoritas orang; dan menyendiri dari manusia dalam kesendirian untuk beribadah kepada Allah swt. Hal ini, dilakukan oleh kebanyakan shahabat dan generasi salaf. Ketika telah tersebar luas kecintaan terhadap dunia pada abad ke 2 Hijriyyah dan sesudahnya; dan manusia mulai condong kepada kehidupan dunia, orang-orang yang mengkhususkan diri dalam ibadah menyebut dirinya dengan istilah al-shuufiyyah atau al-mutashawwiyah”.[Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, hal. 381]
Imam Ibnu Taimiyyah menyatakan:
أوّل ما ظهرت الصوفيّة في البصرة. وأوّل من بنى دويرة للصوفيّة بعض أصحاب عبد الواحد بن زيد. وعبد الواحد من أصحاب الحسن البصريّ. فقد كان في البصرة من الاجتهاد في الزهد والعبادة والخوف ونحو ذلك ما لم يكن في سائر الأمصار(…) والتصوّف عندهم له حقائق معروفة قد تكلّموا في حدوده وسيرته وأخلاقه، كقول بعضهم: الصوفيّ من صفا من الكدر، وامتلأ من الفكر، واستوى عنده الذهب والحجر(…) وهم يسيرون بالصوفي إلى معنى الصدّيق، وأفضل الخلق بعد الأنبياء الصدّيقون،كما قال الله تعالى: فَأُولَئِكَ مَعَ الّذينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ والصِّدّيقينَ وَالشُّهَدَاءِ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفيقاً
“Shufiyyah muncul pertama kali di Bashrah. Orang yang pertama kali membangun lembaga untuk kelompok Shufiy adalah sebagian shahabat ‘Abd al-Wahid bin Zaid. ‘Abd al-Wahid termasuk salah satu shahabat Imam al-Hasan al-Bashriy. Di kota Bashrah ada upaya yang sungguh-sungguh dalam hal zuhud, ibadah, takut kepada Allah, dan lain sebagainya yang belum pernah ada di dalam perjalanan sejarah…Menurut mereka, al-tashawwuf itu memiliki hakekat yang dikenal yang telah mereka perbincangkan pada cakupan-cakupannya (definisi), sejarahnya, dan akhlaqnya, sebagaimana perkataan sebagian mereka: al-shufiy itu berasal dari kata shafa min al-kadr (suci dari kotoran), dan terisi penuh dengan pemikiran. Menurut mereka, emas dan batu adalah sama…..Dan mereka membawa kata shufiy kepada makna al-shiddiiq (orang yang benar); dan seutama-utama makhluk setelah para Nabi adalah orang-orang yang benar (al-shiddiquun), sebagaimana Allah swt berfirman:
فَأُولَئِكَ مَعَ الّذينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ والصِّدّيقينَ وَالشُّهَدَاءِ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفيقاً
“Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”.[TQS An Nisaa’ (4):69][Syaikh al-Islaam Imam Ibnu Taimiyyah, Majmuu’ al-Fatawa, Kitab al-Tashawwuf, hal. 1656]
Adapun kemunculan istilah “al-tashawwuf” pada akhir abad ke 2 Hijriyyah, diisyaratkan dalam sebuah riwayat yang dituturkan dari Imam Asy Syafi’iy ra yang wafat pada tahun 204 Hijriyyah. Di dalam riwayat tersebut beliau ra berkata,:
لو أنّ رجلاً تصوّف أوّل النهار لا يأتي الظهر حتّى يكون أحمق
“Seandainya seorang laki-laki menjadi seorang sufi pada awal siang, niscaya ia tidak datang pada saat Dhuhur kecuali ia menjadi orang yang bodoh”. [Imam Ibnu Qayyim al-Jauziy, Talbis Ibliis, hal.465]
Di dalam riwayat lain, Imam Asy Syafi’iy ra juga menyatakan:
ما لزم أحد الصوفيّة أربعين يوماً فعاد إليه عقله أبداً
“Tidaklah seseorang yang bergaul erat dengan sufi selama 40 hari, niscaya akalnya akan condong kepadanya selama-lamanya”.[Imam Ibnu Qayyim al-Jauziy, Talbis Iblis, hal. 456]
Hanya saja, isyarat penting atas kemunculan tashawwuf di dunia Islam, dimulai pada kurun ke 3 Hijriyyah. Pada kurun tersebut, muncullah Al-Harits al-Muhaasibiy di Iraq. Beliau adalah seorang ulama besar; pakar dalam masalah ushul dan mu’amalah. Beliau menulis kitab-kitab yang berbicara tentang zuhud dan bantahan terhadap kelompok Mu’tazilah dan kelompok-kelompok lain. Beliau lahir di Bashrah, dan wafat di Baghdad. Beliau adalah guru dari ulama-ulama Baghdad pada masanya. Di antara kitab tashawwuf beliau yang masyhur adalah Adab al-Nufus; Syarah al-Ma’rifah; al-Masaail fi al-Zuhd; al-Khalwah wa al-Tanafful fi al-‘Ibaadah; dan Mu’aaqibah al-Nafs”..dan lain sebagainya.
Selanjutnya, muncullah ulama tashawwuf terkemuka, seperti Imam al-Junaid. Beliau wafat di Baghdad pada tahun 297 Hijriyyah. Abu al-Qasim berkata, “Dia (Al-Junaid al-Baghdadiy) adalah seorang sufi dari kalangan ulama Islam”. Al-Junaid al-Baghdadiy adalah seorang ulama besar, ahli syair, dan bahasa Arab. Tidak hanya itu saja, beliau adalah ulama pertama yang berbicara tentang ilmu Tauhid di Baghdad. Ibnu al-Atsir berkata tentang Al-Junaid al-Baghdadiy,”Beliau adalah Imam dunia di zamannya”. Para ulama menggelari beliau dengan Syaikh Madzhab al-Tashawwuf (Syaikhnya Aliran Tashawwuf). Pandangan-pandangan beliau tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Di antara perkataan beliau yang masyhur adalah, “Jalan kami ini didasarkan kepada al-Kitab dan Sunnah. Siapa saja yang tidak memelihara al-Quran dan tidak menulis hadits dan tidak sejalan dengannya, maka ia tidak boleh diikuti”. Kitab beliau yang masyhur adalah Dawaa’ al-Arwaah.
Tashawwuf yang mereka ajarkan hanya berkisar kepada ketaqwaan, koreksi diri, pensucian jiwa dari dosa, dan taubat kepada Allah swt. Ulama-ulama tashawwuf seperti Imam Al-Muhasibiy maupun al-Junaid al-Baghdadiy, tidak pernah mencetuskan pemikiran-pemikiran atau pendapat-pendapat baru dalam tsaqafah Islamiyyah. Hanya saja, para fuqaha’ senantiasa berhati-hati dan waspada terhadap pendapat dan pemikiran mereka. Bahkan, sebagian fuqaha mengambil sikap tegas dan berseberangan dengan mereka, dikarenakan kelompok zuhud ini (ulama-ulama tashawwuf) mengajarkan jalan-jalan baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam syariat Islam. Di antara ulama yang mengambil sikap berseberangan dengan kelompok-kelompok zuhud ini adalah Imam Asy Syafi’iy dan Imam Ahmad bin Hanbal. [Lihat Talbis Iblis, hal. 228; al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 10, hal.342] Bahkan, perseteruan ulama-ulama Hanabilah terhadap ulama tashawwuf amatlah keras. Dituturkan bahwasanya ketika al-Harits meninggal dunia, Imam Ahmad bin Hanbal tidak datang menziarahinya. Ulama-ulama Hanabilah menuduh kelompok-kelompok tashawwuf tersebut dengan kelompok zindiq. Tuduhan ulama Hanabilah ini berpengaruh kepada masyarakat banyak, bahkan berpengaruh kepada penguasa-penguasa yang ada pada saat itu. Akibatnya, banyak ulama tashawwuf ditangkap, dan banyak diantara mereka dibunuh.[Dzuhr al-Islaam, juz 1/hal. 228-229]
Di dalam sejarah, kaum Muslim juga mengenal seorang tokoh sufi kenamaan dari Mesir, yang bernama Dzu al-Nuun al-Mishriy”. Dia membuat ungkapan-ungkapan baru yang sebelumnya belum pernah dikenal di Mesir. Dzu al-Nuun al-Mishriy mengajarkan bahwasanya sumber makrifat itu tidak hanya dalil ‘aqliy dan naqliy, akan tetapi ada sumber yang ketiga, yakni al-kasyf (penyingkapan hakekat). Ia juga mengajarkan adanya ilmu al-dzahir (pengetahuan dzahir) dan ilmu al-bathin(pengetahuan bathin). Ajaran beliau ini, mendapatkan perlawanan yang amat keras dari para fuqaha, di antaranya adalah ‘Abdullah bin al-Hakam, seorang ulama dari madzhab Malikiy dan Ibnu al-Laits, seorang ulama Hanafiyyah di Mesir. Keduanya tidak setuju dengan Dzu al-Nuun al-Mishriy dan ajarannya. Keduanya menuduh Dzu al-Nuun al-Mishriy sebagai orang zindiq. Akibatnya, Dzu al-Nuun al-Mishriy dikirim ke Daar al-Khilafah di Baghdad, dan dipenjara di sana hingga mati. [Dzuhr al-Islaam, juz 1, hal. 169]
Permusuhan para fuqaha terhadap ulama-ulama tashawwuf ini semakin keras, ketika pada abad ke 3 Hijriyyah dan sesudahnya, bermunculan ulama-ulama tashawwuf yang menyebarkan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ‘aqidah dan syariat Islam. Tashawwuf yang diajarkan pada abad ini berbeda dengan model tashawwuf yang diajarkan oleh Al-Harits al-Muhasibiy dan al-Junaid al-Baghdadiy yang masih berpegang teguh kepada al-Quran dan Sunnah sebagai asas pembahasan mereka. Tashawwuf yang muncul belakang ini banyak dipengaruhi oleh filsafat dan ajaran-ajaran agama lain di luar Islam. Tashawwuf seperti ini disebut dengan tashawwuf falsafiyyah (tashawwuf yang terpengaruh ajaran filsafat). Muncullah di dunia Islam ajaran wihdat al-wujud (Penyatuan Wujud Tuhan dalam makhluq), al-ittihaad wa al-hulul (Tuhan Menitis atau Manunggal dengan makhluq), al-kasyf wa al-ilhaam, al-fanaa’, dan lain sebagainya. Tashawwuf yang dikembangkan pada abad ini tidak lagi berdasar kepada al-Quran dan Sunnah, akan tetapi murni berasal dari filsafat Yunani, atau ajaran agama di luar Islam. Atas dasar itu, ajaran-ajaran tashawwuf yang dikembangkan pada masa ini tidak boleh dianggap sebagai ajaran Islam, dan pencetusnya tidak boleh lagi disebut sebagai bagian dari kaum Muslim. Tokoh-tokoh yang mengajarkan tashawwuf model seperti ini, misalnya adalah Ibnu Sina, al-Kindiy, Ibnu Rusyd dan lain sebagainya. Ajaran tashawwuf mereka sama sekali tidak berasal dari Islam, akan tetapi berasal dari filsafat Yunani, maupun ajaran agama di luar Islam, seperti Hindu, Budha, dan lain sebagainya. Ajaran mereka tentang al-hulul, al-fanaa’, dan al-wujud, dan lain sebagainya jelas-jelas mereka adopsi dari pandangan filosof Yunani (gnosisme), dan ajaran-ajaran agama Hindu.
Namun, pada abad ke 5 Hijriyyah, tashawwuf model al-Harits dan al-Junaid, mulai diresmikan dalam masyarakat Islam, sebagai upaya untuk menandingi tashawwuf falsafiyyah yang jelas-jelas telah keluar dari Islam. Pada perkembangan selanjutnya, muncullah Imam al-Ghazaliy yang menyerang dan melawan pandangan-pandangan para filosof. Beliau mengkritik pandangan Ibnu Rusyd tentang filsafat. Tidak hanya itu saja, selain menolak filsafat, Imam al-Ghazaliy juga memformulasikan pandangan-pandangan tentang tashawwuf yang diambil dari al-Quran dan Sunnah. Pandangan-pandangan al-Ghazaliy tentang tashawwuf ini tentu saja tidak sama dengan pandangan-pandangan tashawwuf kaum filosof, seperti Al-Kindiy, Ibnu Sina, Farabiy, dan lain sebagainya.
Khatimah
Hingga kini, pemikiran dan aliran tashawwuf pun terus berkembang dan dijadikan bahan diskusi dan perselisihan. Hanya saja, ada beberapa point penting yang harus selalu diperhatikan:
Asas dari pemikiran dan tsaqafah Islamiyyah adalah ‘aqidah Islamiyyah. Seluruh pemikiran dan tsaqafah yang tidak lahir dari ‘aqidah Islamiyyah, tidak absah disebut sebagai tsaqafah Islamiyyah. Filsafat Yunani, semacam gnosisme, maupun ajaran wihdat al-wujud, al-ittihaad wa al-hulul, al-fanaa’, dan ajaran-ajaran yang berasal dari agama Hindu dan Budha, bukanlah bagian dari tsaqafah Islamiyyah. Pasalnya, pemikiran dan ajaran tersebut tidak lahir dari ‘aqidah Islamiyyah, akan tetapi lahir dari ‘aqidah kufur. Atas dasar itu, pemikiran tersebut tidak boleh disebut sebagai pemikiran Islam; dan siapapun yang menyakininya telah keluar dari Islam.
Dasar pijakan untuk menetapkan apakah suatu pemikiran atau aliran telah menyimpang dari Islam, maka, adalah Al-Quran dan Sunnah. Jika suatu pemikiran atau aliran bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah, maka, pemikiran dan aliran tersebut tidak boleh dimasukkan dalam pemikiran atau aliran Islam.
Gerakan tashawwuf yang masih menjadikan ‘aqidah Islamiyyah sebagai asas dasarnya, dan menjadikan syariat Islam sebagai miqyas al-‘amal (tolok ukur perbuatan), dan tidak menjadikan filsafat Yunani atau ajaran-ajaran agama selain Islam sebagai asas dan tolok ukur, tidak boleh dianggap keluar dari Islam, atau bukan bagian dari ajaran Islam. Adapun tashawwuf yang lahir dari filsafat Yunani dan ajaran-ajaran selain Islam, seperti ajaran Budha, Hindu, dan lain sebagainya, seperti tashawwuf yang dikembangkan oleh Ibnu Sina, al-Kindiy, al-Halaj, dan lain sebagainya, termasuk aliran tashawwuf yang telah menyimpang dari ajaran Islam. [Wallahu al-musta’an wa huwa waliyyu al-taufiq] [oleh Syamsuddin Ramadhan]
[1] Di kemudian hari ajaran ini disebut dengan ajaran wihdat al-wujud (kesatuan eksistensi). Menurut ajaran ini, seluruh yang ada alam semesta ini sesungguhnya tidak ada (laa maujud), dan yang ada hanyalah Realitas Tunggal (Al-Wujud/Tuhan). Alam materi hanya serpihan dari Sang Wujud Hakiki (Tuhan).
[2] Yang dimaksud dengan tashawwuf falsafiyyah adalah tashawwuf yang berdiri di atas pemikiran-pemikiran filsafat Yunani dan ajaran-ajaran agama selain Islam. Tashawwuf falsafiyyah adalah model tashawwuf yang telah menyimpang dari ajaran Islam.
Sumber : adivictoria1924
Posting Komentar untuk "Tashawuf : Apa dan Bagaimana Sikap Kita?"