Antara Terorisme dan Eksklusivisme Islam (Membaca Motif di Balik Isu Terorisme)

muslim-world.jpg (300×300)


Oleh : M. Suardi Basri [ii]


Usaha serius negara dalam menangani kejahatan terorisme dan pemboman patut untuk diapresiasi. ditinjau dari perspektif syariat Islam –kita sebut apa peristiwa itu- jelas sekali pertentangannya. Syariat Islam melarang membunuh manusia, siapapun dia, tanpa hak. Di dalam al-Qur'an dikatakan "wa la taqtulu al-nafsa al-lati harrama al-Lah illa bi al-haq"; (Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar). Di samping itu, syariat Islam juga melarang merusak milik pribadi, milik umum, apa lagi sampai menimbulkan ketakutan yang meluas.
meskipun demikian ada dua hal yang harus dipisahkan antara aktivitas terorisme dan perlawanan yang dilakukan oleh umat Islam. Itu adalah dua hal yang harus dipisahkan karena sesungguhnya kedua hal itu saling berbeda--meski barang kali di antara satu atau bagian dari bentuk perlawanan itu nanti dianggap sebagai bagian dari terorisme. Tindakan teroris itu sebenarnya penilaian dari orang atau pihak dari peristiwa itu. Oleh karena itu, penting untuk memisahkan kedua istilah itu.
Pertama soal perlawanan umat Islam. Jika dikaitkan dengan doktrin agama, konsep tersebut sangat jelas untuk dipahami. Agama memerintahkan kita untuk mempertahankan diri, mempertahankan keluarga, mempertahankan kehormatan, bahkan juga harta, lebih-lebih agama. Semua itu sangat didorong oleh agama, bahkan seandainya harus sampai meninggal atau mati sekalipun, itu dianggap sebagai mati syahid. Nabi mengatakan "Barang siapa yang terbunuh karena membela keluarganya dia syahid, barang siapa yang terbunuh karena membela hartanya dia mati syahid, barang siapa yang terbunuh karena membela agamanya dia mati syahid."
Al-Quran juga memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu. Misalnya kita membaca di dalam al-Quran, "qatilu fi sabilillah al-ladzina yuqatilunakum wa la ta'tadu" (perangilah oleh kamu orang-orang yang memerangi kamu), atau "faqtuluhum haistu tsaqiftumuhum wa akhrijuhum min haistu akhrajukum" (Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu). Nah, ini jelas sekali perintah itu. Saya kira dalam semangat itulah Kyai Hasyim Asy'ari dulu mengumandangkan revolusi jihad, karena bagi para ulama mempertahankan negeri ini merupakan sebagian dari jihad, mengusir penjajah itu juga bagian dari jihad karena penjajah menguasai negeri kita. Dan itu pula yang dipahami oleh kaum Muslim di Gaza, di Tepi Barat, di Palestina pada umumnya, kemudian di Afganistan dan di Irak. Ketika dalam keadaan perang, melawan itu merupakan kewajiban dari agama. Jadi tidak ada yang salah dari apa yang disebut jihad, khususnya jihad yang dimaknai seperti perang fi sabilillah, perang di jalan Allah, dan ganjarannya memang luar biasa. Nabi mengatakan, "setinggi-tingginya kematian itu adalah kematian seorang syuhada." Dengan demikian, ajaran tersebut ada di dalam al-Quran dan Hadis.
Dapat dikatakan secara pasti bahwa ajaran itu dengan mudah akan menyeret semangat kaum muslimin dan anak-anak muda ketika mereka melihat ada kezaliman yang menimpa kaum Muslimin. fakta itulah yang mereka saksikan di Irak, Palestina, dan Afganistan. Tidak berlebihan kalau misalnya dikatakan bahwa kezaliman atau penindasan luar biasa itu saat ini, sekitar 10-20 tahun terakhir, dialami oleh umat Islam. Barangkali dulu kita melihat perang Vietnam--itu sekitar tahun 60-70-an. Tapi setelah itu, yang ada adalah semua korbannya umat Islam, mulai dari Perang Teluk I, Bosnia Herzegovina, Serbia, kemudian Perang Teluk II, dan yang sekarang ini Irak, Palestina, dan Afganistan. Kenyataan itu memang mengundang semangat pemuda Islam yang paham mengenai kewajiban sebagai umat Muslim untuk ikut serta melakukan perlawanan atau membela diri, mempertahankan apa yang disebut misi Islam dan tujuan Islam. Kita dapat melihat misalnya sebagian dari teman-teman yang berangkat ke Afganistan, Irak, Palestina, Pakistan dan lain sebagainya.
Kedua soal terorisme. Perlawanan ini sebetulnya dilakukan oleh kelompok umat Islam yang murni. Tetapi, kemudian ada sebagian yang ditumpangi, bahkan ada juga yang sengaja diciptakan. Jadi kalaupun yang terakhir ini disebut teroris, maka ini adalah fabricated terrorism. Model ini dapat dijumpai dalam kasus Bom Bali I. Peristiwa Bom Bali I ini memang bisa saja dirancang atau dilakukan oleh Imam Samudra dkk. Namun yang belum bisa dijawab sampai sekarang adalah dari mana sebenarnya bom yang begitu besar meledak di Jl. Legian, yang oleh para ahli itu disetarakan dengan C4. Itu tidak mungkin kalau sekedar potasium klorat--bangsa kita menyebutnya karbit. Jadi tidak mungkin sampai bikin sendawa, karena gelombang elektromagnetnya jalan dulu sebelum peledakkannya terjadi, gelombangnya lebih cepat bergerak sehingga membuat listrik mati.
Hal ini diungkap oleh Imam Samudera waktu diperiksa oleh polisi. Pertama, dia menyatakan bahwa dia merasa begitu aneh kenapa bom itu begitu besar. ketika ditanyakan kepada dia "Betul tidak bom itu sampeyan yang bikin?" Dia jawab, "Ya, itu malaikat yang bikin." Jadi sebenarnya bukan dia yang bikin. Kedua, dia bilang mobil yang dia pakai kenapa kok L300, padahal dalam rapat terakhir itu telah disepakati Suzuki Carry. Dari nomor sasis L300 itulah semuanya terungkap. Dan memang di sana juga ada penggeledahan KTP di tempat kejadian, dari situlah polisi kemudian mencari jejak pelaku.
Kalau kita menggunakan analisis hubungan antara aksi dan motivasi, semestinya setiap aksi itu cocok dengan motivasi. Dalam kasus ini malah terbolak-balik. Dikatakan motivasinya itu adalah perang melawan Amerika, tapi kalau kita lihat aksinya, mana yang disebut dengan Amerika itu, karena dari bom pertama sampai bom terakhir tidak ada satu pun instalasi penting Amerika yang menjadi sasaran. Jadi tidak konsisten dengan motivasi. Misalnya, kenapa bom itu diledakkan di Denpasar bukan di Jakarta, padahal instalasi paling penting Amerika itu ada di Jakarta. Kalaupun di Denpasar kenapa tidak di gedung konsulat. Atau waktu di Jakarta kenapa di J.W Marriot, hotel itu milik orang Indonesia bukan milik orang Amerika. Kenapa tidak di gedung kedutaan (Amerika), tetapi malah di gedung kedutaan Australia, itupun hanya depannya saja. Yang paling aneh itu kasus Bom Bali II di Pantai Jimbaran, apa hubungannya pantai Jimbaran dengan Amerika. Bahkan 19 dari 22 orang yang meninggal itu Muslim. Apakah ini yang disebut perang melawan Amerika. Apa kesalahan orang-orang Muslim yang jadi korban itu, apa hubungannya mereka dengan Amerika?
Karena itu patut ditengarai bahwa ini merupakan fabricated terrorism. Jadi ada sebuah operasi yang melakukan langkah-langkah infiltrasi terhadap kelompok-kelompok Islam, lalu di dalamnya itu mereka melakukan proses radikalisasi. Nah di situ bertemu dengan situasi poin pertama, terutama dengan tema jihad. Fakta umat Islam dizalimi itu memang ada, itu tinggal diangkat lalu diprovokasi agar orang melakukan aksi, sehingga muncul stigmatisasi bahkan generalisasi. Stigmatisasi Indonesia sebagai sarang teroris, teroris itu orang Islam, Islam itu dari pesantren atau aktivis masjid. Bahkan, sekarang ini ada semacam figurisasi terhadap teroris; teroris itu aktivis mesjid, penampilannya berjenggot, celananya ngantung, dan lain sebagainya.

Dalam konteks ini, jihad harus memenuhi tiga unsur. Pertama, objeknya adalah al-kuffar (orang kafir). Yang dimaksud orang kafir ini adalah orang kafir tertentu. Orang kafir itu banyak, ada kafir dzimmi, kafir mu'allif, kafir musta'min, dan kafir harbi, yang diperangi hanya kafir harbi saja, yang lain tidak. Kalau mau lebih mengerti lagi silahkan baca fiqh jihad; Kedua, fi sabilillah, di jalan Allah; dan Ketiga, li i'la'i kalimatillah, motivasinya atau niatnya untuk menegakkan kalimat Allah. Ketiga hal itu harus terpenuhi. Dalam terorisme, misalnya, kita anggap saja sudah memenuhi dua kriteria, di jalan Allah dan dalam rangka menegakkan kalimat Allah, tapi kriteria objeknya tidak terpenuhi, karena sasarannya bukan al-kuffar. Bom Bali I tempatnya di restoran, Bom Bali II di Pantai Jimbaran, atau di Jakarta di Hotel Ritz Carlton, itu semua kan bukan mahall al-jihad.



Perang Ideologi
Mengaitkan konsep jihad dengan terorisme membuat kita masuk dalam jebakan perang pemikiran/ideologi yang dijalankan AS (American War) untuk kepentingan negara imperialis itu. Dalam pandangan Barat (American War), perang melawan terorisme tidak hanya merupakan perang fisik, tapi juga menyangkut perang pemikiran (war on idea). Pada 2002 Sekretaris Menteri Pertahanan AS saat itu Paul Wolfowitz mengatakan, ”Saat ini kita sedang bertempur dalam perang melawan teror -perang yang akan kita menangkan. Perang lebih besar yang kita hadapi adalah perang pemikiran -jelas suatu tantangan, tetapi se­suatu yang juga harus kita menangkan.”
Ideologisasi perang melawan terorisme itu tampak pada upaya mengaitkan terorisme dengan sikap anti imperialisme Amerika, penegakan syariah, atau khilafah. Stigmatisasi itu kemudian menjadi berbahaya karena digunakan sebagai alat generalisasi. Siapa pun kelompok Islam yang menentang penjajahan Amerika atau ingin mendirikan syariah dan khilafah kemudian dicap atau dikesankan sebagai teroris. Padahal, tidak semua kelompok Islam yang ingin mendirikan syariah dan khilafah setuju dengan jalan pengeboman atau angkat senjata terhadap rezim pemerintahan sekuler.
Karena itu, selain meluruskan pemahaman aplikasi jihad yang keliru, pemerintah dan ulama perlu berperan aktif untuk membela negeri-negeri Islam yang ditindas tersebut. Termasuk, berperan aktif me­minta agar Amerika, Inggris, dan negara-negara sekutunya menarik diri dari Iraq dan Afghanistan. Juga, menghentikan dukungan mereka terhadap rezim-rezim penindas di negeri Islam seperti Palestina. Sebab, faktor ketidakadilan global merupakan salah satu penyebab utama serangan terhadap target-target Barat.



Terorisme dan “Ekslusivisme” Islam
Dalam apa yang disebut WOT ini negara terjebak pada istilah-istilah yang masih kabur, debatable, dan cendrung digunakan untuk membangun stigma negatif tertentu seperti istilah toleransi, radikal, atau terorisme.
Apa yang dimaksud toleransi misalnya sangat debatable. Istilah toleransi atau intoleransi bukan merupakan sekedar fakta , tapi mengandung penilaian baik dan buruk. Sikap toleransi dianggap sebagai hal yang baik, sebaliknya intoleransi dianggap sebagai hal yang buruk.
Dalam kerangka ini sikap dalam masalah personal dan menyangkut keyakinan seperti menolak anggota keluarga yang menikah dengan pemeluk agama lain, tidak setuju terhadap pindah agama, tidak setuju aliran sesat, menolak pendirian rumah ibadah agama lain , atau yang tidak setuju terhadap mereka yang tidak beragama disebut sebagai kurang toleran.
Sama halnya ketika dinyatakan sikap menolak Ahmadiyah dan aliran sesat sebagai tidak toleran. Seakan-akan sikap seperti itu adalah buruk. Sebaliknya kalau menyetujui pernikahan dengan agama lain, pindah agama, tidak setuju terhadap pembubaran Ahmadiyah, adalah sikap yang baik , karena merupakan tindakan yang toleran.
Padahal adalah hal yang wajar saja kalau masyarakat terutama yang muslim bersikap seperti itu. Seorang muslim tidak boleh menerima hal-hal yang bertentangan dengan aqidah Islam dan merupakan hal yang maksiat (kemungkaran). Karena syariat Islam yang merupakan keyakinan mereka telah menjelaskan haramnya seorang wanita muslimah menikah dengan pria non muslim, keluar dari Islam (murtad). Sama halnya tidak boleh menerima perilaku korupsi, suap menyuap, rekasaya kasus, karena semua itu perkara maksiat/kemungkaran yang bertentangan dengan syariat Islam.
Adapun sikap muslim terhadap penolakan rumah ibadah agama lain, bukanlah berarti menolak kebolehan atau kebebasan beribadah bagi agama lain. Hal ini adalah dua hal yang berbeda. Buktinya di Indonesia berdiri banyak gereja, di kota-kota besar, di pinggir-pinggir jalan juga terdapat gereja-gereja megah yang sudah ada sejak jaman Belanda. Namun umat Islam tidak mempersoalkannya. Yang dipersoalkan umat Islam pendirian bangunan gereja yang ilegal, tidak sesuai aturan, dan yang melakukan gerakan-gerakan misionaris atau pemurtadan. Jadi bukan menolak kebebasan untuk beribadah.
Benarkah di Indonesia tidak ada kebebasan beragama? Benarkah di Indonesia pembangunan gereja terhambat?. Menurut Kepala Badan Litbang Departemen Agama, Atho Mudzhar pertumbuhan tempat ibadah yang terjadi sejak 1977 hingga 2004 justru meningkat. Pertumbuhan rumah ibadah Kristen justru lebih besar dibandingkan dengan masjid. Rumah ibadah umat Islam, pada periode itu meningkat 64,22 persen, Kristen Protestan 131,38 persen, Kristen Katolik meningkat hingga 152 persen (Republika: 18 Februari 2006)
Laporan Majalah Time juga berbicara lain, dalam tulisan yang berjudul Christianity’s Surge in Indonesia (http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,1982223,00.html) majalah itu menunjukkan gelora peribadahan pemeluk Kristen di Indonesia. “Banyak yang mengira Indonesia adalah sebuah negeri Muslim, tetapi lihatlah orang-orang ini ” kata pendeta David Nugroho. Dia membanggakan jemaat gerejanya yang berkembang, sekarang berjumlah 400 orang , naik dari 30 orang saat didirikan pada tahun 1967. “Kami tidak takut untuk menunjukkan iman kami.” ujar Pendeta David
Dalam laporan yang ditulis Hannach Beech (26/04/2010) itu gelora pertumbuhan Kristen di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ledakan penganut Kristen di Asia. Jumlah umat Kristen Asia meledak menjadi 351 juta pengikut pada tahun 2005, naik dari 101 juta di tahun 1970 (merujuk kepada the Pew Forum on Religion and Public Life yang berbasis Washington, D.C.)
Masih menurut laporan TIME, sensus penduduk tahun 2000 jumlah penduduk Kristen hanya 10% dari penduduk Indonesia. Sesuatu yang tidak dipercaya oleh pemimpin-pemimpin Kristiani. Bukti sederhananya, di Temanggung pada tahun 1960 tidak ada gereja Evangelical sama sekali. Namun sekarang terdapat lebih dari 40 gereja Evangelical.
Di ibukota Jakarta sekarang dibangun‘megachurches’ gereja megah yang baru, seperti layaknya Texas (yang dikenal banyak terdapat gereja) dengan menara yang menjulang tinggi ke langit. Penganut kristen lain ramai-ramai beribadah di gereja-gereja tidak resmi di hotel-hotel dan mall, bersaing dengan para pengunjung yang meningkat di akhir pekan. Patung Yesus Kristus tertinggi dibangun pada tahun 2007 di kota Manado di Indonesia Timur. Sementara ada TV kabel Indonesia menyiarkan chanel yang mendakwahkan Kristen 24-jam terus menerus.
Dalam masalah Ahmadiyah, yang dipersoalkan umat Islam adalah ketika Ahmadiyah mengklaim sebagai agama Islam tapi menyimpang dari prinsip-prinsip pokok (aqidah Islam) seperti pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi berikutnya setelah Rosulullah Muhammad saw. Hal ini jelas merupakan pencemaran dan perusakan terhadap aqidah Islam. Adapun kalau Ahmadiyah tidak mengklaim Islam tentu akan berbeda masalahnya.
Dari beberapa penggunaan istilah tidak toleran, terdapat kecendrungan yang jelas, bahwa yang dasar penilaian toleransi atau tidak adalah pemikiran liberal (HAM). Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada agamanya disebut tidak toleran karena bertentangan dengan HAM.
Demikian juga dengan istilah radikal atau organisasi radikal. Istilah radikal menjadi kata-kata politik (political words) yang cendrung multitafsir, bias, dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negatif lawan politik. Seperti penggunaan istilah Islam radikal yang sering dikaitkan dengan terorisme, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan, skriptualis dalam menafsirkan agama, menolak pluralitas (keberagamaan) dan julukan-julukan yang dimaksudkan untuk memberikan kesan buruk.
Istilah radikal kemudian menjadi alat propaganda yang digunakan untuk kelompok atau negara yang berseberangan dengan ideologi dan kepentingan Barat. Julukan Islam radikal kemudian digunakan secara sistematis bagi pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme, Sekulerisme, dan demokrasi), ingin memperjuangkan syariah Islam, Khilafah Islam, menginginkan eliminasi Negara Yahudi, dan melakukan jihad melawan Barat.
Padahal perubahan yang mendasar (radikal) sendiri bukanlah hal yang selalu buruk. Dalam sejarah masyarakat Barat juga terjadi beberapa perubahan mendasar yang dianggap justru memberikan pencerahan dan awal kebangkitan masyarakat Barat. Seperti perubahan dari sistem teokrasi yang represif pada abad kegelapan menjadi demokrasi jelas merupakan perubahan mendasar. Masa itu bahkan dianggap awal kebangkitan Barat (renaisans). Indonesia sendiri dalam fragmen sejarahnya mengalami perubahan mendasar. Kemerdekaan Indonesia sering dianggap merupakan tonggak perubahan mendasar (radikal) dari negara yang dijajah oleh kolonial menjadi negara yang merdeka.
Baik buruknya perubahan yang mendasar (radikal) itu tergantung atas dasar apa dan bagaimana perubahan mendasar itu dilakukan. Dalam hal ini Islam menawarkan perubahan dengan asas yang jelas kebaikannya yakni Islam karena berasal dari Allah SWT Dzat yang Maha Sempurna yang Arrahman arrohim (Maha Pengasih dan Penyayang). Islam hadir di dunia untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin yang memberikan kebaikan bagi seluruh seluruh umat manusia tanpa pandang ras, suku, bangsa, ataupun agamanya.

Deradikalisasi = Deislamisasi
Deradikalisasi, sebuah proyek yang sangat semangat dilakukan pemerintah RI dengan dukungan anggaran sebesar Rp.400 milyar, ternyata mempunyai sasaran yang tertuju hanya kepada umat Islam. Hal ini tidaklah aneh, mengingat proyek deradikalisasi tidak terlepas dari war on terrorism yang diinisiasi oleh Amerika Serikat yang pada dasarnya adalah war on Islam.
program deradikalisasi ini sudah menyentuh dan mengintervensi pengertian istilah-istilah syar’i didalam Islam karena dianggap sumber radikalisme seperti istilah syari’ah, Jihad, thoghut, dan Khilafah. Berimplikasi terjadinya penyelewengan makna sebenarnya ajaran tersebut. Penolakan terhadap makna-makna yang benar syar’i dari istilah Jihad, Khilafah, dan syai’at islam. Mengarahkan deradikalisasi menjadi Deislamisasi (baca:penghancuran Islam). Ketika syari’at Islam ditolak, dan ketika Jihad sebagai qital (perang) ditolak, apa itu bukan deislamisasi?”
Penanganan terorisme belum menyentuh akar persoalannya, karena BNPT hanya menentukan terorisme adalah kelompok-kelompok yang terkena faham radikal, padahal terorisme itu banyak terjadi bukan hanya karena faham radikal tetapi berangkat dari sikap perlawanan terhadap ketidakadilan.“Ketidakadilan ini tidak pernah disentuh, pertanyaannya ialah apakah kita akan berdiam saja terhadap ketidakadilan itu?”



Syariat Islam Ancaman Bagi Negara?
Upaya membangun opini bahwa syariat Islam adalah ancaman negara memang*kerap kali dilakukan dengan berbagai cara. Antara lain dengan membangun citra buruk terhadap syariah. Ariel Cohen (The Heritage Foundation) dalam rekomendasinya menyatakan :
AS harus menyediakan dukungan pada media lokal untuk membeberkan contoh-contoh negatif dari aplikasi syariah, seperti potong tangan untuk kejahatan ringan atau kepemilikan alkohol di Chechnya, keadaan Afghanistan di bawah Taliban atau Saudi Arabia, dan tempat lainnya. Perlu juga diekspose perang sipil yang dituduhkan kepada gerakan Islam di Aljazair. (Hizb ut-Tahrir: An Emerging Threat to US Interests in Central Asia )
Demikian pula menurut Cheryl Benard ada beberapa ide yang harus terus-menerus diangkat untuk menjelekkan citra Islam: perihal demokrasi dan HAM, poligami, sanksi kriminal, keadilan Islam, isu minoritas, pakaian wanita, dan kebolehan suami untuk memukul istri. (Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies, The Rand Corporation, halaman 1-24).
Dalam konteks Indonesia, mempertentangkan Pancasila, UUD 1945 (konstitusi) dengan penegakan syariah Islam secara sistematis dilakukan. Rezim penguasa kerap kali menggunakan Pancasila dan UUD 1945 sebagai political hammer (palu politik) untuk memberangus siapapun yang menentang kebijakan yang keliru dari rezim penguasa seperti di masa Orde Baru. Termasuk memukul dengan palu yang sama usaha penegakan syariah Islam yang dianggap merupakan ancaman bagi rezim berkuasa. Tentu saja sangat mengerikan kalau pola-pola yang sama yang telah menimbulkan korban jiwa dan pelanggaran kemanusiaan yang luar bisa di masa lalu akan diterapkan juga pada masa kini.
Monopoli tafsir rezim berkuasa terhadap Pancasila yang dalam perjalanan sejarah Indonesia telah menimbulkan sikap otoritarian negara jelas bertentangan dengan demokrasi. Pasalnya, Pancasila merupakan nilai-nilai terbuka yang memungkinkan ditafsirkan oleh banyak pihak. Monopoli tafsir terhadap Pancasila kemudian menjadi tragedi kemanusiaan meluas ketika menopoli tafsir ini digunakan untuk memberangus pemikiran yang berbeda dengan sang penafsir.
Hal inilah yang terjadi di masa Orde Lama dan Orde Baru. Soekarno menafsirkan Pancasila berdasarkan pemikirannya sendiri yang cenderung sosialistik. Atas nama Pancasila, Soekarno melegalisasi kebijakan demokrasi terpimpinnya. Padahal yang ada sebenarnya adalah tafsir Soekarno terhadap Pancasila. Tidak jauh beda dengan Soeharto yang membuat tafsir tunggal atas Pancasila berdasarkan pemahaman ideologinya yang cenderung kapitalistik. Penafsiran tunggal Soeharto ini kemudian diklaim menjadi tafsir negara. Yang terjadi kemudian pemberangusan kelompok oposisi yang berseberangan dengan Soeharto dan kepentingannya atas nama bertentangan dengan Pancasila.
Upaya ini pulalah yang sekarang kembali menggejala. Dan sungguh aneh ini justru dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mengklaim dirinya sebagai pejuang demokrasi dan kebebasan, dan kesetaraan. Beberapa kelompok yang dikenal sebagai kelompok liberalis berupaya menafsirkan Pancasila dan agama (Islam) dan memprovokasi negara untuk mengadopsi tafsir mereka terhadap Pancasila dan Islam. Kemudian berharap negara memberangus kelompok yang tidak sejalan dengan pemikiran dan kepentingan mereka berdasarkan tafsir tunggal kelompok ini terhadap Pancasila dan Islam.
Kalau memang konsisten dengan prinsip demokrasi, semua pihak seharusnya diberikan hak untuk menafsirkan Pancasila yang memang merupakan pemikiran terbuka. Termasuk seharusnya diberikan kesempatan terbuka bagi kelompok Islam yang menyakini nilai-nilai utama Pancasila seperti Ketuhanan, Kemanusian, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan bisa dicapai dengan penerapan syariat Islam. Sungguh sangat tidak demokratis, melarang kelompok masyarakat untuk beraspirasi berdasarkan keyakinannya.
Kalau secara damai menyuarakan aspirasi syariat Islam tidak bisa dibenarkan dimana letak kebebasan berpendapat?. Bukankah prinsip penting demokrasi adalah kebebasan berpendapat? Bagaimana mungkin rakyat yang berdemonstrasi secara damai, datang ke DPR, melakukan dengar pendapat dengan wakil rakyat dikatakan bertentangan dengan konstitusi? Lagi pula, pasal dan ayat mana dari konstitusi dan perundangan yang ada yang melarang rakyat untuk menuntut penerapan syariah? Bukankah berdasarkan demokrasi, wakil rakyat harus mendengar suara dan aspirasi rakyat, apapun bentuknya. Lepas dari aspirasi itu diterima atau tidak?
Apalagi Kecenderungan umat islam untuk kembali kepada sistem syariah semakin hari semakin kuat. Berbagai survey yang dilakukan, dengan jelas menunjukan hal itu. Survei oleh PPIM - UIN Syahid Jakarta, menunjukkan masyarakat yang menginginkan syariah pada tahun 2001 sebesar 61%, tahun 2002 sebesar 71%, pada tahun 2003 meningkat menjadi sebesar 75%. Sementara pada tahun 2008 sebesar 83% (Survei SEM Institute: 2008). Selain itu, survey setara institute, sebuah lembaga swadaya masyarakat, bekerjasama dengan USAID pada Nopember 2010 lalu mencatat, 34,6 persen responden warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menyetujui sistem khilafah. Tren ini ternyata bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir terjadi di seluruh negeri Islam. Hasil survey Universitas Maryland di 4 negara Maroko, Pakistan, Mesir, Indonesia pada April 2007 (‘Muslim Public Opinion on US Policy, Attacks on Civilians and al-Qaeda’ ) menyebutkan kecenderungan serupa: “Mayoritas responden (70 %) di sebagian besar negara-negara mendukung penerapan Syari’at dengan ketat, menolak nilai-nilai Barat, dan bahkan menyatukan seluruh negeri Islam (Khilafah).”
Karena itu sangatlah ironis menyumbat aspirasi rakyat karena ditafsirkan bertentangan dengan konstitusi negara yang merupakan kesepakatan nasional yang sudah ada. Padahal konsitusi sendiri memberikan peluang tentang adanya perubahan kesepakatan itu. Artinya, kesepakatan nasional seharusnya diserahkan kepada aspirasi rakyat apakah mau dipertahankan atau mau diubah di masa mendatang sebagaimana yang terjadi pada UUD 45 yang telah berulang-ulang mengalami amandemen meski di masa Orde Baru hal itu diharamkan.
Oleh karena itu, sungguh aneh bila pemahaman dan ekspresi termasuk aspirasi untuk penerapan syariah, khususnya dari kelompok yang dianggap radikal, dinilai ”berbahaya”, dan karenanya “perlu dicemaskan dan dihadapi dengan pembubaran” Bila memang konsisten dengan nilai-nilai kebebasan, mengapa orang lain tidak boleh bebas bersikap “radikal” dan bebas juga “menerapkan syariah”? Bukankah ”keradikalan” dan “penerapan syariah” juga merupakan pilihan bebas seseorang, termasuk pilihan bebas masyarakat dan daerah yang diekspresikan dengan lahirnya perda-perda? Dan mengapa pula lantas membelokkan perkembangan berupa kegairahan masyarakat untuk menerapkan syariah yang sesungguhnya wajar belaka di negeri yang mayoritas muslim ini menjadi isu ancaman terhadap NKRI?
Kita pantas bertanya siapa sesungguhnya yang membahayakan NKRI: Umat Islam dengan ormas-nya yang sejak kemerdekaan berjuang di garda paling depan untuk kebaikan negeri ini atau mereka kaum separatis seperti RMS? Umat Islam seperti Hizbut Tahrir yang mengecam disintegrasi Timor Timur, Aceh dan Papua, atau LSM Liberal yang mendukung disintergrasi dengan alasan HAM (hak menentukan nasib sendiri). Umat Islam yang berjuang untuk tegaknya ekonomi Islam dengan sistem keuangan dan perbankan syariahnya yang sudah terbukti sangat handal ataukah mereka yang terus mempertahankan sistem perbankan ribawi dan para pelaku kebijakan BLBI yang hampir menenggelamkan negeri ini dalam krisis moneter baru lalu?
Jika kita telisik banyak sekali kebijakan-kebijakan politik yang menjadikan kedaulatan NKRI hanya menjadi mimpi di siang bolong. Lihatlah; Pemerintah telah memprivatisasi 12 BUMN pada periode 1991-2001 dan 10 BUMN pada periode 2001-2006. Pemerintah tahun 2008 melalui Komite Privatisasi BUMN yang diketuai Menko Ekuin Boediono (sekarang Wapres) saat itu mengharapkan agar dari 139 BUMN diprivatisasi menjadi 69 BUMN. Karenanya, privatisasi itu akan terus berjalan. Subsidi dicabut; bagian dari agenda penjajahan yang paling nyata adalah pencabutan secara bertahap subsidi BBM yang telah dan akan dilakukan. Juga pencabutan subsidi di bidang pertanian (seperti pencabutan subsidi pupuk), kesehatan, pendidikan, dll. SDA Indonesia dikangkangi Asing, di bidang perminyakan, penghasil minyak utama didominasi oleh asing. Diantaranya, Chevron 44%, Pertamina & mitra 16%, Total E&P 10%, Conoco Phillip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energy 1 % lainnya 3% (sumber: Dirjen Migas, 2009).Di bidang pertambangan, lebih dari 70% dikuasai asing. Asing juga menguasai 50,6% aset perbankan nasional per Maret 2011. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Utang luar negeri; total utang pemerintah Indonesia hingga April 2011 mencapai Rp 1.697,44 triliun.
Dan dampak dari perkara diatas bisa kita lihat; 1.Kemiskinan; Akibat penjajahan baru, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 100 juta penduduk miskin menurut kategori Bank Dunia (Okezone, 18/8/2009). 2.Beban berat utang luar negeri; Dalam APBN 2011, pembayaran utang negara (cicilan pokok+bunga utang) meningkat menjadi Rp 247 triliun (Rp 116,4 triliun hanya untuk membayar bunga saja) (Detikfinance.com, 9/1/2011). 3.Kekayaan lebih banyak dinikmati asing; Penerimaan pajak, deviden dan royalti Pemerintah dari PT Freeport selama 2010 (sampai bulan September) adalah sebesar Rp 11,8 triliun (Kompas.com, 14/12/2010). Berapa penghasilan PT Freeport? Dengan saham 91,36%, penghasilan PT Freeport kira-kira Rp 106,2 triliun (Rp 11,8 triliun x 9). Hal yang serupa juga terjadi pada pengeloaan SDA migas dan tambang lainnya. 4.Kesenjangan; contoh di Kaltim, batubara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun; emas 16.8 ton pertahun; perak 14 ton pertahun; gas alam 1.650 miliar meter kubik pertahun (2005); minyak bumi 79.7 juta barel pertahun, dengan sisa cadangan masih sekitar 1.3 miliar barel. Namun, dari sekitar 2.5 juta penduduk Kaltim, sekitar 313.040 orang (12.4 persen) tergolong miskin.
Di Aceh, cadangan gasnya mencapai 17.1 tiliun kaki kubik. Hingga tahun 2002, sudah 70 persen cadangan gas di wilayah ini dikuras oleh PT Arun LNG dengan operator PT Exxon Mobile sejak 1978. Namun, Aceh menjadi daerah termiskin ke-4 di Indonesia dimana 28,5 % penduduknya miskin.
Dan kita tidak boleh amnesia (hilang ingatan), bahwa penjarahan kekayaan negeri ini bisa berjalan mulus diantaranya karena UU. Dan ini melibatkan para politikus yang di DPR dengan peran legislasinya. Padahal masing-masing undang-undang tersebut, bila dianalisis, berdampak pada kehancuran dahsyat bagi perekonomian nasional dan lingkungan; meningkatkan jumlah kemiskinan struktural, pengangguran, keegoisan, kebodohan, kematian, kelaparan dan chaos.
Sekali lagi, siapa yang membahayakan NKRI dengan segenap tumpah darah dan jiwa raga yang menghuninya?
Umat Islam yang berjuang untuk tegaknya syariah dan Khilafah agar SDA benar-benar dikelola untuk rakyat atau mereka yang justru menyerahkan itu semua kepada perusahaan asing? Umat Islam yang berjuang agar negeri ini benar-benar menjalankan syariah sesuai prinsip ketuhanan dari sila pertama Pancasila atau justru mereka, termasuk yang terus menyerukan sekularisme dan meminggirkan Islam dari kancah politik.
Wallahua’lam bish showab


[i] Disampaikan dalam Acara Pemutaran Film “Saga Nirwana: dan Seminar Upaya Membangun Perdamaian dalam perspektif Kemanusiaan. Senin, 27 Februari 2012 Oleh Gerakan Gusdurian (GARUDA) Malang.
[ii] Penulis adalah Ketua Lajnah Fa’aliyah DPD II HTI Malang

globalmuslim


Posting Komentar untuk "Antara Terorisme dan Eksklusivisme Islam (Membaca Motif di Balik Isu Terorisme)"