Menjadi Jakarta “Kedua”, Apa Mau ?
Oleh : Abu Nasir, Ketua DPD Hizbut Tahrir Indonesia Kotawaringin Barat, Kalteng
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 15 orang
meninggal dunia dalam bencana banjir kali ini. Di balik itu, bencana
banjir yang menimpa ibukota menghangatkan kembali wacana pemindahan
ibukota negara ke luar Jakarta. Salah satu alternatif yang dipilih
adalah Kota Palangkaraya sebagaimana yang pernah diusulkan Presiden RI
pertama Soekarno. Alasannya logis, Jakarta sudah tak mampu lagi
menampung beban sebagai pusat pemerintahan sekaligus bisnis dan ekonomi.
Selain banjir, masyarakat Jakarta setiap hari harus berjibaku
dengan kemacetan di jalan raya. Menurut pengamat kebijakan publik UI
Andrinof A. Chaniago, kerugian akibat macet mencapai lebih dari 45
triliun setiap tahunnya. Belum lagi persoalan kesehatan, akses
pendidikan dan pemukiman padat yang menambah ruwetnya persoalan kota
yang dulunya bernama Batavia ini.
Pada sisi lain, posisi Kota Palangkaraya memiliki daya tarik
sebagai calon ibukota negara karena wilayah yang luas, jumlah penduduk
yang masih minim dan bebas gempa. Sah sah saja jika ibukota negara
pindah ke Palangkaraya atau daerah lain yang dianggap strategis. Namun,
tidak otomatis masalah banjir dan persoalan kota Jakarta akan lenyap
seiring dengan pemindahan Ibukota. Dan sangat mungkin masalah yang sama
akan kembali muncul pada wilayah ibukota yang baru, termasuk
Palangkaraya. Sebab, persoalan banjir dan masalah publik pada umumnya
bukan sekedar dipicu aspek teknis semata seperti pembuatan banjir kanal
timur yang belum tuntas, gorong gorong terlalu sempit dan lain
sebagainya. Tapi, berulangnya bencana banjir berakar persoalan sistemik
yang menjadikan permasalahan Kota Jakarta dan Indonesia pada umumnya
tidak pernah tuntas. Persoalan sistemik itu terletak pada ideologi
kapitalisme sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) yang menjadi
mindset (pola pikir) dan pola sikap para penguasa (pemimpin) mulai dari
pusat hingga ke kabupaten/kota.
Dari sisi pola pikir, para pemimpin didorong menjadi penguasa yang
haus kekuasaan dan menjadikan jabatan sebagai alat meraih keuntungan
materi dengan menghalalkan segala cara. Mindset ini kemudian menular
pada pola sikap dalam bentuk kebijakan sekuler dan korupsi kekuasaan
berupa penerbitan undang undang / izin usaha demi melayani para
kapitalis (pemodal/orang kaya) tentunya dengan kompensasi materi yang
berlimpah. Sehingga, berbagai regulasi yang dijalankan untuk menjaga
kemaslahatan dan kesejahteraan bagi masyarakat menjadi tumpul dan
berhenti para secarik kertas karena sudah diintervensi oleh kepentingan
para pemimpin baik secara legal maupun illegal.
Sebagai contoh, dalam kurun waktu lima tahun sebanyak 56 situ di
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi telah menghilang. Yang
tersisa pun mengalami pendangkalan dan kerusakan parah karena diabaikan
oleh pemda. Sedangkan luas total situ di Jabodatabek berkurang drastis
yaitu 2.337,10 hektare untuk total 240 situ, sekarang menjadi hanya
1.462,78 hektare untuk 184 situ. Banjir di Jakarta ternyata bukan
lantaran curah hujan yang amat tinggi. Air bah yang datang lebih
disebabkan oleh kawasan resapan di Bogor yang rusak dan sungai-sungai
yang menyempit. Sementara itu, kawasan puncak, Bogor yang menjadi area
resapan air menjadi rusak karena menjamurnya vila-vila. . Menurut BNPB,
lebar ruas Sungai Ciliwung dari Kalibata hingga Bukit Duri tinggal
tersisa 30 persen karena digerogoti hunian penduduk. Sungai ini jauh
lebih sempit dibanding ketika Ciliwung masih relatif normal pada sekitar
30 tahun silam. Masalah yang sama juga membelit 12 sungai lain. Bahkan
Kali Pesanggrahan, misalnya, cuma memiliki daya tampung air sekitar 21
persen. (tempo.co)
Menurut Iwan Januar, semestinya dengan potensi 42 danau, 13 sungai,
kanal barat dan timur, serta curah hujan yang cukup besar hingga
kapasitas 2 miliar kubik per tahun, seharusnya penduduk Jakarta bisa
memiliki air tanah dan air bersih yang melimpah. Namun, dengan dalih
untuk mendongrak pendapatan asli daerah (PAD), pemerintah merusak
lingkungan, kongkalikong dengan kapitalis dan mengabaikan kepentingan
masyarakat. Maka program penanggulangan banjir apapun, termasuk rencana
pembangunan deep tunnel tidak akan menyelesaikan persoalan. (www.hizbut-tahrir.or.id).
Pola kebijakan kapitalis sekuler semacam ini juga terjadi pada berbagai
daerah termasuk di Kobar. Di antaranya adalah rencana Pemkab Kobar
menerbitkan izin bagi perkebunan kelapa sawit pada desa area penyangga
Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP). Jika berjalan mulus, maka
kebijakan “legal” ini akan mengancam kelestarian TNTP dan merontokkan
sektor pariwisata. Perusahaan manapun yang mendapat izin usaha, pastinya
menjadikan kondisi lingkungan akan semakin rusak. Bisa ditebak,
pemerintah akan berlindung dibalik dalih klasik yakni untuk menciptakan
lapangan pekerjaan dan meningkatkan PAD. Padahal, persoalan TNTP bukan
hanya soal habitat orang utan atau pariwisata semata. Namun, lebih dari
itu merupakan upaya dan tindakan nyata guna menjaga kelestarian
lingkungan dan keseimbangan guna mendukung pembangunan berkelanjutan
khususnya di Kobar. Ironis memang, pada satu sisi Pemkab kobar
menggalakan kampanye green city melalui bungkus Adipura. Pada saat
bersamaan, tak sungkan merusak alam demi kepentingan para pemilik modal
dan segelintir pihak.
[www.bringislam.web.id]
Posting Komentar untuk "Menjadi Jakarta “Kedua”, Apa Mau ?"