Prita, penghina Nabi, dan Buku
Oleh : M. Anwar Djaelani
Ada dua kabar menarik. “Prita Mulyasari Bercerita lewat Buku” (Jawa
Pos 25/09/2012). “Film Pelecehan Picu Larisnya Buku Islam di Inggris” (Hidayatullah/21/09/2012). Dua berita itu menegaskan bahwa bersama musibah ada berkah. Di balik musibah bisa lahir buku.
Berkah Itu
Di Indonesia nama Prita Mulyasari cukup dikenal. Dia pernah ditahan
22 hari di LP Tangerang, tapi di kemudian hari Mahkamah Agung memulihkan
nama baiknya dari tuduhan mencemarkan nama baik sebuah Rumah Sakit (RS)
swasta.
Publik yang tahu masalahnya menilai Prita tak bersalah. Banyak yang
bersimpati kepadanya dan melahirkan gerakan “Koin Keadilan untuk Prita”.
Gerakan itu mengumpulkan sumbangan untuk Prita. Tetapi, sesungguhnya,
gerakan itu lebih berfungsi sebagai ‘pengirim pesan’ kepada pihak
terkait bahwa ada yang tak beres dalam perkara Prita.
Terbukti kemudian –seperti yang disebut di depan- Prita memang tak
bersalah. Tapi, keadaan tak bisa diubah: Prita pernah berurusan dengan
penegak hukum dan bahkan pernah ditahan. Posisi ini jelas tak nyaman,
terlebih karena Prita punya tiga anak kecil yang –cepat atau lambat-
pasti akan mengetahui kisah sang ibu.
Atas situasi tak enak tersebut, Prita-pun bergegas. Dia menulis buku
yang direncenakan selesai Desember 2012. Buku itu merekam semua kejadian
pahit yang dialaminya. Untuk apa? “Saya tidak ingin anak saya
mengetahui mengapa ibunya dipenjara dari orang lain,” kata Prita. Dia
pun menambahkan bahwa jika lewat buku luapan perasaan tidak akan lekang
oleh waktu.
Memang, buku bisa lahir karena ada musibah. Buku juga bisa laris
karena ada musibah. Lihatlah! Ketika pada September 2012 Nabi Muhammad
SAW dihina lewat sebuah film dan dunia menjadi heboh, buku-buku Islam
laris manis di Inggris (sebuah negeri yang bersama AS termasuk ‘kurang
bersahabat’ dengan Islam).
Dikabarkan, penjualan buku-buku Islam di Inggris meningkat setelah
tersebarnya film yang melecehkan Nabi SAW. Peningkatannya mencapai
20-30% jika dibanding dengan angka penjualan di bulan-bulan sebelumnya.
Banyak konsumen mencari buku-buku yang berisi pengenalan terhadap
Islam dan terjemahan Al-Qur`an. Buku-buku Islam berbahasa Inggris
merupakan buku yang paling laris. Sebuah sumber menyebutkan bahwa
keadaan ini serupa dengan kondisi pascaperistiwa 11 SeptemberBottom of
Form.
Kecuali lebih meningkatnya penjualan buku-buku Islam, pada saat yang
sama terbuka pula peluang untuk menerbitkan buku-buku bertemakan
–misalnya- bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim saat Nabi SAW
dihina orang. Apakah diam saja seraya berharap si penghina menyadari
kesalahannya atau bagaimana?
Terkait ini bisa saja lahir buku berjudul –misalnya- “Membela Nabi dengan Sepenuh Cinta”. Mengapa terbit ide itu? Pertama,
bagi umat Islam Nabi SAW adalah manusia yang paling dicintainya
melebihi cinta kepada dirinya sendiri (baca HR Bukhari). Bahkan
sedemikian mulianya, Allah dan para Malaikat bershalawat kepada Nabi
SAW.
Kedua, ada tuntunan Islam bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim jika Nabi SAW dihina. Dari Ali bin Abi Thalib ra: “Bahwa
ada seorang wanita Yahudi yang sering mencela dan menjelek-jelekkan
Nabi SAW. Maka (oleh karena perbuatannya tersebut), wanita itu dicekik
sampai mati oleh seorang laki-laki. Ternyata Rasulullah SAW menghalalkan
darahnya” (HR Abu Dawud).
Dengan mengembangkan dua ‘landasan’ di atas dan ditambah referensi
yang lain, sebuah buku menarik bisa saja lahir. Jika dulu ada buku karya
Ibnu Taimiyah berjudul “Al-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim al-Rasul” (Pedang
Terhunus bagi Pencaci Rasul), maka bukan tak mungkin bisa segera lahir
buku berjudul “Urgensi Mengekspresikan Cinta kepada Nabi”.
Dari Penjara
Kisah HAMKA, Sayyid Quthb, dan Ibnu Taimiyah yang sekalipun berada di
penjara tetapi mereka tetap bisa menghasilkan karya terbaik semakin
memberi keyakinan kepada kita bahwa bersama kesulitan ada kemudahan. “Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan” (QS Alam Nasyrah [94]: 6).
Sekitar awal 1964 HAMKA ditahan rezim Orde Lama dengan tuduhan
subversi, sebuah tuduhan yang sampai dia bebas dua tahun empat bulan
kemudian tak pernah bisa dibuktikan secara hukum.
Di tahanan, HAMKA atur jam-jam buat membaca dan menulis Tafsir
Al-Qur’an Al-Azhar. Maka, menyusul kekacauan politik, pada Mei 1966
HAMKA dibebaskan. Saat itu, dia telah menyelesaikan tafsir 28 juz,
karena yang dua juz telah diselesaikannya sebelum dia ditahan.
Di Mesir, ada Sayyid Quthb. Lelaki yang lahir pada 1903 ini hafal
Al-Qur’an sejak anak-anak. Dia dipenjara rezim Gamal Abdel Nasser. Apa
‘kesalahan’ dia? Sangat sederhana: Sayyid Quthb menulis sejumlah buku
bersemangat Islam –antara lain- Ma’aalim fit-Thariq (Petunjuk
Jalan) pada 1964 yang berisi penolakan terhadap kebudayaan jahiliyah
modern dalam segala bentuknya. Lalu, rezim Gamal Abdel Nasser yang
menganut Sosialisme Arab memandangnya sebagai sebuah kesalahan besar.
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an (Di Bawah Lindungan Al-Qur’an)
diselesaikan Sayyid Quthb saat berada di penjara. Dalam kesaksian banyak
kalangan, tafsir itu mampu menggelorakan spirit iman, hijrah, dan
jihad.
Jauh sebelum HAMKA dan Sayyid Quthb, ada Ibnu Taimiyah (1263-1328).
Dia sering merasakan ‘manis’-nya penjara. Perlakuan itu diterimanya
hanya karena sejumlah pendapat keagamaannya berbeda dengan ulama-ulama
lain yang dekat dengan penguasa ketika itu.
Di antara lima ratusan karya tulis Ibnu Taimiyah, sebagian lahir di penjara (termasuk Majmu’ Al-Fatawa). Itu terjadi karena di dalam penjara dia memiliki banyak kesempatan membaca dan menulis.
Menulislah Sekarang!
Mampu menulis buku itu berkah, bahkan berkah yang sangat besar.
Menulis bisa dikerjakan kapan saja, baik di saat lapang atau di kala
sedang didera musibah. Jadi, segeralah menulis! []
undergroundtauhid/BringBackIslam
Posting Komentar untuk "Prita, penghina Nabi, dan Buku"