Remaja, SAY NO DEPRESI!
Oleh : Anandyah Retno Cahyaningrum
“Satu di Antara Lima Orang Depresi” (Jawa Pos 05/10/2012). Berita itu menarik sebab muncul hanya beberapa hari menjelang 10 Oktober 2012, saat orang-orang memeringati “World Mental Health Day”. Disebutkan, jumlah penderita depresi bertambah dan itu beriringan dengan semakin meningkatnya risiko bunuh diri karenanya.
Akar Masalah
Fenomena bunuh diri meningkat di kalangan remaja. Dalam 6 bulan
pertama di tahun 2012, Komnas Nasional Perlindungan Anak mencatat 20
kasus bunuh diri. Hal ini sangat memprihatinkan, mengingat remaja adalah
generasi penerus. Jika kualitas mental remaja seperti ini, lalu kemana
arah negeri tercinta ini kelak? Masalah ini harus ditangani secara
intensif dan integral.
Dalam tinjauan psikologi, individu yang melakukan bunuh diri, 90%
berkemungkinan mengalami gangguan mental seperti depresi. Para ahli
psikologi pun sepakat bahwa depresi merupakan indikasi terjadinya bunuh
diri.
Depresi bisa dialami oleh semua kelompok usia, mulai dari anak-anak,
remaja hingga dewasa. Dari data statistik, jumlah terbesar penderita
depresi adalah kelompok remaja. Mengapa? Karena masa remaja merupakan
masa transisi dimana terjadi berbagai macam perubahan dalam dinamika
hidupnya yang menuntut mereka untuk melakukan penyesuaian/adaptasi
terhadap realitas. Sementara, remaja masih terfokus pada pencitraan
dirinya. Situasi kondisi yang penuh tuntutan, rentan bagi remaja untuk
mengalami stress. Mereka cenderung mengalami tekanan dalam penyesuaian
dirinya berinteraksi dengan orang lain.
Dalam hubungan sosialnya dengan orang lain -khususnya dengan orang
tua- juga mengalami perubahan yang signifikan. Remaja cenderung
mempersepsikan orangtua secara berbeda sehingga tidak jarang timbul
konflik dengan orangtua. Sehingga hal-hal yang sebenarnya sepele dalam
pandangan orangtua / orang dewasa bisa merupakan masalah besar dan
serius bagi remaja. Banyaknya masalah yang tidak terfasilitasi
penyelesaiannya dapat menyebabkan depresi yang berkepanjangan dan
berakibat pada kematian dengan cara bunuh diri.
Pada kasus bunuh diri remaja, bisa dipastikan bahwa mental mereka
belum mencapai sebuah kematangan (maturitas). Sehingga tatkala tidak
menemukan penyelesaian yang tepat atas permasalahan-permasalahan yang
dialami, mereka cenderung mengalami tekanan dalam hidupnya (depresi).
Dengan ketidakmatangan mental, remaja akan menjadikan bunuh diri sebagai
alternatif solusi untuk mengakhiri kemelut yang melingkupinya.
Sediakan Fasilitas!
Remaja memiliki potensi dan energi yang cukup besar karena kognisi,
afeksi, dan motoriknya mengalami peningkatan perkembangan yang sangat
signifikan sehingga terjadi gejolak-gejolak dalam dirinya. Atas kondisi
tersebut maka dibutuhkan ruang-ruang yang luas untuk menampung semua
potensi remaja yang sedang tumbuh.
Lingkungan masyarakat dan sekolah merupakan tempat yang efektif untuk
menyalurkan energi para remaja. Misal, melalui kegiatan ekstrakurikuler
di sekolah, aktif di lembaga intrasekolah (OSIS), kegiatan kerohanian,
bergabung dengan klub olah raga atau sanggar seni, kegiatan karang
taruna di lingkungan tempat tinggal, dan lain-lain.
Melalui partisipasi remaja pada kegiatan-kegiatan tersebut, mereka
akan belajar berorganisasi, bagaimana memimpin, melakukan manajemen,
memecahkan masalah, mengambil keputusan, membina hubungan dengan orang
lain, dan lain-lain. Sejalan dengan waktu, hal-hal tersebut akan menjadi
kebiasaan yang melekat dalam dirinya yang kelak akan menjadi bekal
hidupnya di masa mendatang.
Dengan terfasilitasinya potensi–potensi remaja melalui
aktivitas-aktivitas tersebut, secara tidak langsung akan meminimalkan
terjadinya perilaku-perilaku buruk yang kerap muncul pada remaja,
seperti tawuran, narkoba, seks bebas yang bisa berujung pada depresi dan
bunuh diri.
Dampak positif lainnya yang muncul adalah remaja akan memiliki
cakrawala berpikir yang lebih luas, memiliki cita-cita tinggi,
bersemangat dalam berusaha dan belajar, lebih percaya diri, trampil
berinteraksi sosial, dan cakap menghadapi persoalan hidup.
Pikiran-pikiran positif akan hidup dan menjadi pendorong serta penunjuk
jalan bagi remaja dalam mengambil berbagai langkah menyikapi dan
menyelesaikan berbagai permasalahan. Dengan demikian, mental para remaja
akan lebih cepat mengarah pada kematangan dan menjadi lebih sehat.
Komunikasi, Komunikasi!
Mengingat masa remaja merupakan masa yang sensitif, maka sebagai
orang dewasa kita perlu belajar ketrampilan berkomunikasi, sehingga
keberadaan kita dapat diterima mereka dan kita pun dapat menerima
keberadaan mereka.
Untuk membuat mereka terbuka kepada orang dewasa (orangtua) bukan hal
yang mudah dilakukan. Kunci utama untuk dekat dengan remaja adalah
memahami dunia mereka sekalipun terkadang bertentangan dengan “pakem”
orang dewasa.
Berikut tips yang bisa dilakukan orangtua: 1).Menghargai dan
memberikan perhatian terhadap segala hal yang menjadi keluh-kesahnya.
Jangan sedikitpun menyepelekan dan menganggap kecil persoalan remaja,
karena bagi mereka hal tersebut adalah masalah besar. Remaja hanya butuh
untuk didengarkan uneg-unegnya. 2).Bersikap rendah hati terhadap
mereka, jangan menyalahkan mereka dan menganggap kita lebih hebat dalam
menyelesaikan masalah. Dengan kerendahan hati mereka akan lebih terbuka
untuk menceritakan persoalannya. 3).Berempati dengan memahami
persoalannya dan membantu mengarahkan pikirannya untuk menemukan
alternatif solusi. 4).Berikan selalu dukungan dan kata-kata motivasi
untuk menguatkan jiwanya atas sebuah keputusan yang telah mereka pilih.
Dengan meningkatnya ketrampilan berkomunikasi kita kepada remaja,
harapannya kualitas komunikasi menjadi semakin baik dan bermakna.
Implikasinya, kasus-kasus remaja depresi dan bunuh diri sejak awal dapat
diantisipasi.
Mari bersama-sama mengupayakan keselamatan mental remaja Indonesia,
agar mereka menjadi generasi yang bertakwa, bermartabat, intelek,
kreatif dan inovatif. Say no ‘depresi’! Say no ‘bunuh diri’! []
Posting Komentar untuk "Remaja, SAY NO DEPRESI!"