Urbanisasi dan Buruknya Ri’ayah Oleh Negara
Al-Islam edisi 620, 31 Agustus 2012 – 13 Syawal 1433 H
Rakyat negeri ini masih terus merasakan buruknya ri’ayah atas
kepentingan dan urusan mereka. Hal itu tercermin dari masalah kecelakaan
lalu lintas selama mudik, masalah urbanisasi dan ketimpangan
pembangunan, dan sebagainya.
Ditlantas Polri mencatat selama mudik 2012 terjadi 5.233 kecelakaan
lalu lintas, 908 orang meninggal, 1.505 orang luka berat, dan 5.139
orang luka ringan. Kerugian materi akibat ini diperkirakan Rp 11,815
miliar.
Semua itu tetap tidak bisa dilepaskan dari ri’ayah yang masih buruk.
Mengapa tingkat kecelakaan justru meningkat cukup besar. Semestinya bisa
diantisipasi sebab mudik itu rutinitas yang terjadi tiap tahun.
Selain itu, arus balik mudik lebaran selalu membawa persoalan
kependudukan bagi sejumlah kota-kota besar. DKI Jakarta misalnya,
diperkirakan dimasuki sekitar 50 ribu pendatang baru. Sementara
Tangerang Selatan diperkirakan diserbu 13 ribu warga pendatang.
Pertambahan jumlah warga menambah persoalan baru bagi daerah
bersangkutan seperti tempat tinggal, lapangan kerja, kesehatan dan yang
dikhawatirkan akan mendorong naiknya angka kriminalitas akibat tekanan
ekonomi. Apalagi tidak sedikit warga pendatang bukan tenaga terdidik
yang memiliki ketrampilan bekerja.
Ketimpangan Pembangunan
Pembangunan dan pelayanan terhadap rakyat negeri ini masih timpang.
Pembangunan belum merata khususnya di wilayah pedesaan dan wilayah
tertentu terutama wilayah timur. Hal itu membuat warga khususnya di
pedesaan kurang menikmati hasil pembangunan dan kemiskinan pun merebak
di pedesaan. Data Badan Pusat Statistika (BPS) Maret 2011, 63,2 %
penduduk miskin berada di pedesaan, dan 57,78% penduduk miskin bekerja
di sektor pertanian. Nasib para nelayan juga tidak berbeda. Kementerian
Kelautan dan Perikanan mencatat jumlah nelayan miskin mencapai 7,87
juta orang atau 25,14 % dari jumlah penduduk miskin nasional.
Akibat ketimpangan pembangunan itu pertumbuhan ekonomi tidak merata.
Daerah perkotaan terus menjadi sentra perekonomian meninggalkan pedesaan
yang kian terpuruk. Putaran uang di Ibukota DKI Jakarta saja mencapai
70 persen dari uang nasional. Itulah yang menyebabkan setiap harinya
Jakarta didatangi 4 juta orang dari luar kota yang bekerja mencari
nafkah di ibukota.
Hal inilah yang menjadi penyebab terjadinya urbanisasi penduduk.
Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni menyebutkan
jumlah pemukim di perkotaan terus meningkat. Pada tahun 1995 pemukim di
kota sebanyak 40% dan meningkat menjadi 52 % pada tahun 2010. Pada 2025
diperkirakan jumlah pemukim di perkotaan mencapai 195 juta setara 65 %
jumlah penduduk. Tentu saja kondisi ini akan menambah persoalan umum di
kota-kota besar seperti pengangguran, pemukiman, kesehatan dan potensi
kriminalitas.
Kapitalisme Penyebabnya
Buruknya ri’ayah oleh negara disebabkan oleh sejumlah faktor yang
berujung pada sistem kapitalisme. Pembangunan tidak didasari paradigma
pemeliharaan urusan rakyat (ri’ayah syu’unil ummah). Dalam
kapitalisme negara harus seminim mungkin menangani urusan rakyat secara
langsung, sebaiknya penanganan semua diserahkan kepada swasta. Itulah
yang membuat dan terlihat dalam bentuk kemitraan pemerintah dengan
swasta (KPS) dalam pembangunan berbagai infrastruktur seperti jalan,
jembatan, pasar, terminal, pelabuhan, bandara, dan penanganan berbagai
urusan.
Dengan pola seperti itu, keuntungan tidak dinikmati rakyat, tetapi
dinikmati swasta yang sudah berinvestasi pada beragam sektor strategis.
Alih-alih melayani masyarakat, kemitraan ini justru menempatkan rakat
sebagai konsumen.
Sumber kekayaan pun juga diserahkan kepada swasta. Akibatnya rakyat
sebagai pemiliknya justru tidak menikmati hasilnya. Negara juga
kehilangan sumber pendapatan sehingga kesulitan untuk membiayai
pembangunan dan pelayananan untuk rakyat.
Pola pembangunan turut memperumit masalah. Dalam pola
otonomi daerah sekarang, daerah harus mencari sendiri dana pembangunan
daerahnya. Dalam PP No. 104 tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, untuk
pendapatan pajak daerah, mayoritas diberikan kepada pemda yaitu PBB
sebesar 90% dan BPHTB 80%. Demikian pula dengan pertambangan umum,
kehutanan dan perikanan, jatah pemerintah daerah sebesar 80% dari total
penerimaan dari sektor tersebut. Sementara untuk minyak (85%) dan gas
(70%) dikuasai oleh pemerintah pusat.
Kenyataannya kondisi alam dan potensi tiap daerah amat beragam
sehingga mempengaruhi pendapatan asli daerah (PAD). Dengan pola
tersebut, maka hanya daerah yang kaya yang berpotensi maju. Daerah
miskin akan tetap miskin dan terbelakang. Hal itu diperparah oleh
alokasi APBD yang sangat minim untuk pembangunan. Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (FITRA) memperkirakan ada 124 daerah di Indonesia
memiliki anggaran belanja pegawai lebih besar dibandingkan dengan
belanja modal. Ke-124 daerah ini menganggarkan belanja pegawai hingga
diatas 60 persen dari APBD-nya sehingga mereka terancam bangkrut.
Semua itu masih diperparah oleh maraknya korupsi dan berkeliarannya
pungutan siluman khususnya pada berbagai proyek pembangunan. Untuk
mendapatkan anggaran, tak jarang daerah harus menyuap. Kasus suap Dana
Penyesuaian Infrastruktur Daerah yang melibatkan anggota Badan Anggaran
DPR RI salah satu buktinya. Hal itu menambah timpang pembangunan di
daerah. Selain itu, akibat suap anggaran proyek pembangunan banyak yang
menguap untuk suap dan meminimkan jumlah biaya yang benar-benar untuk
pembangunan. Akibatnya kualitas berbagai sarana dan fasilitas untuk
rakyat pun buruk dan cepat rusak. Lagi-lagi rakyat yang harus menderita.
Ironisnya, semua itu diantaranya karena sistem politik demokrasi yang
mahal, baik untuk operasional parpol, politisi, pemilu, pencalonan dan
pemilihan wakil rakyat, pemilu kada dan proses-proses politik lainnya.
Akibatnya pemberantasan korupsi seakan menemui jalan buntu.
Syariah Islam Solusinya
Semua kenyataan di atas sungguh bertolak belakang dengan kenyataan
ketika syariah Islam diterapkan. Dalam Islam, negara memang ada untuk
melakukan pelayanan kepada masyarakat. Memelihara urusan rakyat adalah
kewajiban negara. Prinsip dasar pembangunan dalam syariah Islam adalah
untuk melakukan ri’ayatusy syu’unil ummat, memelihara urusan
dan kepentingan rakyat. Hal itu menjadi tugas dan kewajiban penguasa,
pejabat dan seluruh aparatur negara. Dalam Islam penguasa harus
bertindak layaknya pelayan yang siap melayani rakyat dengan
sebaik-baiknya.
Pemahaman atas paradigma itu tercermin dalam nasihat Imam Hasan al-Bashri kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz; “Pemimpin
adil itu wahai Amirul Mukminin, seperti seorang ibu yang penuh kasih
sayang terhadap anaknya, mengandungnya dengan susah payah, menjaganya
saat kecil, terjaga ketika anaknya terjaga, diam ketika anaknya sudah
terlelap. Sesekali ia menyusuinya dan lain waktu menyapihnya. Bergembira
akan kesihatan anaknya dan berduka ketika anaknya sakit.”
Dengan paradigma itu, seluruh rakyat dan semua daerah harus
diperhatikan. Tidak boleh terjadi konsetrasi perhatian dan pembangunan
pada sejumlah daerah saja. Negara dalam Islam wajib membangun dan
menyediakan seluruh infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat, tanpa
memandang perbedaan tingkat pendapatan daerah. Kaedahnya adalah setiap
daerah diberi dana pembangunan sesuai kebutuhannya tanpa memperhatikan
besar kecilnya pendapatan daerah tersebut. Dengan begitu semua daerah
memiliki peluang yang sama untuk maju. Pembangunan pun bisa merata di
seluruh daerah. Kesenjangan pembangunan dan perekonomian tidak akan
terjadi seperti saat ini. Sehingga daerah memiliki daya saing yang
relatif sama dengan perkotaan. Dengan mekanisme seperti ini urbanisasi
akan dapat diredam karena penduduk daerah juga memiliki lapangan
pekerjaan yang layak. Semua itu masih ditambah lagi adanya jaminan
pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan) dan kebutuhan
dasar masayrakat (pendidikan, kesehatan dan keamanan) melalui mekanisme
yang telah ditetapkan oleh syariah.
Islam menjamin hal itu bisa direalisasikan. Islam menetapkan berbagai
kekayaan alam sebagai milik umum, milik seluruh rakyat, yang tidak
boleh diserahkan kepada swasta. Negara haus mengelolanya mewakili rakyat
dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat.
Semua itu dijalankan oleh penguasa, pejabat dan aparat yang baik.
Kekuatan ruhiyah menjadi pendorong mereka untuk menjalankan kekuasaan
dan tugas dengan amanah. Korupsi atau penyalahgunaan wewenang dalam
pembangunan pun bisa diminimalkan seminimal mungkin. Sebab mereka akan
terus terngiang oleh peringatan Nabi saw:
« مَا مِنْ وَالٍ يَلِى رَعِيَّةً مِنَ
الْمُسْلِمِينَ ، فَيَمُوتُ وَهْوَ غَاشٌّ لَهُمْ ، إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ
عَلَيْهِ الْجَنَّةَ »
Tidaklah seorang wali mengurusi urusan kaum muslimin kemudian dia mati dan dia berbuat curang, kecuali Allah haramkan baginya surga. (HR. Al-Bukhari)
Korupsi, suap dan sejenisnya, akan bisa dibasmi dengan hukum-hukum
syariah, termasuk pencatatan kekayaan penguasa, pejabat dan aparat, jika
ada kekayaan mencurigaan yang bersangkutan diharuskan membuktikan
asalnya yang halal, dan penerapan sanksi yang menjerakan bagi pelaku dan
orang lain.
Wahai kaum Muslimin!
Belum cukupkah kezaliman sistem kapitalisme terhadap kita? Masih
perlukah kita biarkan terus menimpa kita? Tentu saja tidak. Untuk itu
yang harus kita lakukan adalah segera mengakhiri sistem kapitalisme di
tengah kita. Sebagai gantinya kita segera terapkan Syariah Islam secara
total dan menyeluruh, tentu saja hanya bisa kita wujudkan di bawah
sistem al-Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Kapan kita
perjuangkan kalau bukan sekarang. Wallâh a’am bi ash-shawâb. []
Komentar Al Islam
Sebanyak 13 anggota Pansus RUU Desa DPR akan mengunjungi Brasil
selama sepekan. Anggaran yang dikeluarkan cukup besar, sekitar Rp 1,6
miliar. (Detik.com, 26/8)
- Selama ini kunjungan lebih kental untuk pelesiran dan menghamburkan uang rakyat
- Perhatian terhadap rakyat dan memajukan desa sulit dilakukan selama sistem kapitalis masih bercokol
- Memajukan seluruh daerah hanya bisa diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara total dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Posting Komentar untuk "Urbanisasi dan Buruknya Ri’ayah Oleh Negara"