Membebaskan Muslim Yang Tertindas
Umat Islam di dunia saat ini jumlahnya tidak kurang dari 1,6 miliar
jiwa. Namun demikian, dengan jumlah yang banyak tersebut tidaklah
berarti umat Islam senantiasa berposisi sebagai mayoritas penduduk
sebagaimana di Indonesia (87%) dan negeri-negeri Timur Tengah.
Adakalanya umat Islam adalah minoritas dalam sebuah negara seperti yang
terjadi di negara-negara Eropa (5%), Amerika (1%), sebagian Afrika dan
sebagian Asia seperti di India (13%), Cina (4%), Myanmar (3%), Thailand
(4%), Filipina (4%) dan lainnya (Statistik Penduduk Dunia). Dalam
situasi seperti inilah sering umat Islam akhirnya menjadi korban
penindasan penduduk mayoritas karena berbagai alasan.
Warisan Kebijakan Kolonial
Warisan Kebijakan Kolonial
Masing-masing negara penjajah menerapkan berbagai aturan pada negara jajahan (pheriperal state) sesuai dengan negara induk (core state)-nya.
Aturan ini kemudian diterapkan kepada penduduknya, termasuk di dalamnya
adalah umat Islam. Jadilah umat Islam yang awalnya diikat dengan
kesatuan akidah menjadi umat Islam yang diikat dengan suku dan bangsanya
sehingga menjadi asing dengan umat Islam di negeri yang lain.
Pemerintah kolonial juga sering menerapkan kebijakan untuk
memarjinalkan umat Islam di suatu negeri. Begitulah, misalnya, yang
dilakukan negara imperialis Spanyol yang kemudian diteruskan oleh
penjajahan Amerika Serikat ketika memperlakukan Muslim Moro di Filipina.
Tahun 1578 terjadi perang besar yang melibatkan orang Filipina
sendiri. Penduduk pribumi wilayah Utara yang telah dikristenkan
dilibatkan dalam ketentaraan kolonial Spanyol, kemudian diadu-domba dan
disuruh berperang melawan orang-orang Islam di selatan. Terjadilah
peperangan antar orang Filipina sendiri dengan mengatasnamakan misi
suci. Dari sinilah kemudian timbul kebencian dan rasa curiga orang-orang
Kristen Filipina terhadap Bangsa Moro yang Islam, hingga sekarang.
Sekalipun Spanyol gagal menundukkan Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap
menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari teritorialnya. Secara
tidak sah dan tak bermoral Spanyol kemudian menjual Filipina kepada
Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 melalui Traktat
Paris.
Upaya untuk memarjinalkan umat Islam terus dilakukan. Salah satunya
yang dilakukan oleh Senator Manuel L. Quezon pada 1936-1944 yang gigih
mengkampanyekan program pemukiman besar-besaran orang-orang Utara.
Tujuannya adalah menghancurkan keragaman dan keunggulan jumlah Bangsa
Moro di Mindanao serta berusaha mengintegrasikan mereka kedalam
masyarakat Philipina secara umum.
Inggris juga melakukan upaya untuk meminggirkan umat Islam di India,
Birma (Myanmar) dan Singapura. Di Birma dulu terjadi persaingan dan
saling berbagi penjajahan antara Inggris dan Prancis. Inggris pada tahun
1824 M menduduki Birma dan menancapkan penjajahan mereka atas Birma.
Adapun Prancis menduduki Laos yang bertetangga dengan Birma dan
menancapkan penjajahan mereka terhadap Laos. Pada tahun 1937 Inggris
memisahkan Birma dari “pemerintahan India Inggris”. Jadilah jajahan
Inggris terpisah secara administratif dari pemerintah India Inggris,
atas nama “pemerintahan Birma Inggris”. Propinsi Arakan dijadikan berada
di bawah pemerintahan ini, di bawah kontrol orang-orang Budha.
Penindasan minoritas Muslim di Birma, oleh Naypyidaw disebut sebagai
“manajemen migrasi ilegal” dan “kontrol pertumbuhan penduduk” untuk
membenarkan penganiayaan terhadap kelompok ini. Walaupun demikian,
penyebutan “imigran” tidak sesuai dengan bukti bahwa partisipasi politik
Muslim di era modern di negara bagian Arakan kembali ke tahun 1930-an,
sementara kota Arakan, Mrauk U, pada puncak keemasannya di abad ke 17
merupakan jalur dagang utama di Asia, yang diperintah oleh sultan-sultan
Muslim.
Ini juga merupakan ketidakkonsistenan, mengingat ada jutaan orang
Cina yang bermigrasi ke Myanmar dalam beberapa dekade terakhir untuk
menjadi pemain kuat dalam perekonomian.
Kebijakan diskriminatif ini kemudian dilanjutkan pada zaman
pemerintah pasca kolonial sipil U Nu di awal tahun 1950an. Mereka
mengusir Kongres Muslim Birma dan menjadikan Budha agama negara.
Diktator pertama Myanmar, Ne Win, muncul dengan menggunakan propaganda
anti-Muslim selama pengusiran massal orang-orang India pada tahun
1960-an. Dia mencap puluhan ribu orang yang dibawa untuk bekerja oleh
Inggris sebagai kaki tangan kolonial, dan mengeksploitasi sentimen
anti-Islam untuk melarang Muslim menjadi tentara. Hal yang sama memicu
kerusuhan anti-Cina yang terkenal pada akhir 1960-an dan 1970-an, bahwa
Myanmar adalah negara yang dirugikan karena pekerjaan akan diambil
orang-orang asing—yang juga mendorong kerusuhan anti-India dan
anti-Muslim pada tahun 1930 dan 1938. Sampai sekarang, diskriminasi itu
tidak pernah berakhir.
Maka dari itu, kebencian terhadap umat Islam di negeri jajahan adalah
kebencian yang ditanamkan oleh penjajah Eropa, sebagaimana kebencian
yang mereka rasakan di tempat asal mereka akibat Perang Salib yang
berkepanjangan. Padahal awalnya mereka adalah satu ras dan satu
keturunan, namun akibat penjajahan mereka dipisahkan dengan hembusan
kebencian yang terus diturunkan generasi ke generasi.
Kebencian Atas Dasar Agama
Kebencian Atas Dasar Agama
Pemerintah kolonial juga menanamkan kebencian atas dasar agama. Sikap
ini kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan pasca kolonialisme. Dengan
berbagai alasan mereka terus menanamkan kebencian terhadap umat Islam.
Di Birma (Myanmar), misalnya, mereka menganggap kaum Muslim adalah
orang asing. Mereka (kaum Budha)-lah penduduk asli. Padahal para
sejarahwan menyebutkan bahwa Islam masuk ke negeri itu tahun 877 M pada
masa Khalifah Harun ar-Rasyid—waktu itu Khilafah menjadi negara terbesar
di dunia selama beberapa abad. Islam mulai menyebar di seluruh Birma
ketika mereka melihat kebesaran, kesahihan dan keadilannya. Kaum Muslim
memerintah propinsi Arakan lebih dari tiga setengah abad antara tahun
1430 hingga tahun 1784 M.
Kebencian itu terus mengakar hingga kini, bahkan justru Presiden
Myanmar, Thein Sein, selama pertemuan dengan UNHCR, Antonio Koteres,
pada Rabu (11/7), Thein menyeru untuk mengumpulkan anggota minoritas
Muslim di Myanmar, yang dikenal sebagai “Rohingya” di kamp-kamp
pengungsi, saat mereka diusir ke luar negeri. Ia mengatakan, “Kami tidak
mungkin menerima Rohingya yang memasuki negara secara ilegal dan mereka
bukan etnis kami.” Kemudian ia menambahkan, “Mereka menimbulkan ancaman
bagi keamanan nasional.”
Ini bukanlah hal yang baru, karena sejak tahun 1978, Myanmar telah
mengusir lebih dari 300 ribu kaum Muslim ke Bangladesh. Pada tahun 1982,
otoritas Birma membatalkan kewarganegaraan kaum Muslim dengan dalih
bahwa mereka adalah pendatang di wilayahnya dengan istilah “imigran
Bengali yang ilegal”. Kebijakan itu kemudian disusul dengan penerapan
kebijakan pemberantasan terhadap kaum Muslim yang tersisa di wilayahnya
melalui program pengendalian kelahiran, yaitu melarang anak perempuan
Muslim menikah sebelum usia 25 tahun, dan laki-laki sebelum usia 30
tahun.
Kebijakan pemerintah juga menetapkan bahwa bayi-bayi Rohingya yang
lahir di luar pernikahan resmi yang diakui pemerintah ditempatkan pada
daftar hitam yang melarang mereka untuk masuk sekolah dan menikah.
Seorang pasangan Rohingya harus membuat permohonan terlebih dulu sebelum
mencoba untuk menikah; sering adanya penolakan oleh pemerintah, serta
kebijakan yang ketat untuk memiliki hanya dua anak hanya diperuntukkan
bagi Rohingya.
Di situs jurnal The Voice, yang mengeluarkan permintaan maaf
setelah dibombardir dengan ancaman setelah melaporkan liputannya atas
pembantaian itu, seorang pengunjung menulis, “Kita harus membunuh semua
Kalars (julukan penghinaan Muslim Rohingya) di Birma atau mengusir
mereka karena jika tidak maka Buddhisme akan tidak ada lagi.”
Kebijakan PBB (Negara-Negara Barat)
Kebijakan PBB (Negara-Negara Barat)
Negara-negara Barat, termasuk di dalamnya PBB, seolah menutup mata
dan telinga terhadap penindasan yang dialami umat Islam minoritas ini.
Hal ini sangat bisa dipahami karena negara-negara Baratlah yang menanam
benihnya ketika mereka melakukan penjajahan terhadap negeri tersebut.
Di Birma, misalnya, Barat terutama Amerika merestui rezim baru
Myanmar untuk membebaskan pemimpin oposisi dan perubahan demokrasi tanpa
sedikitpun menyebut apa yang menimpa kaum Muslim. Kedutaan besar
Amerika di Birma mengeluarkan keterangan yang menyebutkan bahwa Kuasa
Usaha Michael Thurston telah bertemu secara terpisah di Yangoon dengan
organisasi-organisasi Islam lokal dan dengan Partai Uni Solidaritas dan
Pembangunan (Union Solidarity and Development Party – USDP) di
Arakan. Thurston mengatakan, “Yang paling penting sekarang bahwa semua
pihak wajib untuk tenang. Ada kebutuhan akan dialog yang lebih. Dialog
hanya mungkin terjadi ketika ada ketenangan.”
Ia mengatakan, “Kedutaan Amerika mendorong pemerintah Myanmar untuk
melakukan penyelidikan dengan jalan yang menghormati proses hukum dan
kedaulatan hukum” (Kantor Berita Associated Press Amerika, 14/6/2012).
Ini artinya, Amerika mengatakan kepada masyarakat yang mengalami
pembunuhan dan pengusiran bahwa kalian harus tenang, berpegang pada
dialog dan mematuhi proses hukum! Ini karena orang-orang yang terbunuh
dan terusir adalah kaum Muslim.
Lain halnya ketika para biksu Budha pada tanggal 20/9/2007 melakukan
demonstrasi dan dibungkam oleh rezim militer di Birma, maka Amerika
membangunkan dunia dan tidak duduk serta menjatuhkan sanksi-sanksi keras
terhadap Birma dan hal itu diikuti oleh negara-negara Barat. Hal itu
menunjukkan bahwa Amerika tidak peduli dengan apa yang menimpa kaum
Muslim dan tidak mengutamakan hal itu. Yang Amerika pentingkan adalah
realisasi kepentingannya dan perluasan pengaruhnya. Ini secara umum
merupakan sikap Barat semuanya yang memusuhi Islam dan kaum Muslim.
Terhadap apa yang menimpa kaum Muslim di Myanmar, PBB belum juga
mengambil tindakan apapun atas apa yang terjadi. Padahal pada saat yang
sama, setahun lalu PBB sudah mencairkan dana sebenar 33 milliar US
dollar untuk program sosial pemerintah Bangladesh.
Bungkamnya Barat, Amerika Serikat dan berbagai organisasi
internasional, tidak hanya dalam menyikapi penderitaan kaum Muslim di
Myanmar. Terhadap apa yang menimpa kaum Muslim di Pattani Thailand, Moro
Filipina, Xianjiang China juga sama. Mereka beralasankan bahwa itu
adalah persoalan domestik atau regional sehingga tidak perlu mereka ikut
campur. Artinya, memang mereka tidak punya kepentingan terhadap
penderitaan umat Islam.
Buah Nasionalisme
Hal yang membuat keprihatinan yang semakin mendalam adalah sikap
diamnya para penguasa kaum Muslim di berbagai negeri. Seolah mereka
mengikuti Amerika dan Barat sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi
sehasta. Mereka diam saja tetap tidak bergerak sedikitpun.
Ini adalah buah dari penerapan sistem nation state di Dunia
Islam. Dengan paham kebangsaan, seolah kaum Muslim terlepas dari ikatan
mereka yang satu, tauhid. Mereka merasa asing dengan saudara mereka yang
Muslim.
Penguasa Bangladesh yang bertetangga dengan Birma sekalipun, tidak
menolong saudara-saudara mereka yang menderita penyaringan dan
penindasan bengis sejak ratusan tahun. Penguasa Bangladesh bukan hanya
tidak menolong kaum Muslim, bahkan ‘mencekik leher’ orang yang mengungsi
ke Bangladesh dengan menutup perbatasannya untuk kaum Muslim itu.
Atas penderitaan kaum Muslim di Pattani, penguasa Malaysia yang
bertetangga dengan Thailand juga tak kunjung menolong saudara mereka.
Padahal selain saudara seiman, secara historis mereka adalah satu
kesatuan pada masa silam.
Demikian juga penguasa Indonesia yang bersikap setengah-setengah
terhadap saudara mereka di Moro Filipina. Padahal Indonesia adalah
negeri Muslim terbesar di dunia. Tidak ada satu halangan pun untuk dapat
menolong saudara mereka.
Para penguasa di negeri tersebut seakan tidak memenuhi perintah Allah SWT:
وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ
Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan (QS al-Anfal [8]: 72)
Khilafah: Pelindung Umat Islam
Khilafah: Pelindung Umat Islam
Sampai kapan penduduk Rohingya, Pattani, Moro, Xinjiang, juga
Palestina, Kashmir, Chechnya dan penduduk Muslim lainnya yang lemah dan
tertindas tetap seperti itu? Sampai kapan bangsa-bangsa ini akan meminta
pertolongan, berteriak dan mengiba, sementara suara mereka tidak pernah
didengarkan, dan mereka pun tidak menemukan siapapun yang menolong dan
menyelamatkan mereka dari penjagalan musuh-musuh mereka? Sampai kapan,
umat Islam akan tetap berdiam diri terhadap para penguasa mereka yang
berkhianat, yang akan bertindak represif terhadap rakyatnya ketika
mereka hanya berusaha menunjukkan dukungan terhadap saudara-saudara
mereka yang tertindas, sebagaimana yang dilakukan oleh para penguasa di
Bangladesh, Malaysia, negara-negara Arab, Pakistan, Indonesia dan para
penguasa kaum Muslim yang lainnya?
Keamanan tidak akan kembali menjadi milik kaum Muslim di negeri
tersebut kecuali jika kembali kepada Khilafah. Mereka telah bernaung di
bawah Khilafah sejak masa Khilafah dulu. Mereka dengan kaum Muslim
lainnya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan oleh sekat-sekat
suku, ras dan kebangsaan. Dalam naungan Khilafah, mereka laksana satu
tubuh; ketika satu bagian sakit, maka seluruh bagian tubuh merasakan
sakitnya. Jadi, Khilafah sajalah yang memberikan kepada mereka keamanan
dan menyebarkan kebaikan di seluruh dunia. WalLahu ‘alam. [Dari berbagai sumber]
H. Budi Mulyana, SIP, M.Si adalah Anggota Lajnah Khusus Intelektual DPP Hizbut Tahrir Indonesia.
Posting Komentar untuk "Membebaskan Muslim Yang Tertindas"