Dukungan Istri Bagi Dakwah Suami
Dakwah
adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Kewajiban ini telah diemban oleh
generasi awal Islam begitu perintah berdakwah tersebut turun. Para
pengemban dakwah pada masa itu adalah orang-orang pilihan yang gagah
berani. Mereka juga adalah para suami yang memiliki keluarga dan istiri di sisinya. Oleh karena itu, sungguh menarik mempelajari sepak terjang pendamping (istri) para pejuang Islam kala itu. Sebab, mereka pastilah juga istimewa karena berhasil memberikan dukungan bagi keberhasilan dakwah suaminya.
Di
balik ketegaran menahan siksa karena mempertahankan kebenaran, di balik
kilatan pedang karena menegakkan panji-panji Islam, dan di balik
kebijaksanaan pemimpin yang adil ternyata telah bersanding sosok
perempuan (istri) yang tegar menanggung risiko dan rela berkorban bahkan
mampu bersikap secara agung bagi keberhasilan dakwah sang suami. Dialah para istiri yang senantiasa memberikan dukungan bagi suaminya (para pejuang Islam). Semua itu telah terhimpun pada diri para shahabiyah agung pada masa-masa awal Islam.
Lantas, bagaimana bentuk konkrit dukungan para shahabiyah bagi dakwah suaminya kala itu? Dapatkah kita mengambil ibrah (pelajaran) bagi peningkatan kualitas dakwah Islam masa kini yang semakin menantang? Tentu, inilah yang menjadi harapan kita.
Berikut beberapa ibrah yang dapat diambil dari bentuk dukungan para shahabiyah terhadap dakwah suaminya.
(1) Ikhlas menerima kewajiban.
Seorang istri tidak akan mampu memberikan dukungan bagi dakwah suami jika ia tidak memiliki pemahaman yang benar tentang dakwah. Inilah
yang diyakini oleh Ibunda Khadijah ra. tatkala suaminya Rasulullah
Muhammad saw. mendapat tugas mengemban Islam untuk pertama kalinya. Khadijah
memang perempuan pertama yang hatinya tersirami keimanan. Khadijah
akhirnya tampil mendampingi Rasulullah saw. dengan segenap kepasrahan
karena Allah SWT.
Para shahabiyah lain hasil pembinaan Rasulullah saw. pun adalah para istri yang memiliki kekuatan akidah yang luar biasa. Mereka
tidak terbiasa menimbang pelaksanaan hukum syariah (seperti kewajiban
berdakwah) dengan sesuatu yang bernilai materi. Apapun bentuk
kewajibannya, betapa pun berat pelaksanaannya, mereka ikhlas menerima
ketentuan dari Allah SWT. Bahkan para shahabiyah
yang sebelumnya memusuhi Islam, tatkala telah meyakini Islam, tak
terhitung lagi kontribusinya bagi kejayaan Islam, seperti Hindun ra.
yang pernah menumpahkan darah paman Nabi, Hamzah ra. Begitu pula keadaan shahabiyah lainnya. Demikianlah karakter dasar para shahabiyah yang memiliki keikhlasan yang tinggi.
(2) Memperkuat pemahaman Islam.
Demi kelancaran dakwah suami, tentu istri dituntut memiliki pemahaman Islam atau tsaqafah
Islam yang cukup. Dengan bekal ini sang istri akan dengan mudah
membantu tugas suami, terutama dalam mempersiapkan bahan-bahan dakwah. Di
sisi lain, perbedaan pemahaman istri dan suami kadang memicu konflik
dan problem rumah tangga. Tentu saja hal ini akan menjadi kendala bagi
kelancaran dakwah suami.
Kuatnya
pemahaman hukum Islam yang berimplikasi pada keterikatan terhadap hukum
syariah akan menjamin mudahnya penyelesaian berbagai masalah
kerumahtanggaan. Sebab, baik suami maupun istri akan sama-sama
mengembalikan semua persoalan pada hukum syariah. Dengan kemudahan ini tentu akan menjadikan langkah suami ringan dalam mengemban dakwah ke luar.
Aisyah ra. istri Rasulullah saw. adalah teladan istri dengan kemampuan tsaqafah dan pemahaman Islam yang senantiasa terjaga. Pada
saat Rasulullah saw. meninggal dunia, usia Aisyah baru menginjak 19
tahun setelah sembilan tahun hidup bersama Rasulullah saw. Namun
demikian, Aisyah telah memenuhi seluruh penjuru dunia dengan ilmunya.
Dalam hal periwayatan hadis, beliau adalah tokoh yang sulit di cari
bandingannya. Peran Aisyah ra. ini tentu sangat berpengaruh nyata pada
perkembangan dakwah Islam, baik pada masa Rasulullah saw. maupun
sesudahnya.
(3) Meringankan beban hidup suami.
Menjadi kepala keluarga sekaligus pengemban dakwah adalah tugas suami yang tidak ringan. Pada kondisi tertentu, suami dihadapkan pada ujian hidup yang tidak ringan. Apalagi
dalam kehidupan kapitalis sekular seperti sekarang ini, tak jarang
keluarga atau suami diuji dengan sulitnya mencari rezeki, kondisi
kesehatan yang kurang prima, atau persoalan pekerjaan dan lain
sebagainya. Alangkah indahnya kehidupan rumah tangga yang dibangun oleh istri yang mendukung dakwah suaminya yang sedang kesulitan tersebut. Ia
tidak akan merecoki apalagi membebani suami dengan hal-hal yang
memberatkan dan di luar kemampuannya sehingga berpengaruh pada
pelaksanaan kewajiban dakwahnya.
Apa yang dialami Asma binti Abu Bakar terhadap suaminya Zubair bin Awwam layak menjadi teladan istri pedukung dakwah suami. Asma menuturkan, “Zubair
menikahi aku, sedangkan dia tidak memiliki apa-apa kecuali kudanya.
Akulah yang mengurusnya dan memberinya makan, dan aku pula yang mengairi
pohon kurma, mencari air, dan mengadon air. Aku juga mengusung kurma
yang dipotong oleh Rasulullah dari tanahnya Zubair yang aku sunggi di
atas kepalaku sejauh dua pertiga farsakh.”
Demikian pula dengan Fathimah binti Rasulullah saw. Sejak
hari pertama pernikahannya dengan Ali ra., ia rela mengerjakan sendiri
tugas rumah tangganya yang cukup berat. Dia harus menggiling bahan
makanan dan membuat adonan roti hingga rambutnya terkena
percikan-percikan tepung, kemudian ia memprosesnya dan memasaknya hingga
matang. Itu dilakukan karena suaminya yang pejuang Islam itu tidak
mampu mengupah pembantu untuk membantu Fathimah dalam menyelesaikan
pekerjaan rumah tangga.
Masih banyak lagi dukungan para shahabiyah lainnya bagi sang suami yang tengah mengalami kesulitan hidup.
(4) Sabar menghadapi ujian dakwah.
Ujian adalah tabiat dakwah Islam. Ia bukan saja menjadi ujian bagi suami, namun juga bagi istri. Oleh karena itu, istri yang sabar menghadapi ujian dakwah sebenarnya telah memberikan dukungan bagi dakwah suaminya.
Sumayyah binti Khubath ra. istri Yasir telah tercatat dalam sejarah perjuangan umat Islam pada mulanya. Kekuatan keyakinannya kepada Allah SWT menjadikan hatinya tetap tegar meski sang suami juga mendapatkan siksaan serupa. Ia sabar menanggung ujian dakwah meski harus meregang nyawa.
Demikian
pula Ummu Imarah ra. yang tak pernah menyerah memasuki medan jihad baik
ketika hidup bersama suaminya yang pertama maupun yang kedua. Itulah risiko hidup bersama pejuang Islam. Namun, ia mampu bersabar sehingga tetap tegar ikut berjuang bersama kaum muslim lain.
(5) Rela berkorban.
Dakwah tentu memerlukan pengorbanan. Apalah
jadinya jika istri tidak siap berkorban dan tidak ridha terhadap
pengorbanan sang suami, pastilah suami akan terkendala dalam perjalanan
dakwahnya.
Inilah yang dicontohkan Ummu Sulaim binti Milhan ra. istri Abu Thalhah. Ummu
Sulaim menikah dengan Abu Thalhah, sedangkan maharnya adalah keislaman
suaminya. Padahal Abu Thalhah sendiri adalah seorang konglomerat nomor
satu dari kabilah Anshar. Ketika ia mengetahui firman Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 92, kontan Abu Thalhah menghadap Rasulullah saw. Ia kemudian berkata, “Sesungguhnya
harta yang paling saya cintai adalah tanah perkebunan Bairuha. Saat ini
tanah itu saya sedekahkan untuk Allah dengan harapan akan mendapat-kan
ganjaran kebaikan dari Allah kelak. Maka pergunakanlah sekehendak Anda,
wahai Rasulullah.”
Ummu Sulaim ra. bukanlah istri yang cinta pada harta suaminya. Demi terjaganya Islam pada dirinya ia rela menikah dengan mahar keIslaman suaminya. Demi pelaksanaan tugas dakwah suaminya, ia rela harta suaminya disedekahkan untuk Allah SWT.
Demikian
pula pengorbanan istri Abu Bakar ra, yaitu Ummu Ruman ra. yang
ditinggalkan suaminya karena menemani Rasulullah saw. berhijrah ke
Madinah. Abu Bakar ra. tidak meninggalkan harta bagi keluarganya, karena semua hartanya disedekahkan untuk dakwah Islam. Namun, Ummu Ruman ra. ridha atas pengorbanan suaminya di jalan dakwah itu.
(6) Memberi ketenangan pada suami.
Kesuksesan dakwah tentu tidak bisa dilepaskan dari keyakinan pengembannya. Suami
yang yakin akan kemenangan dakwah Islam menjadikannya optimis dan
bersemangat pantang menyerah walaupun tantangan yang dihadapi begitu
berat. Alangkah mulianya istri yang mampu berperan
memberikan ketenangan dan motivasi yang kuat kepada suaminya dalam
menghadapi beban berat dakwah. Sungguh, para shahabiyah mulia juga telah melakukan semua itu.
Khadijah
ra. adalah pendamping hidup Rasulullah saw. yang terpilih menjadi saksi
beratnya dakwah pada masa awal Islam. Ia memandang dengan penuh optimis
ketika suaminya memilih ber-‘uzlah di Gua Hira’ sekian lamanya, tanpa banyak bicara, apalagi protes. Ia mendukung suaminya, tanpa banyak merecoki beliau dengan banyak pertanyaan, apalagi permintaan. Justru dia sediakan setiap kebutuhan beliau dan dia kirimkan kepada beliau lewat utusan dengan sebaik-baiknya. Wajahnya
juga senantiasa membiaskan keceriaan, bibirnya meluncur kata-kata
jujur. Setiap kegundahan yang Rasulullah lontarkan atas perlakuan
orang-orang Quraisy selalu ia dengar dengan penuh perhatian. Kemudian
ia memotivasi dan rnenguatkan hati Nabi saw. Khadijah juga turut
menanggung kesulitan dan kesedihan yang dialami Rasulullah saw. Ia
hanya berkata-kata yang mampu menjadi penyejuk dan penawar hati
suaminya. Akhirnya, Rasulullah saw. pun menapaki jalan dakwah Islam
dengan penuh optimis dan mengharapkan pertolongan Allah SWT.
(7) Pandai membaca kondisi suami.
Hiruk-pikuk pelaksanaan kewajiban dakwah kadang membawa beban psikologis yang tidak ringan bagi suami. Tekanan
dan makar sistem kufur di masyarakat tidak begitu saja hilang dalam
benak, meski suami berada di rumah dan tengah-tengah keluarga. Dalam
situasi seperti ini, istri pendukung dakwah suami harus pandai melihat
kondisi dan mampu berkomunikasi secara baik dengan suami. Diharapkan
dengan dukungan tersebut, beban berat suami dapat terkurangi.
Ummu Sulaim ra. istri Abu Thalhah sangat mengetahui bagaimana berkomunikasi yang baik dengan suaminya. Saat
putra tercintanya dipanggil Allah SWT, ia mampu menjaga emosinya
sehingga tetap dapat melaksanakan kewajiban kepada suaminya yang baru
datang dari bepergian. Hingga ketika telah diyakinkan bahwa
suaminya akan rela menerima musibah tersebut, Ummu Sulaim baru
menceritakan perihal kematian putra kesayangan Abu Thalhah tersebut.
(8) Pendukung langsung dakwah suami.
Keberadaan suami sebagai aktivis dakwah tidak menghilangkan kewajiban istri untuk mengemban dakwah. Sebab, dakwah memang kewajiban setiap Muslim baik laki-laki maupun perempuan (QS at-Taubah [9]: 71). Peran serta aktif para shahibiyat dalam medan pertempu-ran menunjukkan bahwa mereka tidak berpangku tangan di balik keaktifan suami. Mereka
pun senantiasa berada di garda terdepan dalam perjuangan. Teladan yang
sangat tepat dalam semangat juang dan pengorbanan adalah apa yang
dilakukan oleh Ummu Imarah ra.dalam berbagai peperangan. Beliau mengerahkan berbagai potensi yang dimiliki demi kemenangan Islam.
Penutup
Semoga
kita diberi kekuatan untuk memberikan dukungan sepenuhnya bagi suami
dalam rangka melaksanakan kewajiban agung menegakkan sistem Islam. Sungguh, kesuksesan mereka sebagiannya terletak di tangan kita, para isteri. Oleh karena itu, janganlah kita menjadi penghambat datangnya nashrullah. Mari kita cerdaskan diri agar menjadi istri shalihah pendukung dakwah suami sebagaimana para shahabiyah dulu. Semoga! [Noor Afeefa]
Posting Komentar untuk "Dukungan Istri Bagi Dakwah Suami"