Menikmati Demokrasi, Berarti Ridha Terhadapnya?

Menikmati Demokrasi
Irvan Abu Neveed

Menikmati Demokrasi? Berarti ridha’ terhadapnya? Menukil salah satu bait sya’ir Imam Sufyan Tsauri -rahimahullaah- kiranya sudah cukup menggambarkan penolakan kami -kaum muslimin- terhadap tuduhan rendah ini… wal ‘iyaadzu billaah:

لا خير في لذّة من بعدها النّار

“Tiada kebaikan dalam kenikmatan yang akhirnya adalah neraka” [1]

Ya tidak ada kebaikan dalam menikmati dan ridha’ terhadap sistem bathil Demokrasi! Bagaimana tidak? Padahal demokrasi menyuburkan kehidupan rusak dan hukum thaghut, dan berhukum pada hukum thaghut jelas bertentangan dengan kewajiban menerapkan Islam dalam kehidupan yang didasarkan pada dalil-dalil qath’iyyah (tegas).

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ يَقُصُّ الْحَقَّ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ

“…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’aam [6]: 57)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah yang berhak membuat hukum. Dalam kitab tafsir Fath al-Qadhiir, Imam al-Syawkani menjelaskan:

إِنِ الحكم إِلاَّ الله } أي ما الحكم في كل شيء إلا لله سبحانه… والمراد : الحكم الفاصل بين الحق والباطل

“[Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah] yakni tidak ada hukum dalam hal apapun kecuali hak Allah SWT…. dan maksudnya: Hukum yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.”

Selama ini pihak yang menuduh ‘menikmati demokrasi’ tidak pernah menjelaskan batasan yang jelas dan tegas dari tuduhan ‘menikmati demokrasi’. Jika tidak dibatasi, maka istilah ini menjadi istilah absurd dan menggelinding bagaikan bola panas yang bisa dialamatkan pada setiap orang secara ‘liar’, bagaimana tidak? Karena hidup di negeri yang dinaungi sistem demokrasi kini memang realitas, dan bermu’amalah di dalamnya pun sesuatu yang tidak bisa dihindari untuk mempertahankan hidup (dengan segenap daya upaya berpegangteguh pada syari’at Islam). Namun sudah barangtentu kehidupan di bawah naungan demokrasi merupakan realitas yang fasad, rusak dan batil yang wajib diubah dengan kehidupan Islam (QS. al-Ra’d: 11).
Al-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hammad al-‘Umar menuturkan:

أرى من الواجب عليَّ وعلى كل عالم وكاتب إسلامي يؤمن بما أوجب الله سبحانه عليه من الدعوة إليه سبحانه وتعالى والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر والسعي لإنقاذ الإنسانية عامة والأمة الإسلامية خاصة من أسباب الهلاك والشقاء.. أرى من الواجب المحتم: أن نبين للناس جميعًا حكامًا ومحكومين خطرًا عظيمًا يتهددهم بهلاك عقدي وأخلاقي واجتماعي واقتصادي وصحي.. يتهددهم بشقاء محتوم لكل من وقع في شراكه وسار في ركاب الواقعين فيه.. هذا الخطر العظيم هو ما يسمى بـ: الديمقراطية

“Saya memandang di antara kewajiban bagiku, bagi seluruh orang berilmu dan jurnalis muslim yang beriman terhadap apa yang diwajibkan Allah SWT kepadanya yakni berdakwah menyeru kepada-Nya, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran, dan berupaya keras menyelamatkan umat manusia dan khususnya umat Islam dari berbagai hal yang membinasakan dan menimbulkan kesengsaraan.. Saya memandang diantara kewajiban yang tegas: wajib bagi kita menjelaskan kepada masyarakat, penguasa dan rakyatnya bahaya besar yang mengancam mereka dengan kehancuran akidah, akhlak, pergaulan sosial, perekonomian dan dunia kesehatan… serta mengancam mereka dengan kesengsaraan yang pasti bagi orang yang bersekutu di dalamnya dan berjalan di atas jalan kaum pragmatis.. Inilah bahaya besar yang dinamakan DEMOKRASI.” [2]

Apakah ketika Rasulullah SAW hidup di bawah naungan sistem jahiliyyah, bermu’amalah makan dan minum di dalamnya, berdakwah dan meraih pengikut. Apakah dikatakan menikmati sistem jahiliyyah? Wal ‘iyaadzu billaah, Rasulullah SAW dan para sahabat mulia dan bersih dari hal itu semua.

Semua perkara wajib dikaji berdasarkan sudut pandang Islam; membuat KTP, surat-surat administratif, dakwah dan lain sebagainya dengan sudut pandang Islam bukan Demokrasi. Keberhasilan dakwah pun berkat inaayah pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla bukan Demokrasi, lantas bagaimana mungkin kami ‘bersyukur’ pada Demokrasi? Padahal Demokrasi mengajarkan manusia takabbur kepada Allah -Dzat Yang Berhak Membuat Hukum-, Dialah Allah yang menolong dakwah ini…. Cukuplah kami bersyukur pada Allah. Sesungguhnya seorang mukmin da’i yang berjuang menegakkan syari’at Allah tidak akan pernah terhina dengan celaan orang yang mencela.

Maka, kepada para penuduh aktivis dakwah sebagai “penikmat Demokrasi”, alangkah baiknya mengingat pesan yang mulia dari Rasulullaah SAW:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ahmad & Malik)
Al-Hafizh al-Nawawi menjelaskan hadits di atas:

فمعناه أنه إذا أراد أن يتكلم فإن كان ما يتكلم به خيرا محققا يثاب عليه، واجبا أو مندوبا فليتكلم . وإن لم يظهر له أنه خير يثاب عليه، فليمسك عن الكلام سواء ظهر له أنه حرام أو مكروه أو مباح مستوي الطرفين . فعلى هذا يكون الكلام المباح مأمورا بتركه مندوبا إلى الإمساك عنه مخافة من انجراره إلى المحرم أو المكروه . وهذا يقع في العادة كثيرا أو غالبا

“Maknanya adalah jika seseorang ingin mengatakan sesuatu, jika didalamnya mengandung kebaikan dan ganjaran pahala, sama saja apakah wajib atau sunnah untuk diungkapkan maka ungkapkanlah. Jika belum jelas kebaikan perkataan tersebut diganjar dengan pahala maka ia harus menahan diri darinya, sama saja apakah jelas hukumnya haram, makruh atau mubah. Dan dalam hal ini perkataan yang mubah dianjurkan untuk ditinggalkan, disunnahkan untuk menahan diri darinya, karena khawatir perkataan ini berubah menjadi perkataan yang diharamkan atau dimakruhkan. Dan kasus kesalahan seperti ini banyak terjadi.”
Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied (w. 702 H) menjelaskan hadits ini:

قوله: “من كان يؤمن بالله واليوم الآخر” يعني من كان يؤمن الإيمان الكامل المنجي من عذاب الله الموصل إلى رضوان الله “فليقل خيراً أو ليصمت” لأنّ من آمن بالله حق إيمانه خاف وعيده ورجا ثوابه واجتهد في فعل ما أمر به وترك ما نهي عنه وأهم ما عليه من ذلك: ضبط جوارحه التي هي رعاياه وهو مسئول عنها كما قال تعالى: {إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً}. وقال تعالى: {مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ}.

“Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir” yakni barangsiapa yang beriman dengan keimanan yang sempurna terlindung dari ‘adzab Allah dan menyampaikan kepada keridhaan-Nya “maka berkatalah yang baik atau diam” karena barangsiapa yang beriman kepada Allah, maka di antara tuntutan keimanannya adalah merasa takut terhadap peringatan-Nya, mengharapkan pahala dari-Nya, dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan segala hal yang diperintahkan Allah kepadanya dan meninggalkan segala hal yang dilarang-Nya, dan diantara hal yang paling penting: menjaga apa yang ada pada dirinya yang mesti dijaga (dari kemaksiatan-pen.) dan ia bertanggungjawab terhadap itu semua sebagaimana firman Allah SWT: “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.” Dan firman Allah SWT: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”

Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied pun menegaskan:

وآفات اللسان كثيرة، ولذلك قال النبي صلى الله عليه وسلم: “هل يكب الناس في النار على مناخرهم إلا حصائد ألسنتهم”. وقال: “كل كلام ابن آدم عليه إلا ذكر الله تعالى وأمر بمعروف ونهي عن منكر”. فمن علم ذلك وآمن به حق إيمانه اتقى الله في لسانه فلا يتكلم إلا بخير أو يسكت.

“Dan bahaya lisan itu banyak sekali, oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah manusia dijatuhkan ke dalam neraka di atas hidung mereka melainkan akibat lisan-lisan mereka” dan sabdanya: “Setiap perkataan anak cucu Adam itu membahayakannya (tidak berguna baginya) kecuali berdzikir kepada Allah dan perkataan yang memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran” Maka siapa saja yang mengetahui hal ini dan beriman terhadapnya maka diantara tuntutan keimanannya bertakwa kepada Allah dalam menjaga lisannya, dan tidaklah ia berkata-kata kecuali perkataan baik atau diam.”[3]

Saya (Irfan Abu Naveed) tegaskan: “Apa yang ana jelaskan di atas adalah sebagian kecil dari penjelasan lebih mendalam tentang bantahan syar’iyyah dan nasihat berharga atas tuduhan “Menikmati Demokrasi” Yassarallaahu umuuranaa.”
Allaahummaghfirlanaa…

——————————————-
[1] Lihat: Dâ’ al-Nufûs wa Sumûm al-Qulûb: al-Ma’âshi, Syaikh Azhari Ahmad Mahmud – Daar Ibn Khuzaimah: Riyaadh – Cet. Tahun: 1420 H/ 2000.
[2] Lihat: Haadzihi Hiya Al-Diimuqraathiyyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hammaad al-‘Umar – Dar al-Hulayyah: Riyadh – Cet. I: 1424 H.
[3] Lihat: Syarh al-Arba’iin al-Nawawiyyah fii al-Ahaadiits al-Shahiihah al-Nawawiyyah, Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied.

[www.bringislam.web.id]

Posting Komentar untuk "Menikmati Demokrasi, Berarti Ridha Terhadapnya?"