VOC Ditendang, VOC Diundang,..

https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash4/391557_420437854669383_1373192229_n.jpg

Para kapitalis-imperialis berkolusi dengan para penguasa agar dapat mempertahankan dominasinya di Indonesia.

Andai saja para pejuang kemerdekaan Indonesia masih hidup dan tahu tentang nasib negeri ini, mereka akan menangis. Ribuan nyawa mereka korbankan untuk mengusir kaum kafir, eh ternyata sekarang justru kaum kafir itulah yang menguasai kekayaan Indonesia.

Zamrud khatulistiwa yang memiliki sumber daya alam melimpah tak berpengaruh signifikan terhadap perekonomian rakyat. Pundi-pundi keuntungan dari kekayaan alam mengalir deras ke luar negeri, ke negeri para kompeni. Sementara rakyat hanya menikmati cipratan kenikmatan yang tak seberapa.

Era Reformasi yang dulunya digadang-gadang sebagai era yang mampu memperbaiki kondisi, ternyata justru sebaliknya. Kalau di era Orde Baru sudah banyak sumber daya Indonesia yang dikangkangi negara-negara asing melalui multinational corporation (MNC)-nya, di era sekarang kondisinya jauh lebih parah. Kekayaan alam Indonesia diobral habis-habisan ke pihak asing. Bahkan mereka tidak datang sendiri, malah diundang dan diberi kesempatan yang istimewa. Di sisi lain, perusahaan negara justru dikebiri. Aneh kan?

Pantas jika mantan Presiden BJ Habibie menyebut kondisi itu sebagai penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah, suatu "VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru."

Munculnya VOC gaya baru merupakan dampak liberalisasi di bidang politik dan ekonomi. Memang, jika ditelusur ke belakang, proses penjajahan dengan model baru tersebut telah berlangsung lama, jauh sebelum reformasi itu sendiri. Kemerdekaan Indonesia hanya menjadi asesoris bagi berkuasanya penjajah baru dengan bajunya yang baru pula.

Modus penjajahan baru ini sebenarnya tak banyak berubah yakni tekanan dan kolusi antara negara besar dan para penguasa. Melalui berbagai jenis perjanjian, Indonesia kemudian disandera dan dipaksa menyerahkan kekayaan alamnya. Yang lain, para imperialis sengaja mendudukkan anteknya kemudian meminta balasan atas apa yang telah diberikan berupa kekuasaan itu.

Di era reformasi, ketika kran liberalisasi dibuka, kompeni masuk dan terlibat aktif dalam mendesain jalannya negeri ini. Mereka berkolusi dengan wakil rakyat sebagai pihak yang memiliki hak legislasi hukum. Mereka mengeluarkan dana yang cukup besar—dari kacamata orang Indonesia, bagi keperluan penyusunan draft perundang-undangan. Sebelumnya mereka mendidik orang-orang Indonesia melalui beasiswa dan sejenisnya agar menjadi corong kepentingan kompeni.

Di sisi lain, demokrasi yang mahal menjadikan para politisi mencari dana bagi kepentingan kekuasaan mereka. Seperti peribahasa, gayung bersambut air, dua kepentingan itu bertemu.

Para begundal negeri —seperti demang di zaman VOC— menuruti saja apa kemauan para kompeni. Mereka mendesain ulang ketatanegaraan Indonesia agar sesuai dengan Barat melalui perubahan perundang-undangan dan peraturan di bawahnya.

Jadilah Indonesia tempat yang nyaman bagi asing. Mereka tak perlu lagi gerah dan khawatir beroperasi di Indonesia karena semuanya legal. Mereka telah memiliki penjaga-penjaga yakni para begundal yang duduk di kursi kekuasaan.

Indonesia dikerat-kerat dan dikavling-kavling. “Negara kehilangan kedaulatan atas sumber daya alamnya. Ini jelas melanggar konstitusi,” kata pengamat perminyakan Kurtubi.
Membalik Keadaan

Situasi itu sebenarnya bisa diatasi bila pengelolaan sumber daya alam Indonesia didasarkan pada syariah. Islam telah memberikan batasan-batasan yang
tegas dalam pengelolaan harta milik umum ini. Secara konseptual, sistem pengelolaan sumber daya alam cukup layak diterapkan dan tidak akan bertentangan dengan kehendak rakyat.

Sistem pengelolaan sumber daya alam ini berpijak pada kepemilikan yang jelas atas benda/barang/harta. Pemisahan antara kepemilikan negara, kepemilikan umum, dan kepemilikan individu akan menjadikan pemerataan hasil kekayaan alam bagi rakyat.

Secara prinsip, Islam melarang kepemilikan umum dijadikan kepemilikan individu. Bersama dengan itu syariah menentukan kategori mana yang termasuk barang/harta milik umum. Ini sekaligus menjawab bahwa individu masih tetap boleh memiliki hak terhadap kekayaan alam dalam batasan tertentu.

Inilah salah satu hal yang membedakan dengan sistem kapitalis sekuler yang membolehkan semua benda/barang/harga dimiliki siapapun tanpa melihat apakah itu menguasai hajat hidup orang banyak atau tidak. Akibatnya bisa terjadi penguasaan kekayaan alam milik umum sehingga keuntungannya tidak bisa dinikmati secara maksimal oleh rakyat sebagai pemiliknya.

Bersama dengan itu syariah memiliki sejumlah kebijakan yang melarang terjadinya kolusi antara perusahaan dan para penguasa/pejabat/wakil rakyat. Negara pun tak boleh sembarangan berhubungan dengan pihak asing. Harus dilihat terlebih dahulu status negara yang bersangkutan.

Dengan kombinasi regulasi dan policy (kebijakan) sebenarnya, kekayaan alam Indonesia bisa diselamatkan. Beberapa perhitungan menunjukkan, jika kekayaan alam Indonesia dikelola secara mandiri, tanpa dominasi asing, kita akan memperoleh pendapatan yang luar biasa. Tak perlu lagi rakyat diporoti dengan pajak. Bahkan utang luar negeri tak perlu lagi. Rakyat akan bisa merasakan kenikmatan atas kekayaan alamnya itu secara nyata.

Persoalannya, mau nggak bangsa ini menerapkan sistem yang sangat adil tersebut dalam mengelola kekayaan alam negeri kaya ini? Atau, memang kita lebih memilih menjadi budak bangsa lain, menjadi inlander seperti di zaman penjajahan?

Orang yang cerdas pasti memilih syariah, apa pun agamanya. Karena syariah berasal dari Yang Maha Adil, penerapannya akan membawa keadilan bagi seluruh manusia. Inilah konsep rahmatan lil alamin. Hidup sejahtera di bawah naungan khilafah!

Posting Komentar untuk "VOC Ditendang, VOC Diundang,.."