Pemda Terancam Bangkrut Karena Kapitalisme
Oleh: M. Ishak
Beberapa Pemerintah Daerah diisukan terancam ‘bangkrut’. Pasalnya
APBD yang menjadi sumber pembiayaan mereka termasuk dana perimbangan
dari APBN, sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai.
Tidak heran jika dibeberapa kabupaten/kota, pasien miskin yang
mendapat Jamkesmas/jamkesda tidak lagi dapat dilayani sebagaimana
mestinya seperti di RSUD Garut dan Ciamis, di wilayah Jawa Barat, dan
Ponorogo di Jawa Timur. Alasannya tunggakan Pemda terhadap rumah sakit
sudah sangat besar sementara biaya operasional RS kian menipis.
Demikian pula, akibat keterbatasan anggaran tersebut banyak jalan
kabupaten yang kondisinya sudah rusak parah namun tak kunjung
diperbaiki.
Penyebab
Salah satu penyebab keterbatasan anggaran tersebut adalah
pemberlakukan Otonomi Daerah (otoda) pasca orde reformasi. Dalam konsep
Otoda, masing-masing daerah diberikan keleluasaan untuk mengelola APBD
mereka secara otonom. Meski demikian, bukan berarti pemerintah pusat
tidak campur tangan. Pemerintah pusat tetap berhak atas dana bagi hasil
atas pajak dan non pajak dari setiap daerah. Pendapatan non pajak
sendiri mencakup pendapatan dari sumber daya alam (pertambangan,
kehutanan, minyak dan gas).
Uniknya dalam PP No. 104 tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, untuk
pendapatan pajak daerah, mayoritas diberikan kepada pemda yaitu PBB
sebesar 90% dan BPHTB 80%. Demikian pula dengan pertambangan umum,
kehutanan dan perikanan, jatah pemerintah daerah sebesar 80% dari total
penerimaan dari sektor tersebut. Sementara untuk minyak dan gas
mayoritas dikuasai oleh pemerintah pusat. Rinciannya, minyak sebesar
85% dan gas sebanyak 70%.
Entah argumentasi apa yang melandasi peraturan tersebut. Namun yang
pasti pembagian seperti ini telah menimbulkan ketimpangan ekonomi antara
daerah. Daerah-daerah yang potensi ekonominya besar termasuk kaya
sumber daya alam, seperti daerah-daerah di Kalimantan Timur dan Riau
menikmati pendapatan berlimpah. Sebaliknya, daerah-daerah miskin,
seperti di NTT dan beberapa daerah di NTB, pendapatan yang mereka terima
amat minim walaupun telah ditopang oleh dana perimbangan berupa Dana
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan dana dekonsentrasi.
Selain besarnya alokasi anggaran untuk pegawai seperti yang
disebutkan di atas, distribusi anggaran yang tidak proporsional itu
diperparah dengan belanja pemerintah pusat dan daerah pada pos-pos yang
tidak produktif lainnya seperti pembayaran utang dan bunganya. Akibatnya
dana yang semestinya mengucur ke rakyat justru mengalir ke institusi
asing yang menjadi pemilik modal.
Faktor lain yang juga signifikan menguras anggaran daerah adalah
penyalahgunaan anggaran melalui korupsi dana APBD. Untuk yang terakhir
ini, indikatornya mudah dibaca. Berjubelnya pejabat dan mantan pejabat
daerah yang yang meringkuk di balik jeruji besi membuktikan hal itu.
Meskipun tidak sedikit dari mereka yang lolos bahkan tidak tersentuh
jerat hukum akibat bobroknya sistem peradilan negara ini. Padahal dari
hasil pemeriksaan BPK atas keuangan daerah yang dilakukan setiap tahun,
bertumpuk-tumpuk data indikasi penyalahgunaan anggaran oleh oknum
pemerintah daerah.
Maraknya fenomena ‘calo anggaran’ juga merupakan ekses dari buruknya
sistem distribusi anggaran di negara ini. Selain DAU dan DAK, dana
dekonsentrasi dan tugas perbantuan departemen/non departemen pusat
kedaerah merupakan sasaran bancakan korupsi. Pasalnya dana yang
terakhir ini bersifat eksklusif dimana tidak setiap daerah
mendapatkannya. Akibatnya dalam proses penganggaran dan pencairannya,
banyak dipenuhi aroma KKN antara pemerintah pusat, pemda dan pihak
legislatif.
Dengan demikian, daerah yang kaya bisa mendapatkan jatah lebih banyak
sementara daerah yang betul-betul membutuhkan justru tidak kebagian.
Kasus dihapusnya sejumlah daerah yang berhak atas Dana Percepatan
Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) di Badan Anggaran DPR beberapa
waktu lalu menjadi bukti kesekian kalinya akan boboroknya distribusi
keuangan di negara ini.
Fenomena di atas jelas menunjukkan betapa buruknya sistem keuangan
negara di negeri ini. Persoalan tersebut bukan semata disebabkan oleh
prinsip dan implementasi otoda sehingga pemerintah harus kembali
menganut sistem sentralistik sebagaimana pada pasa masa Orde Baru.
Masalahnya bukan disitu. Sistem keuangan pemerintah di masa orde baru
juga terbukti menimbulkan ketimpangan distribusi antara pusat dan
daerah. Sementara saat ini ketimpangan tersebut beralih menjadi
ketimpangan antar daerah yang kaya dan miskin. Akibatnya hak-hak
pelayanan pemerintah terhadap penduduk di daerah tersebut terbengkalai.
Dengan demikian masalah utamanya adalah kacaunya sistem kapitalisme yang
menjadi fondasi sistem keuangan pemerintah negara ini.
Perspektif Islam
Hal di atas tentu berbeda dengan sistem keuangan pemerintah dalam
Islam. Di dalam sistem tersebut, yang menjadi dasar adalah aqidah Islam.
Dengan demikian, seluruh aturan-aturan mengenai keuangan negara
bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw, Ijma’ Sahabat dan
Qiyas.
Secara spesifik, beberapa prinsip sistem keuangan negara dalam sistem pemerintah Islam antara lain:
1. Pengeluaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat
dibagi menjadi pengeluaran yang bersifat persisten (terus menerus) yang
tidak terikat oleh kondisi keuangan baitul mal dan pengeluaran yang
menyesuaikan dengan kondisi keuangan baitul mal. Pada kategori pertama,
jika terjadi kekurangan anggaran dari Baitul Mal, maka khalifah
diperkenankan untuk menarik pajak dari rakyat yang kaya hingga dana
untuk menutupi pengeluaran tersebut terpenuhi. Pos-pos tersebut yaitu:
pelaksanaan jihad dan persiapannya, belanja industri militer, belanja
untuk orang fakir miskin dan ibnu sabil; gaji tentara, hakim, guru,
pegawai negara lainnya serta insentif orang-orang yang melakukan
pelayanan kepada kaum muslim; pos pembiayaan untuk kemaslahatan dan
perlindungan umat yang menimbulkan dhahar jika tidak ditunaikan
seperti sekolah, rumah sakit, jalan umum; serta belanja untuk bencana
seperti bencana alam, kelaparan, serangan tiba-tiba dari musuh dan
sebagainya. Pada pengeluaran kedua, disesuaikan dengan anggaran seperti
pembangunan jalan alternatif yang keberadaannya tidak mendesak;
2. Seluruh pendapatan yang diperoleh dari pos-pos pemasukan baik
yang diperoleh oleh pusat ataupun yang berasal dari daerah dihimpun
dalam Baitul Mal. Dana-dana tersebut disimpan berdasarkan jenis
sumbernya. Selanjutnya dana-dana tersebut didistribusikan berdasarkan
peruntukannya masing-masing. Hal ini karena masing-masing sumber
tersebut telah diatur penggunaannya oleh syara’ sehingga tidak boleh
dicampur dengan yang lain. Dana zakat misalnya, hanya boleh
didistribusikan pada delapan golongan yang telah ditetapkan oleh
Al-Quran. Sementara pendapatan dari harta milik umum dapat dibelanjakan
sesuai dengan ijtihad khalifah;
3. Adapun distribusi keuangan ke tiap-tiap daerah-daerah
disesuaikan dengan kebutuhan mereka dan bukan berdasarkan pendapatan
mereka. Dengan demikian, bisa jadi suatu daerah yang pendapatannya
kecil akan mendapatkan jatah yang lebih banyak dari daerah yang kaya
karena kebutuhannya yang lebih besar. Distribusi tersebut juga tidak
lagi memperhatikan apakah suatu daerah itu dihuni mayoritas muslim atau ahlu dzimmah, daerah yang baru yang ditaklukkan atau daerah lama, dan sebagainya;
4. Untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas anggaran, dibentuk biro perencanaan anggaran (diwan muwazanah al-ammah) yang menyusun anggaran berdasarkan pandangan khalifah, biro audit (diwan muhasabah al-ammah) yang mencatat dan menilai kondisi keuangan negara dari sisi anggaran dan realisasinya. Adapula biro pengawasan (diwan muraqabah)
yang melakukan evaluasi dan pemeriksaan terhadap data keuangan negara,
seluruh departemen dan biro negara beserta pegawainya yang berkaitan
dengan urusan administrasi;
5. Lebih dari itu, yang tak kalah pentingnya adalah sistem
keuangan daulah khilafah merupakan satu kesatuan dan berhubungan erat
dengan sistem lainnya. Penyelewengan dan penyalahgunaan anggaran negara
misalnya secara efektif dapat diberantas melalui penerapan sistem sanksi
(‘uqubat) yang kredibel. Dengan demikian, autaran-aturan
tersebut disamping aturan lainnya mampu menghasilkan pengelolaan
keuangan negara yang tidak hanya syar’I namun juga berkeadilan,
transparan dan akuntabel. hizbut-tahrir
Posting Komentar untuk "Pemda Terancam Bangkrut Karena Kapitalisme"