Menimbang Ulang Hukuman MATI


Belum lama ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan grasi kepada sindikat narkotika internasional Deni Setia Maharwan alias Rapi Muhammad Majid melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7/G/2012. Dengan keputusan tersebut, gembong narkotika tersebut bebas dari hukuman mati menjadi hanya penjara seumur hidup. Tahun lalu, grasi yang sama diberikan kepada komplotan Deni, yakni Melika Pranola alias Ola alias Tania melalui Keppres bernomor 35/G/2011 sehingga meringankan hukuman Tania dari vonis hukuman mati menjadi hanya seumur hidup. Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) melalui hakim agung Brigjen TNI (Purn) Imron Anwari dua kali membatalkan vonis mati untuk gembong narkoba yaitu Hillary K Chimezie dan Hengky Gunawan. Imron beralasan kedua terpidana diturunkan hukuman menjadi 12 tahun dan 15 tahun penjara karena melanggar pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan melanggar Pasal 4 UU No 39/1999 tentang HAM Putusan tersebut jelas memicu pro kontra di masyarakat. 

Bagi segelintir LSM pegiat HAM seperti Imparsial dan Kontras, menyambut gembira putusan tersebut. Menurut LSM ini, hukuman pidana tidak boleh mengurangi hak hidup seseorang dalam bentuk apapun. Kontras mendorong pemerintah supaya hukuman mati dihapuskan dalam hukum positif Indonesia(www.detiknews.com ) . Namun, bagi sebagian yang lain putusan tersebut dinilai tidak tepat karenadinilai melanggar UUD 1945 , melawan perintah Ketua MA , dan juga menabrak yurisprudensi MA. Selain itu, pembebasan germbong narkoba dari hukuman mati jelas melukai keadilan bagi publik. Bahkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj turut kecewa atas vonis pembatalan hukuman mati untuk produsen narkotika Hengky Gunawan yang diputuskan oleh Mahkamah Agung. 

Atas dasar rasa keadilan, NU memberikan dorongan Peninjauan Kembali (PK) kedua atas vonis tersebut. (www.hidayatullah.com ) Hukum Positif : Penuh Kerancuan Siapa sangka, Hakim Imron Anwari yang sejak 2009 mulai membebaskan sejumlah gembong narkotika dari hukuman mati ternyata pada 2007 lalu justru menyetujui hukuman mati dikenakan kepada gembong narkoba. Tercatat, pada 29 Mei 2007, Imron dan 2 hakim agung lainnya mengubah hukuman penjara seumur hidup pelaku Narkoba WN Belanda Nicolaas Garnick Josephus Gerardus alias Dick (61) dan warga Perancis, Serge Areski Atlaoui (43) menjadi vonis mati. Imron tidak mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) terkait vonis mati tersebut. Terlepas dari pro kontra yang ada, keputusan hukum yang dipilih Hakim Imron dalam waktu berbeda- meski saling bertolak belakang- adalah konstitusional karena memiliki landasan hukum yang kuat.

 Namun, pada titik ini justru menunjukkan secara nyata kepada kita bahwa sistem hukum positif di negeri ini sangat lemah dan penuh kerancuan. Bayangkan saja, dengan kasus serupa, hakim yang sama dan lembaga hukum yang sama, namun mengeluarkan dua keputusan hukum yang saling bertolak belakang. Bagaimana mungkin, vonis hukum mati dianggap tepat pada 2007, namun menjadi keliru pada 2009. Sesungguhnya, pro kontra seputar penghapusan hukuman mati bukanlah pada hukuman mati itu sendiri. Namun, terletak pada asas hukum yang mendasari lahirnya peraturan hukum yakni sekulerisme (paham yang memisahkan agama dari kehidupan). 

Paham sekulerisme yang dianut negeri ini menempatkan persoalan baik buruk dan benar salah segala sesuatu dalam kehidupan duniawi termasuk sistem (sanksi) hukum yang berlaku di masyarakat kepada akal manusia yang steril dari nilai nilai ketuhanan. Sehingga, lahirnya beragam produk hukum dalam bentuk undang undang, KUHP dan sejenisnya yang merupakan kesepakatan dan produk akal manusia. 

Pada sisi lain, sekulerisme menjadikan agama hanya sebatas mengatur persoalan ritual dan tidak memiliki otoritas dalam mengatur kehidupan duniawi. Persoalannya, manusia merupakan mahluk terbatas yang tidak memahami hakikat kebenaran segala sesuatu. Sehingga, tidak ada standar kebenaran yang bersifat tetap, baku dan disepakati semua pihak. Inilah kelemahan mendasar dari sistem hukum saat ini. Alhasil, wajar apabila peraturan hukum atau undang undang yang dihasilkan senantiasa berubah ubah karena sudah tidak mampu menjawab problematika yang berkembang di masyarakat. 

Tidak aneh jika kemudian muncul berbagai keputusan hukum yang kontroversial dan inkonsisten terhadap produk hukum itu sendiri (undang undang). Hal ini terjadi karena pertama, setiap orang berhak untuk menafsirkan hukum sesuai kecenderungan hawa nafsunya. Hasilnya, banyak putusan pengadilan dan kebijakan hukum yang melukai keadilan bagi publik seperti vonis bebas koruptor dan grasi pembatalan hukum mati dari Presiden SBY terhadap gembong narkoba Kedua, produk hukum yang berlaku memang memberi ruang bagi munculnya multi tafsir atau perbedaan dalam menentukan benar salah dan berat tidaknya sanksi hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan seperti dalam kasus putusan PK Hakim Imron Ketiga, sistem hukum yang penuh kerancuan karena putusan pengadilan dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan yang lebih tinggi. Mulai dari putusan banding hingga peninjauan kembali. 

Hal ini merupakan kesalahan fatal karena tidak memberi kepastian hukum bagi publik. Sistem Islam : Adil dan Efektif Menuntaskan persoalan narkoba tidak sekedar membutuhkan komitmen, namun juga harus didukung oleh sistem hukum yang adil dan efektif. Sistem hukum Islam dapat menjadi alternatif dalam menuntaskan kerancuan penegakan hukum di negeri ini. 

Ada sejumlah alasan, pertama, dari sisi keimanan, setiap muslim wajib meyakini dan terikat dengan Syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan (Al Hasyr ayat 7, Al Maidah ayat 44, 45, 47, 49, 50, dan An Nisa 60, 65). 

Kedua, secara filosofis, hukum Islam pasti benar dan pasti adil karena berasal dari Allah SWT, pencipta jagad raya yang Maha Tahu dan tidak memiliki kepentingan secuil pun terhadap manusia. 

Ketiga, secara normatif, peradilan bersifat tetap dan final serta tidak mengakui sistem peradilan banding. 

Keempat, sistem hukum dalam Islam bebas dari hawa nafsu manusia dan memiliki nilai kebenaran yang tetap sepanjang masa karena mengacu kepada Al Quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Sebagai contoh, status dan sanksi bagi pelaku zina sejak masa Rasul SAW hingga hari kiamat bersifat tetap dan tidak akan berubah yakni haram. Bagi pelakunya akan mendapat sanksi jilid (cambuk) 100 kali bagi yang belum menikah atau rajam sampai mati bagi pelaku zina yang sudah menikah. Dalam kasus narkoba, hukuman yang dijatuhkan beragam tergantung tingkat kejahatan yang dilakukan. 

Sanksinya bisa dalam bentuk diekspos, penjara, denda, jilid bahkan sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat. Pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan itu harus dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama dari waktu kejahatan dan dijatuhkannya vonis. Pelaksanaannya hendaknya diketahui atau bahkan disaksikan oleh masyarakat seperti dalam had zina (lihat QS an-Nur[24]: 2). Sehingga masyarakat paham bahwa itu adalah sanksi atas kejatahan tersebut dan merasa ngeri. Dengan begitu setiap orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan serupa. (Buletin Al-Islam 609) Tentunya, kemaslahatan dan keadilan hukum ini hanya dapat terwujud dengan menerapkan Syariah Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Kesimpulannya, hukuman mati untuk menindak pelaku kejahatan narkoba dan kejahatan lainnya bukan hanya perlu, tapi harus.

Oleh : Andri Saputra 
Humas Hizbut Tahrir Indonesia Kotawaringin Barat

Dimuat di harian Borneonews (15/10/2012)

Posting Komentar untuk "Menimbang Ulang Hukuman MATI"