Nafsu Ingin Jadi Pemimpin
Oleh Dr. Daud Rasyid
Perbedaan zaman Salafus-sholeh yang paling kentara dengan zaman
sekarang, salah satunya dalam ambisi kepemimpinan. Dulu, khususnya zaman
sahabat, mereka saling bertolak-tolakan untuk menjadi pemimpin.
Abu Bakar Shiddiq diriwayatkan, sebelum diminta menjadi Khalifah
menggantikan Rasulullah mengusulkan agar Umar yang menjadi Khalifah.
Alasan beliau karena Umar adalah seorang yang kuat.
Dari dialog ini dapat kita pahami bahwa generasi awal Islam, yang
terbaik itu, memandang jabatan seperti momok yang menakutkan. Mereka
berusaha untuk menghindarinya selama masih mungkin. Tapi di zaman ini,
keadaannya sudah berubah jauh.
Orang saling berlomba untuk menjadi pemimpin. Jabatan sudah menjadi
tujuan hidup orang banyak. Semua tokoh yang sedang bertarung mengatakan,
jika diminta oleh rakyat, saya siap maju. Inilah basa basi mereka.
Entah rakyat mana yang meminta dia maju jadi pemimpin. Sebuah kedustaan
yang dipakai untuk menutupi ambisi menjadi pemimpin.
Keberatan para Sahabat dulu untuk menjadi pemimpin, dikarenakan
mereka mengetahui konsekuensi dan resiko menjadi pemimpin. Mereka
mendengar hadits-hadits Nabi Saw tentang tanggung jawab pemimpin di
dunia dan di akhirat. “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin
akan dimintai pertanggung jawabannya. Imam (kepala negara) adalah
pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya atas
kepemimpinannya…”.
Dalam hadits yang lain Nabi Muhammad Saw memprediksi hiruk pikuk di
akhir zaman soal kekuasaan dan menjelaskan hakikat dari kekuasaan itu.
Beliau bersabda seperti dilaporkan oleh Abu Hurairah :
“Kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan
itu adalah penyesalan di hari Kiamat, nikmat di awal dan pahit di ujung.
(Riwayat Imam Bukhori).
Juga Rasulullah Saw memperingatkan mereka yang sedang berkuasa yang
lari dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat dan tidak
bekerja untuk kepentingan rakyatnya, dengan sabda beliau : “Siapa yang
diberikan Allah kekuasaan mengurus urusan kaum Muslimin, kemudian ia
tidak melayani mereka dan keperluan mereka, maka Allah tidak akan
memenuhi kebutuhannya.” (Riwayat Abu Daud).
Dan dalam riwayat at-Tirmizi disebutkan : “Tidak ada seorang pemimpin
yang menutup pintunya dari orang-orang yang memerlukannya dan orang
fakir miskin, melainkan Allah juga akan menutup pintu langit dari
kebutuhannya dan kemiskinannya.”
Hadits-hadits yang ada lebih banyak menggambarkan pahitnya menjadi
pemimpin ketimbang manisnya. Sedang mereka adalah generasi yang lebih
mengutamakan kesenangan ukhrowi daripada kenikmatan duniawi. Itulah yang
dapat ditangkap dari keberatan mereka.
Sementara orang yang hidup di zaman ini berfikir terbalik. Yang
mereka kejar adalah kesenangan duniawi yang didapat melalui jabatan dan
kekuasaan. Mereka lupa dengan pertanggung jawaban di hari Kiamat itu.
Mereka tidak segan-segan bermanuver dan merekayasa untuk mendapatkan
jabatan dan kekuasaan itu.
Kadangkala cara yang dipakai sudah hampir sama dengan cara kaum
kuffar atau kaum sekuler, menghancurkan nilai-nilai akhlak Islam yang
sangat fundamental; mencari dan mengumpulkan kelemahan lawan politik dan
pada waktunya aib-aib itu dibeberkan untuk mengganjal jalan
kompetitornya.
Ada pula yang mengumpulkan dana dengan cara-cara yang tak pantas dan
tak bermoral. Mendukung calon kepala daerah dalam pilkada dari partai
mana saja, asal dengan imbalan materi dengan menyerahkan uang yang
besar. Terserah orang itu menang atau kalah nanti, tak begitu penting,
yang penting uangnya sudah didapat.
Para pemburu kekuasaan itu beralasan, jika kepemimpinan itu tidak
direbut, maka ia akan dipegang oleh orang-orang Fasik dan tangan tak
Amanah, yang akan menyebarkan kemungkaran dan maksiat. Tapi jika ia
dipegang oleh orang soleh dan beriman, akan dapat mewujudkan
kemaslahatan bagi masyarakat luas. Alasan ini memang indah kedengaran.
Namun kenyataannya, semua yang berebut jabatan mengklaim bahwa ia
lebih baik dari yang sedang memimpin. Dan tidak ada yang dapat memberi
jaminan bahwa jika ia memimpin, keadaan akan menjadi lebih baik.
Bahkan rata-rata orang pandai berteriak sebelum menjadi pemimpin,
tetapi setelah masuk ke dalam sistem, mereka tak bisa berbuat banyak.
Akhirnya mengikuti gaya orang sekuler. Yang mencoba bertahan dengan
idealisme, mendapat serangan dan kecaman dari berbagai pihak, lalu
akhirnya menyerah kepada keadaan.
Berapa banyak mantan aktifis mahasiswa yang sebelumnya kritis dan
berdemo menentang rezim masa lalu, tetapi sesudah masuk ke dalam sistem,
tidak bisa merubah apa-apa, bahkan menggunakan cara-cara yang dipakai
oleh rezim sebelumnya, memanfaatkan jabatan untuk menimbun uang dan
kekayaan.
Kemudian merekapun menyiapkan alasan-alasan pembelaan; antara lain,
merubah sesuatu tak bisa sekejap mata, tetapi harus bertahap, menilai
sesuatu tak boleh hitam-putih, apa yang ada sekarang sudah lebih baik
dari masa sebelumnya.
Keadaan seperti ini semakin memperkuat keyakinan sebagian orang,
bahwa memperbaiki sistem tidak harus masuk terjun ke dalam sistem itu.
Bahkan tak mungkin melakukan perubahan selama kita ada di dalam. Sebuah
logika terbalik dari slogan yang digembar gemborkan pihak lain, yang
kalau mau merubah sistem, harus terjun ke dalam sistem itu. Ternyata
kebanyakan yang pernah terjun ke dalam sistem, tidak mampu merubah
kerusakan yang ada. Bukan sekedar tak mampu membersihkan, justru ikut
terkena kotoran.
Memang ada sebagian yang masuk ke dalam sistem dengan cara yang sah,
lalu berjuang di dalamnya dengan penuh resiko, mencoba melakukan
perubahan dan bertahan dengan prinsip-prinsip yang dipegangnya. Mereka
ini biasanya kalau tak tersingkir, dimusuhi atau makan hati.
Gerakan Islam sebenarnya lebih besar dari sekadar Partai Politik yang
dibatasi oleh aturan-aturan formal, aturan main, dan bahkan ideologi
kebangsaan. Gerakan Islam berjuang untuk jangka waktu yang tak terbatas,
hingga Islam itu tegak berdiri dengan kokoh. Lingkup kerjanya juga
tidak hanya menyangkut soal-soal politik.
Ketika gerakan Islam menjadi partai politik, sebenarnya ia sedang
dipasung dan dihadapkan pada agenda kacangan yang didiktekan kepadanya
yang bukan menjadi agenda utamanya. Bahkan kesibukannya mengurusi
soal-soal politik hanyalah pembelokan dari target utama dan juga
pemborosan energi yang tak setimpal dengan hasil yang dicapainya. Ibarat
membayar dengan harga emas untuk membeli besi.
Betapa sayangnya seorang yang sudah tiga puluh tahun malang melintang
dalam gerakan Islam, ujung-ujungnya hanya menjadi tukang lobi
kesana-kemari untuk memperjuangkan kursi alias kekuasaan. Sungguh
menyedihkan. Yang diperjuangkan oleh gerakan Islam adalah sebuah agenda
besar yang mendunia (Ustaziyyatul ‘Alam), bukan agenda lokal dan sektor
sempit dan terbatas.
Lalu di sini mungkin pertanyaan akan muncul, apakah urusan lokal yang
berujung pada kemaslahtan ummat Islam itu diabaikan? Jawabannya jelas
tidak. Akan tetapi biarlah masalah-masalah lokal dan sektoral itu
diurusi oleh anak-anak ummat yang mempunyai kualitas lokal.
Adapun gerakan Islam yang sudah mendunia haruslah bekerja sesuai
dengan kapasitasnya. Tak pantas pemuda-pemuda gerakan diminta mengurus
pilkada, pemilu, menempel-nempel poster, apalagi bertarung dengan
orang-orang yang tak sekapasitas dengannya.
Gerakan Islam sekali lagi harusnya mengurusi hal-hal yang lebih
besar, lebih strategis, yakni pembinaan ummat, membangun generasi
intelek dan beriman, mengarahkan pemikiran ummat kepada cara berpikir
yang Islami setelah mengalami degradasi. Anak-anak gerakan yang tak naik
kelas bolehlah dipersilahkan terjun ke dunia politik praktis. Karena
sampai di situlah mungkin batas kemampuannya.
Ada hikmahnya kenapa Allah swt tidak mengizinkan gerakan Islam di
negeri induknya berkecimpung dalam politik praktis secara besar-besaran.
Karena hal itu akan membuat mereka lalai dari perjuangan utama. Target
utamanya bukan untuk mendapat kursi Perdana Menteri, atau bahkan
Presiden sekalipun, tetapi untuk menjadi qiyadah fikriyah bagi
pergerakan Islam sedunia.
Andaikan peluang lokal itu terbuka, niscaya mereka akan sibuk dengan
masalah-masalah parsial di lapangan sementara tugas mereka jauh lebih
kompleks dari membenahi sebuah negara yang masyarakatnya sudah rusak
secara ideologis, moral dan perasaan.
Tugas Gerakan Islam lebih besar dari membersihkan korupsi,
ketimpangan ekonomi, ketidak merataan pembangunan. Tugas mereka adalah
mengembalikan penyembahan kepada Allah setelah mengalami degradasi
dengan menuhankan manusia dan Tuhan-tuhan lainnya. (Ikhrojun Naas min Ibadatil Ibad ilaa Ibadatil Robbil Ibaad).
Posting Komentar untuk "Nafsu Ingin Jadi Pemimpin"