Sosiolog Prancis Tepis Anggapan Jilbab Simbol Penindasan
Surabaya. Hasil penelitian Anne
Francoise Guttinger DeA terhadap Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
menepis anggapan Barat dan kaum feminis yang selama ini menyatakan bahwa
jilbab simbol penindasan sehingga bila ingin dikatakan modern harus
menanggalkan jilbab.
"Justru dengan jilbab, kalian (Muslimah HTI, red) menunjukkan
modernitas. Bisa mengekspresikan ide. Paling berani keluar dan
menyuarakan ide. Inilah modernitas," ujar Sosiolog asal Prancis tersebut
saat mengungkapkan hasil penelitiannya dalam acara Open House Muslimah HTI, Ahad (14/10) di Gedung Dakwah HTI Jawa Timur.
Anne yakin desertasinya yang berjudul New Voice of Women in Indonesia
bisa memberikan wacana yang berbeda tentang Muslimah di negara-negara
Barat khususnya Prancis yang hanya menganggap jilbab sebagai simbol
penindasan dari pria yang mengatasnamakan agama. Sehingga perempuan
harus memilih antara agama atau gender.
Namun, Muslimah HTI menunjukkan perempuan Islam tidak perlu memilih
salah satu antara keduanya. Karena mereka mampu menangkap Islam sebagai
agama yang mendudukan gender secara proporsional. Walhasil, Muslimah
menutup aurat mampu berbicara politik, mengkritik pemerintah,
mencerdaskan masyarakat dan berjuang untuk syariah tanpa meninggalkan
perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Mengamati Tiga Tahun
Penelitian berawal dari ketertarikan Anne pada sebuah artikel di
media massa tiga tahun silam yang memberitakan sekelompok wanita
Indonesia yang berkerudung putih dan jilbab hitam terkait UU Pornografi.
“Berpakaian hitam putih, membawa bendera dan menentang pornografi,”
kenang Anne menceritakan awal mengenal Muslimah HTI.
Sejak saat itu, bukan saja tertarik untuk mengetahui lebih lanjut,
tetapi ia malah menjadikan Muslimah HTI sebagai objek penelitian untuk
meraih gelar doktoral (PhD) di Ehess University, Prancis.
Ketertarikannya dengan Muslimah HTI ternyata mengantarkan Anne pada
gambaran lain tentang Muslimah yang selama ini lebih banyak diberikan
para feminis bahwa Muslimah berjilbab merupakan bentuk penindasan,
berbicara politik ataupun syariah hanyalah milik kaum pria.
"Karena saya dari Barat, saya hanya dengar suara feminis. Tapi disini
(Indonesia), saya temukan bukan hanya satu suara. Tapi banyak wacana
tentang Islam yang bisa bersaing dengan (suara) feminis. Ini sesuatu
yang baru," ungkapnya di hadapan puluhan peserta open house.
Sebelum 3 tahun lalu, Anne memang sempat meneliti singkat tentang
Muslimah NU dan Asiyah Muhammadiyah. Tapi, Muslimah HTI rupanya
dipandang Anne lebih unik dengan aktifitas, pemikiran dan cara
berpakaiannya.
Dari situ, Anne mulai banyak mengenal Muslimah HTI. Anne mengaku
Muslimah HTI sebuah gerakan yang unik dan menjadi fenomena baru. Anne
bahkan sempat menganggap bahwa Muslimah HTI adalah gerakan feminis.
"Apakah ini modernitas, apakah ini gerakan feminis? Apakah Muslimah
HTI gerakan sosial atau partai politik?" pertanyaan yang berputar di
benak Anne di awal-awal penelitian.
Kemudian secara intensif Anne mengamati kegiatan Muslimah HTI
terutama di Surabaya dan Jakarta. Dalam berbagai acara, Anne melihat
diskusi dan debat yang diusung Muslimah HTI tidak bersifat patriarki,
sifat yang selama ini dihembuskan feminis untuk menggambarkan kondisi
kaum perempuan yang dikuasai pria. "Ketika dipaksa di dalam rumah, itu
masuk konsep patriarki. Sehingga Muslimah HTI bukan patriarki dengan
segala macam aktifitasnya," tegasnya.
Karena dari pengamatannya selama lebih dari dua tahun, perempuan
khususnya Muslimah berbicara tentang syariah tapi juga sekaligus
menjadi ibu dan manajer rumah tangga. “Ada pembagian sektor publik dan
privat dalam dunia Muslimah. Mereka bisa melakukan tugas rumah tapi juga
beraktifitas di tengah-tengah masyarakat,” ungkapnya.
Muslimah HTI juga memilki profil yang berbeda dari perempuan pada
umumnya. Tidak hanya pelajar dan dosen yang bisa menjadi anggotanya.
Tapi semua kalangan. Kesadaran berpolitik para Muslimahnya sangat
tinggi. “Menentang kapitalisme, liberalisme dan sekulerisme sangat aktif
dilakukan,” bebernya.
Anne melihat Muslimah HTI sebagai basis identitas kolektif HTI,
berperan penting bagi kemajuan sosial sebuah peradaban. Perempuan
sebagai ibu dan pendidik generasi punya peran sangat penting dalam
perjuangan menegakkan kembali khilafah.[]Gee_tha/Joy/MediaUmmat/BringBackIslam
Posting Komentar untuk "Sosiolog Prancis Tepis Anggapan Jilbab Simbol Penindasan"