Kapan Berhenti Jadi Bangsa Budak?
Mengenaskan.
Di saat Presiden SBY berbusung dada menerima gelar ksatria ‘Knight
Grand Cross in the Order of the Bath’ atau Ksatria Salib Agung dari Ratu
Inggris Elizabeth II, pada saat yang sama para tenaga kerja Indonesia
(TKI) dihinakan. Ini menyusul maraknya iklan obral TKI di Malaysia.
Iklan itu di antaranya berbunyi ¨Indonesian maids now one sale! 45%
discount¨.
Beberapa kalangan pun marah. Kepala
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI), Jumhur Hidayat, mengecam keras penyebarluasan promosi atau
iklan penawaran TKI itu. Ia meminta Malaysia melarang pemasangan iklan
itu karena memperdagangkan manusia tidak selayaknya terjadi dan tidak
beradab (Vivanews, 28/10/12).
Di Singapura lebih tragis. Bukan sekadar
iklan yang ditempel di kaca, tapi para TKW diberikan seragam dan
diminta duduk berjajar layaknya barang dagangan untuk dipilih pembeli.
Misalnya di Bukit Timah Plaza, Singapura. Hal itu berdasar informasi
yang diterima Anggota Komisi III DPR RI, Eva K Sundari di Jakarta (www.gatra.com, 6/11/12)
Iklan di sana, imbuh Eva, juga memuat
sistem ‘pembelian’ TKW Jawa dengan cara tidak memberi gaji selama enam
bulan. “Celakanya, cara ‘menjual’ TKW Jawa ini dilakukan oleh banyak
agensi di mal-mal seantero Singapura,” ujarnya.
Kalau di Malaysia atau Yordania iklannya berupa selebaran dan sembunyi (direct selling),
di mal Singapura nyaris mendekati ‘penjualan’ budak di zaman
pertengahan. “Bedanya, ada unsur sukarela dari TKW dan ada keterlibatan
negara (pengirim maupun penerima) di dalamnya,” pungkas Eva (gatra, idem).
Bangsa Budak
Iklan penyaluran TKI menggunakan istilah
¨sale¨ atau obral memang keterlaluan. Tidak menghargai manusia alias
tidak beradab. Apalagi dipajang layaknya barang dagangan. Sudah
seharusnya jika kita marah.
Tapi, sebenarnya tak hanya di luar
negeri. Iklan penawaran tenaga kerja kasar seperti penyedia jasa pekerja
rumah tangga (PRT) juga marak di media di dalam negeri. Memang,
istilahnya bukan ¨sale” alias obral, sehingga masih terkesan manusiawi.
Namun, persoalannya bukan sekadar bahasa
iklan. Ini merupakan tamparan untuk introspeksi, masihkah bangsa ini
memiliki harga diri? Masihkah martabat bangsa ini ada? Rasanya tidak
yakin jika bangsa ini masih disegani di mata dunia.
Di mata bangsa lain, Indonesia tak lebih
adalah bangsa budak. Prestasinya hanyalah jawara pengekspor pekerja
kasar bermodal tenaga fisik, bukan otak brilian. Sudah berulang kali
harga diri bangsa ini dihinakan, direndahkan dan diinjak-injak, terutama
terkait problem TKI.
Citra sebagai bangsa terjajah pun
semakin lengkap, manakala negara ini begitu lemah dalam diplomasi. Lemah
membela warga negaranya yang dirundung masalah di luar negeri. Mudah
diintervensi di dalam negeri, seperti deal-deal dengan negara asing yang merugikan kepentingan rakyat. Bahkan, penguasanya begitu tunduk dan patuh pada tekanan asing.
Tentu saja, puja-puji asing terhadap
Indonesia sebagai negara terdepan dalam demokrasi, calon kekuatan
ekonomi baru Asia, dll, hanyalah kamuflase. Termasuk sematan gelar-gelar
kehormatan pada pemimpinnya. Sekadar hiburan agar tak terlalu terkesan
sebagai bangsa gagal yang sudah begitu babak belur.
Stop Kirim TKI!
Sudah puluhan tahun TKI diekspor.
Semakin banyak, pemerintah semakin bangga karena devisa terus mengalir.
Negara pun tak perlu repot-repot membangun desa-desa asal para TKI itu,
karena uang jerih payah mereka mampu memajukan perekonomian kampungnya.
Itulah mengapa keberadaan TKI terus dipelihara. Mereka pun disemati
¨pahlawan devisa¨, padahal nasibnya terjajah. Inikah martabat yang
dibanggakan?
Tidak adakah itikad baik untuk
menghentikan pengiriman TKI? Alih-alih menghentikan, yang ada malah
memberi fasilitas pada para agen pengirim TKI. Misalnya dengan pemberian
pelatihan pada para TKI, sehingga diharapkan tidak mendapat perlakuan
buruk di tempat kerjanya.
Ya, tak pernah penguasa negeri ini duduk
bersama membahas bagaimana caranya agar tak ada lagi tenaga-tenaga
kasar yang terpaksa merantau ke negeri orang demi sesuap nasi. Tak ada
penguasa yang merasa iba dengan para wanita, khususnya ibu rumah tangga
yang terpaksa meninggalkan suami dan anak-anak tercinta demi mendulang
dolar. Padahal para penguasa itu pasti punya ibu, istri dan juga
anak-anak wanita. Empati terhadap TKI/TKW itu hanya muncul jika ada
kasus yang mencuat di media massa.
Sementara para ibu TKW itu, harus
menekan fitrahnya berjauhan dari keluarga tercinta. Terkadang, ibu ini
pulang dalam kondisi suami sudah menikah lagi, selingkuh atau tak
dikenali oleh anak kandungnya sendiri. Tak sedikit rumah tangga para
TKI/TKW itu tercerai berai. Anak-anak pun kering kasih sayang dari ibu
kandungnya sehingga menjadi anak-anak bermasalah.
Begitulah, nestapa tak hanya menimpa
para TKI di luar negeri, sejatinya juga melanda keluarga dan
anak-anaknya di dalam negeri. Mungkin secara materi terpenuhi, tapi
tidak dengan aspek-aspek afeksi dan spiritual.
Nah, berbagai nestapa yang menimpa TKI
itu solusinya hanya satu: hentikan pengiriman TKI. Bukankah sudah banyak
korban berjatuhan gara-gara bekerja di luar negeri? Ada yang pulang
berbentuk mayat, bahkan tinggal nama. Banyak lagi yang stres dan hilang
ingatan. Korban perkosaan, dihamili majikan hingga bunuh diri juga tak
terhitung. Begitu pula yang pulang dengan tangan hampa plus tubuh cacat
karena siksaan. Belum lagi yang dihukum mati akibat terlibat tindak
pidana di negeri orang. Duh, nelangsanya!
Bermartabat dengan Islam
Problem TKI sangat kompleks. Akar
masalah keberadaan mereka adalah tidak terpenuhinya kesejahteraan di
dalam negeri. Itulah yang menjadi PR besar penguasa saat ini: bagaimana
menghentikan pengiriman TKI selamanya, dengan menyejahterakan mereka.
Hal ini memerlukan perubahan
revolusioner, di mana penguasa harus benar-benar memenuhi kebutuhan
rakyatnya. Penguasa yang memiliki rasa tanggungjawab untuk memenuhi
hak-hak warga negaranya tanpa kecuali. Penguasa yang takut kepada Allah
SWT dan bukan tunduk pada asing.
Penguasa seperti ini mustahil lahir dari
sistem sekuler yang mengabaikan aspek-aspek spiritual seperti saat ini.
Lihat saja, betapa penguasa hanya memikirkan diri dan kelompoknya saja.
Di sisi lain, sistem sekuler-kapitalis
sudah terbukti hanya pro kalangan bermodal. Sama sekali tidak pro
rakyat. Jika sistem ini tetap dipertahankan, selama itu pula TKI akan
terus menjadi sapi perah. Karena itu, sistem sekuler harus diganti
dengan sistem Islam yang lebih beradab dan bermartabat memperlakukan
rakyatnya.(mediaumat.com,/Global Muslim)
Posting Komentar untuk "Kapan Berhenti Jadi Bangsa Budak?"