Menjaga Kemuliaan Rumah
Soal:
Seperti kita ketahui, rumah merupakan
kemuliaan (kehormatan) bagi pemiliknya. Lalu apa konsekuensi dari
kemuliaan (kehormatan) tersebut? Bagaimana hukum menodai kehormatan
tersebut, termasuk menggeledah rumah tanpa izin pemiliknya?
Jawab:
Mengenai status kemuliaan rumah (hurmah al-bayt)
sebenarnya tidak ditarik dari sejumlah hukum, sebagaimana kasus
pemisahan antara pria dan wanita dalam kehidupan Islam, juga tidak
dinukil dari satu riwayat maupun aktivitas sejumlah Sahabat dan kaum
Muslim yang lain, dengan seluruh rinciannya. Namun, kemuliaan
(kehormatan) rumah ini merupakan hukum obyek tertentu, yang dinyatakan
oleh al-Quran dengan dalil yang qath’i. Karena itu kemuliaan (kehormatan) rumah bagi pemiliknya ini merupakan hukum yang qath’i, baik dari aspek sumber maupun maknanya.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا
وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta
izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik
bagi kalian agar kalian (selalu) ingat (QS an-Nur [24]: 27).
Allah SWT melanjutkan:
فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا
أَحَدًا فَلا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ
ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
عَلِيمٌ
Jika kalian tidak menemui seorang
pun di dalamnya, janganlah kalian masuk sebelum kalian mendapat izin.
Jika dikatakan kepada kalian, “Kembalilah,” maka hendaklah kalian
kembali. Itu lebih bersih bagi kalian. Allah Mahatahu atas apa saja yang
kalian kerjakan (QS an-Nur [24]: 28).
Kedua nas di atas merupakan dalil yang qath’i
dari aspek sumbernya, karena diambil dari al-Quran, juga dari segi
maknanya, yang dengan tegas menyatakan kemulian (kehormatan) rumah bagi
pemiliknya. Karena itu, rumah tidak boleh dimasuki, kecuali dengan izin
pemiliknya, baik rumah tersebut berpenghuni maupun tanpa penghuni. Jadi,
kemuliaan (kehormatan) rumah tersebut ditegaskan melalui larangan
memasukinya, kecuali dengan izin.
Dengan demikian, siapa saja yang
memasuki rumah seseorang tanpa seizin penghuni atau pemiliknya, dia
sesungguhnya telah menodai kehormatan rumah tersebut, dan tentu bisa
dinyatakan telah melakukan keharaman. Alasannya, karena ada larangan
menodai kehormatan rumah yang dinyatakan dengan tegas oleh dalil, baik
dari aspek sumber maupun maknanya. Maka dari itu, status hukum ini harus
dijalankan, dan siapa saja yang mengingkari hukum ini, maka dia bisa
dinyatakan kafir.
Inilah status hukum tentang kehormatan
rumah. Ini merupakan hukum syariah untuk rumah, bukan untuk bangunannya.
Hukum untuk rumah, dari aspek rumah itu sendiri, bukan karena
berpenghuni atau tidak. Sebab, status hukum tersebut berkaitan dengan
rumah dan kemuliaannya. Menodai kehormatan (kemuliaan) rumah itu identik
dengan memasuki rumah tanpa izin. Dengan begitu, menjaga kehormatan
(kemuliaan) rumah berarti tidak memasuki rumah, kecuali dengan izin.
Adapun apa yang menjadi konsekuensi dari
memasuki rumah, apakah bisa dianggap menodai kehormatan (kemuliaan)
rumah atau tidak? Inilah yang menjadi pertanyaan, termasuk menggeledah
rumah untuk mencari barang bukti.
Untuk menjawab masalah ini, bisa diambil
dari ayat yang sama, dan dari kondisi rumah yang diberikan solusi oleh
ayat tersebut. Perlu dicatat, meski ayat di atas melarang masuk ke rumah
seseorang, larangan masuk ini juga mencakup larangan untuk melakukan
apa saja yang menjadi konsekuensi memasuki atau berada di rumah
tersebut. Karena itu, apa saja yang menjadi konsekuensi dari memasuki
rumah atau berada di dalam rumah tersebut hukumnya sama dengan larangan
memasuki rumah itu sendiri. Sebab, hukum haramnya memasuki rumah tidak
hanya menyatakan keharaman memasukinya saja, tetapi juga menyatakan
keharaman melakukan apa saja di dalam rumah tersebut sebagai akibat dari
memasukinya. Maka dari itu, kalau memasuki rumah tanpa izin hukumnya
haram, dan dianggap menodai kehormatan (kemuliaan) rumah tersebut, hukum
yang sama juga berlaku untuk aktivitas apapun yang dilakukan oleh orang
lain di rumah tersebut. Kesimpulan di atas diambil dari manthuq dan dari dalalah iltizam dua ayat di atas.
Pertanyaannya kemudian: apakah izin
tersebut harus dari kepala rumah tangga, ataukah cukup izin dari
penghuninya, atau izin yang dimaksud adalah izin dari Pembuat syariah?
Jawabannya, ayat tersebut berbentuk mutlak. Ayat tersebut menyatakan: hatta tasta’nisu (hingga kalian meminta izin) dan hatta yu’dzana lakum” (hingga kalian diizinkan). Dari kata “idzn” tersebut bisa dipahami, bahwa “hatta yu’dzana lakum” ini dinyatakan dalam bentuk majhul,
tanpa menyebutkan pemberi izin. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa siapa
saja yang mempunyai kewenangan untuk mengizinkan masuk ke rumah, maka
izinnya cukup bagi seseorang untuk memasuki rumah tersebut. Apakah orang
yang memberi izin tersebut kepala rumah tangga, atau penghuninya,
selama dia berakal (waras) dan mumayyiz. Dengan catatan, selama
dia mempunyai kewenangan untuk memberi izin. Sebab, izin ini hanya
diakui sebagai izin jika diberikan oleh orang yang mempunyai kewenangan
untuk memberi izin tersebut. Inilah pemahaman literal dari konteks “Izin
masuk”.
Adapun pemahaman secara literal tentang konsekuensi memasuki rumah, maka harus diteliti terlebih dulu:
(1) Jika aktivitas di dalam rumah
tersebut merupakan konsekuensi dari izin tersebut, seperti kebolehan
untuk duduk atau berdiri di dalamnya, maka izin memasuki rumah tersebut
sekaligus menjadi izin untuk berdiri dan duduk di dalamnya.
(2) Jika aktivitas tersebut bukan
merupakan konsekuensi dari izin tersebut, seperti melakukan
penggeledahan, makan, minum, tidur atau yang lain, maka izin memasuki
rumah tersebut tidak bisa serta-merta menjadi izin untuk melakukan
penggeleda-han, makan, minum dan tidur di dalamnya.
Dalam konteks yang kedua ini, selain
izin yang diberikan oleh tuan atau penghuni rumah, maka dibutuhkan
adanya izin Pembuat syariah sehingga berbagai aktivitas ini bisa
dilakukan di dalam rumah tersebut. Adanya izin dari tuan atau penghuni
rumah untuk memasuki rumahnya tidak cukup bagi seseorang sehingga dia
bisa menggeledah rumahnya. Apalagi aktivitas penggeledahan rumah ini
merupakan aktivitas tajassus (memata-matai), yaitu tafahush al-akhbar (memeriksa
dan menginvestigasi berbagai informasi dan dokumen), yang jelas-jelas
diharamkan di dalam Islam (Lihat: QS al-Hujurat [49]: 12).
Karena itu, aparat negara tidak boleh
masuk ke rumah rakyatnya tanpa izin dari tuan atau penghuninya. Jika dia
diizinkan masuk, dia pun tidak boleh menggeledah rumah tersebut. Dia
juga tidak boleh melakukan tindakan apapun di dalamnya, meski dengan
maksud untuk melakukan ri’ayatu as-syu’un (mengurus urusan
rakyatnya). Tindakan ini hukumnya haram dilakukan oleh negara dan
aparatnya, sekalipun atas perintah Khalifah. Sebab, perintah tersebut
bertentangan dengan perintah Allah SWT. Dalam hal ini, perintah Allahlah
yang harus dilaksanakan. Apalagi perintah tersebut melanggar keharaman tajassus.
Hanya saja, ada kondisi darurat yang
mengharuskan untuk memasuki rumah tersebut, seperti menyelamatkan
penghuni rumah saat rumah tersebut terbakar, atau rumah tersebut
tenggelam, atau menolong orang sebatang kara yang sakit di rumahnya dan
hendak dibawa berobat, atau tindakan lain yang bertujuan untuk
menghilangkan bahaya dari rumah tersebut. Namun, jika bahaya tersebut
tidak dinyatakan oleh nas, seperti mencari pencuri di dalam rumah,
menggeledah isi rumah, atau sejenisnya, maka alasan bahaya tersebut
tidak bisa menjadi justifikasi untuk melakukan tindakan di dalam rumah
tersebut.
Mengenai alasan “mengurus urusan
rakyat”, alasan tersebut tidak bisa digunakan oleh negara untuk memasuki
rumah rakyatnya, termasuk menangkap orang yang melakukan perbuatan
haram di dalamnya dengan cara yang salah. Karena “mengurus urusan
rakyat” ini tidak berarti boleh mengharamkan yang halal, dan
menghalalkan yang haram; kecuali jika kewajiban “mengurus urusan rakyat”
mengharuskan negara untuk memasukinya seperti memasang instalasi
listrik, saluran telpon, air minum dan sebagainya. Dalam hal ini, izin
untuk memasuki rumah berarti termasuk izin untuk melakukan pemasangan
instalasi dan saluran di dalamnya.
WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
hizbut-tahrir
Posting Komentar untuk "Menjaga Kemuliaan Rumah"