Penyesalan Tak Berguna Di Akhirat
(Tafsir QS al-Fajr [89]: 21-26)
كَلا
إِذَا دُكَّتِ الأرْضُ دَكًّا دَكًّا * وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ
صَفًّا صَفًّا * وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ
الإنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى * يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ
لِحَيَاتِي * فَيَوْمَئِذٍ لا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ * وَلا يُوثِقُ
وَثَاقَهُ أَحَدٌ *
Jangan
(berbuat demikian). Jika bumi diguncangkan berturut-turut, lalu
datanglah Tuhanmu, sedangkan malaikat berbaris-baris, kemudian pada hari
itu diperlihatkan Neraka Jahanam, dan pada hari pula ingatlah manusia,
tetapi tidak berguna lagi mengingat itu bagi dirinya, maka manusia
berkata, “Alangkah baiknya sekiranya aku dulu mengerjakan (amal shalih)
untuk hidupku.” Pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti
siksa-Nya dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya (QS al-Fajr [89]: 21-26).
Dalam
beberapa ayat sebelumnya disebutkan tentang celaan terhadap orang-orang
yang salah dalam menilai kemuliaan seseorang. Mereka menganggap
kemuliaan manusia didasarkan pada banyaknya kekayaan yang dimiliki.
Ketika seseorang dikaruniai harta melimpah, mereka menganggap dia sedang
dimuliakan Allah SWT. Sebaliknya, ketika rezekinya disempitkan, mereka
menganggap dia sedang dihinakan. Anggapan ini melahirkan sikap dan
perilaku yang salah. Karena harta dijadikan sebagai parameter kekayaan,
mereka pun tamak dan rakus terhadap harta.
Penilaian
mereka itu pun dibantah dalam beberapa ayat sebelumnya, bahwa banyaknya
kekayaan tidak mencerminkan kemuliaan. Perbuatan yang mereka lakukanlah
justru yang menjadi penyebab mereka terhina. Beberapa perbuatan tersebut
adalah tidak memuliakan anak yatim, tidak menganjurkan memberikan makan
orang miskin, memakan harta waris yang tidak menjadi haknya, dan
mencinati harta amat berlebihan. Kemudian ayat ini memberitakan
peristiwa yang membuat mereka menyesal selama-lamanya.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Kallâ idzâ dukkat al-ardh dakk[an] dakk[an] (Jangan [berbuat demikian]. Jika bumi digoncangkan berturut-turut). Kata kallâ merupakan rad’[un] lahum ‘an dzâlika wa inkâr[un] li fi’lihim (mencegah mereka dari hal itu dan mengingkari perbuatan mereka).1 Kata tersebut memberikan makna: Tidak selayaknya urusannya demikian; bersikap tamak terhadap harta dan terlalu mencintai harta.2
Dengan
demikian, frasa ini memberikan celaan terhadap semua sikap dan tindakan
yang dilakukan oleh orang-orang yang disebutkan dalam ayat-ayat
sebelumnya yakni: pandangan mereka yang salah tentang kemuliaan; juga
perilaku mereka yang tidak memuliakan anak yatim, tidak memerintahkan
memberi makan orang miskin, memakan harta warisan yang tidak menjadi
haknya, dan mencintai harta secara berlebihan. Semua sikap dan perilaku
seperti itu dicela dan tidak selayaknya mereka lakukan.
Tak hanya
dicela, terhadap mereka juga diberikan ancaman berupa kejadian yang
membuat mereka bersedih dan menyesal. Allah SWT berfirman: Idzâ dukkat al-ardh dakk[an] dakk[an]. Kata ad-dakk berarti al-hadam wa at-taswiyah li al-murtafi’ (meruntukan dan meratakan sesuatu yang tinggi). Al-Mubarrid juga mengartikan ad-dakk sebagai hath al-murtafi’ bi al-basth (merendahkan yang tinggi menjadi rata).3
Dijelaskan as-Samin al-Halbi, kedudukan kata dakk[an] yang pertama sebagai mashdar yang berfungsi muakkid (penguat) bagi fi’l yang disebutkan sebelumnya. Adapun yang kedua berkedudukan sebagai hâl yang memberikan makna mukarrar ‘alayh (berulang-ulang).4
Secara
keseluruhan, ayat ini memberikan gambaran bahwa ketika itu bumi hancur
dan remuk bertur-turut. Semua benda di atasnya—seperti gunung, bangunan,
dan lain-lain—hancur hingga tak tersisa sedikit pun di atasnya.5
Peristiwa ini adalah sebagaimana diberitakan dalam QS al-Insyiqaq [84]:
3-4, an-Nazi’at [79]: 6-7 al-Haqqah [69]: 14 dan al-Waqiah [56]: 4-5.
Kemudian diberitakan kejadian lainnya yang terjadi ketika itu dengan firman-Nya: Wa jâ’a Rabbuka (dan datanglah Tuhanmu). Ada
beberapa penjelasan yang dikemukakan oleh para mufassir mengenai makna
ayat ini. Menurut al-Hasan, maksud ayat ini adalah perintah dan
keputusan-Nya serta tampak ayat-ayat-Nya. Ini termasuk ungkapan yang
menghilangkan mudhâf.6 Selain perintah dan
keputusan-Nya, menurut asy-Syaukani juga ayat-ayat-Nya yang tampak.7
Ibnu ‘Athiyah menafsirkannya sebagai ketetapan dan kekuasan-Nya.8
Menjelaskan ayat ini, al-Qurthubi menegaskan, “Allah
SWT tidak disifati dengan pindah dan berubah dari satu tempat ke tempat
lain. Bagaimana Dia berubah dan berpindah, sedangkan tidak ada ruang
dan waktu bagi Dia. Dia tidak dilintasi waktu dan zaman. Sebab, adanya
lintasan waktu atas sesuatu, maka akan kehilangan waktu. Siapa yang
kehilangan waktu, berarti lemah.”9
Patut dicatat, ayat ini termasuk ayat yang mustâsyabihah. Sebab, perkara yang diterangkan ayat ini adalah perkara gaib yang tak terindera sehingga penunjukkan faktanya tidak jelas seperti halnya perkara yang terindera (mahsûsât).
Terhadap ayat seperti ini, sikap yang paling baik adalah tidak
membahasnya terlampau jauh sehingga menyebabkan terpeleset pada
kesalahan. Al-Khazin mengatakan, “Ketahuilah bahwa ayat ini termasuk
ayat tentang sifat-sifat-Nya yang didiamkan oleh kebanyakan ulama salaf
dan sebagian ulama khalaf. Mereka tidak membicarakannya dan membiarkan
apa adanya, tanpa mempersoalkan bagaimana caranya, melakukan
penyerupaan, dan membuat penakwilan. Mereka mengatakan bahwa kita wajib
mengimaninya dan berhenti atas zhahir-nya.”
Kemudian disebutkan: wa al-malak shaf[an] shaff[an] (sedangkan malaikat berbaris-baris). Kata al-malak merupakan ism al-jins yang menunjuk pada seluruh malaikat.10 Kata shaff[an] shaff[an], sebagaimana kata dakk[an], berkedudukan sebagai hâl, artinya: mushthaffîn (berbaris-baris),
atau dalam barisan yang amat banyak.11 Mengenai berbarisnya malaikat
pada Hari Kiamat juga diberitakan dalam QS al-Naba [78]: 38.
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Wajî’a yawmaidz[in] bijahannam (dan pada hari itu diperlihatkan Neraka Jahanam). Kata yawmaidz[in] menunjuk
pada saat terjadinya peristiwa yang disebutkan dalam ayat sebelumnya.
Ketika itu, neraka yang sebelumnya merupakan perkara gaib bagi manusia tuhdharu wa tadnû min al-kâfir (didatangkan
dan didekatkan kepada orang kafir).12 Semuanya menjadi tampak jelas.
Ini sebagaimana diberitakan dalam QS an-Naziat [79]: 36 dan asy-Syu’ara
[26]: 91.
Mengenai Neraka Jahanam yang didatangkan, Rasulullah saw. bersabda:
يُؤْتَى بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ لهَاَ سَبْعُونَ أَلْفَ زِمَامٍ مَعَ كُلِّ زِمَامٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ يَجُرُّونَهَا
Didatangkan neraka pada hari itu, dalam keadaan ia memiliki 70.000 tali kekang. Setiap tali kekang diseret 70.000 malaikat (HR Muslim dan at-Tirmidzi).
Kemudian Allah SWT berfirman: Yawmaidz[in] yatadzakkar al-insân (dan pada hari itu ingatlah manusia). Kata al-insân merupakan li al-jins,
menunjuk kepada seluruh jenis manusia. Artinya, manusia pada Hari
Kiamat teringat dengan amal perbuatannya di dunia serta menyesali
kelalaian dan kemaksiatannya.13 Dikatakan Ibnu Jarir ath-Thabari, “Pada
hari itu manusia teringat dengan kelalaiannya di dunia dalam ketaatan
kepada Allah SWT dan semua amal shalih yang mendekatkan dirinya kepada
Allah SWT.”14
Akan tetapi,
semua ingatan mereka itu tidak berguna sama sekali. Penerimaan terhadap
nasihat itu juga sudah terlambat. Dalam frasa ditegaskan: Wa annâ lahu al-dzikrâ (tetapi
tidak berguna lagi mengingat itu bagi dirinya). Artinya, dari mana
nasihat dan taubat itu bermanfaat bagi dirinya, sedangkan dia telah
melalaikannya di dunia? Atau dari mana peringatan itu bisa bermanfaat
bagi dirinya?15 Lalu manusia ingat apa yang bermanfaat dan apa
membahayakan baginya di dunia. Dia pun mengetahui bahwa kecintaannya
terhadap dunia tidak menambah bagi dirinya kecuali hanya kerugian.16
Penyesalan mereka diberitakan dalam ayat berikutnya: Yaqûlu yâ laytanî qaddamtu lihayâtî (maka manusia mengatakan, “Alangkah baiknya kiranya aku dulu mengerjakan [amal salih] untuk hidupku.”). Kata qaddamtu di sini mengandung makna mengerjakan kebaikan dan amal salih. Huruf al-lâm pada kata lihayâtî bermakna li ajli hayâtî (untuk kehidupanku ini). Kehidupanku ini (hayâtî)
menunjuk pada kehidupan akhirat. Sebab, kehidupan akhirat merupakan
kehidupan hakiki lantaran bersifat kekal dan tidak terputus.17
Kata layta memberikan makna at-tamanniyy (keinginan);
kebanyakan digunakan untuk sesuatu yang mustahil, meski kadang
digunakan untuk perkara yang mungkin.18 Dalam ayat ini, perkara yang
diinginkan tentu mustahil terjadi. Itu artinya, mereka amat menginginkan
diberikan kesempatan untuk beriman dan beramal salih. Akan tetapi,
keinginan itu tidak mungkin bisa terwujud. Dikatakan al-Qurthubi, ayat
ini bermakna: “Andaikata dulu aku melakukan kebaikan untuk
menyelamatkan diriku dari neraka, sungguh aku termasuk orang yang
mendapatkan kehidupan yang menyenangkan.”19
Bahwa penyesalan mereka tidak berguna ditegaskan dalam ayat berikutnya: Fayawmaidz[in] lâ yu’adzdzibu adzâbahu ahad (maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya). Dhamîr al-hâ‘ pada kata adzâbahu kembali
kepada Allah SWT, sekalipun tidak disebutkan.20 Dengan demikian
pengertiannya adalah tidak ada seorang pun yang menyiksa di dunia
seperti siksa Allah di akhirat ketika itu.21 Ini menunjukkan siksa
neraka di akhirat amat dahsyat. Demikian dahsyatnya hingga tidak ada
yang bisa menandinginya.
Kemudian Allah SWT berfirman: Walâ yûtsiqu watsâqahu ahad (dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya). Kata al-watsâq berarti al-isâr fî al-salâsil wa al-aghlâl (ikatan
pada rantai dan belenggu).22 Ditegaskan bahwa tidak ada seorang pun
yang ikatannya mengalahkan kuat dan sakitnya ikatan-Nya itu. Inilah
siksa yang ditimpakan kepada orang-orang kafir dan para pelaku
kemaksiatan.
Beberapa Pelajaran Penting
Terdapat banyak pelajaran penting yang patut dicatat dari ayat-ayat ini. Pertama: celaan dan ancaman bagi orang yang rakus terhadap harta hingga menabrak syariah. Telah mafhum
bahwa dalam ayat sebelumnya Allah SWT memberitakan orang-orang yang
memiliki sifat tercela. Mereka menganggap banyaknya harta sebagai
parameter kemuliaan bagi manusia. Akibatnya, mereka pun amat tamak
terhadap harta. Demi mendapatkan harta, mereka tak mempedulikan halal
dan haram. Kewajiban yang harus ditunaikan seperti memuliakan anak yatim
dan memberikan makan kepada orang miskin dilalaikan. Mereka juga
mengabaikan larangan seperti memakan harta warisan yang tidak menjadi
haknya dan mencintai harta secara berlebihan.
Ayat ini pun mencela sikap mereka itu. Ini ditunjukkan dengan kata kallâ. Selain
itu, ayat ini juga menyampaikan ancaman akan kedatangan Hari Kiamat.
Ketika bumi beserta isinya hancur, urusan mereka telah diputuskan, dan
Neraka Jahanam didatangkan, maka menderita kerugian tak terkira. Harta
yang mereka kumpulkan dan mereka jadikan sebagai kebanggaan lenyap dan
tidak mendatangkan manfaat sedikit pun bagi mereka. Kerugian semakin
bertambah manakala harta yang dikumpulkan itu justru menjerumuskan
dirinya ke Neraka Jahanam yang penuh siksa. Demikian pula dengan semua
kebanggaan dan kemuliaan duniawi lainnya (lihat QS al-Haqqah [69]:
27-29).
Ancaman itu
seharusnya membuat mereka segera sadar dan bertobat. Selagi masih hidup
di dunia, kesempatan itu masih terbuka. Jika celaan dan ancaman itu
dianggap sepi, maka bersiaplah menerima azab Allah SWT yang amat dahsyat
dan mengerikan.
Kedua:
keharusan mengisi kehidupan di dunia dengan iman dan amal salih untuk
mendapatkan balasan di akhirat. Sebab, kehidupan dunia merupakan dâr al-‘amal, tempat mengerjakan amal, dedangkan akhirat merupakan dâr al-jazâ`, tempat
pembalasan. Orang yang memenuhi hidupnya di dunia dengan keimanan dan
amal salih akan menuai hasilnya di akhirat, yakni surga yang penuh
dengan kenikmatan. Sebaliknya, orang menghabiskan hidupnya dengan
kekufuran, kemaksiatan dan kemungkaran, juga harus menerima balasannya
di akhirat, yakni neraka.
Kesadaran
tentang ini harus dimiliki manusia ketika di dunia. Jika tidak,
kesadaran itu baru terjadi ketika kiamat datang, tentu sudah terlambat.
Ketika itu, pintu tobat sudah tertutup dan kesempatan untuk beramal
sudah berakhir. Yang tinggal hanya penyesalan yang tidak berguna;
penyesalan abadi dan tak bertepi. Inilah yang dialami orang-orang kafir
sebagaimana diberitakan ayat ini, juga diberitakan dalam QS al-Furqan
[25]: 27).
Ketiga: akhirat adalah kehidupan yang sesungguhnya. Sebagaimana dijelaskan oleh para mufassir, yang dimaksud dengan hayâtî pada kata qaddamtu hayâtî adalah
kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat disebut sebagai kehidupan lantaran
sifatnya yang kekal, abadi dan tak terputus (Lihat, antara lain: QS
al-Ankabut [29]: 64).
Karena akhirat
adalah kehidupan yang sebenarnya, maka sudah selayaknya manusia bekerja
keras untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan
surga. Tidak tertipu dengan kesenangan dunia yang amat sedikit dan
pendek ini.
Keempat:
dahsyatnya siksa neraka dan tidak ada yang mengalahkannya. Gambaran
dahsyatnya siksa akhirat ini sesungguhnya amat banyak diberitakan dalam
ayat dan hadis.
Siapa pun yang
memiliki akal sehat, pasti akan takut merasakan siksa yang amat berat,
dahsyat dan mengerikan itu. Ketika keyakinan ini dimiliki, maka semua
ancaman dan siksaan yang dilakukan manusia tidak akan menggoyahkan
keimanan sedikit pun, juga tidak akan menghalangi dirinya mengerjakan
amal salih. Semoga kita termasuk orang yang dijauhkan dari neraka. Amin.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 756; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar ihyâ` al-Turâts al-‘Arabiy, 1420 H), 157; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-kalim al-Thayyib, 1998), 641; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth fî al-Tafsîr, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 475.
2 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassah al-Risalah, 2000), 416; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Riyad: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003), 54; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 427.
3 A-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 235.
4 As-Samin al-Halbi, Ad-Durr al-Mashûn, vol. 10 (Damaskus: Dar al-Qalam, tt), 791; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 235.
5 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 427.
6 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 55.
7 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1994), 535.
8 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 480.
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 55.
10 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 480; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth fî at-Tafsîr, vol. 10, 475.
11 As-Samin al-Halbi, Ad-Durr al-Mashûn, vol. 10, 791; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 235.
12 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 477.
13 Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam bin al-Arqam, 1996), 481.
14 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 24, 419.
15 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 56. Lihat juga anl-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta‘wîl, vol. 3, 642.
16 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 40.
17 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 536.
18 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah, vol. 2 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 311.
19 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 56.
20 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 235.
21 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 428.
22 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 253.
al wa'ie
Posting Komentar untuk "Penyesalan Tak Berguna Di Akhirat"