Catatan CIIA: Standar Ganda Polri dalam Penanganan Aksi Teror di Indonesia
Kepala
Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Timur Pradopo
dalam catatan akhir tahun menjelaskan, Polri khususnya Detasemen Khusus
88 Anti Teror Mabes Polri, telah menangani 14 kasus ‘teroris’ di seluruh
wilayah Indonesia. Dalam proses penyidikan tercatat ada 78 orang
tersangka, 10 orang diantaranya tewas saat proses penangkapan.
Dari 68 orang tersangka ‘teroris’ yang tengah diproses hukum, menurut
Kapolri, 51 orang tengah dalam proses penyidikan, 17 orang tengah dalam
proses pengadilan, dan dua orang diantaranya telah divonis hakim
pengadilan tingkat pertama.
Selama penanganan kasus ‘teroris’ ini menurut Kapolri, ada delapan
orang anggota polisi yang tewas dan sembilan orang menderita luka-luka
di tahun 2012. Sementara itu dalam penanganan kasus kekerasan bersenjata
di Papua, anggota polisi yang tewas berjumlah tujuh orang.
“Jadi gugur dalam tugas itu merupakan kehormatan tertinggi. Dari
anggota yang tewas selama tahun 2012 itu ada 15 anggota. Delapan orang
polisi tewas di Sulawesi Tengah dan Solo Jawa Tengah, kemudian anggota
polisi yang tewas ada tujuh orang. Ke depannnya polri akan lebih
melakukan perlindungan terhadap anggota di lapangan,” jelas Kapolri.
Lebih lanjut dikatakan Kapolri bahwa kejahatan terorisme bukanlah
kejahatan biasa dari kelompok-kelompok yang mempunyai tujuan ideologis
yang mereka perjuangkan. Untuk itu, kepolisian bekerjasama dengan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme untuk menyadarkan mereka yang
beraliran keras dan fanatik.
Berangkat dari pernyatan Kapolri terkait progres penanganan terorisme
tersebut, Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA),
Harits Abu Ulya menilai ada catatan penting yang perlu jadi bahan
evaluasi institusi Polri dan pihak yang terlibat:
1. Selama tahun 2012 tindak pidana terorisme versus Polri tidaklah
meningkat signifikan. Justru operasi dan tindakan aparat polri (densus88
dan BNPT) terhadap orang-orang yang disangka teroris semakin tinggi
intensitasnya di tahun 2012. Hingga melahirkan ekses perlawanan di
teritorial tertentu (Poso) dari orang-orang atau kelompok yang tertuduh
teroris ini.
2.Dari jumlah 68 orang dalam proses penyidikan itu diluar jumlah
orang salah tangkap yang kemudian dibebaskan setelah sebelumnya
mengalami tindak kekerasan secara serius. Misalkan kasus dua orang di
Jakarta dan yang terbaru 15 orang di Poso ditangkap selama sepekan
diintrograsi dan dilepas setelah tidak berhasil membuktikan keterlibatan
mereka, namun cara-cara yang dipakai sarat pelanggaran HAM serius.
Jadi, 68 itu angka yang tidak jujur disampaikan, harusnya secara
berimbang menyampaikan.
3. Sepuluh orang yang tewas dan dituduh sebagai teroris, menurut saya diduga kuat adalah extra judicial killing, ada tindakan over dari aparat di lapangan dan sayang tidak ada evaluasi dari pihak-pihak terkait dengan cara-cara over
seperti ini. Seperti kasus terbunuhnya Kholid di Poso pasca gagalnya
aparat menyisir di gunung Tamanjeka, kemudian mengobrak-abrik kota Poso
sehingga menimbulkan satu korban yang meninggal adalah Kholid tanpa
perlawanan sepulang dari solat subuh dieksekusi di jalan.
4.Dan sangat jelas pihak aparat menunjukkan perlakukan diskriminatif
seperti kasus tujuh orang polisi yang tewas di Papua, dan kasus
kekerasan/teror/penembakan oleh gerombolan teroris OPM intensitasnya
jauh lebih tinggi dibanding kasus yang di Jawa atau Poso. Tapi, Polri
hanya melabeli mereka sebagai kelompok bersenjata, sementara itu label
teroris untuk kelompok yang terkait dengan ideologi Islam.
Padahal, banyak kasus diantaranya 10 kasus dari 14 kasus teroris
versi Polri lebih tepat dilabeli anya sebagai aksi teror bukan teroris.
Tapi, anehnya kasus dari kelompok OPM dengan organisasi yang mapan, dan
mempunyai visi politik memisahkan diri dari NKRI, melakukan banyak aksi
teror dari penembakan sampai rencana pengeboman secara serentak di
titik-titik strategis semua itu tidak pernah dilabeli teroris. Baru
sebatas wacana pihak Polri menyatakan tidak ragu akan menerapkan UU
teroris atas mereka.
Inilah sikap diskriminatif dan politis yang menempatkan kelompok
Islam tertentu pengusung ideologi Islam di cap Teroris hanya dengan
alasan adanya aksi teror dari salah satu anggota mereka. Padahal, aksi
teror itu belum tentu dilatar belakangi ideologi, tapi hanya sekedar
faktor dendam dan rasa ketidak adilan.
5.Pihak aparat dilapangan perlu evaluasi diri, tidak jarang tindakan
over yang melanggar HAM dan menyinggung umat Islam justru menjadi faktor
spiral kekerasan menggeliat tak berujung. Malah mengesankan kekerasan
demi kekerasan itu di pelihara dengan cara membudayakan kekerasan, demi
kepentingan proyek perut dan politik.
6.Demikian juga, sikap aparat dilapangan ditambah pengerahan aparat
yang tidak proporsional seperti di Poso dan merembet ke beberapa wilayah
Sulsel hanya alasan mengejar teroris justru melahirkan traumatik dan
mengganggu rasa tenang serta rasa aman masyarakat pada umumnya dan
masyarakat Poso secara khusus.
7.Kita perlu ingat; matinya seorang muslim (baik sipil/militer)
diluar haq maka itu lebih berat dibandingkan runtuhnya ka’bah”. Artinya
siapapun tidak boleh menumpahkan darah seorang muslim diluar haknya.
8.Saya masih percaya dialog menjadi media untuk menurunkan aksi-aksi
kekerasan, kekerasan tidak bisa ditumpas dengan kekerasan semata.
9.Harusnya pemerintah Indonesia menyadari dan mau evaluasi diri dlm
isu terorisme agar tidak terjebak lebih dalam kepada kepentingan asing
(amerika cs). Dan menjadikan umat Islam yang mengusung ideologi Islam
sebagai musuh. Jika, ini terus dipelihara akan melahirkan kondisi
kontraproduktif pada masa yang akan datang. Umat islam dengan seluruh
komponen dan sebagai entitas dengan kekuatan politiknya punya hak yang
sama di negeri Indonesia.
Punya hak yang sama untuk memperbaiki dan menyelesaikan problem multi
dimensi di Indonesia dengan konsepkonsep Islam yang diyakini kebenaran
dan kelayakannya.
Islam bukan musuh bagi Indonesia. Akan tetapi, barat dengan idelogi
kapitalis imperialismenya lah musuh yang hakiki bagi Indonesia.
10.Perang melawan terorisme di dunia barat dan dunia Islam
menyadarkan umat islam secara keseluruhan bahwa itu adalah proyek global
perang terhadap Islam dan umatnya. Jadi, proyek deradikalisasi yang
ujung-ujungnya makin menyudutkan kelompok – kelompok Islam juga akan
sia-sia.
Karena, kesadaran politik umat islam cukup tinggi dan tidak bisa lagi
dimanipulasi dengan propaganda-propaganda menyesatkan atas nama menjaga
nation state, pluralisme (kebinekaan),moderatisme dan liberalisme.
“Semoga para pemangku kebijakan yang zalim mendiskriditkan Islam dan
menzalimi umat Islam mau muhasabah diri dan taubat sebelum nyawa
dikerongkongan dan hanya tangisan yg sangat pedih melolong kesakitan
sementara pintu taubat sudah tertutup. wallahu a’lam.“tutupnya. (arrahmah.com)
Posting Komentar untuk "Catatan CIIA: Standar Ganda Polri dalam Penanganan Aksi Teror di Indonesia"