Kebijakan Khilafah Terhadap Perayaan Keagamaan Orang-orang Kafir
Oleh: Syamsuddin Ramadhan An Nawiy
Khilafah adalah negara yang tegak di atas akidah dan syariat Islam.
Akidah Islamiyyah adalah asas negara; dan syariat Islam merupakan
satu-satunya hukum untuk mengatur urusan negara dan rakyat. Khilafah
Islamiyyah tidak akan mengadopsi atau mendakwahkan pemikiran dan hukum
yang bertentangan dengan Islam. Walaupun Khilafah harus mengakomodasi
keragaman agama dan keyakinan selain Islam, memperlakukan orang-orang
kafir dengan adil, serta memenuhi hak dan kebutuhan mereka dengan cara
yang makruf, namun, itu tidak berarti Khilafah Islamiyyah akan
memberikan dukungan bagi penyebaran agama dan keyakinan selain Islam,
dalam bentuk apapun.
Sebab, Khilafah tidak hanya bertugas melakukan ri’ayah suunil ummah belaka, namun ia juga diberi taklif
mendakwahkan Islam agar orang-orang kafir masuk ke dalam agama Islam.
Khalifah dan pejabat-pejabat negara yang Muslim, sebagaimana kaum
Muslim lainnya, diberi tanggung jawab yang sama dalam hal dakwah dan
terikat dengan hukum syariat. Oleh karena itu, larangan memberikan
bantuan dan melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas keagamaan
orang-orang kafir—seperti ibadah dan perayaan agama mereka–, tidak hanya
berlaku bagi umumnya kaum Muslim saja, tetapi juga berlaku bagi
Khalifah dan pejabat negara.
Adapun dalam konteks kebijakan Khilafah terhadap perayaan keagamaan orang-orang kafir, dapat dirinci sebagai berikut:
Pertama, Khilafah melarang kaum Muslim merayakan atau
melibatkan diri dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun
bentuknya. Pasalnya, Islam mengharamkan kaum Muslim terlibat dalam
perayaan-perayaan keagamaan orang-orang kafir. Sahabat besar seperti
Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar dan para tabiin, seperti Mujahid, Mohammad
Ibnu Sirin, dan sebagainya, menyatakan bahwasanya kaum Mukmin dilarang merayakan hari raya orang-orang musyrik.” [Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, juz 13, hal. 79; Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir,
juz 3, hal. 329-330] Beberapa fuqaha juga berpendapat senada mengenai
firman Allah SWT al-Furqan: 72. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Kaum
Muslim telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi
dan Nasrani. Kaum Muslim juga diharamkan memasuki gereja dan
tempat-tempat ibadah mereka.” [Ibnu Tamiyyah, Iqtidla' al-Shiraath al-Mustaqiim, hal.201].
Imam Baihaqi menyatakan, “Jika kaum Muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” [Ibnu Tamiyyah, Iqtidla' al-Shiraath al-Mustaqiim, hal.201] Imam al-Amidi dan Qadli Abu Bakar al-Khalal menyatakan,”Kaum Muslim dilarang keluar untuk menyaksikan hari raya orang-orang kafir dan musyrik.” [Ibnu Tamiyyah, Iqtidla' al-Shiraath al-Mustaqiim, hal.201-202] Al-Qadliy Abu Ya’la al-Fara’ berkata, “kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”. [Ibnu Tamiyyah, Iqtidla' al-Shiraath al-Mustaqiim, hal.181] Imam Malik menyatakan, “Kaum
Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik
atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu
kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan
hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita
hukumnya makruh, baik diantar atau mereka mengundang kita.” [Ibnu Tamiyyah, Iqtidla' al-Shiraath al-Mustaqiim, hal.230-231]
Pada masa-masa kejayaan Islam, pemerintahan Islam saat itu –sejak
masa Rasulullah SAW–, kaum Muslim tidak diperbolehkan merayakan hari
raya ahlul Kitab dan kaum musyrik. Rasulullah SAW pernah bersabda
mengenai hari raya orang-orang kafir, “Setiap umat memiliki hari raya sendiri-sendiri. Idul Fithri adalah hari raya kita.” [HR. Bukhari dari 'Aisyah ra]
Tatkala mengomentari hari raya bangsa Persia, Rasulullah SAW bersabda, “Allah
SWT telah mengganti dua hari yang lebih baik daripada kedua hari itu
(nairus dan naharjan: hari raya bangsa Persia), yaitu Idul Fitri dan
idul Adha.: [HR. Abu Dawud, Turmudzi, Nasaa'iy, dan Ibnu Majah]
Riwayat-riwayat ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah SAW
telah melarang kaum Muslim merayakan atau melibatkan diri dalam perayaan
hari raya orang-orang kafir.
Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin al-Khaththabb, beliau telah
melarang kaum Muslim merayakan hari raya orang-orang kafir. Imam
Baihaqiy telah menuturkan sebuah riwayat dengan sanad shahih dari ‘Atha’
bin Dinar, bahwa Umar ra pernah berkata, “Janganlah kalian
mempelajari bahasa-bahasa orang-orang Ajam. Janganlah kalian masuk ke
gereja-gereja orang-orang musyrik pada hari raya mereka. Sesungguhnya
murka Allah SWT akan turun kepada mereka pada hari itu.”. [HR. Imam Baihaqiy]
Realitas di atas menunjukkan bahwa sejak masa sahabat ra, Islam telah
melarang kaum Muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya
orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup
perbuatan; mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan
atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain
sebagainya. Perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh
perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang
berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir, musyrik maupun ahlul kitab.
Kedua, memberikan sanksi bagi kaum Muslim yang terlibat
perayaan keagamaan orang-orang kafir. Adapun kadar dan bentuk sanksinya
diserahkan sepenuhnya kepada qadliy. Pasalnya, pelanggaran dalam
masalah ini termasuk dalam kasus ta’zir.
Ketiga, khalifah tidak akan melarang atau menghalang-halangi
orang-orang kafir merayakan hari keagamaan mereka. Pasalnya,
orang-orang kafir diberi kebebasan dalam menjalankan peribadahan mereka
di dalam Daulah Islamiyyah, pada batas-batas yang ditentukan oleh
syariat Islam. Sejak masa Nabi SAW dan Khulafaur Rasyidin, orang-orang
kafir dibiarkan merayakan perayaan keagamaan mereka. Mereka hanya
melarang kaum Muslim untuk melibatkan diri dalam perayaan mereka.
Keempat, khalifah tidak akan memberikan bantuan, atau
melibatkan diri dalam perayaan-perayaan keagamaan orang-orang kafir.
Pasalnya, seorang khalifah, sebagaimana kaum Muslim yang lain, wajib
terikat dengan hukum syariat larangan melibatkan diri dalam perayaan
hari raya orang-orang kafir. Lebih dari itu, seorang khalifah maupun
pejabat-pejabat negara Khilafah tidak akan memberikan ucapan selamat,
kata sambutan, atau memberikan hadiah perayaan kepada orang kafir.
Sebab, perbuatan-perbuatan seperti ini hukumnya haram.
Inilah kebijakan Khilafah Islamiyyah terhadap perayaan keagamaan
orang-orang kafir. Kebijakan di atas disusun dengan mempertimbangkan
tugas seorang khalifah untuk menerapkan syariat Islam di dalam negeri
dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru alam. Tugas ini
meniscayakan seorang khalifah untuk tidak pernah condong sedikit pun
dengan kekufuran dan kemaksiatan–termasuk tidak mengeluarkan kebijakan
mendukung perayaan keagamaan orang-orang kafir. Sebaliknya, seorang
khalifah wajib mendakwahi orang-orang kafir, baik di dalam maupun luar
negeri, untuk masuk ke dalam agama Islam. Hanya saja, dalam konteks
pengaturan urusan rakyat, Khilafah akan memperlakukan orang-orang kafir
secara adil. Hak-hak mereka sebagai warga negara Khilafah Islamiyyah
dipenuhi dan dilindungi sebaik-baiknya. Wallahu a’lam bish shawab. (mediaumat.com, 19/12)
Posting Komentar untuk "Kebijakan Khilafah Terhadap Perayaan Keagamaan Orang-orang Kafir"