Kisah Cinta Abul ‘Ash dengan Zainab Putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam
Ilustrasi
Melihat kemuliaan pemuda ini, kekasih Rasulullah Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, yaitu Khadijah binti Khuwailid berkeinginan
menjodohkan putrinya, Zainab, dengan pemuda ini. Nabi Muhammad pun
menyetujui keinginan istrinya tersebut. Apalagi, Abul ‘Ash bukan
termasuk orang asing di sisi Nabi. Moyang Abul’ Ash bertemu dengan
moyang Nabi pada Abdu Manaf. Demikian pula, garis darah Abul Ash dari
jalur ibu bertemu dengan garis darah Zainab dari jalur ibu (Khadijah)
pada Khuwailid.
Pernikahan pun dilangsungkan. Di hari yang indah itu, Khadijah
memberikan kalung miliknya sebagai hadiah bagi putri terncintanya itu.
Maka, Zainab pun berpindah tangan. Ia meninggalkan rumah ibu dan ayahnya
menuju naungan dan belaian Abul Ash bin Rabi’ untuk membangun maligai
rumah tangga bersamanya. Ketika itu, sesungguhnya Abul Ash belum memeluk
Islam. Sementara itu, Allah belum mengharamkan pernikahan wanita
muslimah dengan laki-laki kafir.
Bahtera pun Mulai Berguncang
Waktu pun terus berlalu, cahaya Islam mulai merasuk di hati penduduk Mekkah.
Namun sungguh sayang, Abul ‘Ash bin Rabi’ masih enggan menerima
hidayah Islam yang telah dipeluk istri tercintanya itu. Ia masih belum
bisa meninggalkan agama nenek moyangnya yang telah mengakar kuat di
hatinya walaupun di sisi hatinya yang lain, ia masih sangat mencintai
Zainab dengan kecintaan yang murni.
Zainab, dengan segala keinginan yang kuat, berupaya merayu suaminya
agar menerima hidayah Islam. Ia berupaya sebaik mungkin menerangkan
agama yang dibawa ayahnya kepada suaminya itu dengan tenang dan penuh
pengharapan. Dipilihnya kata-kata yang halus dan wajah yang lembut untuk
menarik hati Abul Ash. Ia juga berusaha sekuat mungkin memilih untaian
lisan yang indah dan tutur kata yang santun untuk meluluhkan hati sang
suami tercinta.
Namun, tidaklah ada yang bisa membalik hati manusia selain pencipta
manusia itu sendiri, yaitu Allah. Zainab sangat bersedih karena
laki-laki yang dicintainya itu sama sekali tidak terketuk hatinya. Abul
Ash hanya diam, dan tidak menanggapi seruan istrinya dengan jawaban yang
memuaskan. Seolah-olah, suara hati sang istri tidaklah demikian penting
dan berarti dalam hidupnya.
Ketika permusuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum
muslimin dengan orang-orang kafir Quraisy semakin memuncak, orang-orang
kafir tersebut mendorong para laki-laki yang mempunyai istri mukminah
agar menceraikannya. Benarlah, dua belahan hati Nabi kita yang mulia,
Ruqayyah dan Ummu Kultsum telah dicerai suaminya, lalu diantarkan ke
rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Betapa bahagianya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima kembali kedua putrinya. Justru
kekhawatiranlah yang melanda bila keduanya masih hidup bersama laki-laki
musyrik.
Kaum kafir Quraisy sebenarnya juga mendorong Abul ‘Ash agar mencerai
Zainab. Salah satu di antara mereka mengatakan, “Hai Abul ‘Ash! Cerailah
istrimu! Kembalikan dia ke rumah bapaknya! Kami sanggup dan bersedia
mengawinkanmu dengan siapa saja yang engkau sukai dari segudang wanita
Quraisy yang cantik-cantik!”
Akan tetapi, ternyata cintanya terlanjur begitu dalam kepada Zainab.
Baginya, tidak ada wanita Arab yang mampu menandingi kekasih tercintanya
tersebut. Oleh karena itu, Abul ‘Ash menjawab seruan orang kafir tadi,
“Tidak! Aku tidak akan mencerainya. Aku tidak akan menggantinya dengan
wanita manapun di seluruh dunia ini.”
Pada dasarnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin
seandainya Abul ‘Ash mencerai Zainab. Namun, apa kuasa beliau? Saat itu,
Allah belum mengharamkan perkawinan wanita mukminah dengan pria
musyrik. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
berhak memaksa Abul ‘Ash untuk mencerai istrinya.
Ketika terjadi perang Badr, Abul ‘Ash ikut berada dalam barisan kaum
musyrikin. Apa boleh buat, sekiranya ia tidak berkenan memerangi
mertuanya, ia tinggal bersama musyrikin tersebut di Makkah. Itulah yang
memaksanya ikut dalam barisan musuh-musuh Allah.
Maka, perang pun terjadi dengan membawa hasil berupa kekalahan telak,
kehinaan, dan rasa malu yang menimpa kaum kafir Quraisy. Di antara
mereka, ada yang tewas terbunuh di tangan kaum muslimin. Ada yang
tertawan dan ada pula yang berhasil meloloskan diri. Adapun Abul ‘Ash,
ia termasuk kelompok yang tertawan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan uang tebusan yang
harus dibayar bagi setiap tawanan yang ingin bebas. Tebusan yang beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapkan, sebesar kedudukan dan kekayaan
tawanan tersebut di kaumnya, antara seribu hingga empat ribu dirham.
Maka, berdatanganlah para utusan dari Makkah dengan membawa uang untuk
menebus karib kerabat mereka yang tertawan.
Rasulullah pun Turut Bersedih
Zainab, belahan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang begitu
dalam cintanya kepada suaminya turut pula mengirim utusan untuk menebus
Abul ‘Ash bin Rabi’. Di antara uang tebusan itu, terdapat sebuah kalung
Zainab yang merupakan pemberian ibundanya, Khadijah binti Khuwailid,
sebagai hadiah di hari pernikahan Zainab dengan Abul ‘Ash.
Di sisi lain, kalung yang beliau lihat adalah kepunyaan putri yang
sangat beliau sayangi. Maka, hati mana yang tidak tersentuh, apalagi
dari seorang ayah kepada putri yang terpisah darinya? Oleh karena itu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para
shahabatnya,
«إِنْ رَأَيْتُمْ أَنْ تُطْلِقُوا لَهَا أَسِيرَهَا وَتَرُدُّوا عَلَيْهَا الَّذِي لَهَا»
“(Harta ini dikirimkan Zainab untuk menebus suaminya, Abul ‘Ash).
Sekiranya tuan-tuan setuju, saya harap tuan-tuan bebaskan tawanan itu
tanpa uang tebusan. Uang dan harta Zainab kirimkan kembali padanya.”
(HR. Al-Hakim no. 4306, hadits shahih menurut syarat imam Muslim)
Para shahabat Nabi yang mulia serta merta menyahut seruan beliau dengan berkata, “Baik ya Rasulullah! Kami setuju.”
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun akhirnya
membebaskan Abul ‘Ash ibn Rabi’ dengan memberi syarat agar ia segera
mengantarkan Zainab kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
setibanya di Makkah.
Benar, setibanya di Makkah, Abul ‘Ash segera memenuhi janji ayah
kekasih tercintanya itu. Ia memerintah Zainab agar segera mempersiapkan
diri untuk pergi ke Madinah. Abul ‘Ash pun turut menyiapkan perbekalan
dan kendaraan untuk kepergian istrinya tersebut. Ia lalu menyuruh
adiknya, Amru ibn Rabi’[1], untuk mengantar Zainab dan
menyerahkannya pada utusan Rasulullah yang sudah menunggu tidak jauh di
luar kota Makkah.
Amru ibn Rabi’ menyambut perintah kakaknya itu.
Serta merta ia menyandang busur dan membawa sekantong anak panah, lalu
dinaikkannya Zainab ke Haudaj. Mereka pergi ke luar Makkah di tengah
hari, di depan muka kaum Quraisy. Melihat hal itu, orang-orang Quraisy
marah, dan berupaya menyusul keduanya, lalu mengancam dan menakut-nakuti
Zainab. Mereka mendapati Amr dan Zainab di Dzi Thuwa. Salah satu dari
mereka yang pertama kali mampu menyusul keduanya adalah Habbar bin Aswad
bin Muthallib bin Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushayyi dan Nafi’ bin Abdul
Qais Az-Zuhri (ada yang mengatakan Nafi’ bin Abdi ‘Amr).
Habbar yang datang dengan menghunus pedang sangat menggetarkan
perasaan Zainab yang berada di sekedupnya. Saat itu, ia sedang hamil.
Gangguan dan ancaman Habbar membuatnya jatuh terpelanting dari
sekedupnya yang mengakibatkan kandungannya gugur. Ini merupakan musibah
berat yang dihadapi Zainab karena gangguan mereka membuat beliau sering
sakit-sakitan yang akhirnya menjadi sebab kematian beliau. Oleh karena
itu, sang ayah, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengatakan kepada para shahabatnya,
إِنْ لَقِيْتُمْ هَبَّارَ بنَ الأَسْوَدِ، وَنَافِعَ بنَ عَبْدِ عَمْرٍو، فَأَحْرِقُوْهُمَا
“Jika kamu sekalian bertemu Habbar bin Aswad dan Nafi’ bin Amr, bakarlah keduanya!
وَكَانَا نَخَسَا بِزَيْنَبَ بِنْتِ رَسُوْلِ اللهِ حِيْنَ خَرَجَتْ، فَلَمْ تَزَلْ ضَبِنَةً حَتَّى مَاتَتْ
Karena keduanya telah menyakiti Zainab, putri Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ia keluar ke Madinah hingga
akhirnya ia terus sakit-sakitan sampai meninggal dunia.” (HR.
Muhammad bin Utsman bin Syaibah dalam At-Tarikh, Ibnu Ishaq dalam
As-Sirah dan Ibnu Hisyam dalam As-Sirah, dengan sanad yang kuat) (Siyaru A’lam An-Nubala’, II/247)
Akan tetapi, ‘Amr ibn Rabi’, dengan panah yang telah ia siapkan,
berkata keras kepada orang-orang Quraisy tersebut, “Siapa mendekat, aku
panah batang lehernya!”
Suasana menjadi tegang. Perkataan ‘Amr bukanlah main-main karena suku
Quraisy telah mengenalnya sebagai pemanah ulung yang tidak pernah
meleset bidikannya. Di tengah-tengah suasana seperti itu, berkatalah Abu
Sufyan ibn Harb, “Wahai anak saudaraku, letakkan panahmu! Kami akan
bicara denganmu.”
‘Amr pun meletakkan panahnya.
Abu Sufyan berkata lagi, “Perbuatanmu ini tidak betul hai ‘Amr.
Engkau membawa Zainab keluar dengan terang-terangan di hadapan orang
banyak dan di depan mata kami. Orang ‘Arab seluruhnya tahu akan
kekalahan mereka di Badr dan musibah yang ditimpakan bapak Zainab kepada
kami. Bila engkau membawa Zainab ke luar secara terang-terangan begini,
berarti engkau menghina seluruh kabilah ini sebagai penakut, lemah, dan
tidak berdaya. Alangkah hinanya itu!!!
Oleh karena itu, bawalah Zainab kembali kepada suaminya untuk
beberapa hari. Setelah penduduk tahu kami telah berhasil mencegah
kepergiannya, engkau boleh membawanya diam-diam dan sembunyi-sembunyi.
Jangan di siang bolong seperti ini! Engkau boleh mengantarkannya kepada
bapaknya. Kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa untuk menahannya.”
‘Amr menyetujui saran Abu Sufyan. Dia mengantar Zainab kembali ke
rumahnya di Makkah. Selang beberapa hari kemudian, di tengah malam, ‘Amr
membawa Zainab ke luar kota dengan sembunyi-sembunyi lalu meyerahkannya
kepada utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tangan ke
tangan, sebagaimana pesan Abul ‘Ash.
Dalam Majma’ Zawaid disebutkan bahwa tatkala warga Makkah sudah
tenang dan tidak lagi membicarakan perihal Zainab, Amr keluar bersama
Zainab di waktu malam, lalu menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dan
temannya.
Akhirnya, Abul Ash pun berpisah dengan istrinya. Dalam masa
perpisahan ini, tiada satupun yang sangat Zainab harapkan selain hidayah
Islam merasuk kepada kekasih yang sangat ia cintai itu. Zainab
senantiasa memohon kepada Allah agar Abul Ash segera memeluk agama
Islam. Perpisahan ini demikian lama, berlangsung beberapa tahun hingga
menjelang Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah).
Awal Mula Pertemuan setelah Perpisahan yang Lama
Namun, Abul Ash masih beruntung karena ia berhasil lolos dari
sergapan patroli Madinah. Kemudian, dengan sembunyi-sembunyi ia menyusup
ke kota Madinah di kala hari telah gelap. Ia berhasil mendapati rumah
Zainab, lalu minta perlindungan kepadanya. Zainab pun memberi
perlindungan kepada Abul Ash.
Setelah itu, ketika Nabi hendak menunaikan shalat shubuh dan beliau
sudah sudah berdiri di mihrab, lalu takbir dan takbirnya diikuti para
shahabat, Zainab berteriak dengan sekuat-kuatnya dari tempat khusus
wanita,
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ أَجَرْتُ أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ
“Hai manusia! (Saya Zainab binti Muhammad). Abul Ash minta perlindungan kepada saya. Oleh karena itu, saya melindunginya.“
Setelah Nabi usai melakasanakan shalat, Nabi berkata kepada para shahabatnya,
«أَيُّهَا النَّاسُ هَلْ سَمِعْتُمْ مَا سَمِعْتُ؟»
“Apakah tuan-tuan mendengar suara Zainab?“
Para shahabat menjawab, “Kami mendengarnya wahai utusan Allah“
Nabi berkata lagi,
«أَمَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ مَا عَلِمْتُ بِشَيْءٍ كَانَ حَتَّى سَمِعْتُ مِنْهُ مَا سَمِعْتُمْ، إِنَّهُ يُجِيرُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَدْنَاهُمْ»
“Demi Allah Yang jiwaku dalam genggaman-Nya. Saya tidak tahu apa-apa
tentang hal ini, kecuali setelah mendengar teriakan Zainab.“
Kemudian, Nabi mendatangi rumah Zainab, kemudian berkata kepada putrinya tersebut,
«أَيْ بُنَيَّةُ، أَكْرِمِي مَثْوَاهُ، وَلَا يَخْلُصُ إِلَيْكِ فَإِنَّكَ لَا تَحَلِّينَ لَهُ»
“Hormatilah Abul ‘Ash! Akan tetapi, ketahuilah! Engkau tidak lagi halal baginya.“
Setelah itu, Nabi memanggil pasukan patroli Madinah yang telah
menyergap kafilah dagang Abul Ash, lalu beliau berkata kepada mereka,
«إِنَّ هَذَا الرَّجُلَ مِنَّا
حَيْثُ قَدْ عَلِمْتُمْ وَقَدْ أَصَبْتُمْ لَهُ مَالًا، فَإِنْ تُحْسِنُوا
تَرُدُّوا عَلَيْهِ الَّذِي لَهُ، فَإِنَّا نُحِبُّ ذَلِكَ، وَإِنْ أَبَيْتُمْ ذَلِكَ فَهُوَ فَيْءُ اللَّهِ الَّذِي أَفَاءَهُ عَلَيْكُمْ فَأَنْتُمْ أَحَقُّ بِهِ»
“Sebagaimana kalian ketahui, orang ini (Abul Ash) adalah famili kami.
Kalian telah merampas hartanya. Jika kalian ingin berbuat baik,
kembalikanlah hartanya. Itulah yang kami sukai. Akan tetapi, jika kalian
enggan mengembalikan, itu adalah hak kalian karena harta itu adalah
rampasan perang diberikan Allah kepada kalian. Kalian berhak
mengambilnya.“
Mendengar perkataan Nabi tersebut, para shahabat justru mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، بَلْ نَرُدَّهُ عَلَيْهِ
“Kami kembalikan wahai utusan Allah…”(HR. Al-Hakim no. 5038)
Mengetahui para shahabat nabi ingin mengembalikan hartanya, Abul Ash
mendatangi mereka untuk mengambil hartanya tersebut. Ketika Abul Ash
sampai di hadapan para shahabat Nabi, para shahabat berkata,
“Wahai Abul ‘Ash! Engkau adalah seorang bangsawan Quraisy. Engkau
anak paman ingakan serahkan harta ini semuanya kepadanu. Engkau akan
dapat menikmati harta penduduk Makkah yang Engkau bawa ini. Tinggallah
bersama kami di Madinah“
Kalau kita lihat sepintas, tawaran para shahabat ini demikian
menguntungkan Abul Ash. Namun, lihatlah betapa tinggi dan luhur pekerti
serta kemormatan Abul Ash dalam sikap Abul Ash berikut ini:
Abul Ash menolak tawaran para shahabat seraya berkata,
“Usul kalian sangat jelek dan tidak pantas. Aku harus membayar hutang-hutangku segera“
Lalu, Abu ‘Ash membawa kembali harta bendanya menuju Makkah.
Kemudian, begitu ia sampai di Makkah, ia segera membayarkan
hutang-hutangnya kepada setiap yang berhak menerimanya. Setelah itu, ia
bekata kepada penduduk Makkah,
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، هَلْ بَقِيَ لِأَحَدٍ مِنْكُمْ عِنْدِي مَالٌ لَمْ يَأْخُذْهُ؟
“Hai kaum Quraisy! Masih adakah yang belum menerima pembayaran dariku?“
Penduduk Makkah serta merta menjawab seruan itu,
لَا فَجَزَاكَ اللَّهَ خَيْرًا، فَقَدْ وَجَدْنَاكَ وَفِيًّا كَرِيمًا
“Tidak! Semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik. Kami telah menerima pembayaran darimu secukupnya.”
Abul ‘Ash lalu berkata,
فَإِنِّي أَشْهَدُ أَنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَمَا مَنَعَنِي مِنَ
الْإِسْلَامِ عِنْدَهُ إِلَّا تَخَوُّفًا أَنْ تَظُنُّوا أَنِّي إِنَّمَا
أَرَدْتُ أَخْذَ أَمْوَالِكُمْ، فَلَمَّا أَدَّاهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
إِلَيْكُمْ وَفَرَغْتُ مِنْهَا أَسْلَمْتُ
“Sekarang ketahuilah, aku telah aku telah membayar hak kamu
masing-masing secukupnya. Maka, kini dengarkan! Aku bersaksi bahwa tidak
ada sesembahan yang disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah. Demi Allah, tidak ada yang menghalangiku
untuk menyatakan Islam kepada Muhammad ketika aku berada di Madinah,
kecuali kekhawatiranku kalau kalian menyangka, aku masuk Islam karena
hendak memakan harta kalian. Kini, setelah Allah membayarnya kepada kamu
sekalian dan tanggung jawabku telah selesai, aku menyatakan masuk
Islam.” (HR. Al-Hakim no. 5038)
Setelah itu, Abul ‘Ash keluar dari Makkah untuk menemui Rasulullah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah pun menerima dan
menyambut kedatangannya, serta menyerahkan kembali istrinya, Zainab ke
dalam naungannya.
Di antara kemuliaan Abul Ash adalah apa yang disabdakan Nabi Muhammad berikut ini,
“Dia berbicara kepadaku, aku mempercayainya. Dia berjanji kepadaku, dia memenuhi janjinya.”
Namun, kebahagiaan Abul ‘Ash dalam merasakan kesejukan sang istri
tercinta setelah waktu perpisahan yang begitu panjang tidaklah
berlangsung lama. Ia dapati lagi perpisahan berikutnya yang tidak
mungkin lagi datang pertemuan berikutnya. Perpisahan itu ialah kepergian
Zainab meninggalkan dunia ini, tepatnya pada tahun 8 hijriah.
Catatan:
1. Artikel bersumber dari tulisan ustadz Abu Muhammad Al-Ashri dalam situs alashree.wordpress.com dengan
penambahan eks-teks Arab berupa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
salam, perkataan Zainab, Abul ‘Ash, sahabat Anshar dan kaum musyrik
Quraisy dari redaksi muslimahzone.com.
2. Zainab radhiyallahu ‘anha adalah putri sulung dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam dan Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu
‘anha. Suaminya, Abul ‘Ash bin Rabi’ adalah keponakan dari Khadijah
binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Ibunya Abul ‘Ash bin Rabi’ adalah
Halah binti Khuwailid, saudari perempuan dari Khadijah binti Khuwailid
radhiyallahu ‘anha.
3. Dari pernikahan Zainab radhiyallahu ‘anha dengan Abul ‘Ash bin
Rabi’ lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Ali dan seorang anak
perempuan yang diberi nama Umamah. Ali bin Abul ‘Ash bin Rabi’
meninggal saat masih kanak-kanak. Adapun Umamah binti Abul ‘Ash bin
Rabi’ adalah cucu yang sering digendong oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
salam saat mengimami di masjid nabawi. Umamah binti Abul ‘Ash bin Rabi’
dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu setelah
meninggalnya bibinya, Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salam.
4. Zainab radhiyallahu ‘anha diantarkan ke Madinah pasca perang Badar
tahun 2 H. Abul ‘Ash bin Rabi’ masuk Islam dan berhijrah ke Madinah
pada bulan Muharram tahun 7 H. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam
kemudian mengembalikan Zainab kepada Abul ‘Ash bin Rabi’ sesuai
pernikahan pertama mereka, tanpa mengadakan akad nikah baru dan mahar
baru. Jarak perpisahan tersebut adalah enam tahun.
Ulama tabi’in, Qatadah bin Da’amah As-Sadusi, berkata: “Kemudian
diturunkan surat Bara-ah (At-Taubah) setelah itu. Setelah turunnya surat
itu jika seorang wanita masuk Islam sementara suaminya belum masuk
Islam, maka suaminya tidak bisa kembali kepada istrinya kecuali dengan
lamaran baru (kemudian akad nikah baru dan mahar baru, pent). Keislaman
wanita itu menjadi talak bain (talak tiga, pent).” (Ath-Thabaqat Al-Kubra, 8/27)
5. Menurut sebagian ulama hadits dan sejarah, seperti imam Al-Hakim,
menyatakan bahwa saudara Abul ‘Ash bin Rabi’ yang mengantarkan Zainab
bernama Amru bin Rabi’. Sementara itu sebagian ulama hadits dan sejarah,
seperti Ibnu Sa’ad, menyatakan bahwa saudara Abul ‘Ash bin Rabi’ yang
mengantarkan Zainab bernama Kinanah bin Rabi’.
6. Zainab radhiyallahu ‘anha wafat pada awal tahun 8 H. Dengan
demikian rumah tangga Zainab dan Abul ‘Ash di Madinah berjalan kurang
lebih selama satu tahun.
Referensi:
Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam An-Nubala’, 2/246-250.
Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, 3/262 no. 5037 dan 5038.
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqat Al-Kubra, 8/25-29.
(zafaran/muslimahzone.com)
Posting Komentar untuk "Kisah Cinta Abul ‘Ash dengan Zainab Putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam"