Menganggap Kaum Muslimin Tidak Mampu Menegakkan Khilafah atau Kepemimpinan Tunggal, Kesalahan Logika Idrus Ramli, ke 4 dari 17



topeng_aswajaOleh : Ust. Abulwafa Romli
Idrus Ramli Berkata:
“Keempat, para ulama menyatakan bahwa wajibnya mengangkat seorang imam itu ketika umat Islam mapu melakukan dan mungkin dilaksanakan, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Haramain al-Juwaini dalamal-Ghiyatsi, dan telah kami kutip  dalam buku Hizbut Tahrir dalam Sorotan. Al-Imam al-Hafizh Abu Amr al-Dani al-Maliki al-Asy’ari, (371-444 H/981-1053 M), seorang pakar hadits dan qira’at dari Andalusia, berkata:

وإقامة الإمام مع القدرة والإمكان فرض على الأمة لا يسعهم جهله، والتخلف عنه، وإقامته إلى أهل الحل والعقد من الأمة دون النص من رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Mengangkat seorang imam ketika mampu dan memungkinkan dihukumi wajib bagi umat Islam, yang harus mereka ketahui dan tidak boleh ditinggalkan. Pengangkatan tersebut berdasarkan keputusan ahlul halli wal ‘aqdi dari umat, bukan berdasarkan nash dari Rasulullah SAW”. (al-Hafizh Abu Amr al-Dani, al-Risalah al-Wafiyah, (Dar Ibn al-Jauzi, Riyadh 1429 H), hal. 130, [edisi Muhamad bin Sa’id al-Qahthani]).

Kelima,ketika umat Islam tidak mampu mengangkat seorang pemimpin tunggal, karena struktur sosial dan politik umat Islam yang telah berubah dan tidak memungkinkan terangkatnya seorang pemimpin tunggal, seperti yang terjadi pada zaman sekarang, para ulama membenarkan terjadinya banyak kepemimpinan politik di setiap daerah yang memungkinkan. Imam al-Haramain al-Juwaini (419-478 H/1028-1085 M) berkata:

قال بعض العلماء: لو خلا الزمان عن السلطان فحق على قطان كل بلدة وسكان كل قرية أن يقدموا من ذوي الأحلام والنهى، وذوي العقول والحجا من يلتزمون امتثال إشاراته وأوامره، وينتهون عن مناهيه ومزاجره؛ فإنهم لو لم يفعلوا ذلك، ترددوا عند إلمام المهمات، وتبلدوا عند إظلال الواقعات.
“Sebagian ulama berkata: “Apabila suatu  masa mengalami kekosongan dari penguasa tunggal, maka penduduk setiap daerah dan setiap desa, harus mengangkat diantara orang-orang yang memiliki kecerdasan dan pemikiran, seseorang yang dapat mereka ikuti petunjuk dan perintahnya, dan mereka jauhi larangannya. Karena apabila mereka tidak melakukan hal tersebut, mereka akan ragu-ragu ketika menghadapi persoalan penting dan tidak mampu mengatasi persoalan yang sedang terjadi”. (Imam al-Haramain al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi Iltiyats al-Zhulam, (Maktabah Imam al-Haramain, Kairo, 1401 H), hal. 386-387, [edisi Abdul ‘Azhim al-Daib]).

Pernyataan diatas memberikan penjelasan tidak wajibnya memperjuangkan imamah (kepemimpinan tunggal), ketika situasi tidak memungkinkan dan umat Islam terpecah belah menjadi banyak negara yang berdaulat seperti dewasa ini. Hanya saja kajian fikih agak mendetil seperti ini kurang dipahami oleh kalangan DPP HTI, karena tersembunyi di balik sekian banyak statemen dan pandangan ekstrem dan radikal Syaikh al-Nabhnai, pendiri Hizbut Tahrir dalam kitab-kitabnya. La haula wala quwwata illa billah. (Jurus Ampuh Membungkam HTI, hal. 4-7).

SANGGAHAN:

Pertama, terkait pernyataan Imam al-Haramain,

قال بعض العلماء: لو خلا الزمان عن السلطان فحق على قطان كل بلدة وسكان كل قرية أن يقدموا من ذوي الأحلام والنهى، وذوي العقول والحجا من يلتزمون امتثال إشاراته وأوامره، وينتهون عن مناهيه ومزاجره؛ فإنهم لو لم يفعلوا ذلك، ترددوا عند إلمام المهمات، وتبلدوا عند إظلال الواقعات.
“Sebagian ulama berkata: “Apabila suatu  masa mengalami kekosongan dari penguasa tunggal, maka penduduk setiap daerah dan setiap desa, harus mengangkat diantara orang-orang yang memiliki kecerdasan dan pemikiran, seseorang yang dapat mereka ikuti petunjuk dan perintahnya, dan mereka jauhi larangannya. Karena apabila mereka tidak melakukan hal tersebut, mereka akan ragu-ragu ketika menghadapi persoalan penting dan tidak mampu mengatasi persoalan yang sedang terjadi”.

Pada pernyataan tersebut tidak tersurat dan tersirat sedikitpun bahwa memperjuangkan tegaknya kepemimpinan tunggal itu tidak wajib, tetapi hanya menganjurkan kaum muslim agar mengangkat dan mengikuti ulama yang cerdas dan berpikir cemerlang, yaitu ulul albab, ulama shalihin, ulama akhirat, yang berjuang di jalan Allah SWT. Dan ulama dengan kriteria tersebut pasti akan mengajak pengikutnya untuk berjuang menegakkan khilafah dan mengangkat serta membai’at seorang khalifah. Karena kalau tidak demikian, maka hilanglah kriterianya sebagai ulama ulul albab, ulama shalihin, ulama akhirat, yang berjuang di jalan Allah SWT. Bukan ulama salathin, ulama suu’, ulama yang pro kepada pemerintah yang tidak menerapkan sistem Islam dalam pemerintahannya, dimana mereka menjadi duri yang berserakan di jalan dakwah menuju tegaknya khilafah dan terangkat serta terbai’atnya seorang khalifah. Sekarang bandingkan dengan pernyataan Imam Nawawi berikut:

… واتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد سواء اتسعت دار الإسلام أم لا وقال إمام الحرمين في كتابه الإرشاد قال أصحابنا لا يجوز عقدها شخصين قال وعندي أنه لا يجوز عقدها لإثنين في صقع واحد وهذا مجمع عليه قال فإن بعد ما بين الإمامين وتخللت بينهما شسوع فللاحتمال فيه مجال قال وهو خارج من القواطع وحكى المازري هذا القول عن بعض المتأخرين من أهل الأصل وأراد به إمام الحرمين وهو قول فاسد مخالف لما عليه السلف والخلف ولظواهر إطلاق الأحاديث والله أعلم.  {شرح النووي على مسلم ، (12 / 232)}.
“Dan ulama telah sepakat bahwasanya tidak boleh mengangkat dua khalifah dalam satu masa, sama saja negara Islam itu luas atau tidak. Imam Haramain dalam kitab al-Irsyad-nya berkata: “Ashhab kami berkata: “Tidak boleh mengangkat dua orang menjadi khalifah”. Imam Haramain berkata: “Menurut saya itu tidak boleh dalam satu tempat mengangkat dua orang menjadi khalifah, dan ini kesepakatan ulama (ijmak)”. Imam Haramian berkata: “Apabila tempat di antara dua imam itu saling berjauhan, maka di situlah adanya kemungkinan (bolehnya mengangkat dua imam)”. Imam Haramain berkata: “Masalah itu keluar dari masalah-masalah yang pasti”. Al-Mazuri menceritakan pernyataan itu dari sebagian ulama mutaakhirin dari ahli ushul, dan yang dikehendakinya adalah Imam Haramain. Pernyataan itu adalah fasid (rusak) dan menyalahi kesepakatan ulama salaf dan khalaf, dan menyalahi lahir teks sejumlah hadits. Wallohu A’lam.(Syarah al-Nawawi ala Muslim, juz 12, hal. 232, Maktabah Syamilah). 

Jadi pernyataan Imam Haramaian di atas adalah pernyataan yang rusak dan menyalahi kesepakatan ulama salaf dan khalaf, juga menyalahi lahir teks sejumlah hadis yang melarang kaum muslim memiliki dua orang khalifah dalam satu masa.

Kedua, terkait pernyataan Al-Imam al-Hafizh Abu Amr al-Dani al-Maliki al-Asy’ari:

وإقامة الإمام مع القدرة والإمكان فرض على الأمة لا يسعهم جهله، والتخلف عنه، وإقامته إلى أهل الحل والعقد من الأمة دون النص من رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Mengangkat seorang imam ketika mampu dan memungkinkan dihukumi wajib bagi umat Islam, yang harus mereka ketahui dan tidak boleh ditinggalkan. Pengangkatan tersebut berdasarkan keputusan ahlul halli wal ‘aqdi dari umat, bukan berdasarkan nash dari Rasulullah SAW”.

Pada pernyataan itu juga tidak tersurat dan tersirat sedikitpun larangan memperjuangkan tegaknya kepemimpinan tunggal, karena pernyataan itu berarti, 1) mengangkat imam a’zham ketika mampu dan mungkin adalah fardhu, dan 2) pengangkatan imam itu diserahkan kepada ahlul halli wal ‘aqdi, bukan ditentukan oleh Rasulullah SAW. Artinya siapa yang menjadi imamnya itu diserahkan dan dipilih oleh ahlul halli wal ‘aqdi, karena Rasulullah SAW tidak menentukan siapa yang harus menjadi imam.
Sedang terkait mampu dan tidaknya kaum muslim mengangkat imam tunggal, dan mungkin atau tidaknya, sudah saya jawab dalam buku Membongkar Pemikiran Aswaja Topeng bantahan atas buku Hizbut Tahrir dalam Sorotan. Sebagai berikut:

“Di atas Idrus Ramli telah buruk sangka terhadap tiga pihak; kepada Allah, kepada Hizbut Tahrir dan kepada kaum muslim. Buruk sangka kepada Allah, karena Idrus Ramli telah berasumsi bahwa khilafah itu tidak mungkin dapat ditegakkan, artinya hukum-hukum Allah tidak dapat diterapkan, karena kaum muslim tidak mampu menegakkannya. Asumsi ini keliru, karena Allah tidak akan membebani kaum muslim dengan sesuatu yang diluar kemampuannya. Artinya kalau Allah menyuruh kaum muslim untuk menerapkan hukum-hukum-Nya melalui penegakkan khilafah, berarti Allah telah mengerti bahwa kaum muslim mampu malaksanakannya. Maka persoalannya kaum muslim mau apa tidak untuk melaksanakannya, bukan mampu atau tidaknya; Buruk sangka kepada Hizbut Tahrir, karena sama halnya dengan menuduh bahwa Hizbut Tahrir telah mengajak kaum muslim untuk melaksanakan sesuatu yang berada di luar kemampuannya; Dan buruk sangka kepada kaum muslim yang di dalamnya ada Hizbut Tahrir, karena menuduh bahwa kaum muslim tidak mampu untuk menerapkan syariat Islam secara total melalui penegakkan khilafah.

Sesungguhnya penegakkan kembali daulah khilafah adalah perkara yang mudah bagi kaum muslim. Sedang yang sulit adalah mengajak kaum muslim agar mau menegakkan khilafah. Seandainya mereka semua atau setengahnya saja mau bergerak bersama-sama untuk menegakkan khilafah, maka tidak perlu memakan waktu bertahun-tahun, tetapi dalam hitungan bulan, bahkan dalam hitungan minggu saja khilafah akan segera berdiri. Bahkan saya berasumsi bahwa ketika Hizbut Tahrir telah memiliki anggota sebesar warga Muhammadiyyah atau NU, insya Allah khilafah bisa tegak di Nusantara ini. Jadi masalah kenapa khilafah sampai saat ini belum bisa berdiri adalah karena kaum muslim belum mau diajak mendirikannya, bukan karena mereka tidak mampu mendirikannya. Sedangkan kenapa kaum muslim belum mau diajak mendirikan khilafah, maka karena beberapa paktor yang di antaranya adalah karena orang-orang seperti Idrus Ramli masih terus bergerilya untuk melakukan penggembosan terhadap para pejuang khilafah. Juga sebagai bukti bahwa kaum muslim masih belum mau diajak mendirikan khilafah adalah fakta dakwah Hizbut Tahrir yang kesulitan mengajak mereka berbaris dan bergerak bersama-sama untuk mendirikan khilafah, bahkan mayoritas mereka menolak dan melakukan penggembosan dengan berbagai cara yang tidak dibenarkan oleh agama terhadap dakwah itu.

Maka dengan realita kaum muslim yang seperti itu, tidaklah ekstrem dan berlebihan kalau Syaikh Taqiyyuddin menyatakan:

والقعود عن إقامة خليفة للمسلمين معصية من أكبر المعاصي، لأنها قعود عن القيام بفرض من أهم فروض الإسلام، ويتوقف عليه إقامة أحكام الدين، بل يتوقف عليه وجود الإسلام في معترك الحياة. {الشخصية الإسلامية، 2/12}.
“Berpangku tangan dari usaha mendirikan seorang khalifah bagi kaum muslim adalah termasuk maksiat diantara maksiat-maksiat yang paling besar, karena hal tersebut berarti berpangku tangan dari melaksanakan kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Islam yang paling penting dan tergantung padanya penegakkan hukum-hukum agama, bahkan wujudnya Islam dalam kancah kehidupan (bermasyarakat dan bernegara) tergantung pada kewajiban itu”. Dan dalam bagian lain beliau menyatakan:

وإقامة خليفة فرضٌ على كافة المسلمين في جميع أقطار العالم. والقيام به -كالقيام بأي فرض من الفروض التي فرضها الله على المسلمين- هو أمر محتّم لا تخيير فيه ولا هوادة في شأنه، والتقصير في القيام به معصية من أكبر المعاصي يعذِّب الله عليها أشد العذاب. {الشخصية الإسلامية، 1 / 6}.
“Menegakkan khalifah adalah fardhu atas semua kaum muslim di semua penjuru dunia. Melaksanakan fardhu itu –seperti halnya melaksanakan  fardhu yang lain di antara fardhu-fardhu yang telah difardhukan oleh Allah- adalah perkara yang telah dipastikan yang tidak ada pilihan padanya,  dan pula tidak ada santai-santai pada urusannya. Sedangkan kelalaian dalam melaksanakannya adalah maksiat di antatara maksiat-maksiat yang paling besar di mana Allah akan menyiksa terhadapnya dengan siksaan yang amat berat”.

Pernyataan Syaikh Taqiyyuddin tersebu sesuai dengan bobot dan karakter fardhu kifayahnya. Dan pernyataan itu juga pernyataan yang bersifat umum (ta’mim) yang dibolehkan, tidak bersifat khusus (takhshish) yang dilarang, yaitu dengan menunjuk langsung batang hidung seseorang. Dan terkait ta’mim dan takhshish, saya telah menjelaskannya dalam buku “Ketika Virus Liberal Menggerogoti Pondok Pesantren”, yaitu pada bantahan terkait takfir (pengkafiran), maka di sini tidak perlu mengulanginya.

Juga terkait bahwa menegakan khilafah adalah kewajiban terbesar, al-Ustadz Dr. Shalah al-Shawi dalam kitabnya, al-Wajiz fi Fiqh al-Imamah al-‘Uzhmaa, menyatakan:

الإمامة عند أهل السنة واجب من أعظم واجبات الدين، وفريضة من أعظم و آكد فرائضه، بل لا قيام للدين إلا بها، لأن ما قصده الشارع فيما شرع من المعاملات والمناكحات والجهاد والحدود والمقاصّات وإظهار شرائع الشرع في الأعياد والجماعات، لا يتم إلا بإمام يكون من قبل الشارع يرجعون إليه فيما يعنّ لهم، فنصب الإمام إذن من أتم مصالح المسلمين وأعظم مقاصد الدين .
“Imamah miturut Ahlussunnah adalah wajib diantara kewajiban agama terbesar, dan fardhu diantara kefardhuan agama terbesar dan terkuat, bahkan agama tidak bisa tegak tanpa imamah. Karena tujuan al-Syari’ (Allah Pemilik syariah / Nabi SAW pembawa syariah) terkait syariat muamalah, munakahah, jihad, hudud, qishas dan menampakkan syiar-syiar agama dalam hari-hari raya dan jama’ah-jama’ah, semuanya tidak bisa terlaksana dengan sempurna, kecuali dengan imam yang diangkat melalui perintah al-Syari’ dan yang menjadi rujukan kaum muslim terkait urusan mereka. Dengan demikian, mengangkat imam itu termasuk kepentingan kaum muslim yang paling sempurna dan tujuan agama yang terbesar (1)”(2)

(1) (Ibnu Taimiyah berkata: “Wajib diketahui, bahwa imamah itu termasuk kewajiban agama terbesar, bahkan agama tidak bisa tegak tanpa imamah. Karena kemaslahatan manusia itu tidak bisa sempurna tanpa adanya persatuan diantara mereka, dan persatuan itu membutuhkan pemimpin. Sampai-sampai Nabi SAW bersabda: “Apabila tiga orang bepergian, hendaklah mereka mengangkat salah satunya menjadi pemimpin”. (HR Abu Daud dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah)… Nabi SAW telah mewajibkan mengangkat seorang pemimpin dalam persatuan kecil di perjalanan, sebagai peringatan atas semua macam persatuan”. (Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah, hal. 161).
(2) (al-Ustadz Dr. Shalah al-Shawi dalam kitabnya, al-Wajiz fi Fiqh al-Imamah al-‘Uzhmaa, juz 1, hal. 10, Maktabah Syamilah.

Dan al-Ustadz Dr. Shalah al-Shawi dalam kitabnya, al-Wajiz fi Fiqh al-Imamah al-‘Uzhmaa, menyatakan:

اتفق أهل السنة وغيرهم من سائر الفرق الإسلامية على وجوب الإمامة (1) ، ولم يخالف في ذلك إلا شذاذ من الناس، لا يخرق بمثلهم إجماع كالنجدات من الخوارج، وأبي بكر الأصم (2) والغوطي من المعتزلة (3).
“Ahlussunah dan semua firqah Islam telah sepakat atas wajibnya imamah,(1) dan tidak ada yang menyalahi kesepakatan tersebut kecuali segelintir manusia yang tidak dapat merobek ijmak, seperti sekte Najdah dari Khawarij, Abu Bakar al-Asham (2) dan al-Ghuthi dari Muktazilah (3) ”. (4)

(1) Ibnu Hazem berkata: “Semua Ahlussunnah, semua Syi’ah dan semua Khawarij telah sepakat atas wajibnya imamah, dan bahwa umat wajib tunduk kepada imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah, dan yang memimpin mereka dengan hukum-hukum syariah yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Hanya saja sekte Najdah dari Khawarij berkata, “Kefardhuan imamah itu tidak wajib atas manusia, sedang yang wajib atas mereka hanyalah melaksanakan hak diantara mereka”. (al-Fashl, juz 4, hal. 87).
(2) Ia adalah Abu Bakar Abdurrahman bin Kisan bin al-Asham termasuk pembesar Muktazilah generasi keenam. Sebagian peneliti meriwayatkan bahwa al-Asham itu termasuk orang yang mengatakan kewajiban khilafah, karena ia menggantungkan tidak butuhnya manusia dari imam ketika hilangnya kezaliman diantara mereka, sedang hilangnya kezaliman diantara manusia biasanya adalah muhal (tidak mungkin terjadi), maka sesuatu yang digantungkan kepada muhal adalah muhal”.( Dr Muhammad Raafat Utsman, Riyasah al-Daulah, hal. 64).
(3) Ia adalah Hisyam bin Umar al-Ghuthi al-Syaibani dari penduduk Bashrah, dan kepadanya firqah Hasyimiyah dari Muktazilah dihubungkan. (al-Farqu baina al-Firoq, hal. 159). Madzhabnya tentang imamah adalah wajibnya mengangkat imam ketika aman, dan tidak wajib mengangkat imam ketika munculnya fitnah. Sepertinya ia berkehendak membatalkan keimaman Ali ra, karena terjadi ketika berkecamuknya fitnah dan setelah pembunuhan Utsman ra. (al-Baghdadi, Ushul al-Diin, hal. 272). Jadi madzhab Hisyam bin Umar al-Ghuthi al-Syaibani dari penduduk Bashrah yang Muktazilah itu sama dengan madzhab Idrus Ramli.
(4) al-Ustadz Dr. Shalah al-Shawi, al-Wajiz fi Fiqh al-Imamah al-‘Uzhmaa, juz 1, hal. 13, Maktabah Syamilah.

Bahkan Imam al-Ghazali rh berkata:
إن الدين والأمن على الأنفس والأموال لا ينتظم إلا بسلطان مطاع، فتشهد له مشاهدة أوقات الفتن بموت السلاطين والأئمة، ولأن ذلك لو دام ولم يتدارك بنصب سلطان آخر مطاع دام الهرج، وعم السيف وشمل القحط، وهلكت المواشي وعطلت الصناعات، وكان كل من غلب سلب، ولم يتفرغ أحد للعبادة والعلم إن بقي حيّا، و الأكثرون يهلكون تحت ظلال السيوف، لهذا قيل: (( الدين أُس، والسلطان حارس، وما لا أس له فمهدوم، وما لا حارس له فضائع)).
 “Sesungguhnya agama dan keamanan atas jiwa dan harta itu tidak bisa terjamin tanpa seorang sultan (julukan bagi khalifah atau bawahan khalifah) yang ditaati. Hal itu dapat disaksikan dengan banyaknya fitnah ketika wafatnya para sultan dan para imam. Oleh karena itu, selagi belum diangkatnya seorang sultan yang ditaati, maka terjadi kekacauan, banyak pembunuhan, peceklik merata, binatang ternak rusak, dan pekerjaan sulit didapat, setiap pemenang merampas, setiap orang tidak dapat pokus ibadah dan menuntut ilmu meskipun ia bisa bertahan hidup, dan kebanyakan mereka bergelimpangan di bawah tajamnya pedang (kalau sekarang kaum muslim disejumlah negara dibantai oleh Amerika dan sekutunya). Oleh karenanya, dikatakan: “Agama adalah asas, sedang sultan adalah penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki asas akan runtuh, dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan hilang”. (Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hal. 99).

Dan al-Ghazali meneruskan:
فبان أن السلطان ضروري في نظام الدين ونظام الدنيا، ونظام الدنيا ضروري في نظام الدين، ونظام الدين ضروري في الفوز بسعادة الآخرة، وهو مقصود الأنبياء قطعًا، فكان وجوب الإمام من ضروريات الشرع الذي لا سبيل إلى تركه، فاعلم ذلك.
“Maka jelas, bahwa sultan itu sangat dibutuhkan dalam sistem agama dan sistem dunia. Sistem dunia sangat dibutuhkan dalam sistem agama. Sistem agama sangat dibutuhkan dalam meraih kebahagiaan akhirat. Dan sistem agama adalah tujuan semua nabi. Oleh karenanya, kewajiban mengangkat imam adalah termasuk perkara yang sangat dibutuhkan agama dimana tidak ada jalan untuk meninggalkannya, maka ketahuilah itu!”. (Ibid, hal. 99).

Sedang perkataan Idrus Ramli, “Pernyataan diatas memberikan penjelasan tidak wajibnya memperjuangkan imamah (kepemimpinan tunggal), ketika situasi tidak memungkinkan dan umat Islam terpecah belah menjadi banyak negara yang berdaulat seperti dewasa ini…”, adalah indikasi bahwa Idrus Ramli mengadopsi paham al-Ghuthi dari Muktazilah, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Shalah al-Shawi dalam catatan kaki kitab al-Wajiz-nya:

اتفق أهل السنة وغيرهم من سائر الفرق الإسلامية على وجوب الإمامة  ولم يخالف في ذلك إلا شذاذ من الناس، لا يخرق بمثلهم إجماع كالنجدات من الخوارج، وأبي بكر الأصم  والغوطي من المعتزلة (3).

(3) هو هشام بن عمر الغوطي الشيباني من أهل البصرة ، وإليه تنسب فرقة الهاشمية من المعتزلة (راجع: الفرق بين الفرق، ص159). ومذهبه في الإمامة وجوب نصب الإمام عند الأمن ، وعدم وجوبه عند ظهور الفتن ، وكأنه يريد بهذا إبطال إمامة علي كرم الله وجهه لكونها انعقدت في حال اشتعال الفتنة وعقب مقتل عثمان رضي الله عنه ( راجع : أصول الدين للبغدادي ص 272). * الوجيز في فقه الإمامة العظمى *  – (1 / 13)

“Ahlussunah dan semua firqah Islam telah sepakat atas wajibnya imamah, dan tidak ada yang menyalahi kesepakatan tersebut kecuali segelintir manusia yang tidak dapat merobek ijmak, seperti sekte Najdah dari Khawarij, Abu Bakar al-Asham dan al-Ghuthi dari Muktazilah (3) ”.

(3) “Ia adalah Hisyam bin Umar al-Ghuthi al-Syaibani dari penduduk Bashrah, dan kepadanya firqah Hasyimiyah dari Muktzilah dihubungkan. [al-Farqu baina al-Firoq, hal. 159]. Madzhabnya tentang imamah adalah wajibnya mengangkat imam ketika aman, dan tidak wajib mengangkat imam ketika munculnya fitnah. Sepertinya ia berkehendak membatalkan keimaman Ali ra, karena terjadi ketika berkecamuknya fitnah dan setelah pembunuhan Utsman ra. [al-Baghdadi, Ushul al-Diin, hal. 272]”.  (al-Ustadz Dr. Shalah al-Shawi, al-Wajiz fi Fiqh al-Imamah al-‘Uzhmaa, juz 1, hal. 13).

Faktanya juga, bahwa berdirinya banyak negara berdaulat di negeri-negeri Islam, adalah fitnah terbesar atas dakwah penegakkan khilafah atau imamah tunggal. Kajian fikih khilafah seperti inilah yang tidak dipahami oleh Idrus Ramli dan teman-temannya dari kelompok Aswaja kontra khilafah sebagai doktrin politik Aswaja.
Wahai saudara-saudaraku seiman
[syariahpublication/www.bringislam.web.id]

Posting Komentar untuk "Menganggap Kaum Muslimin Tidak Mampu Menegakkan Khilafah atau Kepemimpinan Tunggal, Kesalahan Logika Idrus Ramli, ke 4 dari 17"