Krisis Air Buah Kapitalisasi Pelayanan Air Bersih (Catatan Terkait Hari Air Sedunia 2013 )

Oleh: Rofiah Susrini
Masyarakat dunia kembali memperingati Hari Air Sedunia. Hari Air Sedunia yang ditetapkan setiap tahun pada tanggal 22 Maret diangkat sebagai sarana untuk memusatkan perhatian pada pentingnya air bersih dan advokasi untuk pengelolaan berkelanjutan sumber daya air tawar. Hari internasional untuk memperingati air bersih ini direkomendasikan pertama kali pada Konferensi PBB pada Tahun 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED). Majelis Umum PBB merespon dengan menetapkan tanggal 22 Maret 1993 sebagai Hari Air Dunia pertama. Setiap tahun, Hari Air Sedunia menyoroti aspek tertentu dari air bersih dan peringatan  Hari Air Sedunia pada Tahun 2013 ini mengangkat tema International Year of Water Cooperation atau Tahun Internasional Kerja Sama Air (Kompasiana,23/03/2013).
Peringatan Hari Air sedunia tak lepas dari kondisi ketersediaan dan pengelolaan air bersih yang semakin memprihatinkan. Bertepatan dengan Hari Air Dunia yang jatuh hari ini, kondisi memprihatinkan masih dirasakan warga Dusun/Desa Alasombo, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Untuk merasakan kesegaran seteguk air minum di musim kemarau, mereka terpaksa berjalan kaki sejauh 1,5 kilometer menuju sumber air (OKEZONE, 22/03/2013). Sementara itu Pakar hidrologi dari Universitas Indonesia Firdaus Ali mengatakan Jakarta sudah mengalami krisis air bersih sejak 18 tahun yang lalu, dan saat ini kondisinya semakin parah. Jakarta memerlukan sekitar 26.938 liter air per detik, namun yang tersedia hanya 17.700 liter air per detik. Hal ini dirasakan langsung oleh warga Kelurahan Kapuk Muara, Jakarta Utara. Sudah tiga tahun ini warga disana mengalami krisis air bersih. Pasokan air dari PDAM sudah lama tidak mengalir. Mereka mengandalkan pasokan air dari penjual air gerobak keliling. Warga membeli satu jerigen yang berisi 20 liter air bersih seharga tiga ribu rupiah. Dan meski air tidak mengalir selama tiga tahun, warga tetap membayar iuran air kepada PT PAM Lyoinnaise Jaya (PT PALYJA) karena khawatir saluran air mereka akan diputus jika tidak membayar (Republika,29/03/2013).
Di Bali, sejak sumber airnya dikuasai oleh PDAM Gianyar, lahan pertanian ratusan petani di Desa Kendran, Gianyar, tidak teraliri. Subak yang dibangun selama puluhan tahun, akhirnya kering kerontang dan lahan pertanian banyak yang beralih fungsi menjadi lahan tegalan (kebun). Beberapa di antaranya bahkan beralih fungsi menjadi villa (Tempo.co, 23/03/2012)Di Nganjuk,warga terpaksa naik gunung guna mencari sumber air bersih. Mereka terpaksa mencari air dan berjalan sampai 15 kilometer ke puncak gunung guna mendapatkan air bersih (16/07/2012).Bahkan kekeringan juga menimpa warga di wilayah yang berdekatan dengan wilayah yang kaya sumber mata air, seperti yang dialami ratusan warga Gunung Salak, yang harus antre hanya untuk memperoleh satu-dua ember air (Okezone.com, 12/09/2011)
Melihat fakta di atas maka tak heran ketika pelayanan ketersediaan air bersih dan layak konsumsi di Indonesia tercatat paling buruk di ASEAN (Antara News, 4/05/2012). Hal itu ditandai dengan pencapaian layanan ketersediaan air bersih baru di bawah 30 persen di kawasan perkotaan dan justru 10 persen di tingkat pedesaan.Hal ini sungguh ironi karena Indonesia tercatat sebagai negeri yang memiliki 6% sumber air dunia, atau sekitar 21% total sumber air di wilayah Asia-Pasifikdengan curah hujan tahunan rata-rata 2700 mm. Fakta tersebut menunjukkan ketidakberesan pengelolaan air bersih di negeri ini.
“Water Cooperation” atau “Water Corporation”?
Setiap tahunnya PBB menentukan tema peringatan Air Sedunia yang berbeda-beda, sesuai dengan fokus kerja yang direncanakan. Tahun ini dicanangkan tema “Water Cooperation”. Dalam penjelasannya, tema “Water Cooperation” ditujukan untuk meningkatkan kesadaran bekerja sama dalam menghadapi tantangan dalam pengelolaan air berupa peningkatan akses, alokasi serta pelayanan atas air. Tema ini sesuai dengan kondisi kebijakan yang diterapkan di Indonesia saat ini, dimana pemenuhan hak atas air dan sanitasi masyarakat terabaikan akibat ‘kerjasama’ berupa campur tangan pihak swasta/asing.
Buruknya pelayanan air bersih di negeri ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang liberal dan kapitalistik. Hak masyarakat terkait akses terhadap air bersih dihambat seiring dilepaskannya pengelolaan sumber daya air oleh negara kepada pihak swasta. Lahirnya kebijakan ini tak lepas dari munculnya perubahan paradigma terhadap air yang digagas oleh pihak barat dalam rangka mengusai sumber-sumber air di negara-negara dunia ketiga. Dalam konferensi air dan lingkungan internasional yang diselenggarakan tahun 1992 di Dublin Irlandia, dicetuskan The Dublin Statement on Water and Sustainable Development (yang lebih dikenal dengan Dublin Principles) dimana Indonesia juga turut meratifikasinya. Salah satu dari prinsip dalam Dublin Principles itu adalah “water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an economic good”. Prinsip ini telah mengubah paradigma terhadap air yang sebelumnya dianggap sebagai barang sosial menjadi barang ekonomi. Paradigma yang salah ini menjelma menjadi serangkaian kebijakan dan program kerja yang sangat kapitalistik berupa privatisasi air, seiring dengan adanya tekanan dari Bank Dunia, sebagai konsekuensi atas tindakan pemerintah Indonesia yang mengandalkan sumber dana bagi pembangunan sumber daya air pada lembaga keuangan internasional.  Selain terhadap Indonesia, Bank Dunia juga  sukses “memaksa” sepertiga dari 276 Negara melakukan privatisasi air sebagai syarat persetujuan hutang baru.
Akibatnya pengelolaan air bersih di negeri ini yang seharusnya dikuasai oleh negara diserahkan kepada pihak swasta untuk tujuan komersial. Tak heran jika harga air bersih perpipaan menjadi sangat mahal. Sebagai contoh di Jakarta, sejak tahun 1998 PAM JAYA telah menyerahkan operasional penuhnya kepada 2 pihak swasta yaitu PT. Palyja dan PT. Aertra Air. Hasilnya, meski telah diprivatisasi oleh kedua pihak swasta selama 13 tahun namun pengelolaan air tidak memberikan perbaikan yang berarti. Sebaliknya fakta sekarang menunjukkan bahwa harga air di Jakarta adalah harga termahal di ASEAN dengan kisaran harga rata-rata Rp. 7800/m3. Kedua operator swasta  gagal memenuhi harapan, untuk memberikan perbaikan layanan kepada masyarakat. Target-target teknis yang telah disepakati gagal dipenuhi oleh dua operator swasta. layanan yang tertuang di kontrak kerjasama tidak berhasil dipenuhi, antara lain volume air yang terjual, kebocoran air dan cakupan layanan.Belum lagi kerugian perusahaan yang muncul akibat hutang shortfall (hutang akibat selisih antara imbalan yang diberikan kepada dua operator swasta dengan tarif) yang mencapai Rp 583,67 milyar (Hamung Santono, Layanan Air Bersih Jakarta; Tersesat Dalam Jebakan Privatisasi, www.kruha.com . 27/10/2011).
Gambaran di atas juga terjadi di daerah-daerah lainnya seperti PDAM Batam kepada Cascal DV (Inggris), PDAM Kabupaten Tangerang kepada PT Tirta Cisadane, PDAM Sidoarjo kepada Asian Utilities Pte Ltd (Singapura) dsb. Dan dampaknya, tidak berbeda. Masyarakat tetap kesulitan mendapatkan air bersih, dilihat pada 2009 akses masyarakat terhadap air bersih baru mencapai 38% dan dari sisi tata kelola, merujuk hasil audit BPKP, dari 275 jumlah PDAM, hanya 103 (37,45 persen) PDAM yang sehat.Kendati hampir seluruh PDAM menerapkan pola pengelolaan air secara komersial, namun akibat manajemen yang buruk dan korup, PDAM mengaku terus merugi. .Bahkan sejak tahun 2001 beberapa PDAM mulai menghentikan pengembangan saluran pipa ke sejumlah daerah yang sebenarnya sangat membutuhkan layanan air bersih.  Pada akhirnya UU SDA semakin melanggengkan dan memperbesar permasalahan krisis air yang ada, dan negara telah gagal melindungi hak dasar rakyat (Launa. Hak Rakyat atas Air (Catatan Hari Air Sedunia). www.kabarindonesia.com 22/03/2011)
Pada tahun 2004, pemerintah mengesahkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA), yang merupakan salah satu hasil dari reformasi kebijakan sumberdaya air di Indonesia. Dengan adanya UU ini, keterlibatan swasta di sektor air semakin dipertegas. UU SDA ini tak hanya memberi peluang bagi hadirnya privatisasi sektor penyediaan air minum dan penguasaan sumber-sumber air (baik air tanah, air permukaan, maupun air sungai) secara komersial oleh badan usaha dan individu, namun juga penguasaan asing atas sumber daya strategis ini yang seharusnya berada di bawah pengelolaan negara.
Salah satu imbasnya adalah perizinan mendirikan perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang relatif mudah, akhirnya mendorong berdirinya ratusan perusahaan air minum dalam kemasan di negeri ini. Eksploitasi air oleh perusahaan AMDK menimbulkan bahaya yang sangat mengerikan dan mengancam kehidupan masyarakat negeri ini. Hal ini karena perusahaan air minum dalam kemasan melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber air bersih yang dimiliki masyarakat. Perusahaan air minum dalam kemasan berlomba-lomba mengeksploitasi sumber-sumber air yang masih tersisa, menghancurkan mata air pegunungan (akibat pengeboran kantong aquifier di bawahnya).  Hasilnya, sumur, sawah dan sumber-sumber air bersih masyarakat yang melimpah menjadi kering kerontang. Hal inilah yang dirasakan oleh penduduk yang tinggal di kaki gunung Salak dan daerah-daerah lainnya yang sebelumnya hidup di tengah melimpahnya sumber air yang ada di lingkungan mereka, namun sejak berdiri perusahaan-perusahaan AMDK di lingkungan tersebut, mereka mengalami krisis air yang luar biasa.
Pengelolaan Sumber Daya Air Dalam Islam
Islam memandang bahwa air diposisikan sebagai harta milik umum, bukan sebagai barang komersial, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang artinya: ”Kaum muslimin itu berserikat dalam tiga hal, yaitu  air, padang rumput, dan api”. (HR Abu Daud). Inilah paradigma pengelolaan sumber daya air dalam Islam. Konsekuensinya, penguasa tidak memiliki hak sedikitpun untuk mengambil sumber air dan menyerahkan pada individu tertentu. Penguasa hanya diberikan tanggung jawab dan kewenangan mengelolanya agar terpenuhi kebutuhan air bersih bagi seluruh masyarakat.
Berdasarkan paradigma tersebut, maka Islam tidak akan membiarkan sumber daya air dan pengelolaan industri air bersih perpipaan dikuasai oleh korporat-korporat swasta maupun negara asing karena itu dapat mengarah pada salah satu bentuk penjajahan asing atas negara.Islam juga melarang keras untuk membiayai pembangunan sumber daya air melaui hutang yang mengakibatkan negara terjajah. Sebagaimana firman Allah dalam Qur’an surat An-Nisa ayat 141 yang artinya,”…Allah SWT sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin”.
Islam memandang bahwa penguasa berhak untuk ‘memagari’ lahan-lahan konservasi yang merupakan tempat cadangan air tanah dan wajib memulihkan fungsi-fungsi sumberdaya air yang telah rusak sekaligus memelihara dan menjaga agar tidak rusak (An Nabhani. T. An-Nizhomul Iqtishody fil Islam. Darul Ummah. Beirut. 2004). Islam juga memandang air sebagai salah satu kebutuhan dasar masyarakat yang harus dapat diakses dengan mudah oleh tiap individu masyarakat. Sehingga industri air bersih perpipaan harus dikelola secara efektif dan efisien oleh negara sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan individu masyarakat. Untuk itu maka negara harus memanfaatkan berbagai kemajuan sains dan teknologi dan memberdayakan para pakar terkait.
Pengaturan masalah sumber daya air adalah salah satu kebijakan Islam yang terintegrasi dengan sistem aturan lainnya berlandaskan syariat Islam. Sumber-sumber pemasukan negara dan pos-pos pengeluarannya telah diatur sedemikian rupa sehingga mampu membiayai dan menyejahterakan masyarakat. Sistem inilah yang dikenal dengan Daulah Khilafah Islamiyyah yang telah terbukti dalam sejarah mampu memberikan keamanan dan kesejahteraan kepada rakyatnya selama 13 abad abad lamanya. Wallahu a’lam bishawab.[]

Posting Komentar untuk "Krisis Air Buah Kapitalisasi Pelayanan Air Bersih (Catatan Terkait Hari Air Sedunia 2013 )"