Ustadz M. Ihsan Abdul Djalil: Indonesia Merdeka Hanya Dengan Khilafah
Jika dihitung sejak proklamasi, negeri
ini sudah 68 tahun merdeka. Namun faktanya, negeri ini masih terjajah.
Pada masa penjajahan dulu kekayaan negeri ini dieksploitasi untuk
kesejahteraan penjajah. Hal yang sama masih terjadi saat ini. Kekayaan
negeri ini dikuras untuk kemakmuran pihak asing. Ini berarti, negeri ini
baru merdeka dari penjajahan fisik, namun belum merdeka secara
non-fisik (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dll).
Jadi bagaimana seharusnya mewujudkan kemerdekaan yang hakiki untuk negeri ini? Untuk mendiskusikan semua itu, Redaksi mewancarai Ustadz M. Ihsan Abdul Djalil dari DPP HTI. Berikut petikannya.
Ustadz, benarkah negeri ini sudah benar-benar merdeka?
Ini pertanyaan menarik. Jika yang
dimaksudkan kemerdekaan itu adalah kemandirian, terbebas dari pengaruh
dan campur tangan penjajah, bangsa ini jelas belum bisa dikatakan
merdeka. Secara fisik memang penjajah tidak lagi berkuasa di sini,
tetapi dominasi mereka masih cukup kuat dalam banyak aspek.
Lihat saja kebijakan ekonomi di
Indonesia yang masih merujuk pada Kapitalisme yang merupakan ideologi
penjajah. Di bidang politik kita mengadopsi sistem demokrasi yang juga
bawaan para penjajah. Di bidang hukum, yang diberlakukan di sini justru
undang-undang warisan kolonial penjajah. Jadi, penjajahnya diusir pergi,
eh undang-undangnya malah dipakai. Demikian pula dalam bidang
budaya, pemikiran, dan lain-lain. Semuanya masih kental pengaruh asing
penjajah.
Jadi, meski tiap tanggal 17 Agustus
rakyat mengibarkan bendera untuk memperingati Hari Kemerdekaan,
sebenarnya itu hanyalah simbol merdeka dari penjajahan fisik semata.
Sejatinya, ini negeri belum merdeka dalam arti yang sebenarnya.
Artinya, negeri ini belum lepas dari penjajahan secara total?
Tepat sekali. Bahkan sistem demokrasi
yang diadopsi Indonesia, misalnya, telah menjelma menjadi alat
penjajahan gaya baru yang membuat penjajah asing kian kuat mencengkeram
Indonesia. Lihat saja produk undang-undang yang dihasilkan DPR melalui
proses demokrasi. Misalnya UU Migas, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal
Asing, dan lain-lain. Meski disusun atas nama rakyat, berbagai UU yang
dihasilkan lembaga yang mengatasnamakan wakil rakyat ini justru lebih
berpihak pada kepentingan asing dan malah berpotensi menyengsarakan
rakyat.
Jadi, penjajahan itu apa sebenarnya?
Penjajahan secara bebas bisa diartikan
sebagai upaya sebuah bangsa menguasai bangsa lain untuk kepentingan
sendiri. Menguasai di sini tidak mesti harus seperti penjajahan gaya
lama, yaitu menduduki sebuah wilayah bangsa lain secara fisik; bisa juga
menguasai secara non fisik. Inilah strategi penjajahan gaya baru saat
ini, misalnya dengan kekuatan ekonomi, ideologi, dan sebagainya. Jadi,
kalau kita mau menganalisis apakah sebuah negara masih terjajah atau
sudah merdeka, lihat saja apakah negara tersebut memiliki kemandirian
untuk memutuskan apa yang menjadi kebijakannya, atau terpaksa masih
harus tunduk pada kepentingan penjajah.
Apa bedanya penjajahan gaya lama dan penjajahan gaya baru itu?
Pendudukan fisik seperti yang dulu
pernah dilakukan Belanda dan Jepang itu bisa disebut penjajahan gaya
lama. Mereka mengunakan kekuatan militernya untuk menguasai bangsa lain.
Secara fisik, pasukannya memang ada di negara yang dijajahnya.
Adapun penjajahan gaya baru tidak mesti
memerlukan kekuatan militer. Bahkan mungkin tidak memerlukan sebutir
peluru pun. Penjajahan ini dilakukan secara non fisik, bisa melalui
penjajahan ekonomi, dominasi politik, atau pengaruh sosial budaya.
Indonesia sekarang sedang berada dalam situasi ini. Banyak sekali
kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia sebenarnya adalah karena
adanya tekanan asing yang sangat kuat. Contoh paling baru misalnya
adalah kebijakan kenaikan harga BBM; Pemerintah lebih mematuhi amanat
liberalisasi migas dari IMF dan Bank Dunia ketimbang memikirkan beban
rakyat yang kian berat akibat kenaikan BBM.
Lebih bahaya mana, penjajahan gaya lama dan gaya baru itu?
Jelas lebih bahaya penjajahan gaya baru.
Penjajahan gaya lama mengandalkan kekuatan militer untuk menduduki
sebuah wilayah. Ini rentan mendapatkan perlawanan. Rakyat pasti mudah
dibangkitkan untuk melawan, karena fisik musuh terlihat jelas ada di
depan matanya.
Sebaliknya, dengan strategi penjajahan
gaya baru atau neo imperialisme, penjajah bisa lebih leluasa menguasai
negeri-negeri Muslim hampir tanpa perlawanan. Bahkan kepandaian penjajah
menutupi strateginya yang busuk membuat banyak kaum Muslim tertipu.
Alih-alih mencegah kehadiran penjajah, penguasa negeri Muslim justru
mengundang mereka. Contohnya utang luar negeri. Hizbut Tahrir jauh hari
sudah memberikan warning melalui tulisan Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam Kitab As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla,
bahwa pinjaman dan bantuan luar negeri itu merupakan salah satu alat
penjajahan gaya baru. Namun, penguasa negeri Muslim dan juga pakar-pakar
ekonominya mengabaikan bahaya itu. Mereka masuk perangkap utang luar
negeri dari IMF, Bank Dunia, dan lembaga sejenis. Akibatnya, hari ini
kita menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa peringatan Hizbut
Tahrir itu benar: utang luar negeri telah menjadi jalan mudah bagi
penjajah untuk menguasai sebuah negara. Bayangkan saja, sekarang ini
tiap tahun hampir 25% APBN dihabiskan hanya untuk membayar cicilan pokok
dan bunganya. Setiap tahun lho! Itu jumlah yang sangat besar sekali. Kalau digunakan untuk membiayai pembangunan, hasilnya pasti bisa dirasakan rakyat.
Indonesia harus mengeksploitasi
sumberdaya alam yang dimiliki, juga menguras cadangan devisanya, untuk
membayar beban utang ini. Namun, semua menguap sia-sia. Belum lagi fakta
bahwa bantuan dan pinjaman luar negeri kerap digunakan Barat untuk
memaksakan kepentingan mereka atas negara-negara yang berutang.
Jadi jelas, kemerdekaan yang tiap bulan Agustus ini dirayakan hanyalah kemerdekaan semu saja. Secara hakiki, kita belum merdeka.
Lalu kemerdekaan yang hakiki itu seperti apa?
Kemerdekaan hakiki baru bisa diraih
kalau kita bisa merdeka bukan saja dari penjajahan fisik, tetapi juga
bebas lepas dari penjajahan non fisik. Untuk bisa terbebas dari
penjajahan non fisik, maka kita harus mencampakkan sistem Kapitalisme di
semua aspek kehidupan, serta berlepas diri dari penguasa yang merupakan
kepanjangan tangan negara-negara kapitalis penjajah. Sebagai gantinya,
kita harus bersegera menerapkan seluruh aturan Islam dalam kehidupan.
Hanya dengan itulah kita bisa melepaskan diri dari aturan penjajah, dan
bisa meraih kemerdekaan yang hakiki.
Bisakah negeri ini meraih kemerdekaan hakiki itu dengan sistem sekarang ini?
Tidak bisa, tidak mungkin, dan tidak
akan pernah bisa. Sebab, justru akibat menerapkan sistem Kapitalisme
seperti sekarang inilah negeri ini mengalami keterpurukan dalam semua
aspek kehidupan. Berbagai upaya perubahan yang dilakukan selama ini
hanya sebatas mengganti orangnya saja; tidak akan berarti apa-apa.
Pasalnya, penyebabnya justru akibat kegagalan sistem Kapitalisme yang
dianut.
Lalu bagaimana kemerdekaan hakiki itu kita wujudkan?
Sebenarnya Allah SWT sudah memperingatkan kita di dalam al-Quran: Wa man a’radha ‘an dzikrî, fa inna lahu ma’îsyatan dhanka. Artinya, “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, bagi dia penghidupan yang sempit.” (QS Thaha [20]: 124).
Negeri ini sekarang berada dalam
keterpurukan. Ini adalah akibat kita berpaling dari peringatan Allah,
meninggalkan hukum-hukum Allah yang diturunkan melalui Rasul-Nya.
Sebaliknya, kita malah mengambil sistem Kapitalisme untuk mengatur
kehidupan. Hasilnya adalah keterbelakangan, ketertinggalan, kemiskinan,
dan berada dalam penindasan penjajah. Jadi, kalau kita mau meraih
kemerdekaan hakiki, tidak ada jalan lain kecuali harus kembali pada
peringatan Allah, yaitu dengan jalan menerapkan seluruh aturan Islam.
Hanya dengan syariah Islam itulah kita bisa meraih kemerdekaan hakiki.
Kanya syariah Islam yang diterapkan oleh
Khilafah yang akan menjamin kebutuhan pokok setiap individu rakyat.
Dengan syariah dan Khilafah, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
sebagaimana cita-cita kemerdekaan juga akan mudah diraih. Hanya Khilafah
pula yang akan mampu membebaskan negeri-negeri Muslim dari cengkeraman
dan dominasi asing penjajah.
Apa peran HTI dalam mewujudkan kemerdekaan hakiki dari penjajahan itu?
Ada dua hal penting yang senantiasa dilakukan HTI dalam dakwahnya di tengah-tengah umat. Pertama:
menjelaskan fakta sesungguhnya yang sedang menimpa kaum Muslim saat
ini; membongkar setiap upaya jahat yang dirancang penjajah dan bisa
berpotensi membahayakan kaum Muslim; menunjukkan siapa musuh yang
sesungguhnya; mengedukasi umat bahaya-bahaya apa saja yang bisa
mengancam mereka. Ini karena penjajahan yang saat ini masih bercokol di
negeri-negeri Muslim adalah bentuk penjajahan non fisik yang tidak mudah
dilihat seperti penjajahan fisik.
Kedua: HTI mengajak umat berjuang meraih kemerdekaan hakiki dengan jalan menegakkah Khilafah. Khilafah merupakan fardhun wa wa’dun minalLahi ta’ala. Dikatakan “fardhun min Allah”
sebab ini memang kewajiban dari Allah. Karena wajib, pelakunya insya
Allah akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah. Sebaliknya mereka
yang meninggalkannya akan diazab dengan azab yang pedih. Na’udzu bilLah min dzalik. Disebut “wa’dun min Allah”, sebab tegaknya Khilafah memang sudah dijanjikan oleh Allah.
Selama ini HTI mengusung slogan
“Selamatkan Indonesia dengan Syariah dan Khilafah”. Apakah itu semacam
tag line untuk mewujudkan kemerdekaan yang hakiki?
Benar. Ini merupakan ikhtiar yang
dilakukan HTI, yaitu ajakan kepada seluruh komponen masyarakat untuk
bersama-sama menyelamat-kan negeri ini. Caranya adalah dengan menerapkan
syariah Islam secara total dan mencampakkan sekularisme kapitalisme.
Hanya inilah satu-satunya cara yang bisa menyelamatkan Indonesia dari
keterpurukan yang lebih parah lagi. Karena itu, upaya ini seharusnya
dipahami sebagai wujud nyata kepedulian HTI untuk mewujudkan Indonesia
yang lebih baik pada masa mendatang, serta upaya meraih kemerdekaan
hakiki, lepas dari penjajahan secara total.
Mengapa harus dengan Khilafah? Karena
kita menyadari sepenuhnya bahwa musuh yang kita hadapi saat ini adalah
kekuatan penjajahan global. Untuk menghadapinya juga harus yang sepadan,
yaitu dengan menggunakan kekuatan global kaum Muslim. Itulah Khilafah.
Posting Komentar untuk "Ustadz M. Ihsan Abdul Djalil: Indonesia Merdeka Hanya Dengan Khilafah"