KH Shiddiq al-Jawi: DPR Tak Mewakili Rakyat
DPR baru telah terbentuk. Para anggotanya baru saja dilantik. Sebagian
memang wajah baru, namun sebagiannya lagi adalah wajah lama. Banyak
pihak berharap kepada para anggota DPR yang baru. Namun, tidak sedikit
pula yang pesimis. Apakah DPR baru membawa nafas baru? Akankah DPR baru
membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi negeri ini?
![]() |
KH. Shiddiq Al-Jawi (DPP Hizbut Tahrir Indonesia) |
Di sisi lain, tentu menarik membandingkan lembaga wakil rakyat dalam
sistem demokrasi (DPR) dengan lembaga wakil rakyat dalam sistem Khilafah
(Majelis Umat). Adakah kesesuaian atau kemiripan di antara keduanya?
Apakah peran dan fungsi Majelis Umat sama dengan DPR? Apakah Majelis
Umat lebih unggul daripada DPR?
Beberapa pertanyaan di atas dijawab secara lugas oleh KH Shiddiq al-Jawi
dari DPP Hizbut Tahrir Indonesia dalam wawancara dengan Redaksi berikut
ini.
Ustadz, dalam sistem demokrasi sekarang ada lembaga wakil rakyat
(DPR, DPRD I dan DPRD II). Apakah dalam sistem Islam juga ada lembaga
wakil rakyat?
Hizbut Tahrir telah menjelaskan persoalan lembaga wakil rakyat dalam dua
kitabnya tentang Khilafah, yaitu Ajhizah Dawlah al-Khilafah (2005) dan
Muqaddimah ad-Dustur (2009). Intinya begini. Dalam Khilafah nanti ada
dua macam lembaga wakil rakyat. Yang pertama disebut Majelis Umat yang
selevel dengan DPR sekarang, berkedudukan di ibukota negara. Yang kedua
disebut Majelis Wilayah, yang ada di tiap-tiap propinsi (wilayah),
selevel dengan DPRD I tingkat Propinsi saat ini, berkedudukan di ibukota
propinsi. Namuan, dalam negara Khilafah tak ada lembaga wakil rakyat
yang setara dengan DPRD II di kota atau kabupaten seperti yang ada saat
ini.
Para anggota Majelis Umat dan Majelis Wilayah adalah hasil pilihan
rakyat, bukan diangkat oleh Khalifah. Pasalnya, anggota kedua majelis
itu hakikatnya adalah wakil atau representasi (mumatstsil) dari
perseorangan dan berbagai kelompok yang ada di suatu propinsi atau di
negara. Proses pewakilan (tawkil) ini tidak akan terlaksana kecuali
melalui suatu pemilihan umum oleh rakyat sebagai pengamalan dari akad
wakalah (perwakilan) dalam syariah.
Adakah perbedaan fungsi DPR dan DPRD dengan Majelis Umat dan Majelis Wilayah?
Tentu, khususnya dalam fungsi legislasi (pembuatan undang-undang). Dalam
sistem demokrasi, hak legislasi ada di tangan DPR. Adapun dalam
Khilafah Majelis Umat tidak melakukan legislasi. Dalam Khilafah tidak
ada legislasi, tetapi adopsi, yakni pengambilan hukum atau aturan
tertentu yang tentu bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah, yang digali
melalui proses ijtihad yang sahih. Berdasarkan Ijmak Sahabat yang
menjadi sumber hukum ketiga setelah al-Quran dan as-Sunnah, hanya
Khalifah saja yang berhak melakukan adopsi hukum. Ini seperti kasus
ketika Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq dan Khalifah Umar menetapkan cara
pembagian harta dari Baitul Mal kepada rakyat. Saat itu, Khalifahlah
yang menetapkan, apakah mau dibagi sama rata ataukah tidak, yang
kemudian diberlakukan secara mengikat kepada para hakim dan birokrat
negara Khilafah.
Jadi hak adopsi hukum itu di tangan Khalifah, bukan di tangan Majelis
Umat. Lalu apa fungsi Majelis Umat? Fungsinya secara umum ada dua:
musyawarah dan muhasabah (pengawasan). Fungsi musyawarah (syura),
artinya Majelis Umat berhak melakukan musyawarah dengan Khalifah. Fungsi
muhasabah artinya Majelis Umat berhak dan bahkan berkewajiban melakukan
pengawasan dan koreksi terhadap Khalifah jika terjadi penyimpangan
terhadap syariah.
Perlu ditambahkan, ada perbedaan antara Majelis Umat dan Majelis Wilayah
dari segi pensyariatan. Kalau Majelis Umat terkategori lembaga yang
secara syar’i mempunyai dalil syariah yang khusus. Selesai Baiat Aqabah
II, Nabi saw. bersabda kepada kaum ‘Aus dan Khazraj, “Pilihlah oleh
kalian 12 wakil dari masing-masing kalian yang akan menjadi pengurus
kepentingan kaumnya.” Ini disebut dalam Sirah Ibnu Hisyam.
Adapun Majelis Wilayah tidak didasarkan pada dalil secara khusus dan
memang tidak pernah diamalkan oleh Khulafaur-Rasyidin. Majelis Wilayah
baru ada pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sebelum menjadi
khalifah, Umar bin Abdul Aziz adalah wali (gubernur) di Madinah. Saat
itu beliau mempunyai majelis beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat yang
tugasnya melakukan pengawasan (muraqabah) (Muqaddimah ad-Dustur,
hlm.198).
Ini artinya, keberadaan Majelis Wilayah adalah semata persoalan
administratif (idari) yang hukumnya boleh. Beda dengan Majelis Umat yang
keberadaannya merupakan tuntutan syar’i, bukan perkara idari. Majelis
Wilayah itu sesungguhnya bukanlah lembaga yang terpisah dari wali
(gubernur), bahkan dipimpin oleh wali itu sendiri, dengan dua tugas
utama. Pertama: membantu wali menjalankan tugasnya dengan memasok
informasi-informasi yang diperlukan dan memberikan saran-saran. Kedua:
menampakkan ketidakrelaan kepada wali jika ada penerapan syariah Islam
yang tidak benar.
Dalam demokrasi, DPR dan DPRD menjadi manifestasi dari kedaulatan
rakyat, sementara Islam hanya mengenal kedaulatan syariah. Apa
konsekuensi dari kedua prinsip itu?
Saya melihat paling tidak ada tiga perbedaan sebagai konsekuensi dari
perbedaan prinsip kedaulatan rakyat dengan kedaulatan syariah. Pertama:
dari segi legislasi. Dalam negara Khilafah, karena kedaulatan di tangan
syariah, bukan di tangan rakyat, maka substansi hukum yang diasopsi
adalah hukum syariah semata, yang bersumberkan wahyu, yaitu al-Quran dan
as-Sunnah. Ini jelas beda dengan legislasi dalam sistem demokrasi yang
berprinsip kedaulatan rakyat. Implikasinya, substansi hukumnya bukanlah
hukum Allah melainkan hukum buatan manusia. Prinsip ini jelas batil dan
bertentangan dengan akidah Islam. Akidah Islam menegaskan prinsip yang
berbunyi inil-hukmu illa lilLah, artinya menetapkan hukum itu secara
mutlak hanyalah hak Allah saja (lihat QS al-An’am [6]: 57).
Kedua: dari segi sistem hukum. Dalam negara Khilafah, prinsip kedaulatan
syariah memastikan keunggulan sistem hukum, yaitu sistem hukum Islam
saja, sejalan dengan prinsip tauhid. Penerapan sistem hukum lain di luar
sistem hukum Islam hakikatnya adalah perbuatan syirik yang terkutuk.
Allah SWT dalam al-Quran berfirman: wa la yusyrik fi hukmihi
ahad[an].Artinya, Allah SWT tidak mengambil sekutu seorang manusia pun
dalam penetapan hukum-Nya (lihat QS al-Kahfi [18]: 26). Jadi dalam
negara Khilafah hanya ada satu sistem hukum tunggal, yakni sistem hukum
Islam saja. Adapun dalam negara demokrasi, seperti di Indonesia saat
ini, sistem hukum itu suka-suka rakyatnya saja, karena kedaulatan di
tangan rakyat. Di Indonesia, seperti diketahui, berlaku tiga sistem
hukum, yaitu sistem hukum Barat (hukum sipil), sistem hukum adat dan
sistem hukum Islam. Ini jelas sistem hukum syirik dan merupakan dosa
besar bagi umat Islam yang menerapkan dan menyetujuinya. Sedihnya,
sistem hukum syirik itu adalah warisan penjajah kafir Belanda yang terus
dilestarikan sebagai sesuatu yang sakral.
Ketiga: dari segi pengawasan. Dalam negara Khilafah, pengawasan wajib
menggunakan standar hukum syariah karena kedaulatan di tangan syariah.
Adapun dalam negara demokrasi, standar pengawasannya nilai atau hukum
buatan manusia, bukan hukum syariah. Ini karena kedaulatan dalam
demokrasi adalah di tangan rakyat. Dalam hal ini, sudah jelas bahwa
pengawasan dengan standar bukan syariah ini tetap keliru dan haram
hukumnya. Jadi ketika Khalifah berbuat zalim kepada rakyatnya, misalnya
menguasai tanah milik rakyat secara paksa, haram hukumnya rakyat
mengkritik Khalifah dengan berkata, “Hai Khalifah, Anda melanggar hak
asasi manusia!” Ini tidak boleh, karena Hak Asasi Manusia (HAM) dari
Barat saat ini adalah ide kufur, bukan ide Islam. Seharusnya, rakyat
mengkritik dengan standar ide atau nilai Islam, misalnya, “Hai Khalifah,
Anda telah merampas tanah kami yang kepemilikannya telah dilindungi
oleh hukum syariah Islam!”
Anggota DPR dan DPRD dan anggota Majelis Umat sama-sama dipilih oleh rakyat. Lalu apa bedanya?
Memang ada kemiripan sistem pemilihan DPR dan DPRD dengan sistem
pemilihan Majelis Umat. Unsur kemiripannya, sama-sama dipilih rakyat.
Namun, ada dua perbedaan di antara keduanya. Pertama: dari segi titik
tolaknya secara filosofis. DPR dan DPRD dipilih rakyat karena secara
filosofis kedaulatan ada di tangan rakyat. Adapun Majelis Umat, para
anggotanya dipilih rakyat karena secara filosofis kedaulatan ada di
tangan syariah. Jadi rakyat memilih anggota Majelis Umat itu bukan
karena menjalankan kedaulatan rakyat, tetapi menjalankan syariah, yaitu
mengamalkan hukum wakalah dan mengamalkan sabda Nabi saw., “Pilihlah
oleh kalian 12 wakil dari masing-masing kalian yang akan menjadi
pengurus kepentingan kaumnya.”
Kedua: dari segi tujuan. Dalam demokrasi, ketika rakyat memilih anggota
DPR/DPRD, tujuannya adalah memilih anggota badan legislatif. Adapun
dalam Khilafah, ketika rakyat memilih anggota Majelis Umat, tujuannya
adalah memilih anggota yang akan melaksanakan syura dan pengawasan
kepada Khalifah.
Selama ini korupsi dan ketidakterwakilan rakyat oleh DPR dan DPRD menjadi problem serius. Bagaimana dengan Majelis Umat?
Penyebab utama wakil rakyat korup dan tak mewakili rakyat di DPR adalah
sistem yang buruk dan gagal. Memang ada faktor individu, misalnya
ketidakjujuran atau keserakahan, tetapi faktor sistemlah yang lebih
berpengaruh melahirkan korupsi. Faktor sistem yang saya maksudkan,
adalah kegagalan menyelaraskan sistem demokrasi dengan sistem
kapitalis-liberal yang berbeda karakter. Sistem pemerintahan demokrasi
yang menghendaki peran besar dari rakyat bawah (grass root) sebenarnya
sulit dipadukan dengan sistem ekonomi kapitalis-liberal yang menghendaki
peran besar dari pucuk pimpinan (pemodal). Inilah akar masalah korupsi
dalam sistem saat ini, seperti dianalisis oleh banyak pakar, misalnya
Robert L. Heilbroner dalam bukunya The Logic of Capitalism dan Ebenstein
dalam bukunya Today’s Isms. Dalam kemusykilan menumbuhkan sistem
demokrasi dengan sistem kapitalis seperti itulah, akhirnya kekuatan
modallah yang menang dan memanipulasi suara rakyat. Korupsi merajalela
dalam konteks seperti ini.
Majelis Umat akan berada dalam konteks berbeda. Sistem pemeritahan
Khilafah yang memberi peran besar kepada umat dalam politik dapat
selaras dengan sistem ekonomi Islam yang tidak memberi kesempatan kepada
pemodal untuk rakus dan mendominasi segala aspek kehidupan dengan modal
raksasa yang mereka miliki. Jadi penyebab utama maraknya korupsi secara
sistemik sudah dipangkas sejak awal. Konsekuensinya, korupsi dalam
Majelis Umat, kalaupun ada, akan sangat minim jika dibandingkan dengan
DPR saat ini.
Apa keunggulan peran Majelis Umat dan Majelis Wilayah jika dikaitkan
dengan Pilkada langsung atau oleh DPRD yang diperdebatkan saat ini?
Keunggulannya, akan tercipta efisiensi tanpa mengurangi prinsip
keterwakilan (representative-ness). Rakyat tidak akan disibukkan dengan
Pemilu di banyak propinsi. Pasalnya, Pemilu untuk Majelis Umat/Wilayah
akan dilaksanakan secara simultan. Jadi, pertama-tama akan diadakan
Pemilu untuk memilih anggota Majelis Wilayah di tiap propinsi. Kemudian,
para anggota terpilih di setiap Majelis Wilayah ini akan memilih di
antara sesama anggota Majelis Wilayah sendiri untuk menjadi anggota
Majelis Umat. Anggota Majelis Wilayah yang terpilih menjadi anggota
Majelis Umat digantikan posisinya oleh calon anggota Majelis Wilayah
yang sebelumya gagal terpilih, yang jumlah perolehan suaranya persis di
bawah jumlah suara calon anggota Majelis Wilayah yang terpilih menjadi
anggota Majelis Umat.
Dengan penyelenggaraan simultan seperti ini, artinya awal dan akhir
periode tugas Majelis Wilayah akan sama persis dengan awal dan akhir
periode tugas Majelis Umat. Jadi selain tak menyibukkan umat, juga akan
lebih efisien dari segi biaya dan waktu. Ini jauh lebih unggul dari
rezim Pemilu sekarang di Indonesia yang terlalu menyibukkan rakyat dan
jelas boros sekali. Bayangkan, selain pemilihan langsung untuk DPR, DPRD
I, DPRD II, rakyat juga masih disibukkan dengan pilkada
bupati/walikota, lalu gubernur, dan lalu Pilpres. Jelas tak efisien,
boros, dan hasilnya pun ternyata tidak memuaskan, bahkan menyedihkan.
Korupsi merajalela, rakyat pun tetap tak sejahtera.
Posting Komentar untuk "KH Shiddiq al-Jawi: DPR Tak Mewakili Rakyat"