Rangkuman Dalil-Dalil Wajibnya Menegakkan Khilafah

Rangkuman Dalil-Dalil Wajibnya Menegakkan Khilafah

Dalil-Dalil Wajibnya Menegakkan Khilafah


Berikut ini adalah rangkuman dalil-dalil wajibnya menegakkan Khilafah ( Baca Artikel sebelumnya: Wajibnya Memperjuangkan Tegaknya Khilafah)

Dalil Kewajiban Khilafah Menurut Imam Mufassir Al Qurthubi


وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah. Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” QS al-Baqaroh [2]: 30.

هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الأمة ولا بين الأئمة إلا ما روي عن الأصم حيث كان عن الشريعة أصم ، وكذلك كل من قال بقوله واتبعه على رأيه ومذهبه ، قال : إنها غير واجبة في الدين بل يسوغ ذلك ، وأن الأمة متى أقاموا حجهم وجهادهم ، وتناصفوا فيما بينهم ، وبذلوا الحق من أنفسهم ، وقسموا الغنائم والفيء والصدقات على أهلها ، وأقاموا الحدود على من وجبت عليه ، أجزأهم ذلك ، ولا يجب عليهم أن ينصبوا إماما يتولى ذلك.

Ayat ini adalah pangkal dalam mengangkat imam dan khalifah yang didengar dan ditaati, untuk menyatukan kalimat (Islam) dan menerapkan hukum-hukum khalifah (syariat). Dan tidak ada khilaf (perbedaan)  terkait kewajiban itu diantara umat dan tidak pula diantara para imam. Kecuali riwayat dari al-‘Asham dimana dia telah tuli dari syariat. Begitu pula setiap orang yang berkata seperti perkataannya dan mengikuti pendapat dan madzhabnya. ‘Asham berkata: “Sesungguhnya khalifah itu tidak wajib dalam agama, tetapi hanya boleh. Dan bahwa umat ketika telah menegakkan haji dan jihadnya, berbuat adil diantara mereka, menyerahkan haq dari diri mereka, membagikan harta ghanimah, fai dan shadaqoh kepada yang berhak, dan menegakkan sejumlah had terhadap orang yang harus dihad, maka hal itu telah mencukupi mereka, dan mereka tidak wajib mengangkat imam yang mengatur semua itu.

ودليلنا قول الله تعالى : {إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً} [البقرة : 30] ، وقوله تعالى : {يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأَرْضِ} [ص : 26] ، وقال : {وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأَرْضِ} [النور : 55] أي يجعل منهم خلفاء ، إلى غير ذلك من الآي.

Dalil kami (Ahlussunnah Waljama’ah) ialah firman Alloh SWT; “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Dan firman Alloh SWT; “Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,…”. QS Shad ayat 26. Dan Alloh SWT berfirman; “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,…”. QS an-Nur ayat 55. Yakni Alloh akan menjadikan dari mereka para khalifah. Dan ayat-ayat yang lain.

وأجمعت الصحابة على تقديم الصديق بعد اختلاف وقع بين المهاجرين والأنصار في سقيفة بني ساعدة في التعيين ، حتى قالت الأنصار : منا أمير ومنكم أمير ، فدفعهم أبو بكر وعمر والمهاجرون عن ذلك ، وقالوا لهم : إن العرب لا تدين إلا لهذا الحي من قريش ، ورووا لهم الخبر في ذلك ، فرجعوا وأطاعوا لقريش.

Dan sahabat telah ijmak(sepakat) mengajukan Abu Bakar ash-Shiddiq setelah terjadi perselisihan diantara sahabat muhajirin dan anshar di saqifah Bani Saidah dalam pengangkatan khalifah. Sehingga sahabat anshar berkata: “Dari kami ada amir (pemimpin) dan dari kalian ada amir”. Lalu Abu Bakar, Umar dan sahabat muhajirin  menolak hal itu dan berkata kepada mereka: “Sesungguhnya orang Arab itu tidak tunduk kecuali kepada perkampungan Quraisy ini”. Dan meriwayatkan khabar tentang itu kepada mereka. Lalu mereka kembali dan taat kepada orang Quraisy.

فلو كان فرض الإمام غير واجب لا في قريش ولا في غيرهم لما ساغت هذه المناظرة والمحاورة عليها ، ولقال قائل : إنها ليست بواجبة لا في قريش ولا في غيرهم ، فما لتنازعكم وجه ولا فائدة في أمر ليس بواجب. ثم إن الصديق رضي الله عنه لما حضرته الوفاة عهد إلى عمر في الإمامة ، ولم يقل له أحد هذا أمر غيرواجب علينا ولا عليك ، فدل على وجوبها وأنها ركن من أركان الدين الذي به قوام المسلمين ، والحمد لله رب العالمين.
{تفسير القرطبي، العلامة المحدث أبو عبدالله محمد بن أحمد بن أبي بكر بن فرح الأنصاري الخزرجي الأندلسي ثم القرطبي رضي الله عنه، 1 / 264}.

Seandainya fardlunya imam itu tidak wajib, tidak wajib pada Quraisy dan tidak pula pada selain mereka, maka perdebatan dan perbincangan padanya tentu tidak boleh terjadi. Dan pasti ada yang berkata; Sesungguhnya mengangkat imam itu tidak wajib, tidak pada Quraisy dan tidak pula pada  selain mereka. Maka pertentangan kalian tidak berarti dan tidak berfaidah pada perkara yang tidak wajib”. Kemudian Abu Bakar Shiddiq RA ketika menjelang wafatnya menyuruh Umar menjadi imam. Dan tidak ada seorangpun berkata: “Perkara ini tidak wajib atas kami dan tidak pula wajib atas kamu”. Maka hal itu menunjukkan atas wajibnya imamah (khilafah), dan bahwa imamah adalah rukun diantara rukun-rukun agama, yang dengannya kaum muslim dapat bangkit. Walhamdu lillahi rabbil ‘aalamiin”.
(Tafsir al-Qurthubi, juz 1, hal. 264).

Kesimpulan:
1-  Mengangkat khalifah / menegakkan khilafah adalah wajib
2-  Khalifah dan imam, juga khilafah dan imamah adalah sinonim (satu arti), karena al-Qurthubi sama-sama membicarakan keduanya untuk satu arti.
3-  Yang tidak mewajibkan penegakkan khalifah dan khilafah hanya al-Asham (dari Muktazilah) dan kelompoknya.
4-  Diantara dalil-dalil wajibnya menegakkan khalifah / khilafah adalah ayat-ayat al-Qur’an. Ini adalah pukulan telak terhadap kelompok SEPILIS yang membual bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada ayat yang mewajibkan penegakkan khalifah / khilafah.
(Abul Wafa Romli/Sumber Hizbut-Tahrir)


Kewajiban Menegakkan Al-Khilaafah Al-Islaamiyyah Part 1

Oleh Ustadz Irvan Abu Naveed


Khilâfah merupakan perkara yang sudah dipahami bagian dari urusan Dîn yang penting (معلوم من الدين بالضرورة). Menegakkan Khilâfah Islam adalah kewajiban[1], من أعظام الواجبات. Berdasarkan nash-nash syara’, baik dari al-Qur’ân, al-Sunnah maupun Ijmâ’ Sahabat. Sebagaimana disepakati oleh para ulama.
Namun, ada saja segelintir umat Islam yang berpendapat syadz (kontroversial, ganjil) menolak kewajiban ini, dan sebagian yang lain mempertanyakan dalil al-Qur’ân tentang kewajiban menegakkan Khilâfah, karena menurut mereka tak ditemukan ayat yang mewajibkan kita menegakkan Khilâfah. Benarkah?
Para ‘ulama bersepakat bahwa dalam memahami ayat-ayat al-Qur’ân dan al-Sunnah digunakan dua pendekatan yang benar.[2]
Pertama, memahami pengertian secara tersurat, yakni dipahami secara langsung dari lafazh atau bentuk lafazh dalam nash (harfiah/manthûq).
Kedua, pengertian secara tersirat, yakni dipahami melalui penafsiran secara logis dari petunjuk atau makna lafazh atau makna keseluruhan kalimat yang dinyatakan dalam nash (kontekstual/mafhûm). Makna ini menjadi kelaziman makna lafazh secara langsung
Dan dengan menggunakan dua pendekatan di atas, akan kita temukan dalil-dalil al-Qur’ân, al-Sunnah didukung Ijmâ’ Sahabat yang menunjukkan kewajiban menegakkan al-Khilâfah al-Islâmiyyah dan Khalîfah yang satu untuk seluruh dunia.
Pertama, Allâh memerintahkan kita mena’ati ulil amri.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَ‌ٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (Al-Qurân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. al-Nisâ’ [4]: 59)
Ibnu Athiyyah[3] menyatakan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk menta’ati Allâh SWT, Rasul-Nya dan para penguasa. Pendapat ini dipegang oleh Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibn Zaid, dan lainnya, begitu pula jumhur ulama.
Lebih jauh ayat ini juga memerintahkan kita untuk mewujudkan penguasa yang wajib dita’ati. Semua yang dinyatakan Allâh SWT adalah benar. Allâh SWT juga tidak mungkin memerintahkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mungkin kita laksanakan. Dan kewajiban menta’ati ulil amri bisa terwujud jika sosoknya ada. Jika tidak ada, maka tidak bisa. Padahal, itu adalah kewajiban dan tidak mungkin Allâh SWT salah memberikan kewajiban. Maka sebagai konsekuensi kebenaran pernyataan Allâh SWT itu, maka sesuai ketentuan dalâlah al-iltizam, perintah menta’ati ulil amri juga merupakan perintah mewujudkan ulil amri sehingga kewajiban tersebut terlaksana. Maka ayat tersebut juga bermakna, kewajiban mengangkat ulil amri (penguasa).[4]
Dan bukan sembarang penguasa, melainkan penguasa yang mukmin (مِنْكُمْ), dan diangkat untuk menerapkan syari’at Islam. Syaikh Abu Bakar al-Jazairy menegaskan, “Yang dimaksud dengan seruan-Nya yang berbunyi “dan ulil amri di antara kamu” adalah agar kita selalu ta’at dan patuh kepada pemerintah atau penguasa yang beriman… Bentuk keta’atan kepada mereka (penguasa) tidak mutlak, tapi harus sesuai dengan kitab dan sunnah (syari’at Islam).”[5]
Ditegaskan argumentasi poin kedua berikut ini.
Kedua, Allâh SWT mewajibkan kita melaksanakan syari’at Islam dalam setiap aspek kehidupan (kâffah). Allâh berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. al-Baqarah [2]: 208)
Imam al-Raziy dalam tafsir-nya menjelaskan kata “udkhuluu fii al-silmi kaaffah” yakni:
أي في شرائع الإسلام كافة، ولا يتمسكوا بشيء من أحكام التوراة اعتقادا له وعملا به، لأنها صارت منسوخة
“Yakni masuklah kedalam aturan-aturan syari’at Islam secara menyeluruh, dan jangan berpedoman terhadap sesuatu pun dari hukum-hukum taurat secara akidah maupun amal., karena syari’atnya sudah dihapus (diganti oleh syari’at Islam-pen.).”
Imam al-Raziy pun menegaskan:
ادخلوا في جميع شرائع الإسلام اعتقادا وعملا
“Masuklah ke dalam seluruh aturan-aturan Islam (al-syarii’ah al-islaamiyyah) secara akidah maupun amal.”
Di sisi lain, frase “khuthuwaat al-syaithaan” dijelaskan para ahli tafsir, di antaranya Imam al-Qurthubi yang berkata:
(خطوات الشيطان) وقال مقاتل: استأذن عبدالله بن سلام وأصحابه بأن يقرؤوا التوراة في الصلاة، وأن يعملوا ببعض ما في التوراة، فنزلت. “ولا تتبعوا خطوات الشيطان” فإن اتباع السنة أولى بعد ما بعث محمد صلى الله عليه وسلم من خطوات الشيطان. وقيل: لا تسلكوا الطريق الذي يدعوكم إليه الشيطان. “إنه لكم عدو مبين” ظاهر العداوة
“(Langkah-langkah syaithan): Muqatil berkata: ‘Abdullah bin ‘Abdissalam dan sahabat-sahabatnya meminta izin (kepada Rasûlullâh ) untuk membaca taurat dalam shalat dan mengamalkan sebagian isi taurat, maka turunlah ayat: “dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan”. Maka sesungguhnya mengikuti sunnah yang layak (wajib-pen.) diikuti setelah diutusnya Muhammad daripada mengikuti langkah-langkah syaithan. Dan dikatakan: “Janganlah kalian menempuh jalan yang diserukan syaithan kepada kalian.” (Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu) yakni yang menampakkan permusuhan.”
Dalam banyak kitab tafsir, para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa al-Baqarah ayat 208 turun kepada segolongan ahli kitab (yahudi) yang masuk islam, namun mereka hendak mengagungkan sebagian syi’ar dan syari’at taurat. Maka turun lah ayat yang melarang mengikuti langkah-langkah syaithan dengan mengambil sebagian syari’at taurat yang sudah di nasakh (dihapus oleh syari’at islam) yang berarti meninggalkan sebagian syari’at islam. Di sisi lain taurat adalah kitab samawi yang Allah turunkan kepada Nabi Musa ‘alayhissalam.
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairy ketika menjelaskan ayat tersebut berkata, “Atas dasar itu, dapatkah Islam menerima orang-orang yang mengaku muslim tetapi berkata,……. ‘Saya menerima Islam, tetapi Saya tidak setuju dengan syari’at Islam yang menetapkan bahwa hak wanita dalam warisan adalah setengah dari bagian laki-laki.’ Atau ‘Saya mengakui kebenaran Islam, namun saya menolak hukum potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi pezina.’? Jawabannya adalah tidak. Islam selamanya tidak akan menerima orang-orang seperti itu. Mereka adalah orang-orang kafir yang akan menghuni neraka selama-lamanya apabila ketika mati belum sempat bertaubat dan masih dalam kekafirannya.”[6]
Al-Imam al-Syatibi menegaskan bahwa syari’at Islam berlaku umum bagi semua orang mukallaf[7] dalam setiap keadaan.[8]
Al-Imam al-Syawkani berkata:
فإن أحكام الشرع لازمة للمسلمين في أي مكان وجدوا، ودار الحرب ليست بناسخة للأحكام الشرعية أو لبعضها
“Sungguh hukum-hukum syara’ itu mengikat bagi kaum Muslim di manapun dia berada dan Dâr al-Harbi[9] tidak bisa menghapuskan hukum-hukum syara’ secara keseluruhan atau sebagian.”[10]
Al-Imam al-Syafi’i menegaskan:
أن الحلال في دار الإسلام حلال في دار الكفر، والحرام في دار الإسلام حرام في دار الكفر
“Bahwa yang halal di dalam Dâr al-Islâm (Negara Islam)halal pula di dalam Dâr al-Kufr, bahwa yang haram di Dâr al-Islâm juga haram di Dâr al-Kufr.”[11]
Syaikhul Islam berkata:
وإذا جنى شخص فلا يجوز أن يعاقب بغير العقوبة الإسلامية
“Apabila ada orang yang melakukan kesalahan, maka tak boleh dihukum dengan selain hukum Islam.”[12]
Para ulama’ sepakat bahwa berhukum dengan hukum kufur adalah haram. Wasilah menuju yang haram adalah haram pula. Hukum ini berlaku baik di Negara Islam (Dâr al-Islâm) maupun Dâr al-kufr. Ketika al-Qur’ân menyebut orang Yahudi dan Nasrani menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai ‘arbâb‘ (QS. al-Tawbah: 31), Adi bin Hatim berkata, “bukankah mereka tidak menyembah pendeta dan rahib-rahib mereka?” Rasûlullâh SAW pun menegaskan: Tapi mereka mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Lalu mereka, orang Nashrani dan Yahudi, mengikuti mereka, maka itulah (pengertian) bahwa mereka beribadah pada pendeta dan rahib mereka.[13]
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allâh kepadamu. (QS. al-Mâidah [5]: 49)
Ayat di atas, begitu pula QS. al-Mâ’idah [5]: 48, secara tersurat (tekstual/manthûq) memerintahkan Rasul untuk menghukumi dengan apa yang diturunkan Allâh SWT. Kata  pada kalimat mâ anzala Allâh merupakan lafazh ‘âm (umum). Maka ayat di atas bermakna perintah untuk menghukumi sesuai dengan apa-apa yang diturunkan Allâh SWT (syari’at Islam) dan larangan untuk mengikuti hukum atau ajaran yang lain, karena yang lain berasal dari hawa nafsu, yang bisa memalingkan dari apa yang diturunkan Allâh SWT. Maknanya; memalingkan kamu dari sebagian al-Qur’ân, meski amat sepele, dengan menggambarkan kebatilan sebagai kebenaran.[14]
Dalam Tafsir al-Jalalayn disebutkan ayyaftinûka yaitu yudhillûka (menyesatkan kamu (Muhammad SAW)).
Perintah di atas pun berlaku bagi kita, karena berlaku kaidah syar’iyyah:
خِطَابُ الرَّسُوْلِ خِطَابٌ ِلأُمَّتِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلٌ يُخَصِّصُ بِهِ
“Seruan kepada Rasul merupakan seruan kepada umatnya selama tidak ada dalil yang mengkhususkan kepada Rasul.”
Di sisi lain, tidak ada dalil yang mengkhususkan seruan Allâh SWT itu hanya untuk Rasul. Diperkuat banyaknya qarînah (indikasi) yang mengindikasikan bahwa perintah tersebut adalah perintah yang tegas.
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allâh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Mâidah [5]: 44)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allâh, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Mâidah [5]: 45)
Di samping ayat di atas, banyak sekali dalil-dalil syari’at yang menunjukkan kewajiban menerapkan aturan persanksian dalam Islam. Misalnya QS. al-Baqarah [2]: 178 yang menunjukkan wajibnya menegakkan hukum jinayah berupa qishâsh, QS. al-Nûr [24]: 2 yang mewajibkan had jilid bagi pezina (ghayr muhshan), QS. al-Nûr [24]: 3-4 yang mewajibkan had bagi penuduh zina (qadzaf) dan QS. al-Mâ’idah [5]: 38 yang mewajibkan had berupa potong tangan bagi pencuri:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Mâidah [5]: 38)
Semua ayat-ayat tersebut (di samping dalil-dalil syara’ lainnya) merupakan dalil qath’iy yang pasti keberadaannya (qath’iy al-tsubût) dan pasti penunjukkan maknanya (qath’iy al-dalâlah), sehingga menutup pintu penolakan dan penafsiran kepada makna yang lain, maka penafsiran kepada makna yang lain dalam hal ini merupakan penyimpangan atau kesesatan (inhirâf ‘an al-Islâm). Begitu pula nash-nash syari’at yang merinci masalah jihad, perang (al-qitâl), hubungan luar negeri, dan masalah-masalah mu’amalah. Di sisi lain, Islam sebagaimana ditunjukkan al-Sunnah, menetapkan metode syar’i untuk menerapkan itu semua secara totalitas melalui intitusi negara dan penguasa. Maka, menegakkan Khilâfah Islâm dan mengangkat Khalîfah merupakan kewajiban, sesuai kaidah ushul:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Suatu kewajiban tidak akan bisa dilaksanakan dengan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu yang lain, maka hukum sesuatu yang lain itu pun menjadi wajib.”
Sedangkan dalil-dalil al-Sunnah diantaranya:
Imam (penguasa) dalam Islam itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Seorang imam itu laksana perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muslim, Ahmad, Abû Dawud & al-Nasa’i)
Hadits di atas menunjukkan ikhbâr (informasi) yang mengandung pujian, yakni imam laksana perisai (الإمام جنة). Jika adanya “hal yang dipuji” tersebut menjadi sebab tegaknya hukum Islam, sebaliknya apabila hal tersebut tidak ada menyebabkan hukum Islam tidak tegak, maka pujian tersebut merupakan qarînah jazîmah (indikasi tegas) bahwa “hal yang dipuji” itu hukumnya adalah wajib. Yakni al-Khilâfah al-Islâmiyyah. Begitu pula pahami hadits berikut ini:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang mati sedangkan dipundaknya tiada bai’at (kepada Khalîfah), maka ia mati seperti mati jahiliyyah.” (HR. Muslim)
Bai’at[16] secara terminologis adalah hak umat dalam melaksanakan akad penyerahan kekhilafahan. Para ulama menegaskan bahwa bai’at merupakan metode syar’i untuk mengangkat Khalîfah[17]. Dr. Mahmud al-Khalidi menjelaskan bahwa hadits ini mendorong orang agar berbai’at dan mengancam orang yang meninggalkannya. Dengan demikian, hadits ini menunjukkan wajibnya berbai’at kepada Imam (Khalifah).[18] Sebab, menolak berbai’at merupakan kemaksiatan kepada Allâh.[19]
Al-Imam al-Nawawi berkata: “Yakni, dia mati seperti keadaan matinya orang-orang jahiliyyah, dimana hidup mereka kacau, dan tak memiliki seorang pemimpin.”[20]
Al-Hafizh al-Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy berkata: “Mereka hidup dalam kesesatan, dan mereka mati di atas kesesatan. Namun tidak dimaksudkan bahwa ia mati dalam kekafiran, tetapi ia mati dalam kemaksiatan.”[21]
Hadits di atas menunjukkan dalil (penunjukkan) yang jelas, kewajiban menegakkan Khilafah dan mengangkat Khalîfah sehingga terpenuhi kewajiban bai’at, sebagaimana dijelaskan para ‘alim ‘ulama.
Dalil-dalil di atas, diperkuat dalil Ijmâ’ Sahabat, yakni ketika Rasûlullâh SAW wafat, para sahabat رضي الله عنهم mendahulukan pengangkatan Khalîfah Abu Bakar sebelum menguburkan jenazah Rasûlullâh SAW, padahal menguburkan jenazah adalah suatu kewajiban.
Dengan demikian tidak mengherankan apabila para ulama dari berbagai madzhab, termasuk para Imam Madzhab yang empat[22], bersepakat atas kewajiban mengangkat Khalîfah (Nasb al-Khalîfah), menegakkan Khilâfah (Iqâmah al-Khilâfah), apabila keduanya tidak ada.[23]
Imam al-Hafidz Ibn Hazm al-Andalusi رحمه الله mendokumentasikan Ijmâ’ Ulama bahwa (keberadaan) Imamah itu fardhu[24]:
… واتفقوا أن الامامة  فرض وانه لا بد من امام
“ …Mereka (para ‘ulama’) sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya Imam itu merupakan  suatu keharusan…”
Imam Abul Qasim al-Naisaburi al-Syafi’i رحمه الله berkata[25]:
… أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
“…umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek seruan (“maka jilidlah”) adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula.”
Imam ‘Alauddin al-Kasani al-Hanafi رحمه الله berkata[26]: “…dan karena sesungguhnya mengangkat imam yang agung itu adalah fardhu. (ini) tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq. Dan tidak diperhatikan—perbedaan dengan sebagian Qadariyyah—karena Ijmâ’ shahabat atas hal tersebut, serta urgensitas kebutuhan terhadap imam yang agung tersebut. Untuk keteritakan terhadap hukum. Untuk menyelamatkan orang yang didzalimi dari orang yang dzalim. Untuk memutuskan perselisihan yang merupakan obyek yang menimbulkan kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatan yang lain yang memang tidak akan tegak kecuali dengan adanya imam… “
Imam al-Hafizh Abu Zakaria al-Nawawi رحمه الله berkata[27]:
لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها
“Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya.”
Ketika Imam Fakhruddin Al-Razi رحمه الله, menjelaskan firman-Nya pada Surah Al-Ma’idah ayat 38, beliau menegaskan, “… para Mutakallimin ber-hujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta’ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku kriminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku kriminal kecuali oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazm) dan tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib. Maka adalah suatu yang pasti qath’inya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula… “[28]
Khulashatul qaul, Islam menegaskan bahwa mengangkat Imam/al-Khalîfah (nasb al-Khalîfah) dan menegakkan Imamah/al-Khilâfah al-Islâmiyyah (iqâmah al-Khilâfah) yang tegak sesuai manhaj kenabian merupakan kewajiban.
والله أعلم بالصواب

[1] Lihat pembahasan yang sangat bagus dalam kitab Nizhâm al- Hukmi fî Islâm, buah tangan al-‘Allamah al-Imam Taqiyuddin al-Nabhani. Dan penjelasan para ‘ulama mu’tabar dalam kitab-kitab fikih.
[2] Namun, pengambilan pengertian dari nash syara’ melalui kedua pendekatan tersebut, tidak boleh keluar dari ketentuan pengambilan pengertian dalam bahasa arab.
[3]  al-Muharrir al-Wajîz (IV/158), Ibnu Athiyyah.
[4] Ayat ini memerintahkan keta’atan kepada Allah, Rasulullah saw dan kepada pemimpin, dimana hukum keta’atan tersebut adalah wajib. (Lihat: al-Qawâ’id fî Nizhâm al-Hukmi, al-Khaalidi (hlm. 239)).
[5] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy. Nidâ’âtu al-Rahmân li Ahli al-Imân.
[6] Lihat: Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy dalam Nidâ’âtu al-Rahmân li Ahli al-Imân.
[7] Orang yang sudah dikenai taklif atau beban kewajiban melaksanakan syari’at.
[8] Dalam kitab al-Muwafaqat, karya al-Imam al-Syathibi.
[9] Negara yang memerangi Islam.
[10] Lihat: al-Sail al-Jarâr, 4/152.
[11] Lihat: al-Umm, IV/160.
[12] Lihat: Majmû’ al-Fatâwâ Ibn Taimiyyah, 28/15.
[13] Lihat: Tafsîr Ibn Katsîr (II/66).
[14] Lihat: Tafsîr Abu Syu’ud (II/251).
[15] Lihat: Irsyâd al-Fuhûl, Imam al-Syawkani.
[16] Kata bai’at secara bahasa adalah lafal yang memiliki banyak arti (musytarak), lihat: al-Bai’at fî Fikr al-Siyâsiy al-Islâmiy karya Dr. Mahmud al-Khalidi.
[17] Lihat: Nihâyatul Muhtaj Ilâ Syahril Minhaj (VII/29), al-Ahkâm al-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi (hlm. 15), al-Ahkâm al-Sulthaniyyah karya Abu Ya’la (hlm. 24), al-Bai’at fî Fikr al-Siyâsiy al-Islâmiy karya Dr. Mahmud al-Khalidi.
[18] Lihat: al-Bai’at fî Fikr al-Siyâsiy al-Islâmiy karya Dr. Mahmud al-Khalidi, Haqîqatul Islâm (hlm. 46).
[19] al-Bai’at fî Fikr al-Siyâsiy al-Islâmiy.
[20] Lihat: Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi (XII/237).
[21] Lihat: Fat-h al-Bârî’ bi Syarh al-Bukhârî (XVI/2)
[22] Kesatuan Khilafah untuk seluruh kaum muslimin di dunia sesungguhnya telah disepakati oleh empat imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah (Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alâ Al-Madzâhib Al-Arba’ah, V/308; Muhammad ibn Abdurrahman al-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 208)
[23] Lihat: al-Fashl (Imam Ibnu Hazm), Nayl al-Authâ(Imam al-Syaukani), al-Siyâsah al-Syar’iyyah (Syaikh Ibn Taimiyyah), al-Ahkâm al-Sulthaniyyah (Imam al-Mawardi), dan lain-lain.
[24] Imam Al-Hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-Dzahiri, Maratibul Ijma’ , juz 1 hal 124
[25] Imam Abul Qasim Al-hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub al-Syafi’I al-Naisaburi, TafsîAl-Naisaburi, juz 5 hal 465.
[26] Imam ‘Alauddin Al-Kassani Al-Hanafi, Bada’iush Shanai’ fî Tartibis Syarai’, juz 14 hal. 406.
[27] Imam Al-Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa Al-Nawawi, Raudhatuth Thâlibîn wa Umdatul Muftin, juz III hal 433).
[28] Imam Fakhruddin al-Razi, Mafâtihul Ghayb fî al-Tafsîr, juz 6 hal. 57 dan 233

[www.bringislam.web.id]

Posting Komentar untuk "Rangkuman Dalil-Dalil Wajibnya Menegakkan Khilafah"