Aung San Suu Kyi Si Ratu Perdamaian Tak Punya Nyali Bicara Atas Pengungsi Rohingya, Apa Karena Mereka Muslim?
EMPAT hari terakhir, beberapa lembar foto dari kawan-kawan saya yang bekerja untuk kantor-kantor berita foto internasional (AP, EPA, dan Thompson Reuters): Binsar Bakkara, Hotli Simanjuntak, dan Roni Bintang, menghiasi halaman depan surat-surat kabar terkemuka di Amerika dan Eropa.
Foto-foto itu yang menyentak nyali dan mengguris hati itu diambil di Langsa, Aceh. Foto-foto terkaitpaut pengungsi dari Myanmar. Ada total 720 orang terdiri dari lelaki perempuan, tua muda, dan anak-anak. Seluruhnya etnis Rohingya. Sebanyak 96 lainnya terdampar di kota kecil bernama Pangkalan Susu, kawasan perbatasan Sumatera Utara dan Aceh. Selain etnis Rohingya Myanmar, di antara pengungsi juga terdapat warga Bangladesh.
Bagi Indonesia, atau boleh dikata bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, pengungsi Myanmar sudah menjadi masalah yang klasik karena terus-menerus berulang. Para pengungsi yang mencari suaka ke Australia atau Selandia Baru, namun selalu tersangkut di Malaysia, Thailand, dan -terutama sekali- Indonesia.
Aceh dan Sumatera Utara, yang secara geografis paling berdekatan dengan Malaysia dan Thailand, kerap ketiban pulung. Kasus teranyar, atas nama kemanusiaan, para nelayan Aceh menyelamatkan pengungsi-pengungsi ini, yang telah berada dalam kapal mereka yang rusak dan terombang-ambing di tengah laut selama kurang lebih satu pekan tanpa makanan. Beberapa di antaranya nyaris sekarat karena kelaparan dan dehidrasi.
Di Banda Aceh, di Medan, Rumah Detensi Imigrasi penuh oleh pengungsi Rohingya Myanmar. Saking penuhnya hingga tidak memungkinkan lagi untuk menampung sekiranya ada tambahan pengungsi baru.
Saat ini saja, ratusan pengungsi sudah ditempatkan di tempat-tempat yang direkayasa menjadi semacam rumah penampungan. Termasuk di hotel-hotel kelas melati. Tiap hari, sehari dua kali, petugas dari imigrasi akan datang untuk memeriksa sekaligus memberikan konsumsi.
Saya sering bertemu mereka saat berbelanja barang keperluan harian di Indomart atau Alfamart. Kecuali warna kulit, agak sulit mengenal mereka jika hanya memandang sepintas lalu. Logat bicara mereka sudah makin mirip dengan orang Medan kebanyakan. Sudah fasih menyebut diri 'aku' atau 'awak', bahkan sudah pandai "cakap kotor", entah siapa pula yang mengajari.
Namun mereka selalu hidup dalam kecemasan. Selalu was-was karena setiap saat arah angin kebijakan Indonesia bisa saja berubah. Mata mereka, tiap kali berbicara dengan orang lain, selalu bergerak-gerak liar.
"Sekiranya mungkin, kami nggak mau dideportasi. Biarlah kami menderita di sini. Biarlah kami bekerja seperti anjing," kata seorang dari pengungsi itu. Saya bertemu dengannya beberapa kali. "Kami tak mau lagi kembali ke sana, karena itu terlalu mengerikan. Pemerintah melegalkan pembunuhan," sebutnya.
Tahun 1991, Aung San Suu Kyi mendapatkan penghargaan yang prestisius, Nobel Perdamaian. Upayanya memperjuangkan keseteraan hak sipil, khususnya dalam politik dan penegakan demokrasi di Myanmar, yang membuatnya berkali-kali harus berhadapan dengan militer dan kurungan, dianggap luar biasa.
Sepuluh tahun sebelum itu, Pemerintah Myanmar (Burma), mencabut hak kewarganegaraan etnis Rohingya. Artinya, mereka tidak diakui sebagai warga negara. Implementasinya adalah pengabaian mereka dalam pemilu-pemilu dan sensus penduduk.
Pada tahun 2012, setelah memenangi pmeilihan sebagai ketua partai yang mengantarkannya ke parlemen, Nyonya Suu Kyi tidak menunjukkan reaksi berarti atas teror dan pembantaian terhadap sedikitnya 280 warga etnis Rohingya dan memaksa 140 orang lainnya mengungsi dan terpaksa tinggal di kamp-kamp yang lebih mirip kandang kambing di kawasan pinggiran Sittwe, ibukota negara bagian Rakhine.
Saat diwawancarai televisi perihal peristiwa yang disebut sebagai Rakhine State Riots, ini Nyonya Suu Kyi datar belaka, sama sekali tidak menunjukkan ketegasan dan semangat, seperti ketika ia membakar massa untuk perkara memprotes kebijakan pemerintah terkait kebebasan berserikat dan berpolitik.
Nyonya, sekarang ratusan etnis Rohingya datang lagi ke negeri kami lantaran terus diburu untuk dimusnahkan di negeri Anda. Negeri kami bukan negeri yang senang, Nyonya, bukan negeri yang sejahtera. Termasuk jika dibandingkan Malaysia atau Tailand. Tapi tidak seperti kedua negara itu, pemerintah kami masih menerima mereka. Pengungsi-pengungsi yang kepayakan itu masih diselamatkan dari kematian. Diobati dan diberi makan, tidak dihalau, tidak dijejalkan seperti hewan ternak di atas kapal yang sewaktu-waktu bisa karam.
Namun tentu tidak bisa selamanya demikian. Persoalannya bukan lagi sekadar solidaritas sesama negara ASEAN. Bukan HAM. Bukan pula menyangkut sentimen agama. Beban pemerintah negeri ini sudah berat untuk mengasup hidup ratusan juta rakyatnya yang punya banyak sekali kemauan dan tuntutan.
Benar bahwa para pengungsi itu mendapatkan sangu dari International Organization for Migration. Besarannya mencapai Rp 1.250.000 per bulan. Cukupkah? Jelas tidak. Sekiranya pun tidak disunat oleh oknum-oknum imigrasi yang masih coba-coba mencari kesempatan dalam kesempitan, jumlah ini tetap terlalu kecil untuk memenuhi standar hidup layak di Indonesia.
Pengungsi Rohingya yang tak sempat saya kenal namanya itu, bilang, sekiranya dipakai untuk membeli mie instan terus-terusan selama sebulan, tetap saja tidak cukup. Belum lagi sandang pangan lain. Belum lagi persoalan para pengungsi yang sering pula membuat ulah. Entah itu mencoba lari, berkelahi sesamanya, atau melakukan tindak kriminal.
Sebagai pejuang kemanusiaan dan perdamaian yang telah mendapatkan pengakuan tertinggi di muka bumi, sampai kapan, Anda akan terus-menerus bungkam, Nyonya?
Twitter: @aguskhaidir tribunnews.com
[www.bringislam.web.id]
Foto-foto itu yang menyentak nyali dan mengguris hati itu diambil di Langsa, Aceh. Foto-foto terkaitpaut pengungsi dari Myanmar. Ada total 720 orang terdiri dari lelaki perempuan, tua muda, dan anak-anak. Seluruhnya etnis Rohingya. Sebanyak 96 lainnya terdampar di kota kecil bernama Pangkalan Susu, kawasan perbatasan Sumatera Utara dan Aceh. Selain etnis Rohingya Myanmar, di antara pengungsi juga terdapat warga Bangladesh.
Bagi Indonesia, atau boleh dikata bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, pengungsi Myanmar sudah menjadi masalah yang klasik karena terus-menerus berulang. Para pengungsi yang mencari suaka ke Australia atau Selandia Baru, namun selalu tersangkut di Malaysia, Thailand, dan -terutama sekali- Indonesia.
Aceh dan Sumatera Utara, yang secara geografis paling berdekatan dengan Malaysia dan Thailand, kerap ketiban pulung. Kasus teranyar, atas nama kemanusiaan, para nelayan Aceh menyelamatkan pengungsi-pengungsi ini, yang telah berada dalam kapal mereka yang rusak dan terombang-ambing di tengah laut selama kurang lebih satu pekan tanpa makanan. Beberapa di antaranya nyaris sekarat karena kelaparan dan dehidrasi.
Di Banda Aceh, di Medan, Rumah Detensi Imigrasi penuh oleh pengungsi Rohingya Myanmar. Saking penuhnya hingga tidak memungkinkan lagi untuk menampung sekiranya ada tambahan pengungsi baru.
Saat ini saja, ratusan pengungsi sudah ditempatkan di tempat-tempat yang direkayasa menjadi semacam rumah penampungan. Termasuk di hotel-hotel kelas melati. Tiap hari, sehari dua kali, petugas dari imigrasi akan datang untuk memeriksa sekaligus memberikan konsumsi.
Saya sering bertemu mereka saat berbelanja barang keperluan harian di Indomart atau Alfamart. Kecuali warna kulit, agak sulit mengenal mereka jika hanya memandang sepintas lalu. Logat bicara mereka sudah makin mirip dengan orang Medan kebanyakan. Sudah fasih menyebut diri 'aku' atau 'awak', bahkan sudah pandai "cakap kotor", entah siapa pula yang mengajari.
Namun mereka selalu hidup dalam kecemasan. Selalu was-was karena setiap saat arah angin kebijakan Indonesia bisa saja berubah. Mata mereka, tiap kali berbicara dengan orang lain, selalu bergerak-gerak liar.
"Sekiranya mungkin, kami nggak mau dideportasi. Biarlah kami menderita di sini. Biarlah kami bekerja seperti anjing," kata seorang dari pengungsi itu. Saya bertemu dengannya beberapa kali. "Kami tak mau lagi kembali ke sana, karena itu terlalu mengerikan. Pemerintah melegalkan pembunuhan," sebutnya.
Tahun 1991, Aung San Suu Kyi mendapatkan penghargaan yang prestisius, Nobel Perdamaian. Upayanya memperjuangkan keseteraan hak sipil, khususnya dalam politik dan penegakan demokrasi di Myanmar, yang membuatnya berkali-kali harus berhadapan dengan militer dan kurungan, dianggap luar biasa.
Baca Juga
- Tak Akui Bubarkan Kajian Felix Siauw, Polisi Diingatkan Surat Yasin Ayat 65! Bunyinya Mengejutkan
- Video Detik-detik Pembubaran Pengajian Ustadz Felix Oleh Polisi, Bahkan Untuk Berdoa Saja Tidak Boleh!
- Polisi Mengaku Tak Bubarkan Acara Felix Siauw, Netizen: Ingat Pak! Saat Mulut Akan Terkunci dan Anggota Tubuh Akan Berbicara Kelak
Sepuluh tahun sebelum itu, Pemerintah Myanmar (Burma), mencabut hak kewarganegaraan etnis Rohingya. Artinya, mereka tidak diakui sebagai warga negara. Implementasinya adalah pengabaian mereka dalam pemilu-pemilu dan sensus penduduk.
Pada tahun 2012, setelah memenangi pmeilihan sebagai ketua partai yang mengantarkannya ke parlemen, Nyonya Suu Kyi tidak menunjukkan reaksi berarti atas teror dan pembantaian terhadap sedikitnya 280 warga etnis Rohingya dan memaksa 140 orang lainnya mengungsi dan terpaksa tinggal di kamp-kamp yang lebih mirip kandang kambing di kawasan pinggiran Sittwe, ibukota negara bagian Rakhine.
Saat diwawancarai televisi perihal peristiwa yang disebut sebagai Rakhine State Riots, ini Nyonya Suu Kyi datar belaka, sama sekali tidak menunjukkan ketegasan dan semangat, seperti ketika ia membakar massa untuk perkara memprotes kebijakan pemerintah terkait kebebasan berserikat dan berpolitik.
Nyonya, sekarang ratusan etnis Rohingya datang lagi ke negeri kami lantaran terus diburu untuk dimusnahkan di negeri Anda. Negeri kami bukan negeri yang senang, Nyonya, bukan negeri yang sejahtera. Termasuk jika dibandingkan Malaysia atau Tailand. Tapi tidak seperti kedua negara itu, pemerintah kami masih menerima mereka. Pengungsi-pengungsi yang kepayakan itu masih diselamatkan dari kematian. Diobati dan diberi makan, tidak dihalau, tidak dijejalkan seperti hewan ternak di atas kapal yang sewaktu-waktu bisa karam.
Namun tentu tidak bisa selamanya demikian. Persoalannya bukan lagi sekadar solidaritas sesama negara ASEAN. Bukan HAM. Bukan pula menyangkut sentimen agama. Beban pemerintah negeri ini sudah berat untuk mengasup hidup ratusan juta rakyatnya yang punya banyak sekali kemauan dan tuntutan.
Benar bahwa para pengungsi itu mendapatkan sangu dari International Organization for Migration. Besarannya mencapai Rp 1.250.000 per bulan. Cukupkah? Jelas tidak. Sekiranya pun tidak disunat oleh oknum-oknum imigrasi yang masih coba-coba mencari kesempatan dalam kesempitan, jumlah ini tetap terlalu kecil untuk memenuhi standar hidup layak di Indonesia.
Pengungsi Rohingya yang tak sempat saya kenal namanya itu, bilang, sekiranya dipakai untuk membeli mie instan terus-terusan selama sebulan, tetap saja tidak cukup. Belum lagi sandang pangan lain. Belum lagi persoalan para pengungsi yang sering pula membuat ulah. Entah itu mencoba lari, berkelahi sesamanya, atau melakukan tindak kriminal.
Sebagai pejuang kemanusiaan dan perdamaian yang telah mendapatkan pengakuan tertinggi di muka bumi, sampai kapan, Anda akan terus-menerus bungkam, Nyonya?
Twitter: @aguskhaidir tribunnews.com
[www.bringislam.web.id]
Posting Komentar untuk "Aung San Suu Kyi Si Ratu Perdamaian Tak Punya Nyali Bicara Atas Pengungsi Rohingya, Apa Karena Mereka Muslim?"