PENEGAKAN SYARIAT ISLAM DAN PEMBENTENGAN AQIDAH DALAM KONSEP NU


Penulis: Alhabib Luthfi Bashori Ketua Komisi Hukum dan Fatwa MUI dan Pengasuh Pesantren Ribath Al Murtadla Al Islami Singosari Malang

Bismillahir rahmaanir rahiim

Mengingat pada Anggaran Dasar NU Pasal 2 ayat 2 tentang tujuan berdirinya NU adalah: Menegakkan Syari’at Islam menurut haluan Ahlussunnah wal Jamaah. Maka berdasarkan pasal dan ayat ini, yang dimaksud dengan kalimat Menegakkan Syariat Islam yaitu memperjuangkan formalisasi syariat Islam dalam tatanan hukum positif negara, semisal upaya mengegolkan PERDA-PERDA anti kemaksiatan yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam. Termasuk juga upaya memberantas pornografi dan pornoaksi yang dicetuskan lewat Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi.

Jelas sekali bagi warga NU, baik yang berada pada struktur kepengrusan mulai dari pusat hingga daerah, maupun warga NU kultural, semuanya berkeharusan untuk menerapkan Anggaran Dasar NU pada pasal ini, yaitu memperjuangkan formalisasi syariat Islam. Dengan demikian jika ada kelompok yang tidak mentaati Anggaran Dasar NU apalagi hingga menentangnya, maka sudah bisa dipastikan bahwa mereka ini pada hakekatnya bukanlah warga NU, sekalipun kelompok ini dalam statusnya sebagai pengurus NU, karena secara otomatis kelompok ini sudah keluar dari Ormas NU. Demikian ini tentunya jika warga NU konsekwen dengan ketentuan dan ajaran para pendahulunya yang dituangkan dalam AD/ART Organisasi.

Masih segar dalam ingatan bahwa Abdurrahman Wahid dan kelompoknya, menolak keras terhadap pemberlakuan RUU APP yang digodok oleh Pansus DPR RI. Sehingga sampai saat ini RUU APP menjadi tidak jelas arah dan tujuan, serta keberlanjutannya. Penolakan Abdurrahman Wahid Cs ini jelas-jelas bertentangan dengan tujuan didirikannya Organisasi NU sebagaimana tersebut diatas.

Pada upaya pembentengan aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah KH. Hasyim Asy’ari telah mengajarkan sebagaimana yang termaktub dalam Muqaddimah Qanun Asasi NU, mengenai keharusan warga NU menolak bid’ah dholalah (ajaran/aliran sesat), yang dikembangkan oleh para pengusungnya dalam tubuh NU. Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari telah melarang warga NU mengikuti aliran sesat semisal Syi’ah Zaidiyyah, padahal kesalahannya relatif ringan, yaitu mereka mengatakan bahwa S. Ali bin Abi Thalib lebih afdhal daripada S. Abu Bakar dan S. Umar RA, kesalahan itupun sudah dianggap sesat dan ditolak oleh Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, apalagi Syi’ah Imamiyyah Khoemaniyyah yang saat ini berpusat di Iran. Yang mana salah satu ajaran Syi’ah Imamiyah adalah mendiskriditkan hingga mencaci-maki, bahkan sampai mengkafirkan para Sahabat RA. Hal tersebut sebagaimana yang termaktub dalam kitab rujukan utama mereka Al-Kaafi karangan Al-Kulaini.

Untuk itulah warga NU harus mempertanyakan pertanggung-jawaban PBNU atas maraknya kembali aliran Syi’ah di Indonesia akhir-akhir ini, karena hal itu tidak lepas dari penerimaan presiden Iran di kantor PBNU pada tanggal 22 Mei 2006. Padahal pemerintahan Iran dengan terang-terangan menyediakan beasiswa bagi para pelajar Indonesia untuk menimba ilmu di negeri Iran. Sudah menjadi rahasia umum adanya puluhan mahasiswa yang kini belajar aqidah Syi’ah Imamiyah di kota Qum Iran, yang mana salah satu programnya adalah memperdalam aqidah Syi’ah Imamiyah untuk diajarkan kepada masya-
rakat saat mereka pulang nanti. Jadi jelas, kebijakan PBNU menerima presiden Iran, adalah termasuk Syubhat dalam pendidikan dan dakwah yang sangat bertentangan dengan ajaran Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari.

Warga NU juga harus menolak dengan tegas ajaran dan pemikiran SEPILIS (Sekulerisme-Pluralisme-Li

beralisme) yang marak diusung oleh tokoh-tokoh liberal. Saat ini sebagian dari mereka justru ada yang menjabat sebagai pengurus NU baik pada tingkat pusat, wilayah propensi, maupun daerah, padahal pemikirannya telah keluar dari Anggaran Dasar maupun Muqaddimah Qanun Asasi NU.

Sebagai contoh Masdar F. Mas’udi salah seorang pengurus PBNU yang melontarkan gagasan liberalnya tentang manasik haji, dia memperbolehkan amalan wuquf di Arafah hingga mabit dan lempar jumrah di Mina pada waktu-waktu selain tanggal 10 s/d 13 Dzul Hijjah, dengan alasan demi keselamatan jiwa. Semisal jika ada jamaah haji yang akan wuquf di Arafah dan mabit di Mina pada bulan Syawwal, karena menurut Masdar, bulan Syawwal termasuk dalam katagori ayat Alhajju asyhurun ma’luumaat (haji itu dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu), alias mulai bulan Syawwal hingga Dzul Hijjah, demikianlah cara Masdar menafsiri ayat ini secara global. Kesalahan Masdar adalah tidak merujuk kepada hadits Nabi SAW Khudzuu ‘anni manaasikakum (ambillah/ikutilah aku (Nabi SAW) dalam melaksanakan manasik hajimu). Nabi SAW sendiri melaksanakan ibadah haji dan mengajarkannya tepat tanggal 10 sd 13 Dzul Hijjah.

Manasik haji inipun sudah dilaksanakan oleh masyarakat Islam seluruh dunia, mulai sejak Nabi SAW masih hidup, dan dilanjutkan oleh para ulama salaf, termasuk para pendiri dan sesepuh NU, dan segenap umat Islam hingga saat ini.

Contoh lain adalah keberadaan Said Agil Siraj dalam kepengurusan PBNU. Masih segar dalam ingatan warga NU, atas sepak terjang Said Agil, saat dia berkhotbah dalam acara misa di sebuah gereja di Surabaya, yang mana beritanya dimuat oleh majalah milik warga NU, AULA. Dengan tanpa merasa berdosa Said Agil berkhotbah di depan umat Kristiani sedangkan background belakangnya adalah salib patung Yesus dalam ukuran yang cukup besar.
Belum lagi gagasan liberal yang dilontarkannya saat mengisi sebuah acara di Jawa Timur, Said Agil merencanakan pembangunan sebuah gedung bertingkat, dengan komposisi lantai dasar akan diperuntukkan sebagai masjid bagi umat Islam, sedangkan lantai tingkat satu diperuntukkan sebagai gereja bagi umat Kristiani, lantai tingkat dua diperuntukkan sebagai pure bagi penganut Hindu, demikian dan seterusnya.

Tidak kalah pentingnya, warga NU harus kritis dan mempertanyakan langkah Ketua Tanfidziah PBNU, Hasyim Muzadi yang justru menjadi bemper bagi pembangunan tiga gereja ilegal dalam satu dusun di wilayah Pandaan Jatim, yang mana IMB tiga gereja itu tengah dipermasalahkan oleh warga setempat, bahkan keberadaannya yang ilegal cukup meresahkan masyarakat. Berita pembelaan Ketua Tanfidziyah PBNU ini sempat dirilis oleh media.

Tentunya kita tidak ingin Organisasi NU ini dijadikan komoditi bagi kepentingan berkembangnya aliran sesat di Indonesia, maupun kepentingan non muslim, sebab hal ini sangat bertentangan dengan ajaran syariat Nabi SAW dan ijtihad para ulama salaf yang menjadi basic pemikiran para pendiri NU.

Alangkah baiknya jika warga NU ikut peduli terhadap permasalahan-permasalahan yang tampak sepele tetapi berakibat fatal bagi aqidah umat, lantas berupaya membersihkan ‘Penyakit-penyakit Aqidah’ dari tubuh NU.


Janganlah engkau perjualbelikan ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah (QS. AlBaqarah : 41)
(pejuangislam)

Posting Komentar untuk "PENEGAKAN SYARIAT ISLAM DAN PEMBENTENGAN AQIDAH DALAM KONSEP NU"