Riba Yang Subur Di Alam Demokrasi Mengundang Adzab

Bundaran HI
Irfan Ramadhan al-Raaqiy (Abu Muhammed Naveed Islamovic)

-Penulis Buku “Menyingkap Jin & Dukun Hitam Putih Indonesia” & Staff di Kulliyyatusy Syarii’ah wa al-Diraasaat al-Islaamiyyah al-Raayah-

Kajian Tafsir, Ushuul al-Fiqh & Syarh Para Ulama

الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على سيد المرسلين، أما بعد

Artikel ini ditulis sebagai nasihat, koreksi dan peringatan terhadap para penguasa yang berdiam diri, atau bahkan yang menyuburkan riba & bersekutu dengan musuh-musuh Allah & Rasul-Nya

الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على سيد المرسلين، أما بعد

وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣

 “Demi Masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”(QS. al-‘Ashr: 1-3)

PASAL I: HUKUM RIBA BERDASARKAN DALIL-DALIL AL-QUR’AN & AL-SUNNAH (DENGAN PENJELASAN PARA ULAMA)

Para ulama menjelaskan:

الربا محرم في القرآن و السنة، جاء تحريمه في القرآن في عدة آيات و في السنة أحاديث كثيرة تتضمّن النهيَ الشديد عن الربا

“Riba telah diharamkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah, pengharamannya dijelaskan oleh al-Qur’an dalam banyak ayat-ayatnya dan juga oleh al-Sunnah dalam banyak hadits-haditsnya yang seluruhnya mengandung kecaman yang sangat keras terhadap riba.”

Pertama, Dalil-Dalil Syar’i dari Ayat-Ayat al-Qur’an

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat): “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”  (TQS al-Baqarah: 275).

Bahts al-Kutub: Kajian Tafsir Para Ulama

Al-‘Alim al-Syaikh Atha’ bin Khalil (Amir HT) menjelaskan dalam kitab Tafsir al-Taysiir fii Ushuul al-Tafsiir:

وذكر الله سبحانه في هذه الآيات (الربا) وبين عظم جريمته وسوء صنيع أهله والعقاب الشديد والعذاب الأليم على هذه الشنيعة والمنكر العظيم بعد أن بين الله سبحانه أجر المنفقين حلالاً طيبًا في سبيل الله، بين في هذه الآيات مصير ألئك المنفقين حرامًا وعصيانًا لله سبحانه و لرسول الله صلوات الله وسلامه عليه. (التيسير في أصول التفسير للشيخ العليم عطاء بن خليل)

Allah SWT menyebutkan dalam ayat-ayat tentang riba, dan Allah SWT pun menjelaskan besarnya kejahatan dan betapa buruknya perbuatan pelakunya, disamping (menjelaskan) hukuman yang sangat keras dan adzab yang sangat pedih atas kejahatan dan kemungkaran yang besar ini, setelah Allah SWT menjelaskan balasan pahala bagi orang-orang yang mengeluarkan harta yang halal dan baik di jalan Allah. Dijelaskan dalam ayat-ayat ini (ayat-ayat tentang riba), apa yang dialami orang-orang yang mengeluarkan harta secara terlarang dan bermaksiat kepada Allah SWT dan kepada Rasulullaah SAW.

Abu Hayan dalam kitab tafsir, Tafsiir al-Bahr al-Muhiith, menjelaskan:

مناسبة هذه الآية لما قبلها أن ما قبلها وارد في تفضيل الإنفاق والصدقة في سبيل الله ، وأنه يكون ذلك من طيب ما كسب ، ولا يكون من الخبيث . فذُكر نوع غالب عليهم في الجاهلية ، وهو : خبيث ، وهو : الربا ، حتى يمتنع من الصدقة بما كان من ربا (تفسير البحر المحيط، لأبي حيان محمد بن يوسف بن علي بن يوسف بن حيّان)

Keterkaitan ayat ini dengan ayat sebelumnya (QS. Al-Baqarah [2]: 274) bahwa ayat sebelumnya menyebutkan keutamaan mengeluarkan harta di jalan Allah SWT, dan dinyatakan bahwa amal perbuatan itu merupakan amal baik, dan tidak termasuk perbuatan keji. Dan disebutkan jenis perbuatan yang banyak dilakukan orang-orang pada masa jahiliyyah, yakni perbuatan keji berupa riba. Sehingga riba ini menghalangi (orang-orang pada masa jahiliyyah) untuk menyedekahkan hartanya.

Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim, menjelaskan:

أي: لا يقومون من قبورهم يوم القيامة إلا كما يقوم المصروع حال صرعه وتخبط الشيطان له؛ وذلك أنه يقوم قياما منكرًا. وقال ابن عباس: آكل الربا يبعث يوم القيامة مجنونا يُخْنَق. رواه ابن أبي حاتم. وقوله: { ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا } أي: إنما جُوزُوا بذلك لاعتراضهم على أحكام الله في شرعه

“Yakni mereka tidak bangkit dari kubur mereka pada hari kiamat kecuali seperti berdirinya orang yang gila, dengan kondisi kegilaan karena dirasuki dan disambar syaithan, dan hal itu karena perbuatan menegakkan kemungkaran. Ibnu Abbas r.a. berkata: “Para pemakan riba bangkit pada hari kiamat dalam keadaan gila (diriwayatkan Imam Ibn Abi Hatim)” Dan firman-Nya: (Hal itu dikarenakan mereka mengatakan bahwa sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba) yakni ketika mereka memperbolehkan hal itu (riba) untuk berpaling dari hukum-hukum Allah yang telah disyari’atkan-Nya.”

Imam al-Alusiy mengatakan dalam kitab Ruuh al-Ma’aaniy fii Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim wa al-Sab’u al-Matsaniy:

{ الذين يَأْكُلُونَ الربا } أي يأخذونه فيعم سائر أنواع الانتفاع والتعبير عنه بالأكل لأنه معظم ما قصد به (روح المعاني في تفسير القرآن العظيم والسبع المثاني لشهاب الدين محمود ابن عبدالله الحسيني الألوسي)

(Orang-orang yang memakan harta riba) yakni orang-orang yang mengambil harta riba, (frase) ini mencakup segala bentuk pemanfaatan (terhadap harta riba), dan penggunaan ungkapan “makan” karena ungkapan ini merupakan hal yang paling banyak jadi tujuan orang.

Imam al-Baghawiy menjelaskan dalam tafsirnya, Ma’aalim al-Tanziil :

 قوله تعالى: { الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا } أي يعاملون به، وإنما خص الأكل لأنه معظم المقصود من المال { لا يَقُومُونَ } يعني يوم القيامة من قبورهم { إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ } أي يصرعه { الشَّيْطَان } (معالم التنزيل لمحيي السنة ، أبو محمد الحسين بن مسعود البغوي)

Firman Allah SWT: (Orang-orang yang memakan harta riba) yakni orang-orang yang bermu’amalah secara ribawi, dan penggunaan istilah khusus “makan” karena ia paling sering dijadikan sebagai maksud pemanfaatan harta, (mereka tidak bisa berdiri) yakni pada hari kiamat dari kubur mereka (kecuali seperti berdirinya orang-orang yang kerasukan) yakni kesurupan (syaithan).

Berikut dalil-dalil al-Qur’an lainnya:

يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS al-Baqarah: 276)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS al-Baqarah: 279)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبا أَضْعَافاً مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS Ali Imraan: 130)

Kedua, Dalil-Dalil dari al-Sunnah al-Shahiihah Berikut Penjelasan Para Ulama

اجْتَنِبُوُا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ, قُلْنَا: وَمَا هُنّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالحْقِّ وَأَكْلَ الرِّبَا وَأَكْلَ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلَّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقًذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتَ الْغَافِلَاتِ – رواه مسلم عن أبي هريرة

“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan” Kami bertanya: “Apa sajakah itu wahai Rasulallaah?” Rasulullaah SAW bersabda: “menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alas an yang benar (syar’i), memakan harta riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran (jihad), menuduh zina wanita mukminah yang menjaga kehormatannya, ” (HR. Muslim dari Abu Hurayrah r.a.)

 أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ، وَثَمَنِ الْكَلْبِ، وَكَسْبِ الْأَمَةِ، وَلَعَنَ الْوَاشِمَةِ، وَالْمُسْتَوْشَمَةِ، وَآَكِلَ الرِّبَا، وَمُوَكِّلَهُ، وَلَعَنَ الْمُصّوِّرِ

“Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang hasil penjualan darah, hasil penjualan anjing, dan penghasilan budak wanita; dan melaknat orang yang mentato, yang ditato, pemakan riba, dan pemberi riba; dan melaknat pelukis.”  (HR al-Bukhari dari Abu Jahifah dari bapaknya)

الرِبَا ثَلاثَة وَسَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عَرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمَ

“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah menzhalimi kehormatan seorang muslim.” (HR Ibn Majah).

Hadits Riwayat Imam Muslim:

 قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم- : لعن الله آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهده – رواه مسلم.

Rasulullaah SAW bersabda: “Allah melaknat para pemakan riba, orang yang memberi riba, pencatat transaksi riba dan orang yang menjadi saksinya.” (HR. Muslim)

Hadits Riwayat Imam Muslim dari Jabir bin ‘Abdillaah:

عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال : لعن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- آكل الربا ، و موكله ، و كاتبه ، و شاهديه ، و قال : هم سواء – رواه مسلم

Dari Jabir bin ‘Abdullah r.a.: “Rasulullaah SAW melaknat para pemakan riba, orang yang memberikan riba, pencatat transaksi riba, dan dua orang yang menjadi saksi riba.” Dan Rasulullaah SAW bersabda: “Mereka semua sama.” (HR. Muslim)



Bahts al-Kutub: Syarh Hadits Para Ulama

 Penjelasan al-‘Allamah al-Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Jawiy dalam Kitab Bahjatul Wasaa’il bi Syarh al-Masaa’il  dan kitab Mirqaatu Shu’uud al-Tashdiiq fii Syarh Sullam al-Tawfiiq ilaa Mahabbatillaahi ‘alaa al-Tahqiiq  – Penerbit: Daar al-Kutub al-Islaamiyyah:

Syaikh Nawawi ketika menjelaskan pasal al-Manhiyyaat min al-Buyuu’ (Hal-Hal Terlarang dalam Jual Beli) mengatakan:

و أما معاصي الجوارح : أي الأعضاء السبعة (فمعاصي البطن مثل أكل الربا) – فصل : في المنهيات من البيوع

“Adapun maksiat dari perbuatan yang tampak lahir: yakni tujuh anggota badan (maksiat perut diantaranya adalah memakan harta riba).”

Syaikh Nawawi pun menjelaskan hadits di atas:

(و قد لعن الله ورسوله آكل الربا وكل من أعان على أكله) فمعنى قوله ((آكله)) أي آخذه، ومعنى ((موكله)) أي معطيه، ومعنى ((كاتبه)) أي كاتب الوثيقة، ومعنى ((شاهده)) أي حاضره وإن لم يستشهد. كذا قاله الشرقاوي

“Dan sungguh Allah dan Rasul-Nya telah melaknat para pemakan riba dan setiap orang yang mendukung perbuatan tersebut. Maka makna sabdanya: (Para pemakan riba) yakni yang mengambil riba, (pemberi riba) yakni yang memberi riba, (pencatat riba) yakni orang yang mencatat perjanjian transaksi ribawi, (saksi riba) yakni orang yang hadir -menyaksikan transaksi ribawi- meski ia tidak diminta menjadi saksi. Begitulah pendapat Imam al-Syarqawiy.”

 والأولان أشد إثمًا من الآخرين، لأن الواقع منهما مجرد الإقرار على المعصية بخلاف الأولين ، أفاد ذلك الشرقاوي.

“Dan dua golongan di awal (pemakan dan pemberi riba) paling besar (dosanya) daripada yang lainnya, karena pada kenyataannya kedua golongan ini secara langsung berikrar sepakat dalam kemaksiatan lain halnya dengan dua golongan setelahnya (pencatat dan saksi transaksi ribawi).”

Penjelasan Kitab al-Hadiits lil Mustawaa’ al-Raabi’ – Jaami’atul Imaam Muhammad bin Su’uud al-Islaamiyyah

آكل الربا : هو من يأخذه وإن لم يأكل، وإنما خُصَّ الأكلُ لأنه أعظم أنواع الانتفاع

“Pemakan riba (آكل الربا): orang yang mengambil harta riba meski ia tidak memakannya, dan penggunaan lafazh khusus “memakan” karena istilah ini merupakan jenis pemanfaatan paling besar.”

موكل الربا : معطيه لمن يأخذه وإن لم يكن الآخِذُ سيأكلُ منه، وعبّرَ بالأكل لأنه الأغلبُ والأعظم.

“Pemberi riba (موكل الربا): orang yang memberikan riba, meski orang yang mengambil harta riba darinya tidak memakan hasil riba tersebut. Digunakan kata “makan” karena ini merupakan bentuk perbuatan yang paling sering dan paling banyak dilakukan.”

كاتب الربا : من يكتب عقدَ المبايعة بين الطرفين

“Pencatat riba (كاتب الربا): orang yang menuliskan perjanjian transaksi antara pihak-pihak (yang bertransaksi).”

شاهد الربا : هما اللذان شهِدا على عقد الربا

“Saksi riba (شاهد الربا): orang yang menjadi saksi atas transaksi riba.”

هم سواء : مشتركون في الإثم وإن كانوا مختلفين في قَدْره

“Mereka semua sama (هم سواء): bersekutu dalam dosa meski kadar dosanya berbeda-beda.”

Karena keterbatasan, silahkan bisa dirujuk penjelasan para ulama terkait riba dari sudut pandang islam yang tidak terhitung banyaknya.

PASAL II: KAJIAN USHUUL AL-FIQH ATAS DALIL-DALIL PENGHARAMAN RIBA

Dalil-Dalil Al-Qur’an & al-Sunnah di Atas Mengandung Indikasi Tegas yang Mengharamkan & Mengecam Orang-Orang yang Terlibat dalam Transaksi Ribawi

Dalam ilmu ushûl al-fiqh  -Pembahasan tentang ini bisa dirujuk dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, al-‘Alim al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil (Amir HT)-: ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits di atas jelas mengandung indikasi tegas (qarînah jâzimah)[1] mengharamkan riba, mengecam orang-orang yang terlibat dalam transaksi ribawi:

Pertama, celaan Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 275 di atas “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila” ditambah dengan ketegasan “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Ditambah dengan celaan pada bagian akhirnya: “Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

Begitu pula dalam ayat-ayat al-Qur’an selain QS. Al-Baqarah: 275.

Kecaman Allah terhadap pemakan riba dalam ayat QS. Al-Baqarah: 276; “Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”

Perintah untuk bertakwa dalam QS. Al-Baqarah: 279 kepada orang-orang mukmin: “bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”  disertai kecaman bagi orang yang masih mengambil harta riba “maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu.”

Begitu pula larangan memakan riba, perintah bertakwa dan pujian bagi orang yang bertakwa dalam QS. Ali Imran: 130; “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (TQS Ali Imraan: 130)

Kedua, lafazh perintah “jauhilah” (ijtanibuu) kecaman “tujuh perkara yang membinasakan” (al-sab’a al-muubiqaat) dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim di atas. Dan termasuk satu dari tujuh jenis dosa besar yang disebutkan dalam hadits.

Ketiga, lafazh la’ana.  Lafazh la’ana dimaknai para ‘ulama sebagai berikut:

اللعن في اللغة: هو الإبعاد والطرد من الخير و قيل الطرد والإبعاد من الله ومن الخلق السب والشتم. و أما اللعن في الشرع: هو الطرد والإبعاد من رحمة الله وهو جزء من جزئيات المعنى اللغوي فمن لعنه الله فقد طرده وأبعده عن رحمته واستحق العذاب. و الأعمال التي لعن مقترفها هي من كبائر الذنوب.

“Lafazh al-la’n secara bahasa yakni jauh dan terhempas dari kebaikan, dikatakan pula yakni terjauhkan dari rahmat Allâh SWT dan dari makhluk-Nya secara terhina dan terkutuk. Adapun makna laknat (al-la’n) secara syar’i adalah terhempas dan terjauhkan dari rahmat Allâh SWT dan makna ini merupakan bagian dari maknanya secara bahasa pula, maka barangsiapa yang dilaknat Allâh SWT, maka Allâh SWT telah menghempaskan dan menjauhkannya dari rahmat-Nya dan layak mendapatkan adzab-Nya. Dan perbuatan-perbuatan yang terlaknat itu merupakan dosa besar.”[2] (Lihat: al-Mal’ûnûn fî al-Sunnah al-Shahîhah, Doktor Fayshal al-Jawabirah – Wizârah al-Syu’ûn al-Islâmiyyah)

Imam al-Raghib al-Ashfahani menjelaskan:

معنى اللعن : الطرد والإبعاد على سبيل السخط، وذلك من الله في الآخرة عقوبة، وفي الدنيا انقطاع من قبول رحمته وتوفيقه.

“Makna laknat (al-la’n) adalah terhempas dan terjauhkan masuk ke jalan kemurkaan, yakni terhempas dan terjauhkan dari Allâh SWT, di akhirat mendapat siksa, dan di dunia ia terputus dari rahmat dan taufik-Nya.[3] (Lihat: Mufradât Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, Imam al-Raghib al-Ashfahani. Lihat pula As-ilatun Bayâniyyatun fî al-Qur’ân al-Karîm karya Dr. Fadhil Shalih al-Saamarâ-iy)

Dalil-Dalil yang Mengharamkan Riba: Muthlaq Tanpa Muqayyad (Pengecualian/ Pembatasan)

Para ulama menjelaskan bahwa dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang secara tegas mengharamkan segala bentuk transaksi ribawi itu mutlak, tidak ditemukan adanya dalil yang membatasi pengharaman riba (taqyiid). Misalnya tidak ditemukan adanya dalil yang menjelaskan kebolehan riba yang sedikit, maka bisa dipahami bahwa riba; sedikit atau banyaknya tetap haram (muthlaq) dikecam oleh Allah dan Rasul-Nya.

Dalam kitab Ushuul al-Fiqh, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menjelaskan tentang beramal dengan dalil muthlaq:

يجب العمل بالمطلق على إطلاقه إلا بدليل يدل على تقييده، لأن العمل بنصوص الكتاب والسنة واجب على ما تقتضيه دلالتها حتى يقوم دليل على خلاف ذلك. إذا ورد نص مطلق ونص مقيد وجب تقييد المطلق به إن كان الحكم واحدًا

“Wajib hukumnya beramal dengan kemutlakan dalil kecuali jika ada dalil yang membatasinya. Karena beramal dengan nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah wajib diamalkan dengan tuntutan yang ada dalam petunjuk nash tersebut hingga ada dalil pengecualiannya. Jika disebutkan adanya nash yang mutlak dan nash yang muqayyad (nash yang membatasi kemutlakan), maka kemutlakan dalil tersebut wajib dibatasi (adanya pengecualian) jika memang dalil-dalil tersebut ada dalam satu pembahasan hukum.”

PASAL II: MUHASABAH: BERDIAM DIRI & MENDUKUNG RIBA MENGUNDANG ADZAB ALLAH SWT

إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا والرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ (رواه الطبراني و الحاكم)

“Jika perzinahan dan riba sudah merajalela di suatu negeri maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan adzab Allah atas mereka.” (HR. al-Thabrani & al-Hakim)

Penguasa Akan Dimintai Pertanggungjawaban Atas Riba yang Merajalela & Berkiblatnya Mereka Kepada IMF-PBB

Islam telah menegaskan kedudukan penguasa sebagai râ’in (penggembala) yang bertanggungjawab atas ra’iyyah (gembala)-nya. Dan menjauhkan umat dari kemungkaran termasuk tanggung-jawabnya.

أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhârî, Muslim & Lainnya)

 مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibn Majah)

 وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, hendaknya kalian beramar ma’ruf dan nahi munkar atau jika tidak niscaya Allâh akan mengirimkan siksa-Nya dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya namun do’a kalian tidak lagi dikabulkan.” (HR. al-Tirmidzi & Ahmad. Hadits Hasan)

Lantas, bagaimana dengan penguasa di negeri-negeri kaum muslimin? Padahal mereka akan dimintai pertanggungjawaban jika berdiam diri terhadap merajalelanya riba. Lebih berbahaya lagi, jika para penguasa yang justru mendukung program pengembangan riba, menyuburkan riba yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya.

Dan lebih buruk lagi jika para penguasa ini bersekutu dalam kemungkaran riba dengan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya (AS & sekutu) dan organisasi-organisasi alat penjajahan ideologis mereka (PBB – IMF, World Bank, dll.) yang membenci kaum muslimin dan tidak menginginkan kebaikan baginya. Apakah sudah kabur prinsip al-walaa’ wal bara’ dalam benak kita? Allaahummaghfirlanaa… Wal ‘iyaadzu billaah.

Al-Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya, al-Daa’ wa al-Dawaa’, menegaskan bahwa kecintaan dan sikap loyal (setia) kepada orang beriman tersebut tidaklah sah jika tidak diiringi dengan kebencian dan sikap permusuhan terhadap musuh-musuh Allah SWT dari kalangan orang kafir dan para pembelanya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآَيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS Ali Imran [3]: 118)

Allah SWT menerangkan penyebab larangan tersebut. Diantaranya Allah SWT berfirman: lâ ya’lûnakum khabâl[an] ([karena] mereka tidak henti-hentinya [menimbulkan] kemudaratan bagimu). Imam Al-Alusi dan Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa  kata al-khabâl berarti al-syarr wa al-fasâd (keburukan dan kerusakan). Menurut al-Syaukani, makna al-khabâl adalah kerusakan dalam perbuatan, badan, dan akal.

Dengan demikian, kaum kafir senantiasa menempuh berbagai upaya dan strategi mereka untuk menimbulkan keburukan, kerusakan, dan bencana bagi kaum Muslim. Kerusakan yang ditimbulkan itu, kata al-Jazairi dalam Aysar al-Tafâsîr, bersifat menyeluruh, baik dalam urusan dîn maupun urusan dunia.

Dalam perkara dîn, mereka berupaya keras memurtadkan umat Islam dari agama mereka (lihat QS al-Baqarah [2]: 217, Ali Imran [3]: 98-100). Mereka tidak rela selama kaum Muslim belum mengikuti agama mereka (QS al-Baqarah [2]: 120). Sehingga mereka pun giat mempropagandakan sekularisme, liberalisme, pluralisme, HAM, dan berbagai ide kufur lainnya kepada kaum Muslim; mendukung dan mensponsori ide sesat semacam Islam Liberal, Ahmadiyyah, dll; mengekspor gaya hidup bebas, seperti perilaku free sex; menghalangi terbitnya UU Antipornografi, dsb. Itu semua mereka lakukan untuk merusak aqidah kaum Muslim.

Dalam perkara dunia, mereka menjalankan berbagai langkah untuk menjarah kekayaan kaum Muslim. Mereka menekan rezim di negeri Muslim untuk memberlakukan sistem ekonomi liberal. Dengan sistem ekonomi tersebut, akan lebih mudah bagi mereka menguasai tambang-tambang di negeri-negeri Muslim. Akibatnya, kaum Muslim hidup miskin meskipun memiliki kekayaan alam melimpah ruah. Mereka juga memaksakan utang hingga kaum Muslim terperangkap dalam hegemoni mereka. Ini semua menunjukkan bahwa kaum kafir itu memang benar-benar memusuhi Islam dan umatnya. (Lihat pembahasan lengkap tentang ini dalam majalah al-Wa’ie/ Kajian Tafsir Ust. Rahmat Labib)

Justru pada kenyataannya, alasan membangun ekonomi Negara dengan cara pinjaman ribawi kepada IMF-PBB atau World Bank, akan membuka peluang besar penguasaan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya terhadap kaum muslimin yang diharamkan dalam ayat-Nya yang mulia:

…وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً

… dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman. (QS an-Nisa’[4]: 141)

Keberkahan Hidup Hanya Ada di Jalan Allah & Rasul-Nya

Apakah mereka lupa? Bahwa keberkahan hidup tidak akan bisa diraih kecuali dengan keta’atan terhadap Allah dan Rasul-Nya dengan menjalankan syari’at Islam secara kaaffah. Mengharapkan peningkatan ekonomi dengan meminjam uang riba kepada IMF –lintah darat dunia- tentu suatu kesalahan yang besar!

وَكَذَ‌ٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaithân-syaithân (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS. al-An’âm [6]: 112)

Tentu kita berlindung kepada Allah dari sifat orang-orang yang disebutkan dalam ayat-ayat ini:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thâghût, Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thâghût itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. al-Nisâ’ [4]: 60)

وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ الرَّحْمَـٰنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ ﴿٣٦﴾ وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُم مُّهْتَدُونَ ﴿٣٧

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’ân), kami adakan baginya Syaithân (yang menyesatkan) maka Syaithân itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syaithân-syaithân itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS. al-Zukhruf [43]: 36-37)

اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ

“Syaithân telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allâh…..” (QS. al-Mujâdilah [58]: 19)

وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا ﴿١١٩﴾ يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ ۖ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا ﴿١٢٠

“Dan aku (syaithân) benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allâh), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaithân menjadi pelindung selain Allâh, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Syaithân itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaithân itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (QS. al-Nisâ’ [4]: 119-120)

Kemaslahatan yang Benar dalam ISLAM

Hati-hati dengan alas an kemaslahatan dan tidak dipahami dengan benar. Kemaslahatan yang didasarkan pada pertimbangan ra’yu semata dan bertentangan dengan nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah jelas batil.

وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Secara prinsip, kemaslahatan hakiki ialah ketika umat Islam mengamalkan syariat Allâh SWT, bukan kemaslahatan menurut hawa nafsu dan akal yang serba relatif.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

”Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS al-Anbiyâ’ [21]: 107)

Berkaitan dengan ayat di atas, Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi menafsirkan:

أي وما أرسلناك يا أشرف الخلق بالشرائع إلا رحمة للعالمين

“Tidaklah Kami mengutus engkau wahai sebaik-baiknya makhluk (Nabi Muhammad SAW) dengan membawa berbagai peraturan (syari’at islam) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”[4] (Lihat: Tafsîr Marah Labid (Tafsîr Munîr) (II/47))

Syari’at Islam pasti mengandung maslahat, dalam kaidah ushûl al-fiqh:

حَيْثُمَا يَكُوْنُ الشَّرْعُ تَكُوْنُ اْلمَصْلَحَةُ

“Jika hukum syara’ diterapkan, maka pasti akan ada kemaslahatan.”[5] (Lihat: al-Fikr (hlm. 41-43), Muhammad Isma’il)

Syaikhul Islam (24/280) berkata: “Bukan menjadi hak hamba untuk menepis setiap mudharat dengan apa saja yang disukai, dan tidak pula meraih setiap manfaat dengan apa saja yang disukai, melainkan ia tidak boleh meraih manfaat kecuali dengan apa yang mengandung taqwa pada Allâh SWT, dan tidak pula menepis mudharat kecuali dengan sesuatu yang mengandung taqwa kepada Allâh SWT.”

Tentu, kita berlindung kepada Allah dari apa yang diungkapkan al-Hafizh Ibn ‘Abd al-Bar al-Andalusi dalam sya’irnya (Lihat: Bahjatul-Majâlis wa Unsul-Majâlis (I/169)):

أأخي إن من الرجال بهيمة                                    في صورة الرجل السميع المبصر

                   فطن لكل مصيبة في ماله                                                   وإذا يصاب بدينه لم يشعر

“Wahai saudaraku, diantara manusia ada yang bersifat bagaikan binatang”

“Dalam rupa seseorang yang mampu mendengar dan berwawasan”

“Terasa berat baginya jika musibah menimpa harta bendanya”

“Namun jika musibah menimpa agamanya, tiada terasa”[6]

Allâh SAW memerintahkan kaum muslimin:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS. al-Baqarah [2]: 208)

Al-Hafizh Ibn Katsir menyatakan dalam tafsirnya:

يقول تعالى آمرًا عباده المؤمنين به المصدّقين برسوله: أنْ يأخذوا بجميع عُرَى الإسلام وشرائعه، والعمل بجميع أوامره، وترك جميع زواجره ما استطاعوا من ذلك.

“Allâh SWT berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk membenarkan Rasul-Nya: mengambil seluruh ikatan dan syari’at Islam, mengamalkan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai kemampuan (dengan segenap kemampuan-pen.).”

Banjir: Muhasabah atas Kondisi Umat Islam Hari Ini (Ahwâlul Muslimîn al-Yawm)

Bagaimana kondisi kehidupan kaum Muslimîn saat ini? Muhasabah atasnya, merupakan pelajaran berharga dalam proses perubahan dari kegelapan menuju cahaya terang benderang. Al-Qur’an dan al-Sunnah telah menjelaskan pemisah antara yang haq dan yang bathil.

Ingat! Segala bentuk simbol, pemikiran, sistem aturan yang melanggar akidah dan syari’at Islam, termasuk tradisi dan praktik kehidupan yang mengandung pelanggaran terhadap akidah dan syari’at Islam, akan melemahkan umat dan menjerumuskannya pada keterpurukan. Kenyataannya, negeri ini dilanda krisis penghidupan. Allâh SWT berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thâhâ [20]: 124)

Sebagian ulama ahli tafsir menafsirkan “ذكرى” dalam ayat di atas adalah al-Qur’an. Artinya, orang-orang yang berpaling dari al-Qur’an, akan diterpa kehidupan yang sempit (al-dhayyiqah al-syadîdah).

Orang yang berpaling dari peringatan Allâh adalah orang yang menyalahi perintah Allâh dan seluruh wahyu yang diturunkan kepada para rasul-Nya, tidak mengindahkannya, melupakannya, serta mengambil petunjuk dari selain aturan Allâh SWT.

Sedangkan kehidupan yang sempit (ma’îsyat[an] dhankâ) adalah tiadanya ketenangan di dunia, ditimpa kenestapaan, keyakinannya berguncang, dan disiksa di alam kubur.

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.”
(QS. al-Rûm [30]: 41)

وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allâh kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 49)

Rasûlullâh SAW bersabda:

إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا والرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

“Apabila zina dan riba telah nampak (mendominasi) di suatu kampung, maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan diri mereka dari azab Allâh.” (HR al-Thabarani dan al-Hakim)

Rasûlullâh SAW diriwayatkan bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ

“Sesungguhnya seseorang akan ditahan rizkinya karena dosa yang dia lakukan.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibn Majah)

Jadi bahan renungan! Bukankah umat ini sedang dilanda krisis penghidupan dan banyak diterpa bencana alam? Apakah karena umat masih loyal terhadap Kapitalisme-Demokrasi, sehingga terjebak ekonomi ribawi?

Padahal, Islam melarang keras segala bentuk transaksi riba, apakah yang bertambah sedikit, terlebih terlarang riba yang berlipat ganda. Karena Allâh mengharamkan riba secara mutlak dalam QS. al-Baqarah [2]: 275, dan tidak ada dalil yang membatasinya (taqyid).

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allâh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. al-Baqarah [2]: 275)

Syaikh Riyadh Muhammad Samahah: “Ketika orang-orang musyrik semakin sering mencaci maki al-Qur’ân, dada Rasûlullâh SAW terasa semakin sesak. Beliau SAW mengadu kepada Allâh SWT:

وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَـٰذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا

“Berkatalah Rasul, “Wahai Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Qur’ân ini sesuatu yang ditinggalkan.” (QS. al-Furqân [25]: 30)

Imam Ibnu Qayyim berkata: “Meninggalkan al-Qur’ân atau hijrah dari al-Qur’ân ada beberapa macam;
1. Tidak mau mendengarkannya,
2. Tidak mau beriman kepadanya,
3. Tidak mau tunduk dan berhukum kepadanya,
4. Tidak mau melakukan tadabbur dan tidak mau memahami maknanya,
5. Tidak mau berobat dan menerapi diri dengannya ketika menderita segala macam penyakit hati, walaupun satu macam hijrah lebih ringan daripada macam hijrah yang lain.

Lantas, ada di pihak mana kita hari ini?? Jadi bahan renungan!

Bukankah kondisi keterpurukan negeri ini sudah semestinya SEMAKIN MENGUATKAN KEYAKINAN KITA UNTUK KEMBALI PADA SYARI’AT ISLAM KAAFFAH DALAM NAUNGAN KHILAAFAH ISLAAMIYYAH! [Irvanabuneveed/www.bringislam.web.id]

Posting Komentar untuk "Riba Yang Subur Di Alam Demokrasi Mengundang Adzab"