Aku Ingin Bertemu Khalifah

Oleh Saad Saefullah

Kesederhanaan penampilan Umar bin Khattab sesungguhnya merupakan nasihat dan ajakan berdakwah kepada siapa saja yang melihatnya.

Sepeninggal Rasulullah saw, sebenarnya tidak sedikit sahabat yang cenderung memilih Umar bin Khattab sebagai pengganti. Umar itu berani, gagah perkasa, jujur, dan adil.

Bahkan pada waktu tengah dibicarakan siapa yang pantas menjadi pemimpin setelah Nabi wafat, Abu Bakar Ash-Shiddiq mendekati Umar dan mengulurkan tangannya seraya berkata, “Berikan tanganmu hai sahabatku. Kami akan membaiatmu sebagai khalifah pengganti Rasulullah.”

Umar menyodorkan tangannya. Tetapi untuk menyanggah. “Tidak,” ujarnya, “Akulah yang akan mengambil tanganmu. Sebab engkaulah yang akan kami baiat.”

“Engkau lebih baik dan lebih kuat dariku, Umar.” Kilah Abu Bakar.

“Kebaikan dan kekuatanku akan menyertaimu sebagai pemimpin kami,” jawab Umar.

Maka para sahabat pun serempak menyetujui pendapat Umar untuk menahbiskan Abu Bakar selaku khalifah yang akan melanjutkan tampuk kepemimpinan Rasulullah saw demi kepentingan umat banyak.

Dan ketika tengah sakit keras menjelang ajanya, dengan meminta pertimbangan para sahabat yang lain, Abu Bakar menetapkan Umar supaya kelak menggantikan kedudukannya.

Sebenarnya Umar ingin menolak mengingat tanggung jawab seorang pemimpin dianggapnya terlalu berat baginya. Apalagi dalam pandangan Umar, pemimpin suatu kaum, pada hakikatnya adalah pelayan kaum itu sendiri.

Namun lantaran sudah dipilih secara bulat, maka ia tidak bisa lagi mengelak. Ia terpaksa menerima keputusan itu.

Satu tahun setelah kepemimpinannya, seorang pedagang Yahudi dari Mesir datang ke Madinah. Ia ingin menemui Khalifah Umar. Namun ia sungguh belum tahu, yang mana Umar bin Khattab, kepala pemerintaahan negeri Islam yang wilayahnya makin meluas itu. Kepada seseorang yang ia temui di perjalanan, ia bertanya, “Di manakah istana raja negeri ini?”

Orang itu menjawab, “Lepas Dhuhur nanti, ia akan berada di tempat istirahatnya di depan masjid. Dekat pohon kurma. Jika kau ingin menemuinya, pergilah ke tempat itu.”

Yahudi itu sesunguhnya membayangkan, alangkah indahnya istana Khalifah, dihiasi kebun kurma yang rindang, tempat berteduh merintang-rintang waktu.

Maka tatkala tiba di muka masjid, ia kebingungan. Sebab di situ tidak ada bangunan megah yang mirip istana. Memang ada pohon kurma, tetapi cuma sebatang saja.

Dan di bawahnya, tampak seorang lelaki kekar dengan jubah yang sudah luntur warnanya tengah tidur-tidur ayam. Yahudi itu mendatangainya dan bertanya, “Maaf, saya mau berjumpa dengan Umar bin Khattab.”

Sambil bangkit dan tersenyum Umar menjawab, “Akulah Umar bin Khattab.”

Yahudi itu terbengong-bengong, “Maksud saya Umar yang khalifah, pemimpin negeri ini.”

Umar menjelaskan, “Akulah Khalifah, pemimpin negeri ini.”

Yahudi itu makin kaget. Mulutnya terkatup rapat, tidak bisa bicara. Ia membandingkan dengan para rahib Yahudi yang hidupnya serba gemerlapan dan para raja Israel yang istananya juga tak kalah agung.

Sungguh tidak masuk akal, kalau ada seorang pemimpin dari suatu negara yang begitu besar, tempat istirahatnya hanya di atas selembar tikar, di bawah pohon kurma di tengah langit yang terbuka.

“Di manakah istana Tuan?’ tanya sang Yahudi.

Umar menuding, “Di sudut jalan itu. Bangunan nomor tiga dari yang terakhir, kalau yang kau maksudkan adalah kediamanku.”

“Maksud Tuan, yang kecil dan kusam itu?” si Yahudi tambah keheranan.

“Ya. Namun itu bukan istanaku. Sebab istanaku berada dalam hati yang tenteram dengan ibadah kepada Allah swt.” Sambut Umar sembari tetap tersenyum.

Yahudi itu kian tertunduk. Kedatangannya yang tadinya hendak melampiaskan kemarahan dan tuntutan-tuntutan, berubah menjadi kepasrahan dengan segenap jiwa raga.

Sambil matanya berkaca-kaca ia berkata, “Tuan saksikanlah, sejak hari ini saya meyakini kebenaran agama Islam. Izinkah saya memeluk Islam sampai mati.”

Setelah mengikrarkan syahadat, orang itu akhirnya pergi dengan dadanya dipenuhi suka cita. Umar sendiri terus memperhatikannya dengan baik-baik. Ia memandangi pohon kurma di hadapannya. Ia juga memandangi pakaiannya sendiri.

Baginya, sebagai seorang pemimpin penampilannya harus benar-benar mencerminkan kesederhanaan. Baginya, apalah artinya sebuah kekuasaan jika hanya harus menyakiti umatnya yang banyak?

(Peri Hidup Nabi dan Para Sahabat; Saad Saefullah)


Sumber : eramuslim.com

1 komentar untuk "Aku Ingin Bertemu Khalifah"

  1. DAUD AS: TENTARA, NABI/RASUL DAN KHALIFAH


    Apakah kamu (Hai Muhammad dan para pengikutmu) tidak memperhatikan (lalu dikaji dengan seksama tentang sejarah) pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa,
    yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka:
    "Angkatlah untuk kami seorang panglima supaya kami berperang (di bawah pimpinannya, agar bisa berperang) di jalan Allah".
    Nabi mereka menjawab: "(Sayang) mungkin (bisa jadi) sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan (mau) berperang".
    Mereka menyanggah: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari (tanah kelahiran dan) anak-anak kami?"
    Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, (ternyata) merekapun (akhirnya) berpaling, kecuali beberapa (orang) saja di antara mereka (yakni a.l. Daud).
    Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim.


    Nabi mereka mengatakan kepada mereka:
    "Sesungguhnya Allah telah mengangkat THALUT menjadi PANGLIMA-mu."
    (Lalu) mereka menyanggah: "Bagaimana Thalut (yang akan) memerintah (atau memimpin) kami, padahal kami lebih berhak (menjadi panglima untuk) mengendalikan pemerintahan (darurat di pengasingan) daripadanya, sedang dia (Thalut) pun tidak (pula) diberi (atau mempunyai) kekayaan yang cukup banyak?"
    Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih pemimpimu (Thalut) dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa."
    Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.


    Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka:
    "Sesungguhnya tanda ianya akan menjadi panglima, ialah kembalinya tabut (tempat menyimpan kitab sucinya) kepadamu, di dalamnya (ada ayat-ayat Tuhan) terdapat ketenangan (jika mengikuti ajaran-Nya dan keamanan kesuciannya) dari Tuhanmu dan (tabut merupakan) sisa dari peninggalan (warisan) keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat”.
    Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.


    Maka tatkala (panglima) Thalut keluar membawa tentaranya (termasuk a.l. Daud As.), ia berkata:
    "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan (melalui) suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali (sekedar) menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku."
    Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka (termasuk Daud As.).
    Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata:
    "Tak ada kesanggupan kami (hai panglima atau komandan) pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya."
    Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata:
    "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."


    Tatkala (musuhnya) Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdo'a:
    "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir."


    (Akhirnya) mereka (tentara pimpinan Panglima Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu dimana) Daud (yang merupakan salah seorang dari Thalut berhasil) membunuh Jalut,
    kemudian Allah menganugerahkan kepadanya (si sang tentara Daud As.) pemerintahan (kekuasaan) dan hikmah (sesudah meninggalnya Panglima Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya.
    Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. (QS. 2:246-251)


    (terjemahan bebas dari http://www.rmol.co/quran.php)

    BalasHapus