Yahudi Ortodoks dan Sekuler Ribut Soal Wajib Militer



-Partai-partai ultra-Ortodoks dalam pemerintahan Israel mengatakan bahwa mereka akan menentang peraturan baru apapun yang mengharuskan para pengikut Yahudi ultra-Ortodoks masuk wajib militer.
Pekan lalu, Mahkamah Agung Israel mencabut sebuah undang-undang yang telah membebaskan puluhan ribu penganut Yahudi ultra-Ortodoks dari keharusan mengikuti wajib militer dengan cara belajar di sekolah-sekolah agama. Keistimewaan yang diberikan peraturan hukum itu menjadikan anggota-angota keluarga Yahudi Ortodoks kemudian hidup dalam tanggungan negara, akibat para pria mereka menjadi pelajar seumur hidup. Hal tersebut menimbulkan kemarahan meluas dalam masyarakat Zionis Israel yang mayoritas sekuler.
Penolakan kelompok Ortodoks di pemerintahan untuk menyetujui peraturan wajib militer bagi pengikut mereka, membuat Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pusing tujuh keliling, sebab pemerintahan yang dibentuknya sekarang merupakan hasil koalisi dengan dua partai Yahudi Ortodoks.
Netanyahu telah berjanji kepada rakyat Israel untuk mengganti peraturan yang dikenal dengan Hukum Tal itu dengan undang-undang yang lebih "adil dan merata". Jika sampai 31 Juli 2012 --saat masa berlaku Hukum Tal habis-- belum ada peraturan penggantinya, maka kemungkinan kewajiban militer secara menyeluruh akan diberlakukan.
Dalam kesempatan yang langka, lansir Associated Press, kelompok ultra-Ortodoks hari Ahad (26/02/2012) mengadakan pertemuan dan bersatu menentang perubahan peraturan yang mengakibatkan pengikut mereka terkena wajib militer. Semua pria warga Israel diharuskan menjalani wajib militer selama 3 tahun ketika usia mereka sudah memasuki 18 tahun.
Para pemimpin Yahudi ultra-Ortodoks berkeyakinan, pengikut mereka harus menghabiskan waktunya untuk mempelajari kitab suci mereka.
"Kami tidak akan ada tanpa Torah," kata anggota parlemen dari Partai Yudaisme Torah Bersatu, Moshe Gafni, dikutip Haaretz. Gafni berdalil dengan salah satu isi Torah yang menyebutkan, "Kami akan memberikan hidup kami untuknya (Torah)."
Menteri Luar Negeri Avigdor Lieberman, yang berasal dari partai sekuler Yisrael Beitenu, hari Selasa (29/02/2012), mengatakan bahwa ia tidak akan menyetujui perpanjangan masa berlaku Hukum Tal.
"Tidak meskipun sehari, bahkan tidak walau satu jam saja," tegas Lieberman.
Meskipun masyarakat senang mendengar kabar wajib militer akan dikenai kepada seluruh pria warga Israel secara merata, namun pada kenyataannya pemberlakuan wajib militer menyeluruh tidak akan mudah dilaksanakan.
Enam puluh tahun lalu, saat Hukum Tal baru diterapkan, jumlah pengikut Yahudi ultra-Ortodoks yang berlindung dari wajib militer sekitar 400 orang. Kini, jumlah mereka sudah menggelembung hingga puluhan ribu orang. Menyerap begitu banyak pria masuk dalam wajib militer dalam waktu singkat, tidak mungkin dilakukan oleh angkatan bersenjata Israel. Terlebih, para pria Yahudi ultra-Ortodoks itu sedikit sekali memiliki keterampilan di dunia sekuler, yang tentunya menjadi beban tersendiri bagi militer.
Meskipun wajib militer besar-besaran kelihatannya mustahil, namun bagi Yohanes Plasner peraturan baru pengganti Hukum Tal harus diberlakukan. Jika belum ada penggantinya sampai 31 Juli mendatang, maka wajib militer menyeluruh akan diterapkan.
"Itu bukan masalah realistik atau praktis," kata anggota parlemen yang ikut membahas ketentuan wajib militer itu.
"Militer tidak siap untuk itu ... sebuah kesepakatan lain harus dibuat," kata Plesner, anggota partai oposisi Kadima.
Dia bersumpah, "Tidak boleh ada lagi Hukum Tal jilid 2."*



Posting Komentar untuk "Yahudi Ortodoks dan Sekuler Ribut Soal Wajib Militer"