Ustadz Farid Wadjdi: Nasionalisme, Faktor Pemecah-belah Umat

Mengapa di daerah minoritas Muslim, umat Islam kerap ditindas?
Pertama:
karena umat Islam tidak lagi memiliki Khilafah, payung politik secara
internasional yang melindungi kaum Muslim sejak keruntuhan Khilafah pada
1924. Inilah yang menjadi pangkal utama dari berkembangnya atau
meluasnya penindasan di negeri-negeri minoritas Muslim.
Kedua: karena
dunia internasional tidak peduli. Berbeda dengan kasus-kasus tertentu
yang berkaitan dengan kepentingan Barat, PBB dan lembaga-lembaga HAM
akan sangat hirau. Namun, terkait nasib umat Islam minoritas seperti di
Rohingya dan Mindanau, sangat jelas lembaga internasional tersebut tak
peduli.
Mungkinkah karena selama ini umat Islam tidak bisa beradaptasi dengan mayoritas di negeri setempat?
Sebenarnya bukan masalah umat Islam tidak bisa beradaptasi, melainkan umat Islam itu adalah umat yang unik (mutamayyiz).
Unik bagaimana?
Mereka memiliki akidah berdasarkan prinsip tauhid; memilik aturan hidup (syariah)
yang berdasarkan wahyu Allah SWT. Inilah yang memang membuat umat Islam
Rohingya dan Pattani berbeda dengan masyarakat Myanmar dan Thailand
yang mayoritas Budha. Demikian juga umat Islam Moro di Mindanau yang
berbeda dengan masyarakat Filipina yang mayoritas Katolik.
Kalau
kemudian yang dimaksud menyesuaikan diri itu harus mengorbankan akidah
dan syariah, pasti hal itu ditolak oleh umat Islam, seperti yang
dinyatakan salah seorang delegasi Rohingya, Noor Husain Arakani.
Arakani
menceritakan bahwa warga Muslim di sana dipaksa berpindah keyakinan dan
mengalami penyiksaan. Mereka dipaksa melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan syariah seperti memakan daging babi dan minum
minuman keras. Di beberapa tempat lainnya, mereka juga dibakar
hidup-hidup dan tidak dibolehkan menggunakan ponsel.
Berarti tudingan bahwa Muslim minoritas tidak bisa beradaptasi keliru?
Bukan
hanya keliru, tetapi merupakan kebohongan dan penyesatan politik.
Masalahnya sekali lagi bukanlah adaptasi, tetapi problem penjajahan.
Negeri-negeri Islam itu dirampas, diduduki dan dijajah; kemudian
rakyatnya diusir, dibunuh dan dibantai. Sama dengan Palestina yang
dijajah oleh Zionis Israel, wilayah Pattani yang diduduki oleh Thailand,
atau Turkistan Timur (Xian Jiang) yang dijajah oleh Cina.
Ini tidak bisa dilepaskan dari warisan kolonial. Pasca kolonialisme, pembentukan negara-negara bangsa (nation-state)
berdasarkan ketentuan dan kepentingan penjajah. Penjajah sengaja
memasukkan negeri-negeri Islam itu menjadi bagian negara yang mayoritas
penduduknya berseberangan atau tidak sama dengan umat Islam, seperti
Muslim Pattani dimasukan ke Thailand. Muslim Moro di Mindanau dimasukkan
ke Filipina. Adapun Turkistan Timur yang berpenduduk mayoritas Muslim
dicaplok Cina. Akibatnya, Muslim Uighur menjadi minoritas yang selalu
ditindas pasca aneksasi tersebut dan Turkistan Timur oleh pemerintah
Cina diganti namanya menjadi Xinjiang. Itu merupakan strategi Barat
untuk melemahkan umat Islam.
Secara geografis, semestinya mereka masuk ke mana?
Persoalannya
bukan pada masalah geografis. Sekali lagi ini masalah penjajahan. Ini
masalah politik yang muncul setelah umat Islam tidak lagi memiliki
negara Khilafah dan kemudian Barat membentuk negara-bangsa. Sebagai
contoh, Muslim Rohingya. Mereka dianggap stateless (manusia
tanpa negara) oleh rezim Myanmar. Padahal umat Islam di sana ada jauh
sebelum negara-bangsa Birma (Myanmar) yang diberikan kemerdekaan
formalitasnya oleh Inggris tahun 1948.
Kaum
Muslim di sana telah berabad-abad tinggal sebagai kesultanan Islam yang
merdeka. Para sejarahwan menyebutkan bahwa Islam masuk ke negeri itu
tahun 877 M pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid. Kaum Muslim memerintah
Propinsi Arakan lebih dari tiga setengah abad (1430-1784 M).
Penderitaan Muslim di sana mulai terjadi saat Kerajaan Budha maupun
kolonialis Inggris menjajah negeri itu.
Mengapa pemerintah Indonesia, negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, cenderung diam?
Karena beberapa faktor. Pertama:
nasionalisme. Faktor ini yang paling utama dalam memecah-belah umat
Islam sehingga mematikan kehirauan umat Islam di suatu negara kepada
umat Islam di negara lainnya. Padahal umat Islam di mana pun sejatinya
adalah saudara satu akidah yang wajib dibela.
Nasionalisme
inilah yang membuat Indonesia tidak merasa begitu hirau ketika ada
pengungsi Rohingya terapung di perahu-perahu kecil di perairan Aceh yang
meminta suaka hingga akhirnya tenggelam.
Bahkan
Bangladesh, negeri mayoritas Muslim yang berbatasan langsung dengan
Myanmar, alih-alih menampung pengungsi Rohingya, malah mengusir mereka
dan membiarkan mereka terkatung-katung di lautan bahkan diterlantarkan
hingga meninggal dunia.
Kedua: para
penguasa negeri berpenduduk mayoritas Islam menghamba kepada Barat.
Mereka sama sekali tidak peduli kepada rakyatnya, apalagi kepada kaum
Muslim di negara lain. Mereka selalu menunggu instruksi Barat dalam
bersikap. Mereka membuat kebijakan dengan berharap ridha dari Barat.
Karena itu mereka sangat peduli terhadap satu persoalan kalau Barat
peduli terhadap persoalan itu.
Contohnya?
Ahmadiyah, yang sering diklaim minoritas. Yang sebenarnya minoritas dari segi jumlah, tetapi mayoritas dari segi bergaining politik.
Hal itulah yang membuat penguasa Indonesia sangat peduli terhadap
Ahmadiyah, karena Ahmadiyah didukung oleh Barat. Karena itu, meskipun
kelompok Ahmadiyah terbukti sesat dan menodai Islam, tetap saja dibela
Presiden.
Desakan
ormas-ormas Islam agar Ahmadiyah dibubarkan karena sangat meresahkan
masyarakat dianggap angin lalu. Fatwa MUI yang menyatakan bahwa ajaran
Ahmadiyah sesat dan menyesatkan tidak digubris. Rekomendasi pembubaran
Ahmadiyah dari Bakorpakem alias Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan
Jaksa Agung pun tidak digubris.
Mengapa?
Karena
seperti yang diakui Dirjen Bimas Islam saat itu Nasaruddin Umar, yang
sekarang menjadi Wakil Menteri Agama, bahwa Amerika, Inggris, Kanada dan
satu negara Barat lainnya meminta agar Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono tidak membubarkan Ahmadiyah.
Ketiga: sebagian
besar negeri Islam merujuk pada solusi-solusi internasional yang
didasarkan pada kepentingan Barat lewat PBB, Liga Arab atau pun ASEAN.
Kita tahu, lembaga-lembaga ini tidak memberikan solusi untuk kepentingan
umat Islam, tetapi memihak kepada rezim yang berkuasa dan harus sejalan
dengan negara-negara Barat yang memusuhi Islam.
Jadi, ketiga faktor inilah yang menyebabkan itu terjadi.
Mengapa PBB malah membela kepentingan Amerika dan rezim zalim ketimbang bersikap adil terhadap peradaban manusia dunia?
PBB kan sebenarnya
adalah lembaga internasional yang diciptakan negara-negara Barat yang
memenangkan Perang Dunia II untuk kepentingan mereka. Jadi, tidak aneh
jika salah satu yang mengindikasikan hal itu adalah hak veto. Hak untuk
membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan undang-undang
atau resolusi ini dimiliki oleh lima negara yang masuk dalam Dewan
Keamanan PBB yang sebagian besar adalah negara-negara Barat.
Makanya,
setiap resolusi yang dibuat oleh PBB pastilah merujuk pada kepentingan
negara-negara Barat. Barat jelas tidak memiliki kepentingan untuk
melindungi Muslim Rohingya, Pattani dan Moro.
Jadi kaum Muslim tidak boleh berharap lagi pada PBB?
Bukan
hanya tidak boleh, tetapi haram! Umat Islam wajib keluar dari PBB,
keluar dari Liga Arab, keluar dari ASEAN dan lembaga semisalnya.
Pasalnya, lembaga-lembaga ini merupakan lembaga yang dirancang untuk
menjadi kepanjangan tangan kepentingan Barat atas nama dunia
internasional.
Kita
juga melihat diskriminasi yang nyata yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga ini. PBB sangat berbeda sikapnya terhadap Israel yang
melakukan pembunuhan massal sistematis terhadap kaum Muslim di
Palestina. PBB tidak mengirim pasukan ke Palestina untuk membebaskan
Palestina dari penjajahan Israel.
PBB
pun diam saja dan tidak menganggap Amerika melanggar HAM ketika Amerika
membombardir Afganistan dan Pakistan, malah memperkuat pasukan NATO
untuk mendukung Amerika.
Namun,
ketika Irak hendak melakukan hal yang berseberangan dengan Barat,
seperti menganeksasi Kuwait, misalnya, PBB langsung bereaksi. Saddam
Husain dianggap melanggar HAM.
Akankah penderitaan minoritas Muslim akan berakhir?
Tentu.
Penderitaan kaum Muslim akan berakhir ketika umat Islam memiliki
pelindung politik, yaitu dengan berdirinya Khilafah. Negara Islam yang
disebut Khilafah inilah yang nantinya akan melindungi negeri-negeri
Islam, menyatukan negeri-negeri Islam yang tercerai-berai, kemudian
membebaskan negeri-negeri Islam yang diduduki rezim-rezim kaki tangan
kolonialis imperialis ini.
Bagaimana caranya agar Khilafah berdiri kembali?
Jelas
ini adalah perjuangan bersama umat Islam di wilayah mana pun. Umat
Islam di Indonesia harus memperjuangkannya. Umat Islam di wilayah Timur
Tengah juga harus memperjuangkannya. Wilayah yang lebih dulu berhasil
mendirikan Khilafah, itulah yang terlebih dulu melakukan pembebasan
terhadap negeri-negeri Islam, kemudian menyatukan negeri-negeri Islam
lain di bawah payung Khilafah.
Bagaimana agar umat Islam sadar dan mau menjalankan kewajiban menegakkan Khilafah?
Dakwah,
ya. Yang sadar terlebih dulu harus berdakwah menyadarkan yang belum
sadar agar turut berdakwah. Sebab, dakwah sejatinya memang menjadi
tanggung jawab utama seluruh kaum Muslim. Gerakan untuk menegakan
Khilafah harus menjadi gerakan kaum Muslim secara bersama-sama. Dakwah
memang harus disampaikan di berbagai tempat dan kesempatan. Dengan
dakwah itulah akan muncul kesadaran.
Oleh
karena itu, umat Islam tidak boleh berhenti berteriak dan bersuara
mengenai kewajiban menegakkan Khilafah dengan lisan, tulisan,
kontak-kontak dan sebagainya. Dengan begitu akan terciptalah opini
tentang kewajiban khilafah yang didukung oleh kesadaran umum masyarakat.
Dengan dukungan Ahlul Quwwah yang ada ditengah umat Islam, Insya Allah
hingga akan segera tegak. WalLâh a’lam bi al-shawâb. [www.globalmuslim.web.id]
Syura Bukan Demokrasi
Mengkritisi Konsep Teo-Demokrasi
Khilafah vs Demokrasi
DEMOKRASI MEMUAKKAN!
Ongkos Politik Mahal Demokrasi, Lahirkan Politik Transaksional
Kesombongan Sistem Demokrasi
Demokrasi : Peradaban Sampah !!!
Pelajaran Demokrasi dari Indonesia dan
Kebobrokan Demokrasi (Sebuah Tinjauan Kristis)
Syura Bukan Demokrasi
Mengkritisi Konsep Teo-Demokrasi
Khilafah vs Demokrasi
DEMOKRASI MEMUAKKAN!
Ongkos Politik Mahal Demokrasi, Lahirkan Politik Transaksional
Demokrasi Sistem Kufur
Kesombongan Sistem Demokrasi
Demokrasi : Peradaban Sampah !!!
Pelajaran Demokrasi dari Indonesia dan
Kebobrokan Demokrasi (Sebuah Tinjauan Kristis)
Posting Komentar untuk "Ustadz Farid Wadjdi: Nasionalisme, Faktor Pemecah-belah Umat"