Ketahanan Pangan Dalam Perspektif Syariah Islam
Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu.
Tiada badai, tanpa topan. Ikan dan udang menghampiri. Orang bilang tanah
kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Negeri ini pun
lantas dilabel sebagai negara agraris. Digambarkan memiliki hamparan
lahan pertanian bagai permadani yang amat luas. Memiliki laut dan
samudera, serta garis pantai yang sangat panjang. Kondisi geografis
anugerah Yang Maha Kuasa itu, memungkinkan hampir seluruh jenis
komoditas pertanian dalam arti luas ada. Gemah ripah lohjinawi, katanya.
Tapi itu hanyalah tinggal “mitos”. Dongeng pengantar tidur anak-anak
agar doktrin cinta negeri terhunjam ke dalam lubuk hatinya. Tetapi
tatkala membuka mata, telinga, dan hati, mereka akan limbung menatap
sekelilingnya. Apa yang didengarnya, tak sesuai dengan yang dilihatnya.
Mereka melihat beras negeri tetangga, Vietnam dan Thailand mengalir
deras masuk pasar sampai pelosok negeri. Daging sapi Australia menghiasi
sudut-sudut pasar. Gula juga demikian, bertebaran di meja-meja warung
kopi. Bahkan tahu tempe yang katanya makanan rakyat ternyata berbahan
impor.
KETAHANAN PANGAN MODEL KAPITALIS.
Pengertian Ketahanan Pangan
Definisi dan paradigma ketahanan pangan terus mengalami perkembangan
sejak adanya Conference of Food and Agriculture tahun 1943 yang
mencanangkan konsep secure, adequate and suitable supply of food for
everyone –Jaminan, Kecukupan dan Supply Yang Terjangkau dari Makanan
untuk Semua Orang-”. Definisi ketahanan pangan sangat bervariasi, namun
umumnya mengacu definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan
Frankenberger (1992) yakni “jaminan akses setiap saat pada pangan yang
cukup untuk hidup sehat (secure access at all times to sufficient food
for a healthy life). Studi pustaka yang dilakukan oleh IFPRI (1999)
diperkirakan terdapat 200 definisi dan 450 indikator tentang ketahanan
pangan (Weingärtner, 2000). Berikut beberapa definisi yang yang sering
digunakan.
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 –cat: saat ini sedang diajukan
RUU tentang Pangan dan masih dalam pembahasan di DPR- adalah: kondisi
terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman,
merata dan terjangkau.
FAO (1997) : situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik
fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota
keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan
kedua akses tersebut.
FIVIMS 2005 (Food Insecurity and Vulnerability Information and
Mapping Sistems): kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara
fisik, social dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman
dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan
seleranya (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi : (1) Berorientasi
pada rumah tangga dan individu; (2) Dimensi waktu setiap saat pangan
tersedia dan dapat diakses; (3) Menekankan pada akses pangan rumah
tangga dan individu, baik fisik, ekonomi dan sosial; (4) Berorientasi
pada pemenuhan gizi; dan (5) Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif.
Sub Sistem Ketahanan Pangan
Sub sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga sub sistem utama yaitu
ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan, sedangkan status gizi
merupakan outcome dari ketahanan pangan. Ketersediaan, akses, dan
penyerapan pangan merupakan sub sistem yang harus dipenuhi secara utuh.
Salah satu subsistem tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum
dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan
tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses
individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan
pangan masih dikatakan rapuh.
Ketersediaan pangan
Ketersedian pangan menurut kapitalis adalah ketersediaan pangan dalam
jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara
baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun
bantuan pangan. Ketersedian pangan dalam hal ini lebih serng dilihat
secara makro. Jika stok memadai dibandingkan tingkat kebutuhan secara
makro maka ketersediaan pangan dianggap cukup. Masalah distribusi dan
bisa diakses oleh tiap individu atau tidak, itu tidak jadi perhatian.
Disamping itu dengan filosofi kebebasan ala kapitalis maka penyediaan
pangan itu harus diberikan kepada swasta secara bebas. Keserdiaan
pangan yang ditempuh pada sistem kapitalis ini tidak membatasi pelaku
penjamin ketersedian pangan oleh negara. Hal itu memungkinkan
pihak-pihak lain di luar Negara (swasta DN dan LN) bisa mengambil andil
yang sangat besar. Akibatnya terjadilah monopoli bahan pangan,
menumpuknya kendali supply pangan pada sekelompok orang, serta impor
yang menyebabkan ketergantungan kepada Negara lain ( lihat RUU tentang
Pangan). Contoh, saat ini impor kedelai yang 90% berasal dari AS
dikuasai oleh empat perusahaan saja termasuk Cargill yang induknya di
AS, impor gula dikuasai oleh 7-8 perusahaan saja, impor gandum yang
tahun ini bisa mencapai 7,1 juta ton senilai USD 3,5 miliar atau setara
Rp 32,8 triliun (liiputan6, 17/6) dikuasai tidak lebih oleh 4 perusahaan
saja, yang terbesar Bogasari dari Grup Salim. Hanya beras yang impornya
dikendalikan oleh negara, tapi pelaksanaan impornya yang ditenderkan
kepada importir swasta dan dijadikan bancakan oleh para pejabat dan
politisi.
Pada saat ini perusahaan–perusahaan yang memiliki modal besar mampu
menguasai pangan dari hulu hingga hilir (contoh, mulai dari impor
gandum, industri tepung terigu sampai makanan olahan berbahan tepung
terigu dikuasai oleh perusahaan dari satu grup, terutama grup Salim
Bogasari – Indofood cs). Akibatnya mereka bisa mengendalikan penentuan
harga di pasar, dan menyebabkan hilangnya peluang usaha bagi masyarakat
yang memiliki modal terbatas.
Akses dan Penyerapan Pangan
Begitu pula akses pangan bukanlah berarti jaminan bagi setiap
induvidu bisa mendapatkan kebutuhan pangannya. Melainkan bagaimana
masyrakat mampu memenuhi kebutuhannya dengan memproduksi sendiri,
membeli, ataupun mendapat bantuan agar bisa membeli. Jadi distribusi
yang menentukan akses pangan itu tetap berdasarkan mekanisme harga
sebagaimana doktrin ekonomi kapitalis. Pada faktanya sangat sering kita
temukan stok pangan melimpah tapi banyak orang tidak bisa mengaksesnya,
dikarenakan mereka tidak punya uang untuk membeli, apalagi ketika stok
pangan kurang sehingga harga pangan melambung. Ketika kondisi stok
pangan tidak mencukupi, mereka tidak memiliki modal untuk memproduksi
sendiri atau mereka tidak punya kesempatan untuk ikut dalam proses
produksi, kalaupun mereka bisa memproduksi mereka tidak memiliki akses
untuk memasarkan produksinya atau kalah saing dengan produsen yang lebih
besar. Sehingga pada sistem ini tidak ada jaminan bagi setiap individu
untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok pangannya.
KETAHANAN PANGAN DALAM SISTEM ISLAM
Ketahanan pangan dalam sistem Islam tidak terlepas dari sistem
politik Islam. Politik ekonomi Islam yaitu jaminan pemenuhan semua
kebutuhan primer (kebutuhan pokok bagi individu dan kebutuhan dasar bagi
masyarakat) setiap orang individu per individu secara menyeluruh,
berikut jaminan kemungkinan bagi setiap orang untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya, sesuai dengan kadar
kesanggupannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat yang
memiliki gaya hidup tertentu.
Terpenuhinya kebutuhan pokok akan pangan bagi tiap individu ini akan
menentukan ketahanan pangan Daulah. Selain itu, ketersediaan dan
keterjangkauan bahan pangan yang dibutuhkan oleh rakyat besar
pengaruhnya terhadap kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia.
Hal itu berpengaruh pada kemampuan, kekuatan dan stabilitas negara itu
sendiri. Juga mempengaruhi tingkat kemajuan, daya saing dan kemampuan
negara untuk memimpin dunia. Lebih dari itu, negara harus memiliki
kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok dan pangan utama dari
daam negeri. Sebab jika pangan pokok dan pangan utama berkaitan dengan
hidup rakyat banyak tergantung pada negara lain melalui impor hal itu
bisa membuat nasib negar tergadai pada negara lain. Ketergantungan pada
impor bisa membuka jalan pengaruh asing terhadap politik, kestabilan
dan sikap negara. Ketergantungan pada impr juga berpengaruh pada
stabilitas ekonomi dan moneter, bahkan bisa menjadi pemicu krisis.
Akibatnya stabilitas dan ketahanan negara bahkan eksistens negara
sebagai negara yang independen, secara keseluruhan bisa menjadi taruhan.
Karena itu ketahanan pangan dalam Islam mencakup: (1) Jaminan
pemenuhan kebutuhan pokok pangan; (2) Ketersediaan pangan dan
keterjangkauan pangan oleh individu masyarakat; dan (3) Kemandirian
Pangan Negara.
Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Pangan
Negara dalam pandangan Islam memiliki tugas untuk melakukan
kepengurusan terhadap seluruh urusan rakyatnya, baik dalam ataupun luar
negri ( ri’âyah su`ûn al-ummah). Islam mewajibkan negara menjamin
pemenuhan kebutuhan pokok pangan (selain kebutuhan pokok sandang dan
papan serta kebutuhan dasar pendidikan,kesehatan dan keamanan) seluruh
rakyat individu per individu. Dalil bahwa itu merupakan kebutuhan pokok
diantaranya bahwa imam Ahmad telah mengeluarkan hadits dengan sanad
yang dishahihkan oleh Ahmad Syakir dari jalur Utsman bin Affan ra.,
bahwa Rasulullah saw bersabda:
«كُلُّ شَيْءٍ سِوَى ظِلِّ بَيْتٍ، وَجِلْفِ الْخُبْزِ، وَثَوْبٍ
يُوَارِي عَوْرَتَهُ، وَالْمَاءِ، فَمَا فَضَلَ عَنْ هَذَا فَلَيْسَ لابْنِ
آدَمَ فِيهِ حَقٌّ»
Segala sesuatu selain naungan rumah, roti tawar, dan pakaian yang
menutupi auratnya, dan air, lebih dari itu maka tidak ada hak bagi anak
Adam di dalamnya
Hadits tersebut juga dinyatakan dengan lafazh lain:
«لَيْسَ لابْنِ آدَمَ حَقٌّ فِي سِوَى هَذِهِ الْخِصَالِ: بَيْتٌ
يَسْكُنُهُ، وَثَوْبٌ يُوَارِي عَوْرَتَهُ، وَجِلْفُ الْخُبْزِ وَالْمَاءِ»
Anak Adam tidak memiliki hak pada selain jenis ini: rumah yang ia
tinggali, pakaian yang menutupi auratnya dan roti tawar dan air (HR
at-Tirmidzi dan ia berkata hasan shahih)
Ini menunjukkan bahwa apa yang disebutkan di dalam lafazh hadits itu
yaitu pangan, papan dan sandang: «zhillu baytin –naungan rumah», «bayt
yaskunuhu –rumah yang ia diami-», «tsawbun yuwârî ‘awratahu –pakaian
yang menutupi auratnya-», «jilfu al-hubzi wa al-mâ’ –roti tawar dan
air-» itu sudah cukup dan di dalamnya ada kecukupan. Sabda Rasul di
dalam hadits tersebut «apa yang lebih dari ini maka anak Adam tidak
memiliki hak di dalamnya» di sini sangat gamblang bahwa tiga kebutuhan
inilah yang merupakan kebutuhan pokok. Kedua hadits ini menyatakan
tentang kebutuhan-kebutuhan pokok yaitu pangan, papan dan sandang. Yang
lebih dari itu maka bukan kebutuhan pokok, dan pemenuhannya terjadi
dimana kebutuhan-kebutuhan pokok individu itu telah terpenuhi.
Dalam memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok itu termasuk
kebutuhan pokok pangan negara akan menggunakan mekanisme ekonomi dan non
ekonomi seperti yang diatur oleh hukum syara’.
Mekanisme Non Ekonomi
Negara memastikan agar hukum-hukum syariat terkait dengan nafkan
berjalan sebagaimana mestinya. Islam memerintahkan agar setiap laki-laki
bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang-orang yang
berada dibawah tanggungannnya (QS. al-Baqarah [2]: 233). Jika kemudian
pemenuhan kebutuhan pokok dia dan keuarganya belum terpenuhi, baik
karena ia tidak bisa bekerja atau pendapatannya tidak cukup, maka
kerabatnya mulai yang terdekat diwajibkan untuk turut menanggungnya (QS.
al-Baqarah [2]: 233). Jika belum terpenuhi juga maka tanggungjawab itu
beralih menjadi kewajiban baitul mal (negara). Rasul saw bersabda:
« اَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، مَنْ تَرَكَ
مَالاً فَلِأَهْلِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضِيَاعًا، فَإِلَيَّ،
وَعَلَيَّ »
“Aku lebih utama dibandingkan orang-orang beriman daripada diri
mereka, siapa yang meninggalkan harta maka bagi keluarganya, dan siapa
yang meninggalkan hutang atau tanggungan keluarga, maka datanglah
kepadaku, dan menjadi kewajibanku.” (HR. an-Nasai dan Ibnu Hibban)
Disamping itu, ketika kebutuhan pokok termasuk kebutuhan pokok pangan
tidak terpenuhi maka orang tersebut berhak atas harta zakat. Karena
itu orang tersebut berhak meminta harta zakat ke Baitul Mal dan amil
zakat.
Mekanisme ekonomi
Mekanisme ekonomi yang dimaksud di sini adalah keterlibatan individu
dalam aktivitas ekonomi untuk mendapatkan harta sehingga ia bisa
memenuhi kebutuhan dia dan keluarganya. Mekanisme ini saling melengkapi
dengan mekanisme non ekonomi di atas. Secara lebih tepatnya adalah
pemberian peluang bagi setiap orang khususnya laki-laki untuk bekerja.
Sebab Islam mewajibkan setiap laki-laki yang mampu untuk bekerja. Dalam
hal ini negara wajib menyediakan lapangan dan kesempatan kerja.
Untuk menyediakan lapangan dan kesempatan kerja bagi rakyat, Negara
bisa menempuhnya dengan cara langsung dan tidak langsung. Cara langsung
artinya negara secara langsung membuka lapangan kerja dengan membuka
proyek-proyek pembangunan khususnya proyek padat karya. Kesempatan
kerja justru lebih banyak bisa diberikan oleh negara secara tidak
langsung. Jadi bukan negara yang secara langsung membuka lapangan
kerja, tapi masyarakatlah yang membuka lapangan kerja melalui kegiatan
usaha yang mereka lakukan. Agar kesempatan kerja bisa terbuka
seluas-luasnya melalui cara ini, negara harus mewujdukan dan menjamin
adanya iklim usaha yang kondusif bagi masyarakat. Untuk itu setidaknya
negara harus menjamin terealisasinya hal-hal berikut:
Negara harus menjamin terlaksananya hukum-hukum syara terkait dengan
ekonomi, seperti hukum-hukum kepemilikan, pengelolaan dan pengembangan
kepemilikan, serta distribusi harta di tengah masyarakat.
Menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang sesuai syari’at. Negara
akan menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi yang menghambat,
seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli,
penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar
serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan
meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh
pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.
Negara harus mengembangkan sistem birokrasi dan administrasi yang
sederhana dalam aturan, cepat dalam pelayanan, dan profesional. Dalam
hal ini, untuk membuka usaha misalnya, tidak perlu izin. Meski dalam hal
pembukaan usaha tetap ada aturan-aturan teknis dan administratif sesuai
hukum syara’ dalam rangka agar tidak terjadi pelanggaran hak individu
dan umum oleh para pelaku usaha, seperti aturan tentang RTRW, izin
lingkungan, dsb. Negara juga akan menghilangkan berbagai pungutan,
retribusi, cukai dan pajak yang bersifat tetap. Dalam konteks
perdagangan luar negeri negara tidak akan memungut bea import ataupun
ekspor dari para pedagang warga negara.
Negara memberikan bantuan teknis, teknologi dan litbang, informasi, dan modal kepada rakyat yang mampu berusaha/bekerja.
Negara menghilangkan sektor non riil, sehingga harta hanya akan
berputar di sektor riil (produksi dan distribusi barnag dan jasa).
Denga begitu semua kegiatan ekonomi akan berefek langsung pada kemajuan
perekonomian secara riil.
Ketersediaan dan Keterjangkauan Pangan
Ketersediaan pangan yang dimaksudkan adalah tersedianya stok pangan
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Sementara
keterjangkauan pangan adalah tersedianya pangan secara merata di semua
wilayah dengan tingkat harga yang wajar. Ketersediaan pangan itu erat
kaitannya dengan produksi pangan. Sedangkan keterjangkauan pangan erat
kaitannya dengan distribusi dan keseimbangan supply dan demand.
Untuk menjamin ketersediaan pangan maka negara harus menjamin
produksi pangan pada tingkat yang mencukupi kebutuhan masyarakat. Dan
jika produksi dalam negeri tidak cukup maka bisa dipenuhi dari impor
dengan tetap memperhatikan kemaslahatan dalam negeri dan negara. Untuk
menjamin produksi pangan setidaknya negara harus melakukan hal-ha
berikut:
Negara harus menjamin pelaksanaan politik pertanian dan politik
pertanahan syariah. Hal itu akan menjamin ketersedian lahan dan
produktivitas lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang
tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, maka tanah
mati itu bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya
dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu
menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul bersabda:
« مَنْ أَحْيَى أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ »
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya (HR. Tirmidzi, Abu Dawud)
Selanjutnya, siapapun yang memiliki tanah baik dari menghidupkan
tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dsb, jika ia telantarkan
tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu
hilang. Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya tiga tahun
berturut-turut itu diambil oleh negara dan didistribusikan kepada
individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan
keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil. Abu Yusuf meriwayatkan
di dalam kitab al-Kharâj dari Umar bin al-Khathab :
« … لَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌّ بَعْدَ ثَلاَثِ سِنِيْنَ »
… Tidak ada hak bagi orang yang memagari tanah mati setelah tiga tahun
Humaid bin Zanjawaih an-Nasa’iy dalam kitab al-Amwâl meriwayatkan
dari jalan Amr bin Syu’aib bahwa Nabi saw memberikan tanah kepada
orang-orang dari Juhainah lalu mereka membiarkannya dan
menelantarkannya, lalu datang kaum yang lain dan menghidupkannya.
Kemudian orang-orang Juhainah itu mengadukannya kepada Umar bin Khathab,
lalu Umar berkata : seandainya itu dari pemberianku atau dari Abu Bakar
maka aku tidak akan ragu, tetapi itu adalah pemberian Rasulullah saw
(artinya sudah ditelantarkan lebih dari tiga tahun). Dan Umar berkata :
« مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَعَطَلَهَا ثَلاَثَ سِنِيْنَ لاَ يَعْمُرُهَا فَعَمَرَهَا غَيْرُهُ فَهُوَ أَحَقٌّ بِهَا »
Siapa saja yang memiliki tanah lalu ia telantarkan tiga tahun tidak
ia gunakan, lalu orang lain menggunakannya maka orang lain itu lebih
berhak atas tanah itu
Ibn Hajar al-Ashqalani berkomentar bahwa riwayat ini mursal dan para
perawinya tsiqah (Ibn Hajr, ad-Dirâyah fi Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah,
II/243, Dar al-Ma’rifah, Beirut).
Dengan ketentuan itu maka tanah akan terdistribusi kepada rakyat. Dan
lebih dari itu akan terjamin bahwa tanah yang ada akan produktif dan
meminimalkan bahkan menghilangkan adanya tanah terlantar. Sebagai
gambaran, saat ini di Indonesia terdapat 7,5 juta ha tanah terlantar
dimana 2,1 juta ha diantaranya layak untuk pertanian.
Dengan hukum-hukum ini maka akan tersedia lahan yang cukup untuk
pertanian, dan semua laha yang ada akan produktif. Jika lahan yang ada
dirasakan masih kurang, maka negara bisa melakukan ekstensifikasi dengan
membuka lahan baru. Hal itu seperti yang dilakukan pada masa
pemerintahan Umar bin al-Khaththab ra dan dilanjutkan pada masa
umayyah. Pada waktu itu daerah delta sungai Eufrat dan Tigris dan
daerah rawa-rawa di Irak dikeringkan dengan jalan dibangun
saluran-saluran air /irigasi kemudian lahan itu direkayasa menjadi lahan
pertanian dan selanjutnya dibagikan kepada akyat yang mampu
menanaminya.
Disamping itu, negara juga menggunakan pendekatan intensifikasi
pertanian. Intensifikasi pertanian itu dimaksudkan untuk meningkatkan
produktifitas tanah. Intensifikasi itu dilakukan dengan memanfaatkan
kemajuan sains dan teknologi, penggunaan pupuk, obat-obatan, teknologi,
teknik produksi, pola tanam, penggunaan benih unggul, penggunaan alat
dan mesin pertanian, termasuk pemanfaatan teknologi kultur jaringan dan
rekayasa tanaman dan rekayasa genetika, dan sebagainya. Untuk itu,
negara haus membangun pusat-pusat kajian dan litbang pertanian secara
luas. Hasil-hasil litbang itu harus bisa diakses secara terbuka dan
luas oleh masyarakat. Tidak adanya hak patent sangat besar pengaruhnya
dalam hal ini. Hasillitbang itu misalnya benih unggul, bisa langsung
dibudidayakan dan dikembangkan oleh siapa saja dan disebarkan. Tidak
seperti sekarang, banyak hasil litbang yang tidak serta merta bisa
dimanfaatkan oleh para petani. Sebab ada peraturan dimana yang bisa
memasarkan benih hanyalah perusahaan yang berizin dan bersertifikasi.
Akibatnya, budidaya dan pemasaran benih hanya dikuasai oleh para
pemodal, sementara para petani tidak bisa mengaksesnya degan mduah.
Bahkan tiga orang petani di Kediri harus dipenjara karena menjual benih
jagung hasil budidayanya dengan alasan ketiganya tidak punya izin
budidaya dan pemasaran benih. Hal demikian tidak boleh terjadi di dalam
daulah. Penggunaan alat dan mesin pertanian hanya bisa efektif jika
didukung oleh politik industri yang tepat. Dalam hal ini, daulah akan
mengedepankan industri berat dan industri mesin dan peralatan sebagai
strategi industrialisasi dan strategi menciptakan kemandirian dan
kemajuan teknologi. Produksi pertanian yang baik apalagi intensifikasi
tidak bisa jalan tanpa didukung oleh infrastruktur pertanian yang
memadai. Karena itu sebagai bagian dari ri’ayah asy-syu’un, negara
melalui direktorat terkait harus membangun infratsruktur pertanian
seperti waduk, bendungan, jaringan irigasi, balai-balai pertanian,
jalan, dsb. Disamping itu negaa juga harus memiliki tenaga penyuluh dan
pembimbing pertanian yang mencukupi dan memiliki kemampuan yang memadai
untuk memberikan penyuluhan, pembimbingan dan memandu para petani
melakukan produksi dengan teknik, cara yang paling efisien dan paling
produktif. Diluar semua itu, negara pun bisa memberikan bantuan subsidi
langsung maupun tidak langsung, bantuan fasilitas, informasi dan
bantuan lainnya yang dibutuhkan, seperti yang dahulu pernah dicontohkan
oleh Umar bin al-Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz dan para khalifah
lainnya. Dengan semua itu maka ketersediaan pangan bisa diwujdukan.
Keterjangkauan Pangan
Keterjangkauan pangan yang dimaksudkan adalah terdistribusinya pangan
di seluruh wilayah dan dengan tingkat harga yang wajar. Untuk itu
pembangunan infrastruktur jalan dan transportasi menjadi suatu
keniscayaan. Begitu pula penyebaran informasi pasar dan informasi
produksi juga harus dikelola dengan baik oleh negara dan dibuka aksesnya
untuk semua. Pendistribusian hasil pertanian ke seluruh wilayah tentu
membutuhkan waktu, sementara sifat produk pertanian kebanyakan adalah
perishable (mudah rusak). Karena itu untuk menjamin keterjangkauan
pangan ini, negara juga harus mengembangkan teknologi pasca panen dan
menyebarkannya ke para petanidan pelaku usaha pertanian. Litbang untuk
itu bisa dikerjakan di pusat-pusat litbang yang didirikan oleh daulah.
Teknologi pasca panen jelas menuntut penguasaan seain sains juga
teknologi dan pengadaan teknologi itu. Dalam hal ini politik industri
yang mengedepankan industri berat, mesin dan peralatan akan sangat
membantu.
Keterjangkauan pangan juga mencakup kekontinuan supply pangan.
Kekontinuan supply itu bisa diwujudkan dengan pengaturan stok dan
pengendalian logistik. Pengaturan logistik diantaranya dengan
menerapkan pengaturan pola dan musim tanam yang dikombinasikan dengan
pembagian atau pengaturan daerah produksi. Hal itu bisa dilengkapi
dengan pengembangan sentra-sentra produksi produk pertanian dengan
memperhatikan kesesuaian antara jenis tanaman dengan karakteristik tanah
dan iklim tiap daerah. Sementara pengaturan stok dan supply bisa
dilakukan dengan mendistribusikan produk dari daerah-daerah sentra
produksi atau yang surplus ke daerah-daerah lain yang kurang. Untuk itu
negara harus memiliki badan yang mengelola informasi pasar dan
informasi pertanian termasuk produksi. Sekarang pengelolaan informasi
semua itu bisa dilakukan secara real time. Adanya badan seperti itu
seperti yang cikal bakalnya dicontohkan oleh Rasul saw. beliau
mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib yang mencatat hasil
produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Bisa juga negara membeli
hasil pangan dan menyimpannya di gudang-gudang negara untuk
didistribusikan ketika supply mengalami kekurangan. Dengan kebijakan
itu maka harga pangan bisa dijaga pada tingkat yang wajar. Untuk itu
perlu ada badan negara yang berfungsi sebagai penyangga harga dan
keseimbangan supply dan deman, khususnya untuk produk-produk pangan
pokok dan pangan utama. Badan itu bisa saja seperti Bulog.
Kebijakan pengendalian harga dengan mengendalikan supply dan demand
menggunakan menakisme pasar seperti itulah yang harus dilakukan. Sebab
Islam melarang kebijakan pematokan harga. Anas ra. menceritakan:
غَلاَ السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ e فَقَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ سَعِّرْ لَنَا.فَقَالَ «إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ
الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّى لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّى
وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِى بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلاَ مَالٍ »
Harga meroket pada masa Rasulullah saw lalu mereka (para sahabat)
berkata: “ya Rasulullah patoklah harga untuk kami”. Maka Beliau
bersabda: “sesungguhnya Allahlah yang Maha Menentukan Harga, Maha
Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezki dan aku sungguh
ingin menjumpai Allah dan tidak ada seorang pun dari kalian yang
menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta (HR at-Tirmidzi,
Ibn Majah, Abu Dawud, ad-Darimi, Ahmad)
Praktek pengendalian supply seperti itu pernah dicontohkan oleh Umar
bin al-Khaththab ra. Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda
kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di
Mesir Amru bin al–‘Ash tentang kondisi pangan di Madinah dan
memerintahkannya untuk mengiripkan pasokan. Lalu Amru membalas surat
tersebut, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan
makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan
ekornya masih dihadapan saya (Mesir) dan aku lagi mencari jalan untuk
mengangkutnya dari laut”.
Disamping semua itu, negara juga harus melarang perserikatan/asosiasi
produsen, konsumen atau pedagang melakukan kesepakatan, kolusi atau
persekongkolan untuk mengatur dan mengendalikan harga atau perdagangan,
misalnya membuat kesepakatan harga jual minimal. Hal itu berdasarkan
sabda Rasul saw:
« مَنْ دَخَلَ فِى شَىْءٍ مِنْ أَسْعَارِ الْمُسْلِمِينَ لِيُغْلِيَهُ
عَلَيْهِمْ فَإِنَّ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُقْعِدَهُ بِعُظْمٍ مِنَ
النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »
Siapa saja yang turut campur (melakukan intervensi) dari harga-harga
kaum Muslimin untuk menaikkan haga atas mereka, maka adalah hak bagi
Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat
kelak (HR Ahmad, al-Baihaqi, ath-Thabarani)
Dalam hadits ini terdapat ‘illat yaitu untuk memahalkan harga atas
masyarakat. Maka apa saja yang disitu ada unsur untuk memahalkan harga
maka tercakup dalam ancaman hadits ini.
Kadang kala, para produsen, penjual, pedagang, pembeli, profesi atau
penyedia jasa tertentu, dsb, mereka berkumpul atau berasosiasi untuk
menyepakati batas harga/sewa/upah tertentu; menghalangi harga yang lebih
rendah atau lebih tinggi dari batas yang mereka sepakati; atau untuk
mengatur harga secara tak langsung dengan membagi kuota diantara mereka.
Hal itu berpotensi besar memahalkan harga bagi masyarakat, dan itu
jelas tercakup dalam ancaman hadits ini. Maka dalam konteks seperti
ini, perkumpulan atau asosiasi itu berpotensi besar menjadi wasilah
kepada yang haram, sehingga hukumnya haram. Negara harus melarang
perkumpulan atau asosiasi seperti itu.
Kemandirian Pangan Negara
Terpenuhinya kebutuhan pangan dalam suatu Negara dan adanya jaminan
terpenuhinya kebutuhan pangan bagi setiap individu dan tersedianya
sarana dan prasarana yang memadai secara otomatis akan mampu menciptakan
ketahanan pangan suatu Negara. Begitupun sebaliknya. Karena itu jaminan
tersedianya pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat suatu Negara harus
mendapat perhatian penting dari Negara. Ketersediaan pangan bisa
dilakukan dengan meningkatkan produksi pangan dalam negri ataupun
dengan impor bahan pangan dari luar negri. Kebijakan impor pangan dari
luar negeri diambil oleh Negara tentu setelah Negara mengambil kebijakan
dan strategi peningkatan produksi pangan nasional sebagaimana yang
telah disebutkan sebelumnya. Kebijakan impor pangan yang diambil oleh
Negara tentulah harus memperhatikan bebera hal yang terkait dengan
kekuatan politik Negara. Contoh kondisi negeri ini yang sangat tergatung
pada impor bisa mempengaruhi stabilitas dalam negeri. Seperti kedelai,
dari kebutuhan sebesar 3 juta ton, produksi dalam negri banya 800.000
ton saja. Artinya 2,2 juta ton harus diimpor dan 90%-nya dari Amerika.
Hal sama juga terjadi atas gandum yang 100 % impor, jagung, gula, bahkan
garam. Ketika produksi pangan negara asal impor mengalami gangguan,
atau terjadi spekulasi harga di tingkat internasional sehingga harga
melambung seperti yang terjadi beberapatahun lalu, maka stabilitas dalam
negeri ini akan terganggu.
Kareba itu impor pangan haruslah tidak terus menerus, dan tidak boleh
dijadikan sandaran penyediaan pangan dalam negeri sebab hal itu akan
menyebabkan ketergantungan kepada negara lain. Jika itu terjadi, hal
itu membuka jalan bagi negara lain itu untuk mengintervensi bahkan
mengontrol Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang
demikian adalah haram sebab kita haram menyediakan jalan bagi kaum kafir
untuk menguasai kaum mukmin. Allah SWT berfirman:
] وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً [
dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang
kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (TQS. an-Nisa’ [4]:
141).
Karenanya negara harus benar-benar memperhatikan kebijakan impor
bahan pangan. Ataupun kebijakan ekspor jika kebutuhan pangan itu belum
memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Dalam hal ini, daulah harus mengupayakan semaksimal mungkin
terwujudnya kemandirian pangan dengan memenuhi kebutuhan pangan dari
produksi dalam negeri. Dengan strategi yang dipaparkan di atas maka
kemandirian pangan itu bisa diwujudkan, insya’a Allah.
Semua kebijakan dan straetegi itu hanya akan bisa berjalan dengan
baik jika didukung oleh kepemimpinan yang baik adlam sistem kenegaraan
yang bisa terjamin adanya keterpaduan antar sektor, bukan malah terjadi
ego antar sektor ditengah kepemimpinan yang lemah seperti saat ini. Hal
itu hanya bisa terwujud dalam sistem Khilafah ‘ala minhan an-nubuwwah.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
Posting Komentar untuk "Ketahanan Pangan Dalam Perspektif Syariah Islam"