Hukum Asuransi Syariah
Pertanyaan :
Hukum asuransi konvensional adalah haram. Lantas bagaimana dengan
asuransi syariah? Apakah produk asuransi syariah ini sudah benar-benar
sesuai syariah, ataukah hanya labelnya saja?
Jawaban :
Pendahuluan
Pangsa pasar asuransi syariah tahun ini telah mencapai 4% untuk
produk asuransi jiwa dan 3,5% untuk asuransi umum. Angka ini mungkin
dapat dianggap kecil dibanding pangsa pasar asuransi secara keseluruhan.
Namun dilihat dari segi premi kotor, peningkatan yang ada cukup
lumayan. Untuk premi kotor tahun ini (2012), terjadi peningkatan 10 kali
lipat dibanding tahun 2006. Pada tahun 2006 premi kotor baru Rp499
miliar. Sedang pada akhir Desember 2011, premi kotor yang dibukukan
asuransi syariah mencapai Rp4,97 triliun. (www.mediaindonesia.com, 19/5/2012).
Asuransi syariah di Indonesia sendiri mulai lahir tahun 1994, dengan
berdirinya Asuransi Takaful Indonesia pada 25 Agustus 1994 dengan produk
Asuransi Takaful Keluarga (life insurance). Sejak saat itu,
beberapa perusahaan asuransi syariah yang lain lahir, seperti asuransi
syariah “Mubarakah” (1997), serta berbagai unit asuransi syariah dari
asuransi konvensional, seperti : MAA Assurance (2000), Asuransi Great
Eastern (2001), Asuransi Bumiputera (2003), Asuransi Beringin Jiwa
Sejahtera (2003), Asuransi Tripakarta (2002), Asuransi Jasindo Takaful
(2003), Asuransi Binagria (2003), Asuransi Bumida (2003), Asuransi Staci
Jasa Pratama (2004), Asuransi Central Asia (2004), Asuransi Adira
Syariah (2004), Asuransi BNI Jiwasraya Syariah (2004), Asuransi Sinar
Mas (2004), dan sebagainya. Sampai Mei 2008, sudah hadir 41 perusahaan
asuransi syariah di Indonesia, 3 perusahaan re-asuransi syariah, dan 6
broker asuransi dan re-asuransi syariah.[1]
Tulisan ini bertujuan menunjukkan bahwa asuransi syariah yang ada
sesungguhnya tidak sesuai dengan syariah, karena banyak mengandung
penyimpangan-penyimpangan syariah (mukhalafat syar’iyah) yang sangat fatal.
Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi Syariah dalam literatur bahasa Arab disebut dengan istilah : At Ta`min At Ta’awuni, atau At Tamin At Takafuli , atau At Ta`min Al Islami.[2]
Asuransi Syariah menurut menurut Dewan Syariah Nasional MUI (DSN MUI) identik dengan istilah ta`min, takaful, atau tadhaamun,
dan didefinisikan sebagai usaha saling melindungi dan tolong-menolong
di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset
dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Akad yang sesuai dengan syariah tersebut maksudnya adalah akad yang
tidak mengandung gharar (penipuan), perjudian, riba, penganiayaan/ kezaliman, suap, barang haram dan maksiat.[3]
Definisi Asuransi Syariah menurut Kitab Al Ma’ayir Al Syar’iyah (Sharia Standards) yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) edisi tahun 2010 :
التأمين الإسلامي هو اتفاق أشخاص يتعرضون لأخطار معينة على
تلافي الأضرار الناشئة عن هذه الأخطار، وذلك بدفع اشتراكات على أساس
الإلتزام بالتبرع، ويتكون من ذلك صندوق التأمين له حكم الشخصية الإعتبارية،
وله ذمة شخصية مستقلة، (صندوق) يتم منه التعويض عن الأضرار التي تلحق أحد
المشتركين من جراء وقوع الأخطار المؤمن منها
(المعايير الشرعية 2010، ص 364)
“Asuransi Islami adalah kesepakatan sejumlah orang yang menghadapi
risiko-risiko tertentu dengan tujuan untuk menghilangkan bahaya-bahaya
yang muncul dari risiko-risiko tersebut, dengan cara membayar
kontribusi-kontribusi berdasarkan keharusan tabarru’ (hibah), yang
darinya terbentuk dana pertanggungan –yang mempunyai badan hukum sendiri
dan tanggungan harta independen– yang darinya akan berlangsung
penggantian (kompensasi) terhadap bahaya-bahaya yang menimpa salah
seorang peserta sebagai akibat terjadinya risiko-risiko yang telah
ditanggung.”[4]
Definisi ringkas menurut AAOIFI edisi tahun 2010 adalah sebagai berikut :
التأمين التعاوني هو عقد تأمين جماعي يلتزم بموجبه كل
مشترك بدفع مبلغ من المال على سبيل التبرع لتعويض الأضرار التي قد تصيب أيا
منهم عند تحقق الخطر المؤمن منه
(المعايير الشرعية 2010، ص 376)
“Asuransi Islami adalah akad pertanggungan oleh sekelompok orang yang
berdasarkan akad itu setiap peserta membayar sejumlah harta atas dasar
tabarru’ (hibah) untuk mengganti bahaya-bahaya yang mungkin menimpa
kepada siapa saja dari para peserta ketika terjadi risiko yang telah
ditanggung.”[5]
Dalil-Dalil Asuransi Syariah
Dalil-dalil yang diajukan pihak yang melaksanakan Asuransi Syariah saat ini antara lain :
(1) Dalil-dalil tolong menolong (misal QS Al Maidah : 2 dan hadis)
(2) Dalil tabarru’, yaitu akad untuk kebajikan dan tolong menolong, seperti hibah.
(3) Dalil-dalil yang membolehkan mudharabah / musyarakah.
(4) Dalil-dalil ijarah (wakalah bil ujrah)
(5) Dalil yang membolehkan ta’widh (pemberian kompensasi), yaitu hadis laa dharara wa laa dhirara. (tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun bahaya bagi orang lain).[6]
Ada dalil hadis yang sering disebut yang diklaim sebagai dasar
Asuransi Syariah, yakni hadis tentang Kaum Asy’ariyin. Dari Abu Musa RA,
ia berkata: Nabi SAW bersabda:
إِنَّ الْأَشْعَرِيِّينَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ
أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِينَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ
عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ
وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ
Bahwa kaum al-Asy’ariyun jika mereka kehabisan bekal di dalam
peperangan atau makanan keluarga mereka di Madinah menipis, maka mereka
mengumpulkan apa yang mereka miliki di dalam satu lembar kain kemudian
mereka bagi rata di antara mereka dalam satu wadah, maka mereka itu
bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka (HR Muttafaq ‘alaih).[7]
Dalil hadis lain yang juga sering disebut adalah hadis Abu Ubaidah
bin Jarrah RA bahwa Rasulullah SAW pernah mengutus Abu Ubaidah bin
Jarrah RA bersama 300 pasukan. Di jalan bekal habis, lalu Abu Ubaidah
memerintahkan pasukan mengumpulkan semua bekal makanan, lalu mereka
memakannya sedikit demi sedikit sampai habis. Sampailah mereka di tepi
laut dan melihat seekor ikan besar seperti bukit, lalu mereka memakan
ikan itu selama 18 malam… (HR Bukhari).[8]
Menurut para penggagas asuransi syariah, hadis-hadis tersebut
menunjukkan upaya tolong menolong dalam rangka menanggulangi musibah,
sesuatu yang juga terdapat dalam akad Asuransi Syariah di jaman modern
ini.
Akad-Akad dalam Asuransi Syariah
Terdapat sekurang-kurangnya 3 (tiga) akad dalam Asuransi Syariah :
Pertama, akad hibah (tabarru’) di antara sesama
pemegang polis (peserta asuransi) di mana peserta memberikan hibah yang
akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah.
Kedua, akad mudharabah / musyarakah, dimana peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis), sedang perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola). Akadnya berupa mudharabah, jika perusaan asuransi tidak sharing modal. Jika perusahaan asuransi ikut sharing modal, berarti akadnya musyarakah,
Ketiga, akad ijarah (wakalah bil ujrah), yaitu
akad wakalah (pemberian kuasa) dari peserta kepada perusahaan asuransi
untuk mengelola dana peserta dengan memperoleh imbalan (ujrah/fee).
Akad Wakalah bil ujrah terdapat pada asuransi yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun unsur tabarru’ atau yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving).[9]
Praktik Umum Dalam Asuransi Syariah Non Saving (Tanpa Tabungan)
Dalam asuransi syariah non saving ini, seluruh premi yang
dibayarkan peserta asuransi, menjadi dana tabarru’ (hibah). Diklaim
bahwa tak ada dana untuk investasi pada akad ini. Pengelolaan dana
tabarru’ tersebut dan aktivitas takaful (saling menanggung di antara
peserta) selanjutnya dijalankan oleh perusahaan asuransi. Perusahaan
asuransi mendapat ujrah (fee) dari pengelolaan dana tabarru’ tersebut
berdasar akad wakalah bil ujrah. Sementara itu peserta akan mendapat dana pertanggungan dari dana tabarru’ tersebut sesuai ketentuan yang ada.
Jadi pada asuransi non saving terdapat 2 (dua) akad :
Pertama, akad hibah (tabarru’) antar sesama peserta di bawah pengelolaan perusahaan.
Kedua, akad ijarah (wakalah bil ujrah) antara semua peserta dengan perusahaan.
Praktik Umum Asuransi Syariah Dengan Saving (Dengan Tabungan)
Adapun dalam asuransi syariah dengan saving, premi yang
dibayarkan peserta asuransi kepada perusahaan asuransi dibagi dua : (1)
dana untuk tabarru’, dan (2) dana untuk investasi (biasanya lebih besar
dari dana tabarru’). Dana tabarru’ ini lalu dikelola perusahaan
asuransi dengan akad ijarah (wakalah bil ujrah). Perusahaan asuransi
mendapat ujrah (fee) dari akad wakalah bil ujrah tersebut. Peserta akan
mendapat dana pertanggungan dari dana tabarru’ tersebut sesuai ketentuan
yang ada. Sementara dana investasi dikelola perusahaan asuransi dengan
akad mudharabah / musyarakah, dan selanjutnya perusahaan asuransi
mendapat bagi hasil dari akad investasi tersebut.
Jadi, dalam asuransi dengan saving ini terdapat 3 (tiga) akad :
Pertama, akad hibah (tabarru’) antar sesama peserta di bawah pengelolaan perusahaan
Kedua, akad ijarah (wakalah bil ujrah) antara semua peserta dengan perusahaan.
Ketiga, akad mudharabah / musyarakah antara antara semua peserta dengan perusahaan.
Perlu diberi catatan di sini bahwa dalam akad mudharabah / musyarakah
tersebut, peserta asuransi bertindak sebagai shahibul mal; perusahaan
sebagai mudharib, atau sekaligus shahibul mal. Mengapa dikatakan
demikian? Sebab perusahaan tidak mengelola langsung dana yang
diinvestasikan denhgan melakukan bisnis riil (produksi barang atau
jasa), melainkan melakukan re-asuransi, atau menginvestasikan dana ke
bank. Keuntungan yang diperoleh dari mudharabah / musyarakah ini
kemudian dibagi sesuai kesepakatan, antara peserta asuransi dan
perusahaan asuransi. Sebagian keuntungan ini disisihkan untuk dana
tabarru’.
Kritik Terhadap Asuransi Syariah
Asuransi Syariah sebagaimana dijabarkan faktanya di atas, menurut
kami adalah akad yang tidak sah (batil) dan haram, karena terdapat
paling kurang 6 (enam) penyimpangan syariah (mukhalafat syar’iyah) sebagai berikut :
Pertama, karena dalil-dalil yang digunakan tidak tepat,
khusunya hadis Asy’ariyin dan hadis Abu Ubaidah bin Jarrah RA di atas.
Pada kedua hadis tersebut, peristiwa bahaya terjadi lebih dahulu, baru
kemudian terjadi proses ta’awun (tolong menolong). Sedang pada asuransi
syariah, sudah diadakan akad ta’awun lebih dahulu, padahal peristiwa
bahayanya belum terjadi sama sekali. Menurut Syaikh ‘Atha` Abu Rasyta,
menggunakan hadis Asy’ariyin sebagai dasar asuransi syariah adalah istidlal yang keliru. (Ajwibatu As`ilah, tanggal 7 Juni 2010).
Kedua, karena terjadi penggabungan dua akad menjadi satu
akad (multi akad). Padahal multi akad telah dilarang dalam syariah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA bahwa Nabi SAW telah melarang dua
kesepakatan dalam satu kesepakatan.” (HR Ahmad, hadis sahih). Yang
dimaksud “dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqataini fi shafqah wahidah)” adalah adanya dua akad dalam satu akad (wujudu ‘aqdaini fi aqdin wahidin).[10]
Fakta menunjukkan bahwa pada asuransi syariah tanpa saving, terjadi
penggabungan akad hibah dengan akad ijarah. Sementara pada asuransi
syariah dengan saving, terjadi penggabungan akad hibah, akad ijarah, dan
akad mudharabah.
Ketiga, karena tidak sesuai dengan akad dhaman (jaminan / pertanggungan) dalam Islam. Terdapat ketidaksesuaian dalam 3 segi sebagai berikut :
(1) Dari segi karakter akad. Karakter akad dhaman adalah
akad tabarru’ (bertujuan kebajikan / tolong menolong), bukan akad
tijarah (bertujuan komersial). Sedangkan asuransi Syariah hakikatnya
bukan akad tabarru’, tapi akad tijarah, karena peserta mengharap
mendapat klaim (dana pertanggungan) dan keuntungan dalam mudharabah.
Jadi pernyataan bahwa Asuransi Syariah adalah akad ta’awun dan bukan akad mu’awadhah / tabaduli (pertukaran), tidak tepat dan tidak sesuai dengan faktanya.
(2) Ketidaksesuaian dengan akad dhaman juga dapat dilihat
dari segi tidak sesuainya jumlah para pihak dalam akad. Pada akad dhaman
(jaminan / pertanggungan), terdapat 3 pihak, yaitu : (1) yang menjamin/
penanggung (dhamin), (2) yang dijamin / tertanggung (madhmun anhu), dan
(3) yang mendapat jaminan / tanggungan (madhmun lahu).
Adanya tiga pihak tersebut didasarkan pada hadis Abu Qatadah RA bahwa
kepada Nabi SAW pernah didatangkan sesosok jenazah agar beliau
menshalatkannya. Lalu beliau bertanya, “Apakah ia punya hutang?” Para
Sahabat berkata, “Benar, dua dinar.” Beliau bersabda, “Shalatkan teman
kalian!” Kemudian Abu Qatadah berkata, “Keduanya (dua dinar itu) menjadi
kewajibanku, wahai Rasulullah.” Nabi SAW pun lalu menshalatkannya. (HR
Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i dan al-Hakim).
Dalam hadis tersebut ada tiga pihak; Pertama, pihak yang menjamin/ penanggung (dhamin) adalah Abu Qatadah RA. Kedua, pihak yang dijamin / tertanggung (madhmun anhu) adalah jenazah. Ketiga, pihak yang mendapat jaminan / tanggungan (madhmun lahu) adalah orang yang memberi utang kepada jenazah.
Sementara itu dalam Asuransi Syariah, hanya ada dua pihak, bukan tiga pihak. Dua pihak tersebut adalah : Pertama, pihak yang menjamin/ penanggung (dhamin), yaitu para peserta semua; kedua, pihak yang mendapat jaminan / tanggungan (madhmun lahu) yaitu para peserta semua. Jadi dalam asuransi syariah tidak terdapat pihak ketiga, yaitu pihak yang dijamin / tertanggung (madhmun anhu).
(3) ketidaksesuaian ketiga dengan akad dhaman, dapat dilihat dari segi dhammu dzimatin ila dzimmatin, yakni penggabungan tanggungan satu pihak kepada tanggungan pihak lainnya. Dalam akad dhaman telah terjadi dhammu dzimatin ila dzimmatin, sebegaimana nampak pada hadis Abu Qatadah RA di atas, bahwa Abu Watadah telah menggabungkan dzimmah
(tanggungan) si jenazah, kepada tanggungan diri Abu Qatadah RA itu
sendiri. Jadi tanggungan yang wajib ditunaikan jenazah, berpindah
menjadi tanggungan Abu Qatadah RA. Adapun dalam asuransi syariah, dhammu dzimatin (penggabungan tanggungan) itu
tidak terjadi dan tidak ada. Karena ketika seorang peserta asuransi
membayar premi, dia tidak sedang mempunyai tanggungan apa pun kepada
siapa pun, yang wajib dia tunaikan. Jadi, asuransi syariah tidak sesuai
dengan akad dhaman dalam Islam.
Keempat, karena akad hibah (tabarru’) dalam Asuransi Syariah
tidak sesuai dengan pengertian hibah itu sendiri. Sebab hibah dalam
pengertian syar’i adalah pemberian kepemilikan tanpa kompensasi /
pengganti (tamliik bilaa ‘iwadh). (Imam Syaukani, Nailul Authar, Bab Hibah, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hlm. 1169)
Sementara dalam Asuransi Syariah, peserta asuransi memberikan dana hibah, tapi mengharap mendapat kompensasi (‘iwadh / ta’widh),
bukannya tidak mengharap. Jadi sebenarnya tidaklah tepat Asuransi
Syariah dikatakan sebagai akad hibah, tapi harus jujur disebut sebagai
akad investasi yang mengharapkan keuntungan !
Kelima, karena hibah (tabarru’) yang diberikan peserta dalam
Asuransi Syariah, akan kembali kepada peserta itu (jika terjadi risiko
atas suatu peristiwa yang ditanggung misal kebakaran) ditambah dengan
hibah dari para peserta lainnya. Menurut kami ini haram hukumnya, sebab
menarik kembali hibah yang telah diberikan hukumnya haram. (Yahya
Abdurrahman, Asuransi dalam Tinjauan Syariah, hlm. 42).
Sabda Nabi SAW :
العائد في هبته كالكلب يعود في قيئه
“Orang yang menarik kembali hibahnya, sama dengan anjing yang
menjilat kembali muntahannya.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa`i,
Ibnu Majah, dan Ahmad).
Keenam, karena telah terjadi gharar (ketidaktentuan, uncertainty)
dalam Asuransi Syariah. Sebab peserta tidak tahu dengan jelas apakah
betul perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola, ataukah sebagai
pengelola sekaligus sebagai pemodal ketika perusahaan menginvestasikan
kembali dana premi ke pihak ketiga, dan seterusnya. Peserta juga tak
tahu dengan jelas ke mana perusahaan asuransi akan menginvestasikan dana
yang ada, apakah ke bank, bank konvensional atau bank syariah, ataukah
melakukan re-asuransi ke perusahaan asuransi berikutnya, dan seterusnya.
Adanya gharar ini berarti menegaskan keharaman Asuransi Syariah yang ada saat ini.
Penutup
Dari kajian ringkas di atas, dapat diambil kesimpulan tegas bahwa
asuransi syariah adalah akad yang batil (tidak sah) dan haram hukumnya.
Dengan demikian, sudah seharusnya para pihak (stakeholders) yang terlibat dalam akad haram ini bertobat dan kembali kepada kebenaran (ruju’ ilal haq)
dengan ikhlas, baik pemerintah, MUI, dunia bisnis asuransi, maupun
masyarakat. Marilah kita bertaubat, sebelum kita menjadi makhluk
tersesat dengan memakan harta yang batil atas nama syariah ! Astaghfirullaahal’azhiem. (www.konsultasi.wordpress.com)/BringBackIslam
Sumber jawaban : Makalah oleh KH. M. Shiddiq Al Jawi berjudul Tidak Syariahnya Asuransi Syariah
[1] Lihat Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, hlm. 250-251.
[2] Lihat kitab-kitab fiqih kontemporer seputar asuransi syariah, misalnya Dr Ali Muhyidin Al Qarhudaghi, At Ta`min At Ta’awuni Mahiyatuhu wa Dhawabituhu wa Muawwiqatuhu; Dr Sulaiman bin Dari` Al ‘Azimi At Ta`min At Ta’awuni Mu’awwiqatuhu wa Istisyrafu Mustaqbalatihi; Dr Musa Musthafa Musa Al Qudhah At Ta`mi At Takafuli Bayna Dawafi’ An Numuwwi wa Makhathir Al Jumud.
[3]
Lihat Fatwa DSN No 21/DSN-MUI/IX/2001, hlm. 5. Selengkapnya fatwa-fatwa
DSN MUI terkait Asuransi Asuransi Syariah adalah : (1) Fatwa DSN No
21/DSN-MUI/IX/2001 ttg Pedoman Umum Asuransi Syariah, (2) Fatwa DSN No
51/DSN-MUI/III/2006 tentang akad Mudharabah Musyarakah pada Asuransi
Syariah, (3) Fatwa DSN No 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil
Ujrah, (4) Fatwa DSN No 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada
Asuransi dan Reasuransi Syariah.
[4] Al Ma’ayir Al Syar’iyah, edisi tahun 2010, hlm. 364.
[5] Al Ma’ayir Al Syar’iyah, edisi tahun 2010, hlm. 376.
[6] Dalil-dalil selengkapnya lihat Al Ma’ayir Al Syar’iyah, hlm. 372-375, Fatwa-Fatwa DSN MUI no 21, 51, 52, dan 52.
[7] Lihat Abdus Sattar Abu Ghuddah, Nizham At Ta`min At Takafiuli min Khilal Al Waqf, hlm. 3.
[8] Lihat Abdus Sattar Abu Ghuddah, Nizham At Ta`min At Takafiuli min Khilal Al Waqf, hlm. 3
[9] Lihat Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, hlm. 265-266; Fatwa DSN No 21/DSN-MUI/IX/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah).
[10] Taqiyuddin Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, Juz II hlm. 308.
Posting Komentar untuk "Hukum Asuransi Syariah"