CIR & Paham Indonesia Kecam Penangkapan & Penyiksaan 14 Warga Poso
“Korban yang disiksa
adalah para penambang emas (9 orang) dan warga biasa yang berprofesi
sebagai guru atau pedagang (5 orang). Setelah diinterogasi secara tak
manusiawi, disiksa dan dihinakan selama 7 hari (20-27 Desember 2012),
mereka dilepas begitu saja. Tanpa permintaan maaf dan rehabilitasi nama
baik, apalagi pengantian biaya perobatan, tidak ada,” jelas Heru
Susetyo, Dewan Pembina Paham Indonesia yang menjadi kuasa hukum salah
seorang korban.
Bukti penyiksaan terungkap dalam refleksi awal
tahun 2013 yang dilakukan Center for Indonesian Reform/CIR bersama Union
Migrant dan Paham Indonesia di Jakarta, Rabu. Refleksi bertema
“Perlindungan WNI di Era Reformasi”.
Salah seorang korban bernama
Syafrudin, seorang guru yang tinggal di desa Kalora, satu jam dari kota
Poso. “Pada tanggal 20 Desember siang hari, saya sedang tidur-tiduran
di rumah, sepulang mengajar. Tiba-tiba ada tamu mengetuk pintu dengan
keras. Ternyata aparat, langsung menodongkan senjata ke saya, agar ikut
ke Pos Polisi. Di atas truk Brimob saya dipukuli sampai pingsan. Saya
dituduh ikut pengajian ekstrem yang mengajarkan pembunuhan polisi.
Padahal, saya ikut taklim biasa. Selama ditahan di Mapolresta Poso, mata
saya ditutup selama 3 hari, sehingga tak tahu apa saja yang terjadi.
Setelah sadar, tubuh saya luka dan lebam,” ungkap Syafrudin dalam
testimoni tertulis.
Tindakan aparat Brimob dan Polres Poso itu
jelas-jelas melanggar UUD RI yang menjamin WNI bebas dari penyiksaan dan
pemeriksaan yang merendahkan nilai kemanusiaan.
“Aparat Polisi
sekali lagi menunjukkan sikap tidak profesional dan tidak bertanggung
jawab, seperti Densus 88 yang sering salah tangkap dan salah tembak.
Bukti permulaan yang dimaksud ternyata hanya karena ke-14 warga itu ikut
pengajian/taklim. Apa ikut mengaji itu suatu kejahatan? Setelah proses
interogasi yang penuh penyiksaan ternyata tak ada bukti pendukung lain.
Itu benar-benar kesalahan fatal yang akan menumbuhkan kebencian kepada
aparat. Bukan memberantas terorisme, polisi malah menyuburkan kebencian
baru,” ujar Sapto Waluyo, Direktur Eksekutif CIR.
Penulis buku
“Kontra Terorisme, Kebijakan Indonesia di Masa Transisi” (2009) itu
menunjukkan serangan terhadap patroli Brimob di Gunung Taswinuni, Desa
Kalora.
“Kita prihatin dengan tewasnya 4 aparat polisi. Tapi,
kita lebih prihatin karena tindakan polisi menimbulkan korban baru yang
tak bersalah. Mestinya Polisi memberikan surat keterangan bersih dari
kejahatan dan tidak terlibat terorisme bagi korban yang tidak terbukti,
sehingga mereka tidak terkena stigma. Sekarang warga mengalami trauma
dan tidak berani kembali ke rumah,” tegas Sapto.
Selain korban
salah tangkap polisi, refleksi CIR-Paham-Unimig Indonesia juga membahas
nasib para pedagang yang digusur PT KAI dan TKI yang merana di
mancanegara. [mediacenter/islampos]
Posting Komentar untuk "CIR & Paham Indonesia Kecam Penangkapan & Penyiksaan 14 Warga Poso"