Jebakan-Jebakan Demokrasi
![]() |
sumber: http://store-bringbackislam.blogspot.com/ |
Dr. Fahmi Amhar
Siapapun yang pernah merasakan hidup di bawah penguasa yang tiranik,
sewenang-wenang, serta buta dan tuli pada penderitaan rakyat, tentu
sepakat bahwa pemerintahan diktator otoriter seperti itu harus
dihentikan, dilawan dan dicegah agar jangan pernah muncul kembali.
Di dunia, ada beberapa tipe diktator. Ada diktator aristokrasi, yakni
diktator para bangsawan. Hukum dibuat hanya untuk melindungi kepentingan
bangsawan yang seakan-akan pemilik negara seluruhnya. Kemudian ada
diktator teokrasi, yaitu diktator para pendeta. Mereka menciptakan hukum
dengan hawa nafsunya, namun diklaim bahwa itu adalah ilham dari Tuhan.
Mereka juga mengklaim dirinya tidak bisa salah (maksum). Lalu ada
diktator militer, yang memerintah dengan asas “yang kuat menguasai yang
lemah”. Dan dalam negara, siapa yang lebih kuat dari angkatan
bersenjata?
Demokrasi dicitrakan di Barat sebagai anti tesis
dari diktatur, dan memang begitu sejarahnya. Manusia cenderung untuk
melakukan pembagian dikotomis: besar-kecil, baik-buruk, benar-salah,
demokratis-diktatur. Jarang yang memikirkan pihak di tengah, yang tidak
besar maupun kecil, yang tidak dapat disifati baik-buruk (karena bukan
persoalan etika), yang tidak dapat disifati benar-salah (karena bukan
persoalan logika). Demikian juga, jarang yang berpikir adanya sistem
kekuasaan yang bukan demokratis namun juga bukan diktatur.
Maka
setelah 32 tahun diperintah rezim Soeharto yang otoriter, anti kritik
dan korup, masyarakat menyambut gembira reformasi yang ditandai sejumlah
perubahan demokratis. Demokrasi dipahami dengan adanya keterbukaan yang
akan mencegah korupsi, dengan kebebasan dari rasa takut untuk
berpendapat, berdemonstrasi, membangun media massa, membentuk partai,
hingga mencalonkan diri menjadi presiden.
Sejumlah aktivis
Islam yang di era Orde Baru harus mendekam di penjara karena vocal
mengritik Soeharto maupun yang harus bergerak di bawah tanah, sejak era
Reformasi tidak ragu-ragu lagi untuk bergerak terbuka. Muncullah
berbagai partai-partai baru, baik yang berasas Islam maupun Pancasila.
Mereka berkompetisi memperebutkan kepercayaan rakyat via Pemilu. Mereka
mencoba berjuang melalui koridor yang diberikan demokrasi, yaitu
mendirikan partai, melakukan kaderisasi dan sosialisasi, ikut pemilu,
meraih kursi di parlemen, jabatan kepala daerah atau bahkan presiden,
kemudian memodifikasi peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan
syariat Islam.
Sejauh ini, itu adalah teori yang dinilai cukup
meyakinkan, karena selama ini TNI/POLRI terbukti netral. TNI/POLRI
mendukung siapapun yang terpilih di negeri ini. Maka kemudian negeri ini
disebut sebagai negeri muslim dengan demokrasi terbesar di dunia, dan
negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia dilihat dari jumlah
populasinya (setelah India dan AS).
Simplifikasi
Namun
semua itu ternyata hanya simplifikasi. Orang menganggap mudah (simple)
sesuatu yang sebenarnya tidak sesederhana itu. Ketika demokrasi hanya
diartikan sebagai tangga meraih kekuasaan: partai, pemilu, parlemen,
maka demokrasi ini oleh para ideolog demokrasi, dianggap hanya
prosedural, belum substansial. Apalagi ketika tujuan akhir dari proses
ini adalah untuk menegakkan syariat Islam. Sebagian kalangan liberal
menilai, cara ini adalah cara Hitler, sang pemimpin NAZI yang berkuasa
di Jerman dari tahun 1933-1945 dan menyeret Jerman dalam malapetaka
Perang Dunia II. Hitler meraih kekuasaannya dalam proses pemilu yang
demokratis. Masa awal pemerintahannya diisi dengan politik pembangunan
yang sangat populis (“setiap keluarga Jerman mendapatkan satu pekerjaan,
satu rumah dan satu mobil”), sehingga pada pemilu berikutnya dia meraih
mayoritas mutlak. Ini kemudian digunakannya untuk merubah konstitusi
Jerman sedemikian rupa sehingga dapat dinilai justru membunuh asas-asas
demokrasi itu sendiri (yaitu politik diskriminasi dan bahkan pemusnahan
bagi para lawan-lawan politiknya). Karena itu tak heran bila kalangan
liberal tetap curiga bahwa prosedur demokrasi di tangan para aktivis
Islam suatu hari nanti akan dipakai untuk membunuh demokrasi itu
sendiri.
Fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa prosedur
demokrasi ini tidak selalu mulus. Minimal ada empat hal yang menjadi
hambatan:
Pertama, bagaimana meraih kemenangan suara terbanyak,
ketika suara rakyat jelata yang pendidikannya rendah dan awam terhadap
politik sama beratnya dengan para politikus yang cerdas? Bagaimana
berkompetisi dengan partai lain yang benar-benar mengandalkan keawaman
massa? Kita melihat bahwa pada pemilu 1999 dan 2004, suara pendukung
tokoh reformasi Amin Rais dan partainya tidak sebanyak suara ke tokoh
dan partai yang lain, yang sebenarnya tidak punya citra reformasi yang
kental! Mengapa? Salah satu alasannya: mesin keuangan mereka tidak
sekuat kompetitornya.
Kedua, pihak yang mendapat suara
terbanyak, tidak otomatis akan didukung dalam segala sikap politiknya.
Ini berlaku juga bagi partai yang ingin menegakkan syarat Islam via
jalur demokrasi. Akibatnya, partai Islam yang terpilih tidak otomatis
akan dibela para pemilihnya itu ketika mereka dalam kesulitan,
sebagaimana kasus FIS di Marokko atau Refah di Turki. Pada tahun 1991,
FIS memenangkan 188 dari 231 kursi parlemen Aljazair. Tetapi kemudian
militer yang direstui Perancis menganulir pemilu dan menangkapi para
pemimpin FIS. Tahun 1996 partai Refah yang memenangkan pemilu di Turki
bahkan telah memerintah dengan Najmudin Erbakan sebagai perdana menteri.
Namun pada 1997 terjadi kudeta militer dengan alasan Refah memiliki
agenda Islam yang bertentangan dengan konstitusi. Pada 1998, Mahkamah
Agung Turki menyatakan Refah menjadi partai terlarang. Pada kedua
kejadian ini, mayoritas para pemilih ternyata memilih bersikap pasif
(diam)!
Ketiga, pemegang kekuasaan yang sesungguhnya di negara
manapun adalah siapa yang dapat mengendalikan kekuatan bersenjatan
(militer). Pengendali ini bisa tokoh informal yang tidak duduk di
kekuasaan, bisa pula kekuatan asing. Merekalah yang hakekatnya mampu
melakukan apapun, termasuk membekukan konstitusi. Ini terjadi di
negeri-negeri yang pernah merasakan kudeta. Siapapun yang memenangkan
pemilu, baik dengan jujur maupun curang, tidak akan mampu berbuat
apa-apa bila militer tidak netral atau tidak bersama mereka. People
power yang sebesar apapun juga hanya akan berhasil bila militer
mendiamkannya.
Untuk melakukan kudeta, bagi militer adalah
cukup mudah. Cukup merebut pusat-pusat komunikasi, menahan rumah para
politisi termasuk memutus semua alat komunikasinya, lalu mengumumkan di
televisi bahwa telah terjadi kondisi darurat. Untuk melakukan semua ini
hanya dibutuhkan sekitar 1000 orang tentara. Inilah yang terjadi di
Thailand tahun 2006.
Keempat adalah hambatan konstitusi. Di
beberapa negara, sekulerisme menjadi harga mati yang ditanam dalam
konstitusi. Segala upaya apapun yang akan menggoyang asas ini, dapat
dinyatakan melanggar konstitusi oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah
Konstitusi. Di UUD 1945 hasil Amandemen para hakim konstitusi ini diberi
kewenangan menguji undang-undang apapun terhadap UUD, menyatakan
presiden telah mengkhianati negara karena melanggar konstitusi hingga
dapat dimakzulkan, membubarkan suatu partai yang agendanya dianggap
bertentangan dengan konstitusi, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Karena itu, pada negara-negara sekuler, selain para
komandan militer, posisi para hakim konstitusi adalah strategis yang
harus dijaga agar tetap ditangan orang-orang sekuler.
Jebakan Demokrasi
Jalan untuk menegakkan syariah pastilah bukan jalan yang mudah dan
ringan, tetapi jalan yang sukar dan mendaki. Namun manusia memang secara
naluriah lebih cenderung mencari jalan yang mudah dan ringan. Benarkah
kata Qur’an:
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan,
Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. (QS Al-Balad
[90]: 10-11)
Demokrasi dengan one-man one-vote (setiap orang
satu suara) memaksa para pelakunya untuk menggunakan logika jumlah.
Dalam waktu pendek, tidak mudah meraih jumlah pendukung yang signifikan.
Yang termudah adalah dengan menjual “sesuatu” yang gampang diterima
oleh massa. Terkadang sesuatu itu masih dapat berupa gagasan (misalnya
“sembako murah” atau citra “bersih”), terkadang berupa public-figure
seperti da’i kondang, artis terkenal atau mantan pejabat yang populer,
dan yang paling murahan adalah sesuatu yang sifatnya fisik seperti
bantuan uang atau materi lainnya. Semua hal mudah ini jelas berakibat
lunturnya ideologi partai. Para pemilih bahkan tim sukses pun tidak lagi
melihat ideologi atau visi partai yang umumnya terlalu abstrak di benak
mereka. Mereka terpaku pada yang “gampang diterima massa”.
Demokrasi prosedural juga memberikan waktu yang terbatas pada siapapun
yang terpilih. Para legislator dan kepala daerah umumnya hanya diberi
waktu lima tahun. Setelah itu kartu akan dikocok ulang. Khusus para
kepala daerah bahkan hanya dapat dipilih ulang sekali saja. Waktu lima
tahun tentulah bukan waktu yang cukup untuk perubahan dalam skala
ideologi. Revolusi di manapun membutuhkan masa transisi cukup panjang
yang biasanya dirasakan cukup berat. Rasulullah yang merevolusi kaum
Muhajirin dan Anshar pun dalam sepuluh tahun pemerintahannya dapat
dikatakan era transisi, ditandai dengan puluhan perang yang harus mereka
alami. Tentu saja tidak mudah untuk mengukir tonggak keberhasilan dalam
lima tahun dan menunjukkannya ke para pemilih agar mereka memperpanjang
mandatnya. Karena tidak mudah ini, maka dalam masa lima tahun itu
terjadilah politik pragmatisme, yakni mengejar kemanfaatan jangka
pendek. Dibuatlah berbagai aturan yang dapat memperkokoh kedudukan
partai, baik dari segi dana, SDM maupun organisasi. Upaya ini dapat
berasal dari pundi-pundi lembaga yang dikuasainya (legislatif,
eksekutif, yudikatif) maupun dari unsur-unsur eksternal seperti bantuan
dari pihak swasta ataupun bantuan non pemerintah dari Luar Negeri.
Semuanya tentu ada kompensasinya. Tidak heran bahwa banyak partai yang
semula sangat sederhana, tiba-tiba jadi memiliki gedung kantor yang
megah lengkap dengan fasilitas kendaraan mewah dan perlengkapan lainnya
setelah kadernya ada yang duduk di parlemen atau pemerintahan.
Dan ketika mereka telah duduk di pemerintahan, tampaklah bahwa ada 1001
persoalan bersamanya. Ada aturan-aturan yang saling menopang dan
membelit, yang tidak dapat diubah satu persatu begitu saja.
Kadang-kadang seorang menteri atau kepala daerah berpikir bahwa jika
suatu aturan dibuat di instansinya, maka dia dapat berinisiatif untuk
merubah atau bahkan mencabutnya. Namun ternyata, banyak aturan yang
terkait dengan peraturan lain, atau bahkan terkait dengan perjanjian
internasional.
Contoh: aturan bunga bank (yang sudah difatwa
haram oleh MUI). Kalau suatu kepala daerah ingin membuat perda, misalnya
hanya bank-bank dengan sistem syariah yang boleh beroperasi di
daerahnya, pasti akan digugat oleh bank-bank konvensional dengan alasan
persaingan usaha, dan perda tersebut pasti akan kalah saat Judicial
Review, karena menyalahi Undang-undang. Dan kalau Menteri Keuangan
bersama Gubernur BI akan mensyariahkan Undang-undang perbankan, pasti
digugat oleh IMF, Bank Dunia dan WTO, sebab Indonesia punya
kesepakatan-kesepakatan internasional bidang moneter dan perdagangan.
Hal ini juga terjadi dalam perkara pertanahan, pertambangan, kehutanan,
pendidikan, hukum pidana, hukum perdata, dan sebagainya. Adanya
globalisasi makin mempersulit posisi tersebut. Kalau bukan disentil oleh
IMF, Bank Dunia atau WTO, kita akan didemo oleh LSM-LSM asing, atau
diberitakan miring oleh jaringan pers internasional. Para aktivis
syariah akan distempel fundamentalis, radikal, dan teroris!
Hanya revolusi yang dapat mendobraknya, namun revolusi adalah jalan yang
mendaki dan sukar. Tidak banyak yang berani menanggung resikonya.
Walhasil banyak dari politisi yang masuk dalam legislatif atau eksekutif
ini yang menyerah pada situasi, suka tidak suka jadi terlibat dalam
sistem perundang-undangan yang tidak lagi melihat halal-haram. Padahal
sistem perundang-undangan semacam itu hakekatnya adalah sistem kufur.
Akhirnya karena mereka tidak sanggup lagi mengubahnya, mereka menyatakan
kondisi saat ini sebagai kondisi darurat. Mereka akan mengatakan bahwa
masih lebih baik mereka yang duduk, bukan politisi sekuler yang kejam,
bukan pula diktator korup.
Kita tidak ingin mengatakan bahwa
para aktivis partai Islam tersebut telah terjebak. Mereka berjuang, dan
tidak dinafikan bahwa sebagian dari mereka betul-betul berjuang dengan
ikhlas, mengorbankan harta, waktu, tenaga dan pikirannya. Kita menyebut
fenomena di atas adalah jebakan sebagaimana seorang prajurit yang gagah
berani di medan perang dapat juga tanpa sengaja terkepung pada medan
penuh ranjau yang sangat sulit, sehingga dia dengan sadar memutuskan
untuk memilih jalan yang dalam pertimbangannya ranjaunya paling sedikit.
Jalur Alternatif
Namun kalau dipikir jernih, ada cara yang lebih aman secara syar’i,
meskipun tentu saja lebih sukar. Tidak ada “nikmatnya demokrasi” di
sana, karena jalan ini tidak menjanjikan jabatan, tidak menjanjikan
“perubahan” yang cepat ataupun segala indikator duniawi lainnya.
Jalan itu adalah jalur yang ditempuh Rasulullah, melalui dakwah
ideologis baik ke level akar rumput maupun ke level elit. Di Makkah,
hanya level akar rumput yang dapat diakses, itupun dalam 13 tahun hanya
berhasil merekrut sekitar 100 orang. Namun di Madinah, dalam setahun,
hampir seluruh lapisan elit dapat dipegang, sehingga revolusi berjalan
mulus. Tentu saja revolusi ini hanya akan tercatat dengan tinta emas
sejarah bila dapat dipertahankan. Dan itu tergantung kesiapan akar
rumput menanggung beban revolusi. Namun Rasulullah telah memberikan
contoh yang luar biasa bagaimana proses yang alami ini dapat berlangsung
manusiawi dan sempurna.
[www.bringsialam.web.id]
Anda mungkin menyukai postingan ini :
Posting Komentar untuk "Jebakan-Jebakan Demokrasi"