Kesalahan Logika Idrus Ramli; 1A dari 17, Bantahan atas Buku Jurus Ampuh Membungkam HTI
Oleh : Ust. Abulwafa Romli
Salah Memahami Fakta
Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani Sebagai Mujtahid Mutlak
Masalah ini sangat perlu saya kemukakan, karena semua kesalahan
logika Idrus Ramli itu berangkat dari asasnya yang keliru, yaitu pada
otaknya terdapat maklumat sabiqah (data-data terimput) negatif terhadap
Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rh. Inilah yang dipahami dari sejumlah
pernyataan Idrus Ramli, sebagai berikut:
“Namun apabila kita melacak latar belakang Taqiyyuddin An-Nabhani
sendiri dan ideologi yang diusungnya, agaknya kita akan segera menelan
ludah yang teramat pahit penuh dengan kekecewaan. Hal ini setidaknya
dapat dilihat dari beberapa contoh berikut ini:
“Pertama, latar belakang an-Nabhani sendiri yang
diliputi dengan kabut hitam penuh misteri. Masa lalunya, ia termasuk
pengikut aliran radikal Ikhwanul Muslimin Quthbizme didikan Sayid Quthub
yang mengadopsi pandangan Khawarij dalam hal takfir [pengkafiran]
terhadap seluruh kaum muslimin yang ada di muka bumi pada saat ini.
An-Nabhani juga terlibat sebagai anggota partai sosialis kiri yang
beraliran komunis Marxis. Akan tetapi karir politiknya yang tidak
berhasil mengantarnya menuju puncak kesuksesan dalam partai komunis
tersebut, mengantarnya pada inspirasi untuk mendirikan partai politik
“Islam” Hizbut Tahrir [HT] yang mengusung wacana khilafah dengan dia sendiri sebagai pimpinannya.
Kedua, latar belakang an-Nabhani yang terlibat dalam
partai komunis marxis menyisakan satu pemikiran yang dia tuangkan
kedalam partai HT yang di dirikannya…
Keempat, masa lalu an-Nabhani yang pernah tidak lulus
dalam studinya di Universitas al-Azhar karena hasil ujiannya yang
buruk, sangat berpengaruh terhadap pemikiran HT. Tidak jarang an-Nabhani
sendiri dan petinggi-petinggi HT yang lain mengeluarkan fatwa-fatwa
kontroversial dan keluar dari al-Qur’an dan Hadis,…”. (Majalah Ijtihad,
edisi 28 tahun XV, Rabiul Awal-Rajab 1429, hal.7).
“Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani mengutif hadis tersebut didasari oleh
suatu asumsi bahwa khilafah nubuwwah pada fase terakhir dalam hadis
tersebut belum terjadi dan masih harus diperjuangkan. Nah di sinilah
letak kesalahan Syaikh al-Nabhani. Beliau menafsirkan sendiri hadits
Nabi SAW, tanpa merujuk terhadap penafsiran para ulama ahli hadits yang
otoritatif (mu’tabar). Padahal Syaikh al-Nabhani, belum memiliki
kapasitas untuk menafsirkan hadits”. (Jurus Ampuh Membungkam HTI, hal.
26-27.).
“Seorang alim bisa dikatagorikan sebagai mujtahid apabila
telah diakui oleh para ulama dan telah memenuhi syarat-syarat
berijtihad. Sementara tidak seorangpun dari kalangan ulama yang mengakui
Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani telah memenuhi syarat-syarat ijtihad
sebagai mujtahid atau bahkan hanya mendekati saja derajat seorang
mujtahid tidak ada yang mengakui. Sehingga ketika keilmuan seseorang
tidak diakui oleh para ulama, maka keilmuannya sama dengan tidak ada.
Dan ini berarti Syaikh al-Nabhani bukanlah seorang mujtahid atau
mendekatinya”. (Lihat; Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 111-116). Dan
pernyataannya yang lain.
Jadi Idrus Ramli telah keliru dalam memahami fakta Syaikh Taqiyyuddin
an-Nabhani sebagai mujtahid mutlak, dituduh sebagai orang yang bodoh
yang tidak lulus studinya di Universitas al-Azhar Kairo Mesir, bahkan
sebagai mantan anggota Ikhwanul Muslimin dan mantan anggota partai
komunis marxis, sehingga Idrus Ramli salah dalam menghukumi produk
pemikiran, hukum dan sistem beliau. Inilah kesalahan logika Idrus Ramli
yang pertama.
MENEGUHKAN SYAIKH TAQIYYUDDIN AN-NABHANI
SEBAGAI MUJTAHID MUTLAK
Indikasi Bahwa Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rh sebagai mujtahid
mutlak adalah kitab-kitab yang telah disusunnya, baik yang ditabanni
oleh Hizbut Tahrir maupun yang tidak ditabanninya, dan baik yang memakai
nama Taqiyyuddin an-Nabhani sendiri maupun memakai nama yang lainnya.
Dan pada kitabnya pula terdapat indikasi bahwa beliau sangat memahami
persoalan ijtihad dan mujtahid.
Sebagai buktinya beliau telah menulis kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah terdiri dari 3 juz, dan pada juz ke I terdapat bab al-Ijtihad wat Taqlid [hal 197-200], bab al-Ijtihad [hal 201-208], bab Syuruthul Ijtihad [hal 209-217], bab at-Taqlid [hal 218-221], bab Waqiut Taqlid [realita taqlid, hal 222-229], bab Ahwalul Muqallidin Wa Murajjahatihim [kondisi para muqallid dan pilihan mereka, hal 230-232], dan babat-Tanaqul bainal Mujtahidin [
perpindahan di antara para mujtahid, hal 233-235]. Masing-masing bab
dibahas secara mendetil dan akurat. Kemudian Syaikh Taqiyyuddin juga
telah menulis ushul fikih pada kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz
3, dengan sangat mendetil dan akurat, setebal 494 halaman, semuanya
membicarakan ashul fikih yang dasar-dasarnya sangat mirip dengan ushul
fikih Imam Syafi’iy, dengan modifikasi [penyempurnaan] yang mampu
menjawab tantangan zaman yang serba liberal seperti saat ini. Dan Hizbut
Tahrir mampu membangkitkan dan meninggikan pemikiran Islam tanpa harus
terpengaruh oleh pemikiran dari luar Islam, tidak seperti pemikiran kaum
liberal yang mengacak-acak dan mencampur aduk antara pemikiran Islam
dan pemikiran dari luar Islam.
Sebagai indikasi terkuatnya adalah pemikiran Syaikh Taqiyyuddin
an-Nabhani yang memiliki dua karakter sekaligus, yaitu; 1) Solusi
bagaimana menegakkan kembali khilafah. Ini menyangkut fikroh dan
thariqoh dakwah untuk mengembalikan kehidupan Islam yang telah
digariskan oleh beliau dan yang ditabanni oleh Hizbut Tahrir, dimana
belum ada seorang mujtahid pun yang mendahuluinya, karena para mujtahid
mutlak terdahulu belum mengalami kondisi seperti saat ini, yaitu kondisi
tidak adanya khilafah, dan 2) Menyingkap dan menjawab tantanan zaman
pada masanya hingga saat ini, dimana dunia seluruhnya sedang didominasi
oleh kekuatan dua ideologi, komunisme dan kapitalisme.
Karena ketakwaan kita (sebagai kaum muslim) kepada Alloh SWT itu
dituntut pada setiap tempat dan setiap zaman, artinya kondisi zaman yang
selalu berganti dan berkembang itu harus disesuaikan dengan hukum dan
sistem Islam, bukan sebaliknya. Dalam hal ini Rasululloh SAW bersabda:
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَاتَّبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ
تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النََّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ . رواه الترميذي عن أبي ذر
رضي الله عنه
“Bertaqwalah kepada Alloh di manapun kamu berada, ikutilah
keburukan dengan kebaikan untuk menghapusnya, dan berinteraksilah kepada
manusia dengan budi pekerti yang baik”. HR Turmudzi dari Abu Dzar ra.
Dan kemujtahid mutlakan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani juga dapat dibuktikan secara ilmiah sebagai berikut;
Pertama: Definisi Mujtahid Mutlak:
1-Dari Malikiyyah:
وَاعْلَمْ أَنَّ الْمُجْتَهِدَ ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ : مُجْتَهِدٌ
مُطْلَقٌ ، وَمُجْتَهِدُ مَذْهَبٍ ، وَمُجْتَهِدُ فَتْوَى ؛ فَالْمُطْلَقُ
كَالصَّحَابَةِ وَأَهْلِ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ ، وَمُجْتَهِدُ
الْمَذْهَبِ هُوَ الَّذِي يَقْدِرُ عَلَى إقَامَةِ الْأَدِلَّةِ فِي
مَذْهَبِ إمَامِهِ كَابْنِ الْقَاسِمِ وَأَشْهَبَ ، وَمُجْتَهِدُ
الْفَتْوَى هُوَ الَّذِي يَقْدِرُ عَلَى التَّرْجِيحِ كَكِبَارِ
الْمُؤَلَّفِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَذْهَبِ ،
“Ketahuilah bahwa Mujtahid itu terbagi menjadi tiga; Mujtahid
mutlak, mujtahid madzhab, dan mujtahid fatwa. Mujtahid mutlak itu
seperti para sahabat dan pemilik empat madzhab. Mujtahid madzhab ialah
mujtahid yang mampu menegakkan dalil-dalil madzhab imamnya seperti Ibnu
Qosim dan Asyhab. Dan mujtahid fatwa ialah mujtahid yang mampu menarjih
seperti para pembesar muallif (penyusun kitab) dari pemilik madzhab…”. (Hasyiyah ash-Shawiy ‘ala al-Syarhi al-Shaghiir, 9/295, Maktabah Syamilah).
Keterangan:
Dari perkataan al-Shawi diatas dapat dipahami bahwa mujtahid itu
terbagi menjadi tiga bagian dan bahwa para sahabat Nabi SAW itu termasuk
mujtahid mutlak.
2-Dari Syafi’iyyah:
مراتب العلماء سِتٌّ: الأولى مجتهد مستقل كالأربعة وأضرابهم، الثانية
مطلق منتسب كالمزني، الثالثة أصحاب الوجوه كالقفال وأبي حامد، الرابعة
مجتهد فتوى كالرافعي والنووي، الخامسة نظار في ترجيح ما اختلف فيه الشيخان
كالأسنوي وأضرابه، السادسة حملة فقه ومراتبهم مختلف، … (مجموعة سبعة كتب
مفيدة، السيد علوي بن أحمد السقاف، ص 107-108، مكتبة الهداية، سورابايا).
“Derajat ulama itu ada enam: 1) Mujtahid Mustaqil (muthlaq ghairu
muntasib) seperti Empat Imam Besar dan sesamanya, 2) Mujtahid Mutlak
Muntasib (yang bernisbat / berafiliasi) seperti al-Muzani, 3) Ashhabul
Wujuh (ulama pemilik pendapat terkemuka) seperti al-Qafal dan Abu Hamid,
4) Mujtahid Fatwa seperti ar-Rafi’iy dan an-Nawawi, 5) Nazhzhar (para
peneliti) dalam menarjih pendapat-pendapat yang diperselisihkan oleh
ar-Rafi’iy dan an-Nawawi seperti al-Asnawi dan sesamanya, dan 6) Ulama
pengemban fikih dan derajat mereka berbeda-beda…
وفي حواشي القليوبي إن قدر المجتهد على الترجيح دون الإستنباط فهو مجتهد
الفتوى، وإن قدر على الإستنباط من قواعد إمامه فهو مجتهد المذهب، أو على
الإستنباط من الكتاب والسنة فهو مجتهد المطلق. (مجموعة سبعة كتب مفيدة،
السيد علوي بن أحمد السقاف، ص 108، مكتبة الهداية، سورابايا).
Dalam Hasyiyah al-Qulyubi disebutkan, bahwa katika mujtahid itu
mampu menarjih (mengunggulkan pendapat terkait hukum) dengan tanpa
istinbath (menggali hukum), maka ia adalah mujtahid fatwa. Ketika ia
mampu menggali hukum dari kaidah-kaidah imamnya, maka ia adalah mujtahid
madzhab. Dan ketika ia mampu menggali hukum dari al-Kitab dan Sunnah,
maka ia adalah mujtahid mutlak”. ( Sayyid Alwi bin Ahmad as-Saqqaf, Majmu’atu Sab’ati Kutubin Mufiidah, hal. 107-108, al-Hidayah, Surabaya).
Keterangan:
Dari kutipan Sayyid Alwi, “Mujtahid (Mutlak) Mustaqil (ghairu muntasib) seperti Empat Imam Besar dan sesamanya”, dapat
difahami bahwa Mujtahid Mutlak itu tidak hanya empat imam besar, tetapi
berjumlah banyak, baik sebelum empat imam atau setelahnya. Dan dari
perkataannya, “Dan ketika ia mampu menggali hukum dari al-Kitab dan Sunnah, maka ia adalah mujtahid mutlak”, dapat
dipahami bahwa siapa saja mujtahid yang mampu menggali hukum langsung
dari al-Qur’an dan Sunnah, sama saja dengan kaidahnya sendiri atau
dengan kaidah imamnya, maka ia adalah mujtahid mutlak.
3-Dari Hanabilah:
وَاعْلَمْ أَنَّ الْمُجْتَهِدَ يَنْقَسِمُ إلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ :
مُجْتَهِدٍ مُطْلَقٍ ، وَمُجْتَهِدٍ فِي مَذْهَبِ إمَامِهِ ، أَوْ فِي
مَذْهَبِ إمَامِ غَيْرِهِ ، وَمُجْتَهِدٍ فِي نَوْعٍ مِنْ الْعِلْمِ ،
وَمُجْتَهِدٍ فِي مَسْأَلَةٍ أَوْ مَسَائِلَ ، ذَكَرَهَا فِي ” آدَابِ
الْمُفْتِي وَالْمُسْتَفْتِي “،
“Ketahuilah bahwa mujtahid itu terbagi menjadi empat bagian;
Mujtahid mutlak, mujtahid pada madzhab imamnya atau pada madzhab selain
imamnya, mujtahid pada macam ilmu, dan mujtahid pada satu atau sejumlah
masalah, sebagaimana disebutkan pada kitab ‘Adabul Mufti wal Mustafti’.
فَقَالَ : الْقِسْمُ الْأَوَّلُ ” الْمُجْتَهِدُ الْمُطْلَقُ ” وَهُوَ
الَّذِي اجْتَمَعَتْ فِيهِ شُرُوطُ الِاجْتِهَادِ الَّتِي ذَكَرَهَا
الْمُصَنِّفُ فِي آخِرِ ” كِتَابِ الْقَضَاءِ ” عَلَى مَا تَقَدَّمَ
هُنَاكَ إذَا اسْتَقَلَّ بِإِدْرَاكِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ ، مِنْ
الْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَامَّةِ وَالْخَاصَّةِ ، وَأَحْكَامِ
الْحَوَادِثِ مِنْهَا ، وَلَا يَتَقَيَّدُ بِمَذْهَبِ أَحَدٍ ، وَقِيلَ :
يُشْتَرَطُ أَنْ يَعْرِفَ أَكْثَرَ الْفِقْهِ ، قَدَّمَهُ فِي ” آدَابِ
الْمُفْتِي وَالْمُسْتَفْتِي “، قَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ الْجَوْزِيُّ : مَنْ
حَصَّلَ أُصُولَهُ وَفُرُوعَهُ فَمُجْتَهِدٌ ، وَتَقَدَّمَ هَذَا
وَغَيْرُهُ فِي آخِرِ ” كِتَابِ الْقَضَاءِ “، الإنصاف (فقه حنبلي) – (18 /
45).
Lalu beliau berkata: “Bagian pertama adalah mujtahid mutlak,
yaitu mujtahid yang telah memenuhi syarat-syarat ijtihad yang telah
dituturkan oleh mushannif pada akhir ‘Kitab al-Qadla’ sesuai yang
terdahulu di sana, ketika mujtahid itu menyendiri dalam memahami
hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ yang umum dan yang khusus,
dan memahami hukum-hukum peristiwa dari dalil-dalil syara’, dan tidak
terikat dengan madzhab seseorang. Dan dikatakan: “Disyaratkan mengetahui
lebih banyak fikih” sebagaimana disebutkan pada kitab ‘Adabul Mufti wal
Mustafti’. Abu Muhammad al-Jauziy berkata: “Siapa saja yang telah
menghasilkan ashul beserta furu’nya, maka ia adalah mujtahid”, dan
pendapat ini juga yang lainnya telah dahulu pada akhir ‘Kitab al-Qadla’.
Keterangan:
Dari perkataan diatas dapat dipahami bahwa mujtahid itu terbagi
menjadi empat bagian dan bahwa mujtahid mutlak adalah ulama yang telah
memenuhi syarat-syarat ijtihad. Sedangkan syarat-syarat ijtihad yang
telah saya simpulkan dari berbagai pendapat ulama Malikiyyah,
Syafi’iyyah dan Hanabilah secara garis besar terbagi menjadi tiga bagian
sebagai berikut:
Pertama: Pengetahuan terkait bahasa,
yaitu terkait lafal (lafdz) dan susunan (tarkib) yang berhubungan
dengan dalil-dalil hukum yang hendak digali, seperti ilmu nahwu, sharof ,
balaghah dan ma’ani.
Kedua: Pengetahuan terkait syara’,
yaitu teks-teks syara’ dari al-Kitab dan Sunnah yang berhubungan dengan
hukum, dan mengetahui terkait bagian-bagiannya seperti umum dan khusus,
muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan kaidah-kaidah ta’adul dan
tarojih.
Ketiga: Pengetahuan terkait hakekat
fakta yang hukum hendak dikeluarkan terhadapnya, dan yang dinamai
sebagai obyek hukum. Lalu ketika seorang mujtahid tidak memahami hakekat
fakta dengan sendirinya, maka ia boleh bertanya kepada orang yang
mengerti tentang fakta itu meskipun dari non muslim.
Dan masih terlalu banyak untuk disebutkan, pendapat para ulama diatas
terkait terbaginya mujtahid dan mujtahid mutlak, tetapi semuanya dapat
disimpulkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:
Pertama: Mujtahid mutlak, atau
mujtahid mustaqil. Yaitu seorang faqih yang berijtihad pada semua
masalah fikih, yakni semua syariat, dan telah mempunyai ushul fikih yang
telah digalinya dengan ijtihadnya, seperti Abu Hanifah, asy-Syafi’iy,
Malik, Ahmad, Sufyan, Auza’iy, Daud dll. Lalu setiap orang dari mereka
menyendiri dengan masalah fikihnya dan tidak terpengaruh oleh orang
lain, sehingga koleksi masalah fikihnya menjadi madzhab yang berdiri
sendiri, baik ushul maupun furu’nya.
Kedua: Mujtahid madzhab. Yaitu
seorang faqih yang membatasi ijtihadnya hanya pada madzhab imamnya,
terikat dengan ushul dan kaidah yang telah ditetapkan oleh imamnya,
tetapi terkadang menyalahi imamnya dalam banyak masalah fikih atau
mayoritasnya, seperti Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan dari murid-murid
Imam Abu Hanifah, seperti Robi’ bin Sulaiman dan Muzani dari murid-murid
Imam Syafi’iy, dan seperti Sahnun dari murid Imam Malik, dan masih
banyak lagi selain mereka.
Dan ketiga: Mujtahid masalah. Yaitu
seorang faqih yang ber-ijtihad dalam satu masalah, dua masalah, atau
sejumlah masalah yang tidak sampai kepada bilangan yang bisa terbentuk
menjadi madzhab, atau tidak bisa memuat madzhab. Dan meskipun jumlah
mereka itu banyak, tetapi tidak menonjol sebagaimana empat imam besar
madzhab. Oleh karena itu, masalah-masalah mereka tetap terbagi-bagi dan
terpisah-pisah dalam banyak kitab fikih. Mereka itu seperti para
mujtahid yang tidak memiliki banyak murid yang mentabanni, menjelaskan
dan membukukan madzhabnya, maka masalah-masalah mereka juga terbagi-bagi
dan tercerai-berai dalam kitab-kitab fikih yang lain, seperti
al-Auza’iy, ast-Tsauri, ath-Thabari dan lain-lain. (Lihat: Mafahim wa
Qadlaya Siyasiyyah, 1/100-101, Maktabah Syamilah).
ANALISA SERTA IDENTIFIKASI TERHADAP
FAKTA MUJTAHID MUTLAK
Pertama: Terkait mujtahid mutlak atau mujtahid
mustaqil, yaitu mujtahid yang menggali hukum-hukum langsung dari
al-Kitab dan as-Sunnah dengan kaidah-kaidah (qawaa’id)nya sendiri,
artinya (dalam hemat saya) dengan kaidah yang telah ditabanninya untuk
dirinya, baik yang telah dibukukannya atau tidak dibukukan, bukan
kaidah-kaidah yang telah digalinya sendiri, meskipun ada yang
berpendapat demikian, kecuali sebagian tambahan dan penyempurna yang
telah digalinya sendiri. Alasannya, karena empat imam besar yang
disebut-sebut sebagai mujtahid mutlak itu telah menerima ilmu -termasuk
kaidah-kaidah istinbath- dari guru-gurunya, karena tidak ada seorangpun
dari manusia termasuk empat imam besar, kecuali dilahirkan dalam keadaan
bodoh, dan juga telah populer dikalangan umat, bahwa orang yang tidak
memiliki guru, maka gurunya adalah setan. Sedangkan guru-gurunya empat
imam adalah tabi’it-tabi’in (pengikut tabi’in) dan tabi’in (pengikut
sahabat), kemudian sahabat, dimana mereka telah menerima ilmunya dari
Rasulullah SAW, dari Jibril, dan dari Alloh SWT. Jadi merupakan hal
mustahil, ketika semua ilmu yang dimiliki empat imam besar itu tidak
terpengaruh dengan/oleh ilmu dari guru-gurunya. Apalagi guru-guru mereka
juga para mujtahid mutlak yang pasti memiliki kaidah-kaidah istinbath
yang ditabanninya dari guru-gurunya juga, tetapi belum dibukukan.
Dan dengan konotasi ini, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani pendiri Hizbut
Tahrir adalah mujtahid mutlak, karena beliau telah memiliki kaidah
istinbath yang telah ditabaninya untuk dirinya dan telah dibukukannya
dengan berbagai tambahan dan penyempurnaan yang telah digalinya sendiri.
Dan semua kaidah tersebut telah dikumpulkannya pada kitabnya,
al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz III (bagian ushul fikih).
Kedua: Terkait sanad keilmuan empat imam besar.
Dibawah adalah sanad keilmuan empat imam besar sebagaimana dituturkan
oleh Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni dalam kitab al-Mizan-nya, 1/51:
1- Imam Abu Hanifah, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas, dari Rasululloh SAW, dari Jibril AS, dari Alloh SWT.
2- Imam Malik, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Rasululloh SAW, dari Jibril AS, dari Alloh SWT.
3- Imam Syafi’iy, dari Imam Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Rasululloh SAW, dari Jibril AS, dari Alloh SWT.
4- Imam Ahmad, dari Imam Syafi’iy, dari Imam Malik, dari Nafi’, dari
Ibnu Umar, dari Rasululloh SAW, dari Jibril AS, dari Alloh SWT.
Dari sanad tersebut, sangat jelas bahwa tiga imam terakhir saling
berhubungan, yaitu hubungan guru dan murid yang sangat berpengaruh
terhadap kaidah-kaidah istinbath yang dipakai oleh mereka, sehingga
terjadi banyak kesamaan padanya. Demikian ini dapat diketahui ketika
kita membandingkan kitab-kitab ushul fikih mereka, seperti ushul fikih
Syafi’iyyah dengan ushul fikih Hanabilah. Dan kesamaan tersebut terjadi
karena tiga kemungkinan: 1) Hasil penggalian sendiri dari sumber yang
sama sehingga hasilnya juga sama, 2) Tabanni dari hasil penggalian
gurunya, dan 3) Gabungan dari keduanya. Akan tetapi ketiganya tidak
mengeluarkan mereka dari gelar mujtahid mutlak, selama menggali
hukum-hukum syara’nya langsung dari al-Kitab dan Sunnah. Demikian ini,
sama halnya dengan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, dengan hukum-hukum
syara’ yang dihasilkannya, dan ushul fikihnya.
Ketiga: Terkait daftar mujtahid mutlak:
a- Miturut Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni (Syafi’iyyah): 1) Imam Abu
Hanifah, 2) Imam Malik, 3) Imam Syafi’iy, 4) Imam Ahmad, 5) Imam Sufyan
al-Tsauri, 6) Imam Sufyan bin Uyainah, 7) Imam Muhammad bin Jarir, 8)
Imam Umar bin Abdul Aziz, 9) Imam al-A’masy, 10) Imam al-Sya’bi, 11)
Imam Ishaq, 12) Imam Imam “Atho, 13) Imam Mujahid, 14) Imam Abu
al-Laits, 15) Imam Daud, dll. (Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni dalam kitab
al-Mizan-nya, 1/50).
b- Miturut kitab al-Madkhal al-Mufashshal untuk madzhab Imam Ahmad
(Hanabilah): 1) Qadli Abu Ya’la al-Kabir (w. 458 H), 2) Imam Abulwafa
bin Aqil (w. 513 H), 3) Imam Muwaffaq Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620
H), 4) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Ahmad bin Abdul Halim (w. 728 H),
5) Ibnu Qayyim al-Juziyyah Muhammad bin Abu Bakar (w. 751 H).
(al-Madkhal al-Mufashshal li Madzhab al-Imam Ahmad, 1/486, Maktabah
Syamilah).
c- Miturut Imam Suyuthi (Syafi’iyyah):
وقد نقل الجلال السيوطي رحمه الله تعالى أن الإجتهاد المطلق على قسمين؛
مطلق غير منتسب كما عليه الأئمة الأربعة، ومطلق منتسب كما عليه أكابر
أصحابهم الذين ذكرناهم كأبي يوسف ومحمد بن الحسن وابن القاسم وأشهب والمزني
وابن المنذر وابن سريح وغيرهم.
قال السيوطي: ولم يدع الإجتهاد المطلق غير المنتسب بعد الأئمة الأربعة إلا الإمام محمد بن جرير الطبري ولم يسلم له ذلك.
“Sesungguhnya as-Suyuthi rh telah mengutif bahwa Ijtihad Mutlak itu
ada dua bagian; Mutlak Ghairu Muntasib, sebagaimana dilakukan oleh Empat
Imam Besar (Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy dan Ahmad), dan Mutlak
Muntasib, sebagaimana dilakukan oleh para pembesar sahabat Empat Imam
yang telah kami sebutkan, seperti Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, Ibnu
Qasim, Asyhab, Muzani, Ibnu Mundzir, Ibnu Suraikh dan lain-lain.
As-Suyuthi berkata: “Tidak ada yang mengklaim Ijtihad Mutlak Ghairu
Muntasib setelah Empat Imam Besar, selain Imam Muhammad bin Jarir
ath-Thabari dan hal itu tidak diterima baginya”. (Syaikh Abdul Wahhab
Sya’roni, al-Mizan al-Kubro, 1/16).
Sedangkan dalam kitab al-Bughyah (Syafi’iyyah) disebutkan demikian:
(فائدة) إذا أطلق الإجتهاد فالمراد به المطلق، وهو في الأصل بذل المجهود
في طلب المقصود ويرادفه التحري والتوخي، ثم استعمل استنباط الأحكام من
الكتاب والسنة، وقد انقطع من نحو الثلاثمائة وادعى السيوطي بقاءه إلى آخر
الزمان مستدلا بحديث يبعث الله على رأس كل مائة من يجدد الخ. ورد بأن
المراد بمن يجدد أمر الدين من يقرر الشرائع والأحكام لا المجتهد المطلق.
(بغية المسترشدين، للسيد عبد الرحمن بن محمد بن حسين بن عمر باعلوي، ص 6-7،
الهداية سورابايا).
“Ketika diucapkan kata “ijtihad”, maka yang dikehendaki adalah
ijtihad mutlak, dimana asal bahasanya adalah mengerahkan segala
kemampuan dalam mencari tujuan, sedang makna sininimnya adalah kata
“at-taharri (bersungguh-sungguh) dan at-tawakhkhi (berjalan menuju)”,
kemudian dipakai untuk makna menggali hukum-hukum dari al-Kitab dan
Sunnah. Ijtihad mutlak sudah terputus sejak tahun 300 H. Dan as-Suyuthi
mengklaim masih tetapnya ijtihad mutlak sampai akhir zaman dengan dalil
hadis,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله
عليه وسلم قَالَ: إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ
كُلِّ مِائَةِ سَنَّةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا. رواه أبو داود
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah swt
akan membangkitkan untuk umat ini pada setiap akhir seratus tahun (satu
abad, dengan perhitungan tahun hijriyah) orang yang akan memperbaharui
agamanya”. HR Abu Duad.
Dan klaim itu tertolak, karena yang dimaksud dengan orang yang akan
memperbaharui perkara agama adalah orang yang menetapkan hukum-hukum
syara’, bukan mujtahid mutlak”. (al-Bughyah).
Jelas sekali bahwa miturut as-Suyuthi mujtahid mutlak itu terbagi
menjadi dua bagian; Mutlak ghairu muntasib dan mutlak muntasib. Dan
miturut beliau juga bahwa mujtahid mutlak ghairu muntasib itu sulit
diterima dari selain empat imam besar (Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy dan
Ahmad). Dan dengan mengkompromikan dua keterangan dari kitab al-Mizan
dan al-Bughyah, masalahnya menjadi jelas bahwa tetapnya mujtahid mutlak
sampai akhir zaman sebagaimana yang diklaim oleh as-Suyuthi dalam kitab
al-Bughyah adalah mujtahid mutlak muntasib. Dan daftar mujtahid mutlak
di atas menunjukkan bahwa ulama selain as-Suyuthi juga mengakui
keberadaan mujtahid mutlak selain empat imam dan pasca empat imam.
Demikian juga dengan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani yang dari ash-habnya
tidak sedikit mengklaim beliau sebagai mujtahid mutlak, dan bagi
mujtahid mutlak muntasib pintu terbuka lebar-lebar. (www.syariahpublications.com)
Sumber :
https://www.facebook.com/notes/membongkar-pemikiran-aswaja-topeng/kesalahan-logika-idrus-ramli-bantahan-atas-buku-jurus-ampuh-membungkam-hti/327165740730427
Posting Komentar untuk "Kesalahan Logika Idrus Ramli; 1A dari 17, Bantahan atas Buku Jurus Ampuh Membungkam HTI"