Miskin Ideologi, Siap-Siap Jadi Capres Boneka


Mereka yang berada di balik layar kemenangan itulah yang akan menentukan masa depan negeri ini.

Perhelatan demokrasi memasuki babak baru. Setelah pemilihan umum legislatif, dua bulan lagi akan digelar pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Pemilu ini dalam kacamata demokrasi tak kalah pentingnya karena dianggap menentukan masa depan Indonesia lima tahun mendatang.

Melihat hasil hitung cepat pemilu legislatif, partai politik sudah pasang kuda-kuda. Mereka siap memasukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bagi partai yang suaranya sedikit, siap-siap hanya dapat kursi RI 2. Sedangkan partai yang menjadi jawara, mereka telah mengelus-elus calon presidennya.

Wajar jika kemudian suhu politik mulai memanas. Masing-masing calon presiden mulai unjuk gigi.  Para pendukungnya pun mulai kasak-kusuk ke sana ke mari menjajakan kandidat mereka. Di tengah panasnya suhu politik itu,  kampanye negatif antar calon presiden tak terhindarkan.

Ini lazim dalam sistem demokrasi yang mengedepankan kebebasan. Tidak boleh ada yang marah. Kalau mau, balas lagi dengan serangan balik.

Satu yang mengemuka adalah pernyataan adanya calon presiden boneka.  Ini menjadi hal yang menarik, soalnya mengingatkan masyarakat bahwa fenomena itu ada. Entah ini disengaja atau tidak, keberadaan presiden boneka patut menjadi perhatian.

Mungkin tidak ada yang mau disebut sebagai capres boneka. Itu bisa dianggap merendahkan dan menghinakan. Tapi tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Lalu bagaimana seorang capres bisa disebut sebagai boneka. Sang pelontar serangan itulah yang tahu.

Namun dari perilaku politik yang ada sebenarnya bisa tergambar, calon presiden boneka itu bisa bermakna boneka dari partai tertentu atau boneka dari pihak asing. Semuanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan tidak independen.

Sebagai boneka, sang calon sangat tergantung dan terpengaruh oleh kepentingan para dalangnya. Dalang ini juga bisa jadi dalang dalam negeri, apakah itu para konglomerat atau partai politik. Sementara dalang luar negeri, bisa perusahaan asing (multinational corporation) atau pemerintahan yang berkuasa/adidaya.

Munculnya capres boneka tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi yang begitu mahal. Butuh biaya besar untuk bisa memenangi tahapan pemilu. Nah peluang inilah yang dimanfaatkan oleh para dalang di balik layar untuk memanfaatkan para kandidat tersebut. Caranya dengan mengucurkan bantuan pendanaan atau pencitraan dsb.

Tentu tidak ada makan siang gratis. Begitu orang Eropa bilang. Sebagai imbalan, para dalang ini telah meng-ijon para kandidat dengan berbagai kepentingan. Apakah itu kepentingan bisnis maupun politik. Dan itu sah dalam sistem demokrasi.

Bisa dipastikan, bukan kepentingan rakyat yang dikedepankan nantinya. Mereka yang berada di balik layar kemenangan itulah yang akan menentukan masa depan negeri ini. Walhasil, minoritas inilah yang sebenarnya berkuasa atas nama mayoritas rakyat. Anehnya kok ya mau para calon presiden ini menjadi boneka mereka?

Miskin Ideologi

Munculnya presiden boneka, bukan khas Indonesia. Hampir seluruh negeri Islam saat ini dikuasai oleh para boneka negara besar. Mereka mengambil kebijakan menurut arahan tuannya. Siapa lagi kalau bukan negara adidaya dan sekutunya.

Ketidakberdayaan para pemimpin ini atas hegemoni asing itu tidak lepas dari ketiadaan ideologi. Selama ini mereka menikmati hidup sebagai bebek-bebek asing karena adanya bantuan finansial dan lainnya dalam jumlah banyak.

Mereka tidak menyadari bahaya sebagai antek asing bagi bangsanya. Bahkan, jangan-jangan mereka tidak bisa lagi membedakan mana yang salah dan benar dilihat dari satu sudut pandang tertentu. Semua dianggap benar jika datang dari Barat.

Ketiadaan ideologi ini kian lengkap dengan adanya sikap inferior mereka di hadapan para penjajah. Seolah-olah semua yang dari asing itu baik.

Sejarah mencatat, negeri-negeri Islam tak pernah luput dari keberadaan penguasa boneka. Hal yang sama terjadi di Indonesia. Hampir selama negara ini ada, presidennya dalam kooptasi asing.
Pertanyaannya, sampai kapan kondisi ini terus terjadi? Mungkinkah dalam situasi politik yang sekarang akan lahir penguasa yang independen, bukan boneka?

Butuh Proses

Lahirnya para penguasa boneka melalui proses. Para penjajah sangat sistematis membentuk mereka sehingga mereka bisa diterima di tengah masyarakatnya.  Bahkan mereka memiliki political plan untuk memunculkan mereka sebagai pemimpin pada saat yang tepat.

Keberhasilan para dalang itu didukung oleh ideologi tertentu. Dalam konteks dunia Islam sekarang, ideologi kapitalisme-lah yang menguasainya. Ini terjadi karena dunia Islam telah diintervensi pemikirannya dengan pemikiran Barat.

Selama dunia Islam tetap dalam sistem ala Barat, maka selama itu pula perubahan fundamental tidak akan terjadi. Perubahan hanya akan bergerak dalam frame sistem demokrasi. Sekadar tambal sulam sistem yang ada.

Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk bisa memunculkan penguasa independen kecuali dengan mengganti ideologi yang ada dengan ideologi baru yang benar. Ideologi itu tidak lain adalah ideologi Islam.

Penguasa yang tercelup dengan ideologi Islam akan mampu melihat perbedaan antara yang haq dan batil. Ideologi itu pula yang menjadikannya bersemangat dan bekerja keras untuk menerapkan ideologi itu di tengah masyarakat seraya membuang jauh-jauh ideologi kufur.

Nah, ideologisasi ini butuh proses. Di sinilah peran partai politik Islam ideologis sangat menentukan guna mencetak kader-kader ideologis. Dengan kesadaran politik ideologis, para kader ini akan mampu membendung ideologi kufur dan hegemoni Barat atas negeri kaum Muslim.

Tidakkah kita memimpikan lahir penguasa/pemimpin seperti ini? Semua itu bisa terwujud jika kaum Muslim kembali kepada Islam dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam naungan khilafah. Di sanalah izzah Islam akan tampak. [] mujiyanto
[www.bringislam.web.id]

Posting Komentar untuk "Miskin Ideologi, Siap-Siap Jadi Capres Boneka"