Kerjasama Indonesia-Myanmar, Bukti Jokowi Rezim Antek..?
Kerjasama Indonesia-Myanmar, Bukti Jokowi Rezim Antek..?
Alih-alih menunjukan ketegasannya pada pemerintah Myanmar yang hingga kini terus mengusir dan membantai muslim Rohingya, Presiden Jokowi malah bergandengtangan dengan U Thein Sein, Presiden Republik Uni Myanmar itu. Sebelum menghadiri pembukaan KTT ke-25 ASEAN di Naypyitaw, Rabu, (12/11 Presiden RI Jokowi menyempatkan untuk melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden U Thein Sein, mantan Jendral Junta yang hingga kini tetap berisikeras bahwa Muslim Rohingya harus diusir dari Myanmar . Di sela-sela, kunjunganya itu, Jokowi menegaskan, Indonesia akan tetap menjadi sahabat Myanmar dalam mendorong kemajuan ASEAN dan kemitraan kedua negara.
Lebih Jokowi berharap hubungan kerja sama kedua negara bisa diperluas. Di antaranya di bidang perhubungan, yaitu penerbangan langsung dari Indonesia ke Myanmar, serta peningktan kerja sama di bidang perbankan. “Ini untuk meningkatkan hubungan antara Indonesia dan Myanmar,” kata Presiden Joko Widodo.
Menanggapi pernyataan Jokowi, Presiden U Thein Sein menyatakan, kedua negara perlu mengimplementasikan rencana kerja sama ini. Termasuk bagaimana meningkatkan investasi di masing-masing negara.
“Saya yakin peluang bisnis dan investasi akan memajukan kedua negara. Saya berharap Anda dapat mendorong pebisnis Indonesia untuk berinvestasi dan berbisnis di Myanmar,” ujar Thein Sein. (Republika online, edisi Thursday, 13 November).
Persekongkolan diamkan pembantaian muslim Rohingya
Hampir sebulan sudah jokowi menjabat sebagai presiden Republik Indonesia. Tentu itu waktu yang cukuo bagi rezim Jokowi untuk sekedar menunjukan keberpihakannya terhadap muslim dunia, termasuk muslim Rohingya yang menghadapi tindakan keji mayoritas Budha. Mengingat, Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim, maka sudah sewajarnya memiliki presiden yang memiliki sikap yang tegas terhadap urusan yang menyangkut urusan umat Islam. Tetapi kenyataanya hal itu tidak pernah ia lakukan, yang terjadi malah pengkhianatan yang memalukan.
Jokowi tak sedikitpun menunjukan kepeduliaannya terhadap muslim Rohingya, yang sejak diberlakukannya UU kewarganegaraan 1982 di Burma, mereka tidak lagi dicantumkan sebagai salah satu etnis yang diakui di Myanmar. Akibatnya, masyarakat Rohingya yang sudah berabad-abad mendiami tanah Rakhine pun praktis menjadi penduduk tanpa status kewarganegaraan bahkan dicap sebagai imigran Bangali (Bangladesh) ilegal.
Semakin diperlusnya kerjasama Indonesia-Myanmar mengokohkan sikap pemerintah RI selama ini, bahwa persolan Muslim Rohingya hanyalah problem dalam negri Myanmar yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan Indonesia. Sebelumnya, JK menyebut konflik Rohingnya di Myanmar sama seperti konflik Ambon dan Pos, dalam arti murni konflik antar ras. Padahal pembantaian etnis Muslim Rohingnya berbeda dengan konflik Ambon dan Poso. Sebab, Yang terjadi di Poso itu konflik horizontal, bukan penjajahan. Di mana di Poso tidak ada peran pemerintah untuk membela satu pihak. Sementara itu, Tindakan pemerintah Myanmar atas etnis Rohingnya adalah penjajahan. Dengan kata lain, negeri Islam Arakan yang sudah berkuasa tiga abad, kini sedang dijajah kerajaan Burma.
Klaim, bahwa muslim Rohingnya bukan penduduk asli arakan, tentu sangat tidak berdasar. Kaum Muslimin memerintah propinsi Arakan lebih dari tiga setengah abad antara tahun 1430 hingga tahun 1784 M. Para sejarawan menyebutkan bahwa Islam masuk ke negeri itu tahun 877 M pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid.
Bahkan, Komunitas Rohingya dulunya ternyata pernah diakui sebagai salah satu ras asli di Myanmar. Hal itu seperti tercantum dalam Bab 3 (1) UU Kewarganegaraan Burma 1948, yakni sejak Inggris memberi Burma kemerdekaan formalistiknya. Selain itu, dalam pidatonya, Perdana Menteri U Nu yang dibuat pada 25 September 1954, menyebut ras Rohingya yang berada di Buthi Daung, wilayah Maung Daw, sebagai orang-orang Muslim.
Fakta lain, sejak 15 Mei 1961, sebuah program berbahasa Rohingya disiarkan sebanyak tiga kali per pekan di Myanmar. Kebijakan tersebut sebagai bagian dari Program Kebangsaan yang digulirkan pemerintah pada masa itu. Fakta tersebut terungkap dalam buku Myanma Radio (halaman 71) yang diterbitkan oleh Departemen Informasi dan Penyiaran Burma.
Ini hanya secui fakta yang menunjukan bahwa komunitas Rohingya merupakan salah satu kelompok etnis yang diakui oleh Pemerintah Burma berturut-turut sebelumnya.
Dengan demikian, bila rezim Myanmar menggap bahwa muslim Rohingya bukanlah penduduk asli Arakan, sehingga mereka dengan begitu saja diusir dan dibantai, jelas merukan sebuah penjajahan nyata dan kejahatan kemanusian yang luar biasa melebihi apa yang dihadapi muslim Rohingya sebelum penghilangan kewargan-negaraan mereka.
Sejalan dengan standar ganda AS
Sikap presiden Jokowi begitu lunak dengan Myanmar, tentu tidak bisa dipisahkan dengan standar ganda yang dimainkan AS terhadap Myanmar. Sebab, politik Indonesia hingga kini, tak bisa lepas dengan cara pandang AS dalam melihat apakah sebuah negara atau kelompok itu dianggap berbahaya ataukah tidak, dianggap pelanggar HAM atau bukan. Rezim Mubarok di Mesir tak pernah disebut pelanggar HAM oleh AS selama puluhan tahun. Basar Asad yang membantai lebih dari 200.000 penduduk Suriah juga tidak pernah pernah disebut pemerintah diktator atau pelangar HAM oleh AS. Terkait Rezim Myanmar, Mentri luar negri AS, Hillary Clinton, saat berkujung ke Myanmar July 2012, menyatakan menyambut gembira atas reformasi politik yang telah dilakukan Theisn Sein, di saat pembatai etnis budha atas minoritas muslim Rohingya. Bahkan Pada Nomber 2012, Barak Obama menjajikan bantuan sebersar 170 juta dolar untuk AS ke Myanmar selama dua tahun kedepan. Sebagai realisasi janji Obama tersebut , maka pada Kamis (27/6/2013) AS-Myanmar mencapai kesepakatan perjanjian bilateral baru untuk kerja sama ekonomi, yang ditandatangani oleh Wakil Menteri Perencanaan Nasional dan Pembangunan Ekonomi Myanmar U Set Aung dan Duta Besar AS Derek Mitchell. Mitchell menyatakan bahwa Perjanjian tersebut merupakan komitmen kedua negara untuk terus mendukung reformasi demokrasi Myanmar yang dikatakan berlangsung stabil, (Republika Online, 28/6/2013).
Kerjasama Indonesia-Myanmar, juga dapat dibaca sebagai cara Amerika untuk menggunakan Agen-agennya, dalam mendukung dan membantu negara-negara yang sejalan dengan kepentingan AS. Sebagaimana hal yang sama juga dilakukan AS dalam menghadapi kelompok-kelompok yang bertentangan dengan kepentinganya. Empat puluh negara yang dihimpun AS dalam pakta obama yang dibentuk september lalu, untuk membinasakan kawasan dengan dalih memerangi tanzhim ISIS dan terorisme sebagaimana yang ia katakan. Pakta imperialistik ini tak lain adalah cara (uslub) terbaru AS untuk menghadang kekuatan yang akan membahayakannya di masa yang akan datang, yang tak lain adalah kekuatan Islam.
Inilah dua sisi kebijakan yang tengah dilakukan AS saat ini, yakni menggunakan agen-agennya untuk mendukung, menyokong dan membantu siapa saja yang sejalan dengan kepentingan AS, meski ia bertindak brutal terhadap penduduknya sendiri, seperti yang dilakuakn pemerintah Myanmar, dan menggunakan kaki tangan-kaki tangannya untuk menghadang siapa saja yang membahayakan kepentinganya, sebagaimana yang menjadi target AS dalam Pakta obama.
Umat saat ini, tentu sangat mengharapkan adanya orang-orang yang cerdas yang mengingkari para penguasa itu atas pengkhianatan mereka kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmini. Umat kini membutuhkan adanya orang- orang cerdas yang memiliki kekuatan sekaligus ghirah terhadap agama dan kehormatannya, yang berani menghancurkan pararuwaibidhah itu, mengembalikan sirah kaum Anshar lalu menolong dalam menegakkan pemerintahan Islam, Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. [Wallahu a’lam bi ash-showab].
[www.bringislam.web.id]
Posting Komentar untuk "Kerjasama Indonesia-Myanmar, Bukti Jokowi Rezim Antek..?"