BPJS versus Jaminan Kesehatan dalam Islam
Akhirnya MUI yang memfatwakan sistem BPJS Kesehatan haram. Namun, pemberitaan itu sudah diluruskan oleh Ketua MUI Din Syamsudin, menegaskan, tidak ada pernyataan “haram” di dalam hasil kesimpulan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia Tahun 2015 di Tegal, beberapa waktu lalu. Kemudian muncul pro-kontra, setelah ada beberapa pihak yang menolak mengharamkannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj.
Padahal Hasil kesimpulan Ijtima’ tentang panduan Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS Kesehatan menegaskan dua hal:
1. Penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syariah karena mengandung unsur gharar (penipuan), maysir (judi) dan riba.
2. MUI mendorong Pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syariah dan melakukan pelayanan prima.
Sebenarnya BPJS saat ini bertentangan dengan syariah Islam. Yaitu, sistem JKN oleh BPJS saat ini mengalihkan tanggung jawab Negara ke pundak seluruh rakyat yang memang telah diwajibkan menjadi peserta JKN.
Dengan demikian negara lepas tangan. Pasalnya, jaminan kesehatan itu merupakan hak rakyat dan menjadi tanggung jawab negara. Rakyat dipaksa saling membiayai pelayanan kesehatan di antara mereka melalui sistem JKN dengan prinsip asuransi sosial. Konsekuensinya, seluruh rakyat wajib membayar iuran/premi bulanan. Dan rakyat, baru bisa mendapat pelayanan dari BPJS selama membayar iuran/premi bulanan. Jika tidak bayar, mereka tidak mendapat pelayanan. Jika nunggak membayar, mereka pun dikenai denda 2% perbulan, maksimalnya enam bulan. Lebih dari enam bulan menunggak, pelayanan dihentikan. Bahkan lebih dari itu, karena wajib, mereka yang tidak membayar iuran akan dijatuhi sanksi, yakni tidak akan mendapat pelayanan administratif seperti pembuatan KTP, KK, paspor, sertifikat dsb. Jadi dalam JKN, rakyat tidak dijamin pelayanan kesehatannya. Jaminan kesehatan mestinya diberikan oleh negara secara bebas biaya dan berkualitas untuk seluruh rakyat tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi.
Dalam Islam, kebutuhan akan pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan lainnya merupakan fasilitas umum yang diperlukan oleh kaum Muslim dalam terapi pengobatan dan berobat. Dengan demikian pelayanan kesehatan termasuk bagian dari kemaslahatan dan fasilitas umum yang harus dirasakan oleh seluruh rakyat. Kemaslahatan dan fasilitas umum (al-mashâlih wa al-marâfiq) itu wajib dijamin oleh negara sebagai bagian dari pelayanan negara terhadap rakyatnya. Dalilnya adalah sabda Rasul saw.:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar ra.).
Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki tiga sifat.
Pertama: berlaku umum tanpa diskriminasi, dalam arti tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kesehatan kepada rakyat.
Kedua: bebas biaya. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya apapun untuk mendapat pelayanan kesehatan oleh negara.
Ketiga: seluruh rakyat harus diberi kemudahan untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan oleh negara.
Pemberian jaminan kesehatan tentu membutuhkan dana besar. Dana tersebut bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum yaitu, hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya; dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, ‘usyur; dari hasil pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, tentu dengan kualitas yang jauh lebih baik.
Kuncinya adalah dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Hal itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus diperjuangkan oleh umat. Umat secara keseluruhan tentu bertanggung jawab untuk menegakkan kembali Khilafah Rasyidah itu. WalLâh a’lam bi ash shawâb.
Jatinangor, 12 Agustus 2015,
Ami Fauziah
[www.bringislam.web.id]
Posting Komentar untuk "BPJS versus Jaminan Kesehatan dalam Islam"